TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA JANGAN LUPA LIKE, FOLLOW KOMENTAR DAN SHARE

Syair Burung Unggas - Hamzah Al-Fansuri



Unggas itu yang amat burhana,
Daimnya nantiasa di dalam astana,
Tempatnya bermain di Bukit Tursina,
Majnun dan Laila adalah disana.

Unggas itu bukannya nuri,
Berbunyi ia syahdu kala hari,
Bermain tamasya pada segala negeri,
Demikianlah murad insan sirri.

Unggas itu bukannya balam,
Nantiasa berbunyi siang dan malam,
Tempatnya bermain pada segala alam,
Disanalah tamasya melihat ragam.

Unggas tahu berkata-kata,
Sarangnya di padang rata,
Tempat bermain pada segala anggota,
Ada yang bersalahan ada yang sekata.

Unggas itu terlalu indah,
Olehnya banyak ragam dan ulah,
Tempatnya bermain di dalam Ka’bah,
Pada Bukit Arafat kesudahan musyahadah.

Unggas itu bukannya meuraka,
Nantiasa bermain di dalam surga,
Kenyataan mukjizat tidur dan jaga,
Itulah wujud meliputi rangka.

Unggas itu terlalu pingai,
Nantiasa main dalam mahligai,
Rupanya elok sempurna bisai,
Menyamarkan diri pada sekalian sagai.

Unggas itu bukannya gagak,
Bunyinya terlalu sangat galak,
Tempatnya tamasya pada sekalian awak,
Itulah wujud menyatakan kehendak.

Unggas itu bukannya bayan,
Nantiasa berbunyi pada sekalian aiyan,
Tempatnya tamasya pada sekalian kawan,
Itulah wujud menyatakan kelakuan.

Unggas itu bukannya burung,
Nantiasa berbunyi di dalam tanglung,
Tempat tamasya pada sekalian lurung,
Itulah wujud menyatakan Tulung.

Unggas itu bukannya Baghdadi,
Nantiasa berbunyi di dalam jawadi,
Tempatnya tamasya pada sekalian fuadi,
Itulah wujud menyatakan ahli.

Unggas itu yang wiruh angkasamu,
Nantiasa asyik tiada kala jemu,
Menjadi dagang lagi ia jamu,
Ialah wujud menyatakan ilmu.

Thairul aryani unggas sulthani,
Bangsanya nurur-Rahmani,
Tasbihatal’lah subhani,
Gila dan mabuk akan Rabbani.

Unggas itu terlalu pingai,
Warnanya terlalu terlalu bisai,
Rumahnya tiada berbidai,
Dudujnya daim di balik tirai.

Putihnya terlalu suci,
Daulahnya itu bernama ruhi,
Milatnya terlalu sufi,
Mushafnya bersurat kufi.

Arasy Allah akan pangkalnya,
Janibul’lah akan tolannya,
Baitul’lah akan sangkarnya,
Menghadap Tuhan dengan sopannya.

Sufinya bukannya kain,
Fi Mekkah daim bermain,
Ilmunya lahir dan batin,
Menyembah Allah terlalu rajin.

Kitab Allah dipersandangkannya,
Ghaibul’lah akan pandangnya,
Alam Lahut akan kandangnya,
Pada ghairah Huwa tempat pandangnya.

Zikrul’lah kiri kanannya,
Fikrul’lah rupa bunyinya,
Syurbah tauhid akan minumnya,
Dalam bertemu dengan Tuhannya.

__________
Sumber: Wikisource

Sidang Fakir Empunya Kata - Hamzah Al-Fansuri




Sidang fakir empunya kata

Tuhanmu zhâhir terlalu nyata
Jika sungguh engkau bermata
Lihatlah dirimu rata-rata

Kenal dirimu hai anak jamu

Jangan kau lupa akan diri kamu
Ilmu hakikat yogya kau ramu
Supaya terkenal akan dirimu


Jika kau kenal dirimu bapai

Elokmu itu tiada berbagai
Hamba dan Tuhan dâ‘im berdamai
Memandang dirimu jangan kau lalai


Kenal dirimu hai anak dagang

Menafikan dirimu jangan kau sayang
Suluh itsbât yogya kau pasang
Maka sampai engkau anak hulu balang


Kenal dirimu hai anak ratu

Ombak dan air asalnya satu
Seperti manikam much îth dan batu
Inilah tamtsil engkau dan ratu


Jika kau dengar dalam firman

Pada kitab Taurat, Injil, Zabur, dan Furqân
Wa Huwa ma‘akum fayak ûnu pada ayat Qur‘an
Wa huwa bi kulli syai‘in muchîth terlalu ‘iyân


Syariat Muhammad ambil akan suluh

Ilmu hakikat yogya kau pertubuh
Nafsumu itu yogya kau bunuh
Maka dapat dua sama luruh


Mencari dunia berkawan-kawan

Oleh nafsu khabî ts badan tertawan
Nafsumu itu yogya kau lawan
Maka sampai engkau bangsawan


Machbûbmu itu tiada berch â‘il

Pada ainamâ tuwallû jangan kau ghâfil
Fa tsamma wajhul-L âhisempurna wâ shil
Inilah jalan orang yang kâmil


Kekasihmu zhâhir terlalu terang

Pada kedua alam nyata terbentang
Pada ahlul-ma‘rifah terlalu menang
Wâ shil nya dâ‘im tiada berselang


Hapuskan akal dan rasamu

Lenyapkan badan dan nyawamu
Pejamkan hendak kedua matamu
di sana kau lihat permai rupamu


Rupamu itu yogya kau serang

Supaya sampai ke negeri yang henang
Seperti Ali tatkala berperang
Melepaskan Duldul tiada berkekang


Hamzah miskin orang ‘uryâ ni

Seperti Ismail menjadi qurbâni
Bukannya ‘Ajam lagi ‘Arab î

Senantiasa wâshil dengan Yang Bâ qî

Hanya Engkau - Rumi




Dari seluruh semesta,
hanya Engkau saja yang kupilih,
Apakah Engkau akan membiarkanku
duduk bersedih?

Hatiku bagaikan pena,
dalam genggaman tanganmu.
Engkaulah sebab gembiraku,
atau sedihku.

Kecuali yang Engkau kehendaki,
apakah yang kumiliki?

Kecuali yang Engkau perlihatkan,
apakah yang kulihat?

Engkaulah yang menumbuhkanku:
ketika aku sebatang duri,
ketika aku sekuntum mawar;
ketika aku seharum mawar,
ketika duri-duriku dicabut.

Jika Engkau tetapkan aku demikian,
maka demikianlah aku.
Jika Engkau kehendaki aku seperti ini,
maka seperti inilah aku.

Di dalam wahana tempat Engkau mewarnai jiwaku,
siapakah aku?
apakah yang kusukai?
apakah yang kubenci?

Engkaulah yang Awal, dan kiranya, Engkau
akan menjadi yang Akhir;
jadikanlah akhirku lebih baik,
daripada awalku.

Ketika Engkau tersembunyi,
aku seorang yang kufur;
Ketika Engkau tampak,
aku seorang yang beriman.

Tak ada sesuatupun yang kumiliki,
kecuali yang Engkau anugerahkan;
Apakah yang Engkau cari,
dari hati dan wadahku?

__________
(Rumi: Divan Syamsi Tabriz no 30, terjemahan Nicholson)

Kepalamu Adalah Tanggamu - Rumi


Hari ini kulihat Sang Tercinta, seri semarak segala perkara itu; Ia lepas menuju ke langit bagai ruh Mustafa. 1)

Karena wajah-Nya, matahari menjadi malu, daerah langit terharu-biru sekacau kalbu; lantaran cerlangnya, air dan tanah lempung lebih bercahaya dari api menyala.

Aku berkata, “Berikan padaku tangga, agar aku dapat naik ke langit pula.” Jawab-Nya, “kepalamu ialah tangga; purukkan kepalamu lebih rendah dari kakimu.” 2)

Bila kautempatkan kakimu lebih tinggi dari kepalamu, maka kakimu akan berada di atas kepala bintang-bintang; bila kau menyibak angkasa, injakkan kakimu di angkasa, nah, mulailah!

Seratus jalan ke angkasa—langit pun menjadi jelas bagimu; membubunglah kau di setiap samar fajar ke langit raya, bagai sebuah doa. 3)

: : : : : : : :

K e t e r a n g a n :

1) Rujukan pada Mi’raj Nabi Muhammad. Mustafa adalah panggilan untuk Beliau.
2) Sujud
3) Q.S. Adz-Dzâriyât [51] : 18), “Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).”

* Terjemahan oleh Hartojo Andangdjaja, dari Rumi, Jalaluddin; Kasidah Cinta, 1982: Budaya Jaya.

Filosof dan Nahkoda




‘Ali adalah seorang filosof yang beranggapan bahwa ia tahu segala-galanya. Semua orang sepakat bahwa ia memang memiliki pengetahuan luas tentang berbagai sains dan seni. Namun, ia suka menyombongkan diri bahwa ia adalah orang yang paling pandai dikota itu. Sahabat ‘Ali, Sam, terganggu oleh kesombongannya ini dan berusaha keras agar ‘Ali mau melihat dunia sekelilingnya dengan mata terbuka. Akan tetapi, argumen-argumen yang dikemukakannya selalu saja mentok. Sesudah membicarakan masalahnya dengan seorang pelaut yang dikenalnya, Sam memutuskan  menganjurkan ‘Ali untuk ikut berlayar. Perjalanan seperti ini akan menunjukkan kepada ‘Ali berbagai cara hidup lain dan memperlihatkan kepadanya berbagai kesulitan yang belum pernah dialaminya. Yang membuatnya heran, ‘Ali menerima anjurannya itu dan kemudian berbagai persiapan pun dilakukan.
            Sesudah berada dilaut, ‘Ali berbicara tentang filsafat dengan para pelaut. Sang Nahkoda mendengarkan dengan sabar tanpa berkata sepatah kata pun, tetapi akhirnya ia menyela pembicaraan dan mengeluh bahwa ia bosan dengan pembicaraan ini.
            “Apakah engkau tahu dengan filsafat?” tanya ‘Ali.
            “Sama sekali tidak,” jawab sang Nahkoda.
            “Sungguh sayang,” Kata ‘Ali sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, sebab separuh hidupmu terbuang percuma karena tidak punya pengetahuan seperti ini.” Sang Nahkoda pun mendiamkan saja komentar seperti ini dan sibuk mengemudikan kapal.
            Mereka berlayar selama beberapa hari. ‘Ali sangat senang dan terus menerus berbicara. Ia sedemikian asyik menerangkan gagasannya tentang bagaimana pemerintah semestinya membina negeri mereka dan bagaimana pemimpin menangani berbagai persoalan yang berbeda sehingga ia merasa tidak perli lagi belajar tentang pelayaran. Malahan ketika mereka membuang sauh disepanjang sebuah pulau kecil untuk mengubah arah, ‘Ali, yang tidak bisa berenang, tidak mau memanfaatkan air yang tenang  guna meminta sahabat-sahabat pelautnya untuk mengajarinya berenang. Ia juga tidak bertanya tentang kehidupan meeka di laut.
            Malam berikutnya, ketika mereka berada ditengah-tengah lautan, dalam perjalanan pulang, kapten kapal merasa khawatir. Ada tanda-tanda jelas bahwa badai bakal datang. Awak kapal bersiap-siap menghadapi keadaan darurat ini. Hanya ‘Ali saja yang tetap tenang dalam kabinnya. Ia sibuk memikirkan persoalan-persoalan penting dan utama.
            Angin bertiup keras sehingga sang Kapten tidak sanggup mengendalikan kapalnya. Awak kapal, yang panik dan ketakutan, terlempar kesana kemari. Ada banyak air di geladak karena hujan lebatdan gelombang besar sehigga kapal pun perlahan-lahan mulai karam. Sang Nahkoda berseru kepada awak kapal untuk segera bersiap-siap meninggalkan kapal.
            Perahu pelampung satu-satunya pun diturunkan ke air dan segera jelas bahwa perahu itu tak cukup untuk memuat semua orang. Sang Nahkoda dan beberapa awak kapal bersiap-siap terjun kelaut dan berenang. Kemudian sang Nahkoda ingat pada ‘Ali. Ia meminta salah seorang awak kapal untuk mencarinya.
            ‘Ali berpegangan dipintu kabinnya dan berusaha menjaga keseimbangannya. Sang awak kapal pun berseru kepadanya, “Cepatlah, kita harus meninggalkan kapal itu. Tenggelam!” ‘Ali, yang kebingungan, dibantu naik keatas geladak.
            Sang Nahkoda berteriak, “Engkau bisa berenang?”
            “Tidak!” teriak ‘Ali.
            Sang Nahkoda menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sungguh sayang, sebab seluruh hidupmu terbuang sia-sia karena tidak tahu ilmu berenang.”
            Malam itu, sang Nahkoda dan awaknya pun diselamatkan oleh kapal lain sesudah badai reda. ‘Ali sendiri juga selamat berkat bantuan dua awak kapal yang tetap membuatnya terapung di dalam air. Sejak hari itu, ‘Ali tak pernah lagi membangga-banggakan pengetahuannya yang luas tentang filsafat.
            Beberapa tahun setelah kejadian itu, ‘Ali memberikan hadiah kepada sang Nahkoda, yang kini menjadi sahabat karibnya. Hadiah itu berupa lukisan kapal di laut yang sedang dihantam badai. Ada dua bait syair tertulis dibawah lukisan itu:
            Hanya benda-benda kosong yang terapung di permukaan air.
            Kosongkan dirimu dari sifat-sifat kemanusian, dan engkau akan     
            Mengapung dilautan penciptaan.


Jalaluddin Rumi
            Negeri Sufi/ Mojdeh Bayat dan Muhammad Ai Jamnia; Penerjemah M.S. Nasrullah

Nabi Musa dan Gembala



Alkisah, hiduplah seorang gembala berjiwa bebas yang tidak punya uang dan tidak pula menginginkannya. Seluruh miliknya hanyalah hati yang bersih dan tulus, hati yang bergetar karena mencintai Tuhannya. Bersama gembalaannya, sepanjang hari ia menjelajahi padang rumput, dataran, dan tanah lapang, sambil bernyanyi dan berbincang-bincang kepada Tuhan, Kekasihnya:

“Wahai Tuhan, dimanakah Engkau yang kepada-Mu aku abdikan hidupku? Dimanakah Engkau, yang aku hanyalah hamba-Mu? Wahai Tuhan, yang demi diri-Mu aku hidup dan bernafas, yang dengan rahmat-Nya  aku ada, aku akan mengorbankan dombaku untuk memandang dan menatap-Mu...”

Suatu hari, Nabi Musa melewati sebuah padang rumput dalam perjalanannya menuju kota. Ia melihat seorang gembala yang duduk disamping gembalaannya dan menengadahkan wajahnya keatas, sambil menyeru Tuhan,

“Dimanakah Engkau, agar bisa kujahitkan pakaian-Mu, kutambal kaus Kaki-Mu, dan kusiapkan tempat tidur-Mu? Dimanakah Engkau, agar bisa kusemir sepatu-Mu dan kubawakan susu untuk minuman-Mu?”

Nabi Musa menghampiri gembala itu dan bertanya, “Siapa yang engkau ajak berbincang-bincang?”

“Tuhan yang menciptakan kita. Tuhan yang menguasai siang dan malam, langit dan bumi.”

Nabi Musa berang dan marah mendengar jawaban sang gembala itu.

“Berani-beraninya engkau berbicara kepada Tuhan seperti itu! Engkau sudah menghujat-Nya. Sumpal mulutmu jika engkau tidak bisa mengendalikan lidahmu agar agar tak ada seorangpun yang mendengar ucapanmu yang menghina dan meracuni udara ini. Jangan berbicara seperti itu lagi, nanti Tuhan akan mengutuk seluruh manusia karena dosamu!”

Sang gembala, yang bangkit begitu mengetahui kehadiran sang Nabi, berdiri gemetar. Dengan berurai air mata, ia mendengarkan ucapan nabi Musa,

“Apakah Tuhan iitu manusia sehingga Dia memakai sepatu dan kaus kaki? Apakah Ia seorang bocah yang memerlukan susu untuk menbuat-Nya tumbuh besar? Tentu saja tidak! Tuhan amat sempurna dalam diri-Nya sendiri, sama sekali tidak membutuhkan apa pun. Dengan berbicara seperti itu kepada Tuhan, engkau bukan saja merendahkan dirimu sendiri tetapi juga seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Engkau tak lain adalah penentang agama dan musuh Tuhan! Pergi dan mohonlah ampun kepada-Nya, jika engkau masih sadar dan waras!”

Sang gembala yang yang sederhana dan lugu sama sekali tidak mengerti bahwa ucapannya kepada Tuhan sungguh kasar dan kurang ajar. Ia juga tidak paham mengapa san Nabi menyebutnya sebagai musuh. Namun, ia tahu bahwa seorang Nabi utusan Tuhan pastilah lebih tahu ketimbang orang lain. Hampir tak sanggup menahan tangisnya, ia berkata kepada nabi Musa, “Engkau telah membakar jiwaku. Mulai sekarang, aku diam dan tutup mulut!” dengan menarik nafas dalam-dalam, ia pergi meninggalkan  hewan-hewan gembalaannya dan berjalan menuju padang pasir.

Merasa bangga karena telah meluruskan jiwa yang sesat, nabi Musa melanjutkan perjalanannya ke kota. Disaat inilah Tuhan menyapa dan berkata padanya,

“Mengapa engkau mengusik-Ku dan hamba setia-Ku? Mengapa engkau memisahkan pecinta dari sang Kekasih? Aku mengutusmu untuk mempersatukan manusia, dan bukan mencerai-beraikannya.”

Nabi Musa mendengarkan kata-kata Tuhan dengan penuh takzim.

“ Aku tidak menciptakan dunia ini untuk mengambil manfaat darinya. Seluruh ciptaan ini hanyalah untuk kepentingan makhluk. Manusialah yang beroleh manfaat darinya. Ingatlah bahwa, dalam cinta, kata-kata hanya kulit luar dan tidak berarti sama sekali. Aku tidak memperhatikan keindahan kata-kata atau susunan kalimat. Aku hanya memperhatikan keadaan hati. Dengan begitu, Aku mengetahu ketulusan makhluk-makhluk-Ku, sekalipun kata-katanya mungkin tidak bagus. Sebab, mereka yang terbakar oleh Cinta sesungguhnya telah membakar kata-katanya sendiri.”

Tuhan melanjutkan firman-Nya,

“Mereka yang terikat oleh kesopan-santunan sama sekali tidak sama dengan mereka yang terikat oleh Cinta, dan bangsa agama bukanlah bangsa Cinta, sebab sang pencinta tidak mengetahu agama lain kecuali sang Kekasih itu sendiri.”

Begitulah, Tuhan mengajarkan segenap rahasia Cinta kepada nabi Musa. Kini, beliau sadar akan kesalahannya dan menyesali kemarahannya. Beliau bergegas mencari sang gembala itu dan minta maaf kepadanya.

Selama berhari-hari nabi Musa mengarungi padang rumput dan gurun sahara. Beliau bertanya kepada orang-orang apakah mereka pernah melihat sang gembala. Setiap orang yang ditanya menunjukkan arah yang berbeda. Hampir putus asa mencari, akhirnya nabi Musa menemukan sang gembala duduk didekat mata air dengan pakaian compang-camping dan usang. Ia sedang duduk merenung dalam-dalam dan tidak melihat kedatangan nabi Musa yanh sudah lama menunggunya. Akhirnya sang gembala mengangkat kepalanya dan melihat nabi Musa.

“Aku punya pesan penting untukmu,” Kata nabi Musa. Tuhan telah berfirman kepadaku bahwa tidak perlu ada sopan-santun atau tatakrama bagimu untuk berbincang-bincang dengan Tuhan. Engkau bebas berbicara pada-Nya dengan cara yang engkau sukai, dengan kata-kata pilihanmu sendiri. Sebab, apa yang kukira sebagai penghujatan sesungguhnya akidah dan cinta yang menyelamatkan dunia.”

Sang gembala itu menjawab dengan enteng, “Aku telah melewati tahap kata-kata dan kalimat. Hatiku ini dicerlangi oleh kehadiran-Nya. Aku tak bisa menjelaskan keadaanku yang aku alami kepadamu. Aku juga tak bisa menggambarkannya kepada orang lain.” Ia kemudian bangkit dan melanjutkan perjalanannya.

Nabi Musa melihat sosok gembala yang pergi meninggalkannya hingga beliau tidak lagi melihatnya. Kemudian beliau menempuh jalan menuju kota terdekat sambil merasa terkagum-kagum oleh pelajaran yang diterima dari seorang hamba yang sederhana, lugu dan tak berpendidikan.


_Jalaluddin Rumi_
Sumber: Negri sufi/ Mojdeh Bayat dan Muhammad Ali Jamnia : Penerjemah, MS. Nasrullah; Lentera 2003

Mursyid, Salik, dan Thariqah.




Sebiji buncis meronta dan terus melompat
hingga hampir melampaui bibir kuali
di mana ia tengah direbus di atas api.
“Kenapa kau lakukan ini padaku?”

Dengan sendok kayunya,
Sang Juru Masak mementungnya jatuh kembali.

“Jangan coba-coba melompat keluar.
Kau kira aku sedang menyiksamu?
Aku memberimu cita rasa!
Sehingga kau layak bersanding dengan rempah dan nasi
untuk menjadi gelora kehidupan dalam diri seseorang.

Ingatlah saat-saat kau nikmati regukan air hujan di kebun.
Saat itu ada untuk saat ini!”

Pertama, keindahan. Lalu kenikmatan,
kemudian kehidupan baru yang mendidih akan muncul.
Setelah itu, Sang Sahabat akan punya sesuatu yang enak untuk dimakan.

Pada saatnya, buncis akan berkata pada Sang Juru Masak,
“Rebuslah aku lagi. Hajar aku dengan sendok adukan,
karena aku tak bisa melakukannya sendirian.

Aku seperti gajah yang melamun menerawang
tentang taman di Hindustan yang dulu kutinggalkan,
dan tidak memperhatikan pawang pengendali arah jalan.
Engkaulah pemasakku, pawangku, jalanku menuju cita rasa kesejatian.
Aku suka caramu membuat masakan.”

“Dulu aku pun seperti engkau,
masih hijau dari atas tanah. Lalu aku direbus matang dalam waktu,
direbus matang dalam jasad. Dua rebusan yang dahsyat.

Jiwa binatang dalam diriku tumbuh kuat.
Kukendalikan dia dengan latihan,
lalu aku direbus lagi, dan direbus lagi.
Pada satu titik aku melampaui itu semua,
dan menjadi gurumu.1”

Seorang Mursyid yang sejati, yang menerima perintah khusus dari Allah untuk menjadi guru bagi para pejalan sufi, bisa tampil dengan berbagai macam wajah. Ada kalanya ia tampak lembut dan sabar, begitu mudah dipahami. Ada kalanya pula ia tampil dengan galak dan keras, begitu membingungkan dan sulit dipahami.

Seorang mursyid akan mendidik murid-muridnya untuk belajar mengendalikan seluruh bala tentara hawa nafsu dan syahwatnya, untuk mengenal segala macam aspek yang ada dalam diri masing-masing, dan untuk memunculkan potensi dirinya yang sesungguhnya. Potensi yang diletakkan Allah dalam qalb masing-masing manusia ketika ia dijadikan.

Dalam tahap pembersihan diri ini, hampir semua murid biasanya meronta. Tentu saja, karena hawa nafsu dalam diri kita pasti meronta jika dipisahkan dari hal-hal yang disukainya. Tapi demi memunculkan diri muridnya yang asli, maka mau tak mau, Sang Mursyid harus melakukannya. Sang Mursyid harus memaksa murid-muridnya untuk belajar mengendalikan seluruh bala tentara hawa nafsu dan syahwat (Rumi menyebutnya sebagai ‘jiwa binatang’) dalam diri masing-masing.
Inilah yang dimaksud Rumi dalam puisinya di atas, bahwa sebenarnya tugas seorang mursyid adalah ‘merebus’ murid-muridnya di atas api, demi memunculkan cita rasanya yang asli dalam diri masing-masing. Pada awalnya, biasanya buncis akan meronta dan bisa jadi, ingin lari. Pada tahap ini, mau tak mau, mursyid kadang perlu ‘mementungnya’ supaya kembali tenggelam dalam rebusan air mendidih. Tapi sekali si murid sudah merasakan manfaat bimbingan Sang Mursyid dalam perkembangan jiwanya, maka ia akan terus-menerus meminta untuk ‘direbus’ kembali.
Apakah ini berarti bahwa seorang murid harus memposisikan dirinya di hadapan gurunya seperti mayat yang dibolak-balik oleh pemandinya?
Nah, ini juga pemahaman yang perlu dikoreksi. Ada beberapa hal yang biasanya diajukan kepada para pejalan sufi yang ber-thariqat maupun yang memiliki mursyid, yang belakangan ini sering mengemuka. Berikut dua contoh representatif ketidaktepatan penilaian yang digeneralisir tersebut.

Pertama, “Saya bukan pengikut tasawuf formal. Saya tidak pernah bersumpah setia di bawah telapak tangan seorang guru spiritual untuk hanya menaati dia seorang, karena saya tidak menyukainya. Saya pikir, tidak ada pemikiran dan kesadaran sehat yang bisa terbangun jika seseorang telah memutuskan untuk berhenti bertanya, dan bersikap kritis.” 2

Kedua, “…Sekurang-kurangnya ada tiga hal penting yang sering dipersoalkan orang mengenai tarekat ini. Pertama, soal otoritas guru yang mutlak tertutup dan cenderung bisa diwariskan. Kedua, soal bai’at yang menuntut kepatuhan mutlak seorang murid kepada sang guru, seperti mayat di depan pemandinya; dan ketiga, soal keabsahan (validitas) garis silsilah guru yang diklaim setiap tarekat sampai kepada Nabi Muhammad Saw…Salah satu ciri utama tasawuf positif adalah rasionalitas. Karena itu, tasawuf positif harus menolak segala bentuk kepatuhan buta kepada seorang manusia—yang bertentangan dengan semangat Islam.” 3
Sekilas, kedua penilaian ‘kritis’ atas mursyid dan thariqah tersebut terkesan memperjuangkan keotonoman individu beserta rasionalitasnya, namun sayangnya terlalu terburu-buru melakukan generalisasi. Terlebih, kedua penilaian ‘kritis’ tersebut lebih merefleksikan prasangka semata ketimbang pembuktian melalui pengalaman menggeluti thariqah.
Posisi seperti itu tak ubahnya seperti komentator sepakbola dengan pemain sepakbola. Seorang komentator sepakbola sangat mahir dalam menganalisis kesalahan pemain, strategi yang sedang dimainkan, kegemilangan permainan, dan lain sebagainya. Namun yang lebih mengetahui dan merasakan realitasnya, bersusah-payah, pontang-panting, senantiasa waspada terhadap setiap serangan lawan, hingga akhirnya menjadi pemilik sejati pengetahuannya adalah si pemain sepakbola itu sendiri.
Sahabat Ali bin Abi Thalib r.a pernah berkata,

“Bila kau merasa cemas dan gelisah akan sesuatu, masuklah ke dalamnya, sebab ketakutan menghadapinya lebih mengganggu daripada sesuatu yang kautakuti itu sendiri.” 4
Namun, di sisi lain, bisa dimaklumi juga bahwa generalisasi bermasalah—karena ketakutan memasuki dunia thariqah secara langsung—seperti terlihat pada kedua penilaian ‘kritis’ di atas, dilandaskan pada perkembangan mutakhir berbagai thariqahklasik. Maka lahirlah penilaian yang digeneralisasi sebagai karakter sejati seluruh tarekat, sehingga luput mengamati prinsip terdasar kemursyidan dan kethariqahan.
Deviasi adalah hal yang lazim terjadi dalam perjalanan sejarah kemanusiaan. Bahkan berbagai kitab suci pun sering mengemukakan bagaimana di setiap masa senantiasa terjadi deviasi ajaran agama sepeninggal sang pembawa risalah atau nubuwahnya. Ini tak ubahnya air yang semakin keruh ketika menjauhi sumber mata airnya, sehingga praktis di hilir hanya akan ditemui air kotor yang sudah tercampur sampah.
Begitu pula halnya dengan thariqah. Ketika sang pendiri atau mursyid sejatinya meninggal, maka hanya kehendak dan izin Allah Ta‘ala semata yang bisa menjamin kemurnian dan keberlanjutan thariqah tersebut, yaitu, dengan menghadirkan mursyid sejati pengganti. Apabila Allah Ta‘ala tidak menghadirkan mursyid sejati pengganti, berarti thariqah tersebut sudah berakhir. Kemursyidan itu adalah misi hidup, dan hanya boleh dipegang oleh mereka yang telah mencapai ma‘rifat dan misi hidupnya adalah mursyid. Tidak semua orang yang telah ma‘rifat boleh serta merta menjadi mursyid. Wali Quthb (pemimpin para wali di suatu zaman) seperti Ibn ‘Arabi pun tidak menjadi mursyid thariqah.
Oleh karena itu, sebagaimana puisi Rumi tadi, seseorang tidak bisa mengangkat dirinya sendiri menjadi seorang guru spiritual sebelum ia sendiri sudah pernah, dan berhasil, melalui semua ’rebusan’, dan kemudian memperoleh pengetahuan dari Allah ta’ala bahwa misi hidupnya memang sebagai seorang mursyid.
Kemursyidan adalah sebuah tugas langsung dari Allah ta’ala (misi hidup). Oleh karena itu, jabatan kemursyidan pun tidak dapat diwariskan, sekalipun dengan landasan senioritas, keluasan pengetahuan, atau bahkan garis keturunan. Lantas, bagaimana dengan para salik yang tersisa apabila Allah Ta‘ala tidak lagi menghadirkan mursyid sejati pengganti di sebuah thariqah? Tetaplah berpegang teguh pada dua hal paling berharga yang ditinggalkan Rasulullah Muhammad Saw, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Jangan mengada-adakan mekanisme regenerasi mursyid hanya karena ikatan emosional pada thariqah sebagai lembaga, sehingga akhirnya menyerahkan ‘amr (urusan) kepada orang yang bukan ahlinya.
Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra, katanya dia mendengar Rasulullah saw bersabda:

 “Allah tidak menarik kembali ilmu dengan jalan mencabutnya dari qalb manusia, tetapi dengan jalan mematikan ulama. Apabila ulama telah punah, maka masyarakat akan mengangkat orang-orang bodoh menjadi pemimpin yang akan dijadikan tempat bertanya. Orang-orang bodoh ini akan berfatwa tanpa ilmu; mereka itu sesat dan menyesatkan.” (Al-Hadits)
Mursyid sejati adalah pembimbing spiritual para salik thariqah untuk memurnikan dan menyucikan diri, sebagaimana Rasulullah Saw pun adalah mursyid bagi para sahabat utama yang terpanggil untuk menempuh suluk. Mursyid sejati bertugas membantu saliknya mengenal al-haqq secara bertahap sesuai perkembangan nafs-nya, serta mengembalikannya ke penyembahan yang murni kepada Allah Ta‘ala.
Namun, para salik pun akan dihadapkan pada dilema akan ketidakpercayaan kepada mursyid yang akan menjadi racun dan penyebab kegagalannya dalam bersuluk, tetapi dia pun tidak boleh taklid buta kepada mursyidnya. Kepercayaan tidak bisa dipaksakan. Kepercayaan harus muncul secara alami melalui proses yang alami pula, yang muncul sendirinya dari qalb, sehingga mutlak diperlukan penguatan dengan ‘ilm.
Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalahmuhtadun*. (QS Yâsîn [36]: 21)
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ‘ilmtentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan fu‘adsemuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS Al-Isrâ’ [17]: 36)
Muhtaduun: orang yang telah menerima petunjuk Allah atas segala aspek kehidupannya, dan semua tindakannya semata-mata hanya berdasarkan petunjuk Allah ta’ala kepada dirinya.
Dalam kedua penilaian ‘kritis’ terhadap thariqah dan mursyid di atas, hubungan antara mursyid dengan saliknya dipermasalahkan secara terlampau disederhanakan, karena dianggap menuntut ketaatan seperti mayat dengan pemandinya. Sikap seperti sangat potensial untuk menghambat terbentuknya individu modern otonom. Padahal, hakikatnya tidak pernah ada manusia yang otonom. Manusia hanya terbagi menjadi dua golongan, yaitu, mereka yang diperbudak oleh Allah Ta‘ala atau diperbudak oleh selain Allah Ta‘ala (syahwat dan hawa nafsu).
Benarkah dalam thariqah berlangsung ketaklidan buta tak bersyarat dari seorang salik kepada mursyidnya? Kepatuhan seperti jenazah di hadapan pemandinya? Permasalahannya, bagaimana seorang salik bisa taklid kepada sang Mursyid, sementara perkataan sang Mursyid sendiri ternyata seringkali salah ditafsirkan?
Sebagai contoh, dalam sebuah thariqah, ketika seorang mursyid memerintahkan seorang salik untuk bersiaga menghadapi sebuah serangan sebentar lagi, si salik menafsirkan bahwa ia tengah diajari untuk bersiaga terhadap “serangan” lahiriah seperti perkelahian, sementara sang Mursyid sebenarnya tengah mengajari kesiagaan batiniah terhadap “serangan” masalah kehidupan.
Bagaimana dengan berbagai pertanyaan dalam kepala kita yang muncul dan berlalu-lalang? Setiap pertanyaan yang muncul di benak manusia itu pasti ada hak jawabannya. Itu tak ubahnya seseorang yang tengah menunggu di ruang tamu. Kemudian dari arah dapur tercium olehnya bau masakan. Bersabarlah, karena tepat pada saatnya makanan tersebut akan dihidangkan ke hadapannya.
Tidak semua pertanyaan harus terjawab saat ini juga. Bersabarlah, karena jawaban atas berbagai pertanyaan yang muncul di benak ada hak jawabannya, hanya tinggal masalah waktu saja. Namun, tak jarang manusia begitu arogan sehingga merasa bahwa rasionalitasnya pasti bisa memahami segala hal saat ini juga, dan bisa menghakimi segala perkara dengan bermodalkan ilmu yang kini dimilikinya. Seakan rasionalitas itu tidak punya kelemahan dan batasan.
Biasanya terhadap salik tipe fundamentalis rasional seperti ini, mursyid sejati akan ‘menghajar’ habis-habisan keliaran berpikirnya agar bisa fokus demi kebaikan salik itu sendiri. Hal yang paling sulit adalah menjinakan keliaran pikiran untuk fokus kepada perkara fundamental: misi hidup yang Allah Ta‘ala amanahkan kepada dirinya. Pikiran yang liar memancar kesana-kemari itu seperti lampu pijar 10 watt, hanya cocok dipakai untuk lampu tidur. Namun, apabila cahaya 10 watt tersebut difokuskan menjadi laser, maka besi pun dapat ditembusnya.
Munculnya tawaran seperti tasawuf tanpa tarekat maupun tanpa guru saat ini juga berasalan, namun bukan berarti kritiknya terhadap dunia thariqah yang digeneralisir tersebut tepat sasaran. Semangat untuk mengedepankan akal sehat atau rasionalitas dalam mengkaji tashawwuf merupakan salah satu hal yang penting. Karena Allah Ta‘ala mengaruniakan otak di tubuh manusia, maka cara mensyukurinya adalah memanfaatkannya untuk berpikir maksimal di alam terendah dari seluruh alam ciptaan-Nya, yaitu dunia. Namun, Ad-Diin (Agama) adalah perkara yang baru akan terpahami apabila seluruh bola akal manusia—otak nalar, fu‘ad (bentuk primitif lubb) dan lubb (akal nafs, orang yang telah memiliki lubb disebut sebagai ulil albab)—terbuka keseluruhannya. Sayangnya, sangat sedikit di antara manusia yang telah Allah anugerahkan kemampuan akal paripurna lahir dan batinnya seperti ini.
Di atas semuanya, bukanlah otak yang cerdas dan banyaknya bacaan yang dapat menyelamatkan manusia dari berbagai jebakan syahwat dan hawa nafsu dalam beragama, tetapi niat tulus murni mencari Allah Ta‘ala. Seorang buta huruf pun bisa Allah rahmati menjadi ‘ulil albâb dan ‘arifin (orang yang telah mencapai ma‘rifat), seperti Muhammad Raheem Bawa Muhaiyaddeen, maupun banyak sufi buta huruf lainnya, semata karena adanya niat tulus murni untuk mencari dan berserah diri kepada Allah Ta‘ala. Niat itu pulalah yang membuat Allah Ta‘ala berkenan menganugrahkan cahaya iman ke dalam qalb.
Misalnya, seseorang menyatakan bahwa karena dia memiliki kecenderungan saintifik, maka dia memerlukan penjelasan ilmiah terlebih dahulu sebelum memutuskan bersuluk. Namun, kebanyakan manusia memiliki mentalitas untuk tergesa-gesa menyimpulkan sebelum tuntas menelaah. Kecenderungan sikap saintifik itu baik, terlebih karena setiap manusia itu unik serta memiliki kebutuhan dan jalan masuk berbeda-beda. Ibaratnya, ada seekor kucing (pertanyaan) yang selalu mengeong dalam rumah (pikiran) kita, karena lapar meminta makanan (jawaban). Apabila kucing(pertanyaan) tersebut tidak diberi makanan (jawaban), maka rumah (pikiran) kita akan berisik oleh suara mengeongnya. Akibatnya, kita pun tidak bisa belajar dengan tenang. Karena itu, berilah makanan (jawaban) yang tepat untuk mengenyangkan kucing (pertanyaan) dalam rumah (pikiran) kita. Penuhilah haknya, sehingga dia bisa diam dan kita pun bisa belajar dengan tenang. Apabila makanan (jawaban) belum ditemukan, bersabarlah, saatnya pasti akan tiba.
Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu penyebab munculnya sikap alergi thariqahadalah ekses dari berbagai praktik yang dilakukan thariqah yang telah kehilangan ulamanya (baca: mata airnya). Misalnya, dahulu kala muncul sebuah thariqah. Lazimnya mereka melakukan riyadhah berkala secara bersama-sama. Kebetulan mursyid thariqah tersebut selalu memelihara kucing yang sering mengeong di malam hari karena lapar. Agar suara mengeong kucing tersebut tidak mengganggu riyadhah, maka sang mursyid memerintahkan muridnya untuk memasukkan kucing tersebut ke dalam sebuah ruangan, memberinya makan dan menguncinya. Hal itu berjalan terus selama bertahun-tahun, hingga sang mursyid meninggal.
Sepeninggal sang mursyid, para salik generasi pertama thariqah tersebut tetap memasukkan kucing peliharaan sang mursyid ke dalam sebuah ruangan, memberinya makan dan menguncinya agar tidak mengganggu riyadhah. Namun, para salik generasi kedua dari thariqah tersebut—yang tidak tahu sebab akibat dari perbuatan tersebut—mulai mengira bahwa perbuatan itu adalah sesuatu yang harus dilakukan sebelum mereka riyadhah. Maka, ketika sampai di salik generasi ketiga, muncullah semacam kewajiban baru, yaitu adanya sebuah keharusan sebelum riyadhah untuk mencari kucing yang kemudian harus dimasukkan ke dalam sebuah ruangan, kemudian memberinya makan dan menguncinya. Ketika sampai di salik generasi keempat, muncullah buku tentang makna batin dan hakikat memasukkan kucing ke dalam sebuah ruangan, memberinya makan dan menguncinya sebelum melakukanriyadhah. Dan, di salik generasi kelima hingga seterusnya, perbuatan tadi sudah menebarkan citra ketidakrasionalan dan ketidaksejalanan thariqah tersebut dengan syariat.
Dalam sejarah tashawwuf ada juga tipe sufi yang dinamakan sebagai Uwaysiyyah. Nama ini merujuk kepada seorang tokoh sezaman Rasulullah Saw. yang mengetahui ihwal beliau Saw. tetapi tidak pernah bertemu secara langsung sepanjang hidupnya. Demikian pula Rasulullah Saw., mengetahui Uways Al-Qarni tanpa pernah bertemu dengannya. Hal itu disebabkan karena Uways setibanya di Mekkah tidak bisa menunggu untuk bertemu dengan Rasulullah Saw (yang ketika itu sedang pergi) sebab ia telah berjanji kepada ibunya di kota lain untuk tidak berlama-lama meninggalkannya. Kondisi Uways berbeda dengan Salman Al-Farisi yang Allah Ta‘ala bukakan jalan untuk bisa bertemu dengan Rasulullah Saw., meskipun berasal jauh dari Persia, dan harus dua kali pindah agama sebagai proses pencariannya.
Salah satu sufi yang tergolong Uwaysiyyah adalah seorang Iran, Abu al-Hasan Kharraqani, yang pernah menyatakan: “Aku kagum pada salik-salik yang menyatakan bahwa mereka membutuhkan Mursyid ini dan itu. Kalian tahu bahwa aku tidak pernah diajari manusia manapun. Allah Ta‘ala adalah pembimbingku, kendatipun demikian, Aku menaruh respek besar pada semua Mursyid.”
Dari pernyataan seorang Uwaysiyyah tersebut bisa terlihat bahwa yang menjadi pokok persoalan bukanlah apakah seorang Mursyid diperlukan ataukah tidak, apakah perlu ikut thariqah atau tidak. Tetapi, apakah kita adalah seorang pencari Allah Ta‘ala dan berazam untuk mencari jalan kepada-Nya? Apabila ya, maka biarlah Allah Ta‘ala yang mengalirkan dan membukakan jalan hidup kita, entah itu ikut thariqah atau tidak, apakah akan dipertemukan dengan mursyid sejati di zamannya ataukah Allah Ta‘ala sendiri yang akan mengajari. Bukan dengan menyatakan terlalu dini bahwa thariqahdan Mursyid itu tidaklah diperlukan.
Ketidakberanian mengambil resiko untuk mengarungi lautan (thariqah), terlebih terburu-buru melontarkan pernyataan seolah heroik yang mengisyaratkan keengganan mencari mursyid sejati zamannya, atau senantiasa memilih berjarak ala saintis serta mengandalkan kecerdasan otak untuk bertashawwuf secara wacana, bisa dipastikan mustahil mencapai tingkatan ma‘rifat.
Rumi menggambarkan hal itu sebagai berikut:

Ketika kauletakkan muatan di atas palka kapal, usahamu itu tanpa jaminan,
Karena engkau tak tahu apakah engkau bakal tenggelam atau selamat sampai tujuan.
Jika engkau berkata, “Aku takkan berlayar sampai aku yakin akan nasibku,” maka engkau takkan berniaga: lantas rahasia kedua nasib ini takkan pernah terungkap.
Saudagar yang penakut takkan meraih untung maupun rugi; bahkan sesungguhnya ia merugi: orang harus mengambil api agar mendapat cahaya.
Karena seluruh kejadian berjalan di atas harapan, maka hanya Imanlah tujuan terbaik harapan, karena dengan Iman memperoleh keselamatan.5
Amati kisah pencarian Salman Al-Farisi. Sebelum mengenal Tuhannya Muhammad Saw, dia adalah seorang Majusi. Kesadaran yang muncul atas kejanggalan perbuatannya sendiri untuk menjaga agar api yang disembahnya sebagai Tuhan tidak padam, membuat Salman Al-Farisi berani mengambil resiko berpindah ke agama Kristen. Setelah beberapa kali berpindah mengabdi pada beberapa pendeta, dia ditunjuki ihwal keberadaan Nabi akhir zaman. Dan pertemuannya dengan Rasullah Saw, membuat Salman Al-Farisi berani mengambil resiko kedua kalinya untuk berpindah ke agama Islam.
Thariqah adalah wadah pengajaran tashawwuf yang menuntun pemanifestasiannya melalui ujian-ujian kehidupan. Adapun yang dimaksud dengan syariat adalah Al-Islam, yaitu syariat lahir yang lebih dikenal sebagai rukun Islam. Antara syariat dantashawwuf (keihsanan) tidak boleh dipisahkan, sedangkan thariqah—sebagai manifestasi lahiriah tashawwuf—adalah perbuatan (af’al) Rasulullah Saw dalam kehidupan dunia, yang tiada lain merupakan syariat juga. Apabila syariat adalah permulaan thariqah, maka thariqah adalah permulaan haqiqat. Namun, bukan berarti yang sebelumnya sudah tidak berlaku lagi untuk tahap berikutnya, atau bahkan ditinggalkan begitu saja. Sebagaimana dikatakan oleh Hamzah Fansuri, awal dari thariqah itu adalah taubat.

Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: “Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku di malam hari, maka buatlah untuk mereka thariqah yang kering dalam laut itu, kamu tak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut.” (QS Thâhâ [20]: 77)

Thariqah adalah jalan kering dalam lautan, perjalanan seseorang menuju Tuhannya di muka bumi ini tanpa terbasahi oleh lautan duniawi. Tak ubahnya seperti ikan yang hidup di laut asin, tapi tidak menjadi asin karenanya. Thariqah bukanlah berarti seseorang itu harus hidup dengan mengabaikan dunia dan miskin. Manusia tidak mungkin bisa mencapai tingkatan ma‘rifat, yaitu mengenal Tuhannya, menemukan diri sejati serta misi hidupnya, dengan cara menjauhkan diri dan tidak bergaul dengan masyarakat serta tidak berikhtiar untuk penghidupannya dan menghargai syariat. Seseorang boleh saja kaya raya, seperti Nabi Sulaiman, tapi tidak boleh mengisi hatinya dengan kecintaan terhadap dunia. Inilah yang disebut dengan zuhud.
Apakah seseorang bisa menempuh jalan suluk dengan meninggalkan syariat? Nah, ini adalah hal yang mustahil. Jalan tasawuf adalah jalan seseorang untuk mulai belajar bersyariat secara batiniyah. Dan ini hanya bisa ditempuh setelah seseorang melakukan syariat lahiriah. Mustahil mencapai tujuan tasawuf jika seseorang meninggalkan syariat lahiriyah. Ada sebuah kisah nyata yang menarik untuk kita perhatikan berikut ini.
Suatu ketika, mursyid sebuah thariqah di Jawa Barat pernah didatangi beberapa orang lelaki yang ingin bersilaturahmi. Sang Mursyid bertanya, “Dari mana kalian tahu rumah saya?” Mereka menjawab, “Kami bertanya pada orang-orang di masjid agung kota ini, kira-kira siapa ulama yang bisa kami kunjungi untuk bersilaturahmi. Mereka menunjukkan kami ke rumah Bapak.”
Ternyata para lelaki itu telah sekian bulan selalu berpindah-pindah, tinggal dari satu masjid ke masjid lainnya. Sang Mursyid bertanya, “Apa yang kalian lakukan dengan tinggal di masjid-masjid seperti itu?” Mereka menjawab, “Kami mencari Allah, pak.” Sang Mursyid kembali bertanya, “Apakah kalian punya anak dan istri?” Mereka menjawab, “Punya pak?” Dengan keheranan sang Mursyid bertanya lagi, “Lantas bagaimana dengan anak istri kalian? Siapa yang merawat dan menafkahinya?” Mereka menjawab, “Kami telah tawakalkan kepada Allah, pak.”
Maka sang Mursyid berkata, “Bermimpi kalian ini. Bermimpi kalau kalian ingin mencari Allah sementara syariat lahir kalian abaikan. Secara syariat kalian diwajibkan untuk menafkahi istri, mendidik dan merawat anak, dan berbagai kewajiban lainnya sebagai ayah dan suami yang seharusnya ditunaikan. Kalian itu bermimpi kalau mencari Allah Ta‘ala, sementara syariat lahir diabaikan.”
Adapun thariqah itu sendiri mempunyai mempunyai tiga tujuan. Dua tujuan yang pertama adalah mendapatkan dua rahmat dari Allah.

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Hadid [57]: 28)
Tujuan pertama thariqah adalah mendapatkan rahmat pertama, yaitu cahaya iman dan kesucian bayi seperti pertama kali lahir. Suatu keadaan ketika manusia belum lagi menumpuk dosa. Keadaan ini dinamakan juga dengan al-muththaharûn.
Tujuan kedua dari thariqah adalah mendapatkan rahmat kedua, yaitu berupa Ruhul Quds yang akan mengingatkan manusia ihwal misi hidupnya, mengingatkan ihwal perjanjian primordial dengan Allah Ta‘ala (QS Al-A‘raf [7]: 172) dan membimbingnya dalam menjalankan misi hidup tersebut. Tahap inilah yang dinamakan sebagai ma‘rifat, tahap ketika seseorang setelah mengenal nafs-nya, maka akan mengenalRabb-nya (tingkatan syuhada).
Sedang tujuan ketiga dari thariqah adalah menjadi hamba-Nya yang didekatkan(qarib). Fungsi mursyid adalah membimbing saliknya hingga sampai pada tujuan kedua dari thariqah, yaitu menjadi syuhada. Setelah itu, yang akan berperan sebagai mursyid adalah Ruhul Quds-nya sendiri untuk ber-dharma sebagai shiddiqiin.
Thariqah merupakan perjalanan kembali kepada Allah untuk menemukan diri sejati dan misi hidup tiap-tiap individu. Namun, perjalanan kembali kepada Allah mewajibkan berbagai ujian berat yang harus dilalui, hingga nafs manusia ditempa menjadi kuat. Tak ubahnya, api yang membakar logam hingga merah membara agar dapat dibentuk menjadi sesuatu yang berguna. Dengan tempaan ujian tersebut, sang hamba akan siap menerima amanah berupa misi hidup dalam posisi percaya dan dipercaya.
Melalui jalan suluk, seorang murid juga akan belajar untuk memperoleh ketenangan. Berbeda dengan anggapan umum bahwa ketenangan adalah hidup menjadi tentram dan tenang, ketenangan dalam tashawwuf adalah tidak goyahnya hati dalam menghadapi setiap permasalahan yang datang, menyambut masalah dan ujian sebagai jubah keagungan. Ujian itu hukumnya wajib bagi para salik yang berjalan mencari Allah Ta‘ala.
Ketenangan hidup yang semu, sebagaimana yang diinginkan banyak orang awam dalam ber-tashawwuf, bagi para sufi lebih merupakan isyarat bahwa Allah Ta‘ala tidak lagi peduli. Ketenangan dan hidup adem ayem, lancar dan tenang tanpa masalah merupakan isyarat bahwa Allah membiarkan seseorang hanya mendapatkan bagian di dunia saja, namun tidak di akhirat nanti. Ketenangan hidup yang semu ini justru membuat seseorang menjadi tidak lagi memiliki stimulus untuk merenung, tidak merasa membutuhkan Allah, dan statis.
Sayangnya, saat ini banyak sekali ungkapan yang menyatakan bahwa kegunaan untuk mempelajari tashawwuf adalah untuk mendapatkan ketenangan dan terapi bagi berbagai masalah kehidupan sehari-hari. Padahal, sejak dulu tashawwuf adalah jalan yang mewajibkan adanya ujian dalam setiap detik kehidupan. Para pengikutnya akan disucikan dan dibersihkan.
Suatu ketika, saat sedang makan siang, seorang salik bertanya kepada mursyidnya, “Pak, apakah tetangga di sekitar ini tahu bahwa Bapak adalah mursyid?” Beliau menjawab, “Ya, mereka tahu. Bahkan banyak di antara mereka yang datang kepada saya.” Kemudian salik itu bertanya kembali, “Lalu mengapa mereka tidak berguru pada Bapak?” Beliau menjawab, “Karena saya mengatakan kepada mereka, bahwa apabila kalian mau menjadi murid-murid saya maka kalian harus siap-siap dibersihkan. Harta-harta yang kalian dapatkan dengan cara yang tidak halal akan dihilangkan dari kalian. Ternyata mereka pun kemudian malah ketakutan dan mundur dengan sendirinya.”
Setelah membaca pracetak buku ‘Guru Sejati dan Muridnya’, melalui pemaparannya dalam buku ini, pembaca bisa melihat bagaimana Allah Ta‘ala membuat seorang sufi buta huruf dari pedalaman Sri Lanka memiliki ilmu sedalam ini. Hal ini menunjukkan bahwa rasionalitas hanyalah salah satu jalan saja—dan bukan yang teristimewa—untuk langkah awal mempelajari dunia tashawwuf. Selain itu, ini yang paling menarik, bahwa setelah Bawa Muhaiyaddeen hijrah ke Amerika, kebanyakan muridnya justru adalah orang kulit putih, yang secara umum dicap sebagai masyarakat paling rasional di muka bumi ini.

Wallahu‘alam bishawwab.
Catatan Akhir:
1 Puisi Jalaluddin Rumi, “Chickpea to Cook, dalam Barks, Coleman (trans.) “The Essential Rumi”. Castle Books, 1997. Dalam tulisan ini, puisi ini diterjemahkan oleh Herry Mardian.
2 Miranda Risang Ayu, “Mencari Tuhan”, Basis, nomor 03-04, tahun ke-55, Maret-April 2006, hlm. 31, 34.
Haidar BagirBuku Saku Tasawuf, Bandung: Mizan, April 2005, hlm. 178, 183-184.
4 Muhammad Al-BagirMutiara Nahjul Balaghah: Wacana dan Surat-surat Imam Ali R.A., Bandung: Mizan, cetakan ketiga, 1994, hlm. 130.
5 Nicholson, Reynold A., Jalaluddin Rumi: Ajaran dan Pengalaman Sufi, Jakarta: Pustaka Firdaus,
cet. 2, 1996, hlm. 30.

Abu Bakar bin Abi Syaibah (Wafat 235H)

Namanya sebenarnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al Kufy, seorang hafidh yang terkenal. Ia menerima hadist dari al-Ah...

Total Tayangan

Translate