TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA JANGAN LUPA LIKE, FOLLOW KOMENTAR DAN SHARE

Syair Perahu - Hamzah Al-Fansuri



Inilah gerangan suatu madah
mengarangkan syair terlalu indah,

membetuli jalan tempat berpindah,
di sanalah i'tikat diperbetuli sudah

Wahai muda kenali dirimu,
ialah perahu tamsil tubuhmu,
tiadalah berapa lama hidupmu,
ke akhirat jua kekal diammu.

Hai muda arif-budiman,
hasilkan kemudi dengan pedoman,
alat perahumu jua kerjakan,
itulah jalan membetuli insan.

Perteguh jua alat perahumu,
hasilkan bekal air dan kayu,
dayung pengayuh taruh di situ,
supaya laju perahumu itu

Sudahlah hasil kayu dan ayar,
angkatlah pula sauh dan layar,
pada beras bekal jantanlah taksir,
niscaya sempurna jalan yang kabir.

Perteguh jua alat perahumu,
muaranya sempit tempatmu lalu,
banyaklah di sana ikan dan hiu,
menanti perahumu lalu dari situ.

Muaranya dalam, ikanpun banyak,
di sanalah perahu karam dan rusak,
karangnya tajam seperti tombak
ke atas pasir kamu tersesak.

Ketahui olehmu hai anak dagang
riaknya rencam ombaknya karang
ikanpun banyak datang menyarang
hendak membawa ke tengah sawang.

Muaranya itu terlalu sempit,
di manakan lalu sampan dan rakit
jikalau ada pedoman dikapit,
sempurnalah jalan terlalu ba'id.

Baiklah perahu engkau perteguh,
hasilkan pendapat dengan tali sauh,
anginnya keras ombaknya cabuh,
pulaunya jauh tempat berlabuh.

Lengkapkan pendarat dan tali sauh,
derasmu banyak bertemu musuh,
selebu rencam ombaknya cabuh,
La ilaha illallahu akan tali yang teguh.

Barang siapa bergantung di situ,
teduhlah selebu yang rencam itu
pedoman betuli perahumu laju,
selamat engkau ke pulau itu.

La ilaha illallahu jua yang engkau ikut,
di laut keras dan topan ribut,
hiu dan paus di belakang menurut,
pertetaplah kemudi jangan terkejut.

Laut Silan terlalu dalam,
di sanalah perahu rusak dan karam,
sungguhpun banyak di sana menyelam,
larang mendapat permata nilam.

Laut Silan wahid al kahhar,
riaknya rencam ombaknya besar,
anginnya songsongan membelok sengkar
perbaik kemudi jangan berkisar.

Itulah laut yang maha indah,
ke sanalah kita semuanya berpindah,
hasilkan bekal kayu dan juadah
selamatlah engkau sempurna musyahadah.

Silan itu ombaknya kisah,
banyaklah akan ke sana berpindah,
topan dan ribut terlalu 'azamah,
perbetuli pedoman jangan berubah.

Laut Kulzum terlalu dalam,
ombaknya muhit pada sekalian alam
banyaklah di sana rusak dan karam,
perbaiki na'am, siang dan malam.

Ingati sungguh siang dan malam,
lautnya deras bertambah dalam,
anginpun keras, ombaknya rencam,
ingati perahu jangan tenggelam.

Jikalau engkau ingati sungguh,
angin yang keras menjadi teduh
tambahan selalu tetap yang cabuh
selamat engkau ke pulau itu berlabuh.

Sampailah ahad dengan masanya,
datanglah angin dengan paksanya,
belajar perahu sidang budimannya,
berlayar itu dengan kelengkapannya.

Wujud Allah nama perahunya,
ilmu Allah akan [dayungnya]
iman Allah nama kemudinya,
"yakin akan Allah" nama pawangnya.

"Taharat dan istinja'" nama lantainya,
"kufur dan masiat" air ruangnya,
tawakkul akan Allah jurubatunya
tauhid itu akan sauhnya.

Salat akan nabi tali bubutannya,
istigfar Allah akan layarnya,
"Allahu Akbar" nama anginnya,
subhan Allah akan lajunya.

"Wallahu a'lam" nama rantaunya,
"iradat Allah" nama bandarnya,
"kudrat Allah" nama labuhannya,
"surga jannat an naim nama negerinya.

Karangan ini suatu madah,
mengarangkan syair tempat berpindah,
di dalam dunia janganlah tam'ah,
di dalam kubur berkhalwat sudah.

Kenali dirimu di dalam kubur,
badan seorang hanya tersungkur
dengan siapa lawan bertutur?
di balik papan badan terhancur.

Di dalam dunia banyaklah mamang,
ke akhirat jua tempatmu pulang,
janganlah disusahi emas dan uang,
itulah membawa badan terbuang.

Tuntuti ilmu jangan kepalang,
di dalam kubur terbaring seorang,
Munkar wa Nakir ke sana datang,
menanyakan jikalau ada engkau sembahyang.

Tongkatnya lekat tiada terhisab,
badanmu remuk siksa dan azab,
akalmu itu hilang dan lenyap,
....[1]

Munkar wa Nakir bukan kepalang,
suaranya merdu bertambah garang,
tongkatnya besar terlalu panjang,
cabuknya banyak tiada terbilang.

Kenali dirimu, hai anak dagang!
di balik papan tidur telentang,
kelam dan dingin bukan kepalang,
dengan siapa lawan berbincang?

La ilaha illallahu itulah firman,
Tuhan itulah pergantungan alam sekalian,
iman tersurat pada hati insap,
siang dan malam jangan dilalaikan.

La ilaha illallahu itu terlalu nyata,
tauhid ma'rifat semata-mata,
memandang yang gaib semuanya rata,
lenyapkan ke sana sekalian kita.

La ilaha illallahu itu janganlah kaupermudah-mudah,
sekalian makhluk ke sana berpindah,
da'im dan ka'im jangan berubah,
khalak di sana dengan La ilaha illallahu.

La ilaha illallahu itu jangan kaulalaikan,
siang dan malam jangan kau sunyikan,
selama hidup juga engkau pakaikan,
Allah dan rasul juga yang menyampaikan.

La ilaha illallahu itu kata yang teguh,
memadamkan cahaya sekalian rusuh,
jin dan syaitan sekalian musuh,
hendak membawa dia bersungguh-sungguh.

La ilaha illallahu itu kesudahan kata,
tauhid ma'rifat semata-mata.
hapuskan hendak sekalian perkara,
hamba dan Tuhan tiada berbeda.

La ilaha illallahu itu tempat mengintai,
medan yang kadim tempat berdamai,
wujud Allah terlalu bitai,
siang dan malam jangan bercerai.

La ilaha illallahu itu tempat musyahadah,
menyatakan tauhid jangan berubah,
sempurnalah jalan iman yang mudah,
pertemuan Tuhan terlalu susah.

__________
Sumber: Wikisource

Syair Burung Unggas - Hamzah Al-Fansuri



Unggas itu yang amat burhana,
Daimnya nantiasa di dalam astana,
Tempatnya bermain di Bukit Tursina,
Majnun dan Laila adalah disana.

Unggas itu bukannya nuri,
Berbunyi ia syahdu kala hari,
Bermain tamasya pada segala negeri,
Demikianlah murad insan sirri.

Unggas itu bukannya balam,
Nantiasa berbunyi siang dan malam,
Tempatnya bermain pada segala alam,
Disanalah tamasya melihat ragam.

Unggas tahu berkata-kata,
Sarangnya di padang rata,
Tempat bermain pada segala anggota,
Ada yang bersalahan ada yang sekata.

Unggas itu terlalu indah,
Olehnya banyak ragam dan ulah,
Tempatnya bermain di dalam Ka’bah,
Pada Bukit Arafat kesudahan musyahadah.

Unggas itu bukannya meuraka,
Nantiasa bermain di dalam surga,
Kenyataan mukjizat tidur dan jaga,
Itulah wujud meliputi rangka.

Unggas itu terlalu pingai,
Nantiasa main dalam mahligai,
Rupanya elok sempurna bisai,
Menyamarkan diri pada sekalian sagai.

Unggas itu bukannya gagak,
Bunyinya terlalu sangat galak,
Tempatnya tamasya pada sekalian awak,
Itulah wujud menyatakan kehendak.

Unggas itu bukannya bayan,
Nantiasa berbunyi pada sekalian aiyan,
Tempatnya tamasya pada sekalian kawan,
Itulah wujud menyatakan kelakuan.

Unggas itu bukannya burung,
Nantiasa berbunyi di dalam tanglung,
Tempat tamasya pada sekalian lurung,
Itulah wujud menyatakan Tulung.

Unggas itu bukannya Baghdadi,
Nantiasa berbunyi di dalam jawadi,
Tempatnya tamasya pada sekalian fuadi,
Itulah wujud menyatakan ahli.

Unggas itu yang wiruh angkasamu,
Nantiasa asyik tiada kala jemu,
Menjadi dagang lagi ia jamu,
Ialah wujud menyatakan ilmu.

Thairul aryani unggas sulthani,
Bangsanya nurur-Rahmani,
Tasbihatal’lah subhani,
Gila dan mabuk akan Rabbani.

Unggas itu terlalu pingai,
Warnanya terlalu terlalu bisai,
Rumahnya tiada berbidai,
Dudujnya daim di balik tirai.

Putihnya terlalu suci,
Daulahnya itu bernama ruhi,
Milatnya terlalu sufi,
Mushafnya bersurat kufi.

Arasy Allah akan pangkalnya,
Janibul’lah akan tolannya,
Baitul’lah akan sangkarnya,
Menghadap Tuhan dengan sopannya.

Sufinya bukannya kain,
Fi Mekkah daim bermain,
Ilmunya lahir dan batin,
Menyembah Allah terlalu rajin.

Kitab Allah dipersandangkannya,
Ghaibul’lah akan pandangnya,
Alam Lahut akan kandangnya,
Pada ghairah Huwa tempat pandangnya.

Zikrul’lah kiri kanannya,
Fikrul’lah rupa bunyinya,
Syurbah tauhid akan minumnya,
Dalam bertemu dengan Tuhannya.

__________
Sumber: Wikisource

Sidang Fakir Empunya Kata - Hamzah Al-Fansuri




Sidang fakir empunya kata

Tuhanmu zhâhir terlalu nyata
Jika sungguh engkau bermata
Lihatlah dirimu rata-rata

Kenal dirimu hai anak jamu

Jangan kau lupa akan diri kamu
Ilmu hakikat yogya kau ramu
Supaya terkenal akan dirimu


Jika kau kenal dirimu bapai

Elokmu itu tiada berbagai
Hamba dan Tuhan dâ‘im berdamai
Memandang dirimu jangan kau lalai


Kenal dirimu hai anak dagang

Menafikan dirimu jangan kau sayang
Suluh itsbât yogya kau pasang
Maka sampai engkau anak hulu balang


Kenal dirimu hai anak ratu

Ombak dan air asalnya satu
Seperti manikam much îth dan batu
Inilah tamtsil engkau dan ratu


Jika kau dengar dalam firman

Pada kitab Taurat, Injil, Zabur, dan Furqân
Wa Huwa ma‘akum fayak ûnu pada ayat Qur‘an
Wa huwa bi kulli syai‘in muchîth terlalu ‘iyân


Syariat Muhammad ambil akan suluh

Ilmu hakikat yogya kau pertubuh
Nafsumu itu yogya kau bunuh
Maka dapat dua sama luruh


Mencari dunia berkawan-kawan

Oleh nafsu khabî ts badan tertawan
Nafsumu itu yogya kau lawan
Maka sampai engkau bangsawan


Machbûbmu itu tiada berch â‘il

Pada ainamâ tuwallû jangan kau ghâfil
Fa tsamma wajhul-L âhisempurna wâ shil
Inilah jalan orang yang kâmil


Kekasihmu zhâhir terlalu terang

Pada kedua alam nyata terbentang
Pada ahlul-ma‘rifah terlalu menang
Wâ shil nya dâ‘im tiada berselang


Hapuskan akal dan rasamu

Lenyapkan badan dan nyawamu
Pejamkan hendak kedua matamu
di sana kau lihat permai rupamu


Rupamu itu yogya kau serang

Supaya sampai ke negeri yang henang
Seperti Ali tatkala berperang
Melepaskan Duldul tiada berkekang


Hamzah miskin orang ‘uryâ ni

Seperti Ismail menjadi qurbâni
Bukannya ‘Ajam lagi ‘Arab î

Senantiasa wâshil dengan Yang Bâ qî

Hanya Engkau - Rumi




Dari seluruh semesta,
hanya Engkau saja yang kupilih,
Apakah Engkau akan membiarkanku
duduk bersedih?

Hatiku bagaikan pena,
dalam genggaman tanganmu.
Engkaulah sebab gembiraku,
atau sedihku.

Kecuali yang Engkau kehendaki,
apakah yang kumiliki?

Kecuali yang Engkau perlihatkan,
apakah yang kulihat?

Engkaulah yang menumbuhkanku:
ketika aku sebatang duri,
ketika aku sekuntum mawar;
ketika aku seharum mawar,
ketika duri-duriku dicabut.

Jika Engkau tetapkan aku demikian,
maka demikianlah aku.
Jika Engkau kehendaki aku seperti ini,
maka seperti inilah aku.

Di dalam wahana tempat Engkau mewarnai jiwaku,
siapakah aku?
apakah yang kusukai?
apakah yang kubenci?

Engkaulah yang Awal, dan kiranya, Engkau
akan menjadi yang Akhir;
jadikanlah akhirku lebih baik,
daripada awalku.

Ketika Engkau tersembunyi,
aku seorang yang kufur;
Ketika Engkau tampak,
aku seorang yang beriman.

Tak ada sesuatupun yang kumiliki,
kecuali yang Engkau anugerahkan;
Apakah yang Engkau cari,
dari hati dan wadahku?

__________
(Rumi: Divan Syamsi Tabriz no 30, terjemahan Nicholson)

Kepalamu Adalah Tanggamu - Rumi


Hari ini kulihat Sang Tercinta, seri semarak segala perkara itu; Ia lepas menuju ke langit bagai ruh Mustafa. 1)

Karena wajah-Nya, matahari menjadi malu, daerah langit terharu-biru sekacau kalbu; lantaran cerlangnya, air dan tanah lempung lebih bercahaya dari api menyala.

Aku berkata, “Berikan padaku tangga, agar aku dapat naik ke langit pula.” Jawab-Nya, “kepalamu ialah tangga; purukkan kepalamu lebih rendah dari kakimu.” 2)

Bila kautempatkan kakimu lebih tinggi dari kepalamu, maka kakimu akan berada di atas kepala bintang-bintang; bila kau menyibak angkasa, injakkan kakimu di angkasa, nah, mulailah!

Seratus jalan ke angkasa—langit pun menjadi jelas bagimu; membubunglah kau di setiap samar fajar ke langit raya, bagai sebuah doa. 3)

: : : : : : : :

K e t e r a n g a n :

1) Rujukan pada Mi’raj Nabi Muhammad. Mustafa adalah panggilan untuk Beliau.
2) Sujud
3) Q.S. Adz-Dzâriyât [51] : 18), “Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).”

* Terjemahan oleh Hartojo Andangdjaja, dari Rumi, Jalaluddin; Kasidah Cinta, 1982: Budaya Jaya.

Filosof dan Nahkoda




‘Ali adalah seorang filosof yang beranggapan bahwa ia tahu segala-galanya. Semua orang sepakat bahwa ia memang memiliki pengetahuan luas tentang berbagai sains dan seni. Namun, ia suka menyombongkan diri bahwa ia adalah orang yang paling pandai dikota itu. Sahabat ‘Ali, Sam, terganggu oleh kesombongannya ini dan berusaha keras agar ‘Ali mau melihat dunia sekelilingnya dengan mata terbuka. Akan tetapi, argumen-argumen yang dikemukakannya selalu saja mentok. Sesudah membicarakan masalahnya dengan seorang pelaut yang dikenalnya, Sam memutuskan  menganjurkan ‘Ali untuk ikut berlayar. Perjalanan seperti ini akan menunjukkan kepada ‘Ali berbagai cara hidup lain dan memperlihatkan kepadanya berbagai kesulitan yang belum pernah dialaminya. Yang membuatnya heran, ‘Ali menerima anjurannya itu dan kemudian berbagai persiapan pun dilakukan.
            Sesudah berada dilaut, ‘Ali berbicara tentang filsafat dengan para pelaut. Sang Nahkoda mendengarkan dengan sabar tanpa berkata sepatah kata pun, tetapi akhirnya ia menyela pembicaraan dan mengeluh bahwa ia bosan dengan pembicaraan ini.
            “Apakah engkau tahu dengan filsafat?” tanya ‘Ali.
            “Sama sekali tidak,” jawab sang Nahkoda.
            “Sungguh sayang,” Kata ‘Ali sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, sebab separuh hidupmu terbuang percuma karena tidak punya pengetahuan seperti ini.” Sang Nahkoda pun mendiamkan saja komentar seperti ini dan sibuk mengemudikan kapal.
            Mereka berlayar selama beberapa hari. ‘Ali sangat senang dan terus menerus berbicara. Ia sedemikian asyik menerangkan gagasannya tentang bagaimana pemerintah semestinya membina negeri mereka dan bagaimana pemimpin menangani berbagai persoalan yang berbeda sehingga ia merasa tidak perli lagi belajar tentang pelayaran. Malahan ketika mereka membuang sauh disepanjang sebuah pulau kecil untuk mengubah arah, ‘Ali, yang tidak bisa berenang, tidak mau memanfaatkan air yang tenang  guna meminta sahabat-sahabat pelautnya untuk mengajarinya berenang. Ia juga tidak bertanya tentang kehidupan meeka di laut.
            Malam berikutnya, ketika mereka berada ditengah-tengah lautan, dalam perjalanan pulang, kapten kapal merasa khawatir. Ada tanda-tanda jelas bahwa badai bakal datang. Awak kapal bersiap-siap menghadapi keadaan darurat ini. Hanya ‘Ali saja yang tetap tenang dalam kabinnya. Ia sibuk memikirkan persoalan-persoalan penting dan utama.
            Angin bertiup keras sehingga sang Kapten tidak sanggup mengendalikan kapalnya. Awak kapal, yang panik dan ketakutan, terlempar kesana kemari. Ada banyak air di geladak karena hujan lebatdan gelombang besar sehigga kapal pun perlahan-lahan mulai karam. Sang Nahkoda berseru kepada awak kapal untuk segera bersiap-siap meninggalkan kapal.
            Perahu pelampung satu-satunya pun diturunkan ke air dan segera jelas bahwa perahu itu tak cukup untuk memuat semua orang. Sang Nahkoda dan beberapa awak kapal bersiap-siap terjun kelaut dan berenang. Kemudian sang Nahkoda ingat pada ‘Ali. Ia meminta salah seorang awak kapal untuk mencarinya.
            ‘Ali berpegangan dipintu kabinnya dan berusaha menjaga keseimbangannya. Sang awak kapal pun berseru kepadanya, “Cepatlah, kita harus meninggalkan kapal itu. Tenggelam!” ‘Ali, yang kebingungan, dibantu naik keatas geladak.
            Sang Nahkoda berteriak, “Engkau bisa berenang?”
            “Tidak!” teriak ‘Ali.
            Sang Nahkoda menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sungguh sayang, sebab seluruh hidupmu terbuang sia-sia karena tidak tahu ilmu berenang.”
            Malam itu, sang Nahkoda dan awaknya pun diselamatkan oleh kapal lain sesudah badai reda. ‘Ali sendiri juga selamat berkat bantuan dua awak kapal yang tetap membuatnya terapung di dalam air. Sejak hari itu, ‘Ali tak pernah lagi membangga-banggakan pengetahuannya yang luas tentang filsafat.
            Beberapa tahun setelah kejadian itu, ‘Ali memberikan hadiah kepada sang Nahkoda, yang kini menjadi sahabat karibnya. Hadiah itu berupa lukisan kapal di laut yang sedang dihantam badai. Ada dua bait syair tertulis dibawah lukisan itu:
            Hanya benda-benda kosong yang terapung di permukaan air.
            Kosongkan dirimu dari sifat-sifat kemanusian, dan engkau akan     
            Mengapung dilautan penciptaan.


Jalaluddin Rumi
            Negeri Sufi/ Mojdeh Bayat dan Muhammad Ai Jamnia; Penerjemah M.S. Nasrullah

Nabi Musa dan Gembala



Alkisah, hiduplah seorang gembala berjiwa bebas yang tidak punya uang dan tidak pula menginginkannya. Seluruh miliknya hanyalah hati yang bersih dan tulus, hati yang bergetar karena mencintai Tuhannya. Bersama gembalaannya, sepanjang hari ia menjelajahi padang rumput, dataran, dan tanah lapang, sambil bernyanyi dan berbincang-bincang kepada Tuhan, Kekasihnya:

“Wahai Tuhan, dimanakah Engkau yang kepada-Mu aku abdikan hidupku? Dimanakah Engkau, yang aku hanyalah hamba-Mu? Wahai Tuhan, yang demi diri-Mu aku hidup dan bernafas, yang dengan rahmat-Nya  aku ada, aku akan mengorbankan dombaku untuk memandang dan menatap-Mu...”

Suatu hari, Nabi Musa melewati sebuah padang rumput dalam perjalanannya menuju kota. Ia melihat seorang gembala yang duduk disamping gembalaannya dan menengadahkan wajahnya keatas, sambil menyeru Tuhan,

“Dimanakah Engkau, agar bisa kujahitkan pakaian-Mu, kutambal kaus Kaki-Mu, dan kusiapkan tempat tidur-Mu? Dimanakah Engkau, agar bisa kusemir sepatu-Mu dan kubawakan susu untuk minuman-Mu?”

Nabi Musa menghampiri gembala itu dan bertanya, “Siapa yang engkau ajak berbincang-bincang?”

“Tuhan yang menciptakan kita. Tuhan yang menguasai siang dan malam, langit dan bumi.”

Nabi Musa berang dan marah mendengar jawaban sang gembala itu.

“Berani-beraninya engkau berbicara kepada Tuhan seperti itu! Engkau sudah menghujat-Nya. Sumpal mulutmu jika engkau tidak bisa mengendalikan lidahmu agar agar tak ada seorangpun yang mendengar ucapanmu yang menghina dan meracuni udara ini. Jangan berbicara seperti itu lagi, nanti Tuhan akan mengutuk seluruh manusia karena dosamu!”

Sang gembala, yang bangkit begitu mengetahui kehadiran sang Nabi, berdiri gemetar. Dengan berurai air mata, ia mendengarkan ucapan nabi Musa,

“Apakah Tuhan iitu manusia sehingga Dia memakai sepatu dan kaus kaki? Apakah Ia seorang bocah yang memerlukan susu untuk menbuat-Nya tumbuh besar? Tentu saja tidak! Tuhan amat sempurna dalam diri-Nya sendiri, sama sekali tidak membutuhkan apa pun. Dengan berbicara seperti itu kepada Tuhan, engkau bukan saja merendahkan dirimu sendiri tetapi juga seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Engkau tak lain adalah penentang agama dan musuh Tuhan! Pergi dan mohonlah ampun kepada-Nya, jika engkau masih sadar dan waras!”

Sang gembala yang yang sederhana dan lugu sama sekali tidak mengerti bahwa ucapannya kepada Tuhan sungguh kasar dan kurang ajar. Ia juga tidak paham mengapa san Nabi menyebutnya sebagai musuh. Namun, ia tahu bahwa seorang Nabi utusan Tuhan pastilah lebih tahu ketimbang orang lain. Hampir tak sanggup menahan tangisnya, ia berkata kepada nabi Musa, “Engkau telah membakar jiwaku. Mulai sekarang, aku diam dan tutup mulut!” dengan menarik nafas dalam-dalam, ia pergi meninggalkan  hewan-hewan gembalaannya dan berjalan menuju padang pasir.

Merasa bangga karena telah meluruskan jiwa yang sesat, nabi Musa melanjutkan perjalanannya ke kota. Disaat inilah Tuhan menyapa dan berkata padanya,

“Mengapa engkau mengusik-Ku dan hamba setia-Ku? Mengapa engkau memisahkan pecinta dari sang Kekasih? Aku mengutusmu untuk mempersatukan manusia, dan bukan mencerai-beraikannya.”

Nabi Musa mendengarkan kata-kata Tuhan dengan penuh takzim.

“ Aku tidak menciptakan dunia ini untuk mengambil manfaat darinya. Seluruh ciptaan ini hanyalah untuk kepentingan makhluk. Manusialah yang beroleh manfaat darinya. Ingatlah bahwa, dalam cinta, kata-kata hanya kulit luar dan tidak berarti sama sekali. Aku tidak memperhatikan keindahan kata-kata atau susunan kalimat. Aku hanya memperhatikan keadaan hati. Dengan begitu, Aku mengetahu ketulusan makhluk-makhluk-Ku, sekalipun kata-katanya mungkin tidak bagus. Sebab, mereka yang terbakar oleh Cinta sesungguhnya telah membakar kata-katanya sendiri.”

Tuhan melanjutkan firman-Nya,

“Mereka yang terikat oleh kesopan-santunan sama sekali tidak sama dengan mereka yang terikat oleh Cinta, dan bangsa agama bukanlah bangsa Cinta, sebab sang pencinta tidak mengetahu agama lain kecuali sang Kekasih itu sendiri.”

Begitulah, Tuhan mengajarkan segenap rahasia Cinta kepada nabi Musa. Kini, beliau sadar akan kesalahannya dan menyesali kemarahannya. Beliau bergegas mencari sang gembala itu dan minta maaf kepadanya.

Selama berhari-hari nabi Musa mengarungi padang rumput dan gurun sahara. Beliau bertanya kepada orang-orang apakah mereka pernah melihat sang gembala. Setiap orang yang ditanya menunjukkan arah yang berbeda. Hampir putus asa mencari, akhirnya nabi Musa menemukan sang gembala duduk didekat mata air dengan pakaian compang-camping dan usang. Ia sedang duduk merenung dalam-dalam dan tidak melihat kedatangan nabi Musa yanh sudah lama menunggunya. Akhirnya sang gembala mengangkat kepalanya dan melihat nabi Musa.

“Aku punya pesan penting untukmu,” Kata nabi Musa. Tuhan telah berfirman kepadaku bahwa tidak perlu ada sopan-santun atau tatakrama bagimu untuk berbincang-bincang dengan Tuhan. Engkau bebas berbicara pada-Nya dengan cara yang engkau sukai, dengan kata-kata pilihanmu sendiri. Sebab, apa yang kukira sebagai penghujatan sesungguhnya akidah dan cinta yang menyelamatkan dunia.”

Sang gembala itu menjawab dengan enteng, “Aku telah melewati tahap kata-kata dan kalimat. Hatiku ini dicerlangi oleh kehadiran-Nya. Aku tak bisa menjelaskan keadaanku yang aku alami kepadamu. Aku juga tak bisa menggambarkannya kepada orang lain.” Ia kemudian bangkit dan melanjutkan perjalanannya.

Nabi Musa melihat sosok gembala yang pergi meninggalkannya hingga beliau tidak lagi melihatnya. Kemudian beliau menempuh jalan menuju kota terdekat sambil merasa terkagum-kagum oleh pelajaran yang diterima dari seorang hamba yang sederhana, lugu dan tak berpendidikan.


_Jalaluddin Rumi_
Sumber: Negri sufi/ Mojdeh Bayat dan Muhammad Ali Jamnia : Penerjemah, MS. Nasrullah; Lentera 2003

Abu Bakar bin Abi Syaibah (Wafat 235H)

Namanya sebenarnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al Kufy, seorang hafidh yang terkenal. Ia menerima hadist dari al-Ah...

Total Tayangan

Translate