TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA JANGAN LUPA LIKE, FOLLOW KOMENTAR DAN SHARE

Filosof dan Nahkoda




‘Ali adalah seorang filosof yang beranggapan bahwa ia tahu segala-galanya. Semua orang sepakat bahwa ia memang memiliki pengetahuan luas tentang berbagai sains dan seni. Namun, ia suka menyombongkan diri bahwa ia adalah orang yang paling pandai dikota itu. Sahabat ‘Ali, Sam, terganggu oleh kesombongannya ini dan berusaha keras agar ‘Ali mau melihat dunia sekelilingnya dengan mata terbuka. Akan tetapi, argumen-argumen yang dikemukakannya selalu saja mentok. Sesudah membicarakan masalahnya dengan seorang pelaut yang dikenalnya, Sam memutuskan  menganjurkan ‘Ali untuk ikut berlayar. Perjalanan seperti ini akan menunjukkan kepada ‘Ali berbagai cara hidup lain dan memperlihatkan kepadanya berbagai kesulitan yang belum pernah dialaminya. Yang membuatnya heran, ‘Ali menerima anjurannya itu dan kemudian berbagai persiapan pun dilakukan.
            Sesudah berada dilaut, ‘Ali berbicara tentang filsafat dengan para pelaut. Sang Nahkoda mendengarkan dengan sabar tanpa berkata sepatah kata pun, tetapi akhirnya ia menyela pembicaraan dan mengeluh bahwa ia bosan dengan pembicaraan ini.
            “Apakah engkau tahu dengan filsafat?” tanya ‘Ali.
            “Sama sekali tidak,” jawab sang Nahkoda.
            “Sungguh sayang,” Kata ‘Ali sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, sebab separuh hidupmu terbuang percuma karena tidak punya pengetahuan seperti ini.” Sang Nahkoda pun mendiamkan saja komentar seperti ini dan sibuk mengemudikan kapal.
            Mereka berlayar selama beberapa hari. ‘Ali sangat senang dan terus menerus berbicara. Ia sedemikian asyik menerangkan gagasannya tentang bagaimana pemerintah semestinya membina negeri mereka dan bagaimana pemimpin menangani berbagai persoalan yang berbeda sehingga ia merasa tidak perli lagi belajar tentang pelayaran. Malahan ketika mereka membuang sauh disepanjang sebuah pulau kecil untuk mengubah arah, ‘Ali, yang tidak bisa berenang, tidak mau memanfaatkan air yang tenang  guna meminta sahabat-sahabat pelautnya untuk mengajarinya berenang. Ia juga tidak bertanya tentang kehidupan meeka di laut.
            Malam berikutnya, ketika mereka berada ditengah-tengah lautan, dalam perjalanan pulang, kapten kapal merasa khawatir. Ada tanda-tanda jelas bahwa badai bakal datang. Awak kapal bersiap-siap menghadapi keadaan darurat ini. Hanya ‘Ali saja yang tetap tenang dalam kabinnya. Ia sibuk memikirkan persoalan-persoalan penting dan utama.
            Angin bertiup keras sehingga sang Kapten tidak sanggup mengendalikan kapalnya. Awak kapal, yang panik dan ketakutan, terlempar kesana kemari. Ada banyak air di geladak karena hujan lebatdan gelombang besar sehigga kapal pun perlahan-lahan mulai karam. Sang Nahkoda berseru kepada awak kapal untuk segera bersiap-siap meninggalkan kapal.
            Perahu pelampung satu-satunya pun diturunkan ke air dan segera jelas bahwa perahu itu tak cukup untuk memuat semua orang. Sang Nahkoda dan beberapa awak kapal bersiap-siap terjun kelaut dan berenang. Kemudian sang Nahkoda ingat pada ‘Ali. Ia meminta salah seorang awak kapal untuk mencarinya.
            ‘Ali berpegangan dipintu kabinnya dan berusaha menjaga keseimbangannya. Sang awak kapal pun berseru kepadanya, “Cepatlah, kita harus meninggalkan kapal itu. Tenggelam!” ‘Ali, yang kebingungan, dibantu naik keatas geladak.
            Sang Nahkoda berteriak, “Engkau bisa berenang?”
            “Tidak!” teriak ‘Ali.
            Sang Nahkoda menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sungguh sayang, sebab seluruh hidupmu terbuang sia-sia karena tidak tahu ilmu berenang.”
            Malam itu, sang Nahkoda dan awaknya pun diselamatkan oleh kapal lain sesudah badai reda. ‘Ali sendiri juga selamat berkat bantuan dua awak kapal yang tetap membuatnya terapung di dalam air. Sejak hari itu, ‘Ali tak pernah lagi membangga-banggakan pengetahuannya yang luas tentang filsafat.
            Beberapa tahun setelah kejadian itu, ‘Ali memberikan hadiah kepada sang Nahkoda, yang kini menjadi sahabat karibnya. Hadiah itu berupa lukisan kapal di laut yang sedang dihantam badai. Ada dua bait syair tertulis dibawah lukisan itu:
            Hanya benda-benda kosong yang terapung di permukaan air.
            Kosongkan dirimu dari sifat-sifat kemanusian, dan engkau akan     
            Mengapung dilautan penciptaan.


Jalaluddin Rumi
            Negeri Sufi/ Mojdeh Bayat dan Muhammad Ai Jamnia; Penerjemah M.S. Nasrullah

No comments:

Post a Comment

Abu Bakar bin Abi Syaibah (Wafat 235H)

Namanya sebenarnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al Kufy, seorang hafidh yang terkenal. Ia menerima hadist dari al-Ah...

Total Tayangan

Translate