TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA JANGAN LUPA LIKE, FOLLOW KOMENTAR DAN SHARE

Pemikiran Teosofis Suhrawardi al-Maqtul

Mengenal Sosok Suhrawardi

Nama lengkap Suhrawardi adalah Abu al-Futuh Yahya bin Habash bin Amirak Shihab al-Din as-Suhrawardi al-Kurdi, lahir pada tahun 549 H/ 1153M di Suhraward, sebuah kampung di kawasan Jibal, Iran Barat Laut dekat Zanjan. Ia memiliki sejumlah gelar : Shaikh al-Ishraq, Master of Illuminationist, al-Hakim, ash-Shahid, the Martyr, dan al-Maqtul.
Sebagaimana umumnya para intelektual muslim, Suhrawardi juga melakukan perjalanan ke berbagai daerah untuk mengembangkan wawasannya. Wilayah pertama yang ia kunjungi adalah Maragha yang berada di kawasan Azerbaijan. Di kota ini ia belajar filsafat, hukum dan teologi kepada Majd al-Din al-Jili. Untuk memperdalam kajian filsafat ia juga berguru pada Fakhr al-Din al-Mardini. Tampaknya tokoh terakhir ini merupakan guru filsafat yang sangat berpengaruh bagi Suhrawardi.
Pengembaraan ilmiahnya kemudian berlanjut ke Is}fahan, Iran Tengah dan belajar logika kepada Zahir al-Din al-Qari. Dia juga mempelajari logika dari buku al-Basa’ir al-Nasiriyyah karya Umar ibn Sahlan al-Sawi. Dari Isfahan ia melanjutkan perjalanannya ke Anatolia Tenggara dan diterima dengan baik oleh pangeran Bani Saljuq. Setelah itu pengembaraan Suhrawardi berlanjut ke Persia yang merupakan “gudang” tokoh-tokoh sufi. Di sini ia tertarik kepada ajaran tasawuf dan akhirnya menekuni mistisisme. Dalam hal ini Suhrawardi tidak hanya mempelajari teori-teori dan metode-metode untuk menjadi sufi, tetapi sekaligus mempraktekkannya sebagai sufi sejati. Dia menjadi seorang zahid yang menjalani hidupnya dengan ibadah, merenung, kontemplasi, dan berfilsafat. Dengan pola hidup seperti ini akhirnya dalam diri Suhrawardi terkumpul dua keahlian sekaligus, yakni filsafat dan tasawuf. Dengan demikian ia dapat dikatakan sebagai seorang filosof sekaligus sufi.

Perjalanannya berakhir di Aleppo, Syria. Di sini ia berbeda pandangan dengan para fuqaha sehingga akhirnya ia dihukum penjara oleh gubernur Aleppo Malik al-Zahir atas perintah ayahnya Sultan Salahuddin al-Ayyubi di bawah tekanan para fuqaha yang tidak suka dengan pandangannya. Akhirnya Suhrawardi meninggal pada 29 Juli 1191 M/578 H dalam usia 36 tahun (kalender Shamsiyyah) atau 38 tahun (kalender qamariyyah). Namun demikian penyebab langsung kematiannya tidak diketahui secara pasti, hanya menurut Ziai ia mati karena dihukum gantung. Kematiannya yang tragis ini merupakan konsekuensi yang harus ia terima atas pandangannya yang berseberangan dengan para tokoh pada masa itu.

Kondisi Sosial dan Latar Belakang Pemikiran Suhrawardi

Melihat pada tahun hidupnya, peradaban Islam pada masa Suhrawardi berada pada fase kematangan. Kondisi ini merupakan akumulasi dari sejarah panjang peradaban Islam, terutama sejak bani Abbasiyah menjadi penguasa dunia Islam. Diawali dengan penerjemahan berbagai karya ilmiah klasik ke dalam bahasa Arab peradaban Islam terus berkembang. Kegiatan penerjemahan ini pada gilirannya mendorong lahirnya para intelektual muslim dengan berbagai karya monumental mereka sebagai indikator yang paling real bagi masa keemasan Islam mulai abad X hingga mencapai puncaknya pada abad XII.
Secara garis besar, wacana pemikiran Islam pada masa ini memiliki tiga alur utama, pertama, falsafi yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd, kedua, mistis (tasawuf) dengan Rabi’ah al-Adawiyah, Abu Yazid al-Bustami, dan al-Ghazali di antara pionir-pionirnya, ketiga¸ gabungan dari dua aliran itu melahirkan aliran yang disebut dengan teosofi. Corak pemikiran teosofi ini selain bertumpu pada rasio, ia juga bertumpu pada rasa (dhawq) yang mengandung nilai mistis. Berdasarkan pembagian ini, agaknya pada aliran ketiga inilah Suhrawardi mengembang-kan pemikiran-pemikirannya.
Sebagai orang yang mencoba menggabungkan dua aliran pemikiran yang sudah berkembang, pemikiran Suhrawardi tentu tidak terlepas dari pengaruh kedua aliran pemikiran itu. Dalam bidang filsafat, Suhrawardi dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Zoroasterianisme, filsafat Yunani khususnya Plato, Aristoteles, dan Plotinus, serta al-Farabi dan Ibn Sina dari kalangan filosof Islam. Di samping itu, sebagai seorang sufi, Suhrawardi juga banyak terpengaruh oleh pemikiran pendahulunya seperti Dhu al-Nun al-Mis}ri (w. 860), Abu Yazid al-Bustami (w. 974), dan al-Ghazali (w. 1111). Pemikiran Suhrawardi tumbuh dan berkembang sebagai wujud ketidak-puasannya terhadap pemikiran tokoh-tokoh sebelumnya.

Karya-karya Suhrawardi

Suhrawardi adalah sosok pemuda yang cerdas, kreatif, dan dinamis. Ia termasuk dalam jajaran para filosof-sufi yang sangat produktif sehingga dalam usianya yang relatif pendek itu ia mampu melahirkan banyak karya. Hal ini menunjukkan kedalaman pengetahuannya dalam bidang filsafat dan tasawuf yang ia tekuni.
Dalam konteks karya-karyanya ini, Hossein Nasr mengklasifikasikan-nya menjadi lima kategori sebagai berikut :
  1. Memberi interpretasi dan memodifikasi kembali ajaran peripatetik. Termasuk dalam kelompok ini antara lain kitab : At-Talwihat al-Lauhiyyat al-‘Arshiyyat, Al-Muqawamat, dan H}ikmah al-‘Ishraq.
  2. Membahas tentang filsafat yang disusun secara singkat dengan bahasa yang mudah dipahami : Al-Lamahat, Hayakil al-Nur, dan Risalah fi al-‘Ishraq.
  3. Karya yang bermuatan sufistik dan menggunakan lambang yang sulit dipahami : Qissah al-Ghurbah al Gharbiyyah, Al-‘Aql al-Ahmar, dan Yauman ma’a Jama’at al-Sufiyyin.
  4. Karya yang merupakan ulasan dan terjemahan dari filsafat klasik : Risalah al-Tair dan Risalah fi al-‘Ishq.
  5. Karya yang berupa serangkaian do’a yakni kitab Al-Waridat wa al-Taqdisat.
Banyaknya karya ini menunjukkan bahwa Suhrawardi benar-benar menguasai ajaran agama-agama terdahulu, filsafat kuno dan filsafat Islam. Ia juga memahami dan menghayati doktrin-doktrin tasawuf, khususnya doktrin-doktrin sufi abad III dan IV H. Oleh karena itu tidak mengherankan bila ia mampu menghasilkan karya besar serta memunculkan sebuah corak pemikiran baru, yang kemudian dikenal dengan corak pemikiran mistis-filosofis (teosofi).

Pemikiran Teosofis Suhrawardi

Pengertian Teosofi
Secara etimologis kata teosofi berasal dari kata theosophia, gabungan dari kata theos yang berarti Tuhan dan shophia yang berarti knowledge, doctrine, dan wisdom. Jadi secara literal teosofi berarti pengetahuan atau keahlian dalam masalah-masalah ketuhanan.
Dalam kaitan dengan bidang kajiannya, ada term lain yang mirip dengan teosofi, yaitu teologi. Kedua istilah ini mengacu pada pembahasan terhadap masalah-masalah ketuhanan, perbedaannya terletak pada operasionalnya. Di dalam mengkaji masalah ketuhanan, teologi menggunakan pendekatan spekulatif-intelektual dalam menginterpretasikan hubungan antara manusia, alam semesta, dan Tuhan. Sementara teosofi lebih menukik pada inti permasalahan dengan menyelami misteri-misteri ketuhanan yang paling dalam. Orang yang ahli dalam bidang teologi disebut teolog sementara orang yang ahli teosofi dinamakan teosofos.
Dalam pemahaman Suhrawardi, pengertian teosofos menjadi lebih luas. Menurutnya teosofos adalah orang yang ahli dalam dua hikmah sekaligus, yakni hikmah nazariyyah dan hikmah ‘amaliyyah. Adapun yang dimaksud dengan hikmah nazariyyah ialah filsafat sementara hikmah ‘amaliyyah ialah tasawuf.
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa teosofi adalah pemahaman tentang misteri-misteri ketuhanan yang diperoleh melalui pemikiran filosofis-sufistis sekaligus, sedangkan teosofos adalah orang yang mampu mengawinkan latihan intelektual teoritis melalui filsafat dengan penyucian jiwa melalui tasawuf dalam mencapai pemahaman tersebut.

Konsep Teosofi Suhrawardi

Pemikiran teosofi Suhrawardi berujung pada konsep cahaya (iluminasi, ishraqiyyah) yang lahir sebagai perpaduan antara rasio dan intuisi. Istilah Ishraqi sendiri sebagai simbol geografis mengandung makna timur sebagai dunia cahaya. Sementara mashriq yang berarti tempat matahari terbit merefleksikan sumber cahaya.
Sebelum menawarkan konsep iluminasi, Suhrawardi pada mulanya mengikuti pola emanasi yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh peripatetik, terutama al-Farabi dan Ibn Sina, yang membagi arah pemikiran tiap akal yang dihasilkan ke dalam tiga posisi : 1) posisi akal-akal sebagai wajib al-wujud lighairihi, 2) sebagai mumkin al-wujud lidhatihi, dan 3) sebagai mahiyah/zatnya sendiri. Akal pertama, dengan memikirkan dirinya sendiri sebagai wajib al-wujud lighairihi memunculkan akal kedua, dengan memikirkan dirinya sendiri sebagai mumkin al-wujud lidhatihi memunculkan jirm al-falak al-aqsa, dan dengan memikirkan dirinya sendiri sebagai mahiyah menimbulkan nafs al-falak al-muharrik. Begitu seterusnya sampai akal X sebagai al-‘Aql al-fa’al yang menyebabkan adanya alam. (Gambaran lengkap mengenai emanasi al-farabi dan Ibn Sina lihat lampiran 1 dan 2).
Sebagai pembanding dari teori emanasi di atas, Suhrawardi memformulasikan teori baru, yakni teori iluminasi, yang sebenarnya merupa-kan koreksi atas pembatasan akal sepuluh pada teori emanasi. Dalam teorinya ini Suhrawardi tampaknya keberatan dengan adanya posisi akal sebagai wajib al-wujud lighairihi, mumkin al-wujud lidhatihi, dan mahiyah. Menurutnya, bagaimana mungkin dari satu akal memunculkan falak-falak dan kawakib yang tak terhitung banyaknya? Dengan menetapkan tiga posisi akal seperti yang disebutkan di atas, maka mustahil bagi akal tertinggi memiliki persambungan dengan falak-falak dan kawakib yang sangat banyak itu. Oleh karenanya, Suhrawardi menolak pembatasan akal hanya pada jumlah sepuluh.
Selanjutnya Suhrawardi mengganti istilah akal-akal dalam teori emanasi itu dengan istilah cahaya-cahaya. Secara teknis proses iluminasi cahaya-cahaya tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut :
Proses iluminasi Suhrawardi dimulai dari Nur al-Anwar yang merupakan sumber dari segala cahaya yang ada. Ia Maha Sempurna, Mandiri, Esa, sehingga tidak ada satupun yang menyerupai-Nya. Ia adalah Allah. Nur al-Anwar ini hanya memancarkan sebuah cahaya yang disebut Nur al-Aqrab. Selain Nur al-Aqrab tidak ada lainnya yang muncul bersamaan dengan cahaya terdekat. Dari Nur al-Aqrab (cahaya pertama) muncul cahaya kedua, dari cahaya kedua muncul cahaya ketiga, dari cahaya ketiga timbul cahaya keempat, dari cahaya keempat timbul cahaya kelima, dari cahaya kelima timbul cahaya keenam, begitu seterusnya hingga mencapai cahaya yang jumlahnya sangat banyak. Pada setiap tingkat penyinaran setiap cahaya menerima pancaran langsung dari Nur al-Anwar, dan tiap-tiap cahaya dominator meneruskan cahayanya ke masing-masing cahaya yang berada di bawahnya, sehingga setiap cahaya yang berada di bawah selalu menerima pancaran dari Nur al-Anwar secara langsung dan pancaran dari semua cahaya yang berada di atasnya sejumlah pancaran yang dimiliki oleh cahaya tersebut. Dengan demikian, semakin bertambah ke bawah tingkat suatu cahaya maka semakin banyak pula ia menerima pancaran.
Mengacu pada proses penerimaan cahaya yang digambarkan di atas, maka dari proses penyebaran cahaya menurut iluminasi Suhrawardi dapat diperoleh gambaran hasil jumlah pancaran yang dimiliki oleh tiap-tiap cahaya. Cahaya I (Nur al-Aqrab) memperoleh 1 kali pancaran, cahaya II memperoleh 2 kali pancaran, cahaya III memperoleh 4 kali pancaran, cahaya IV memperoleh 8 kali pancara, cahaya V memperoleh 16 kali pancaran, cahaya VI memperoleh 32 kali pancaran, cahaya, VII memperoleh 64 kali pancaran, cahaya VIII memperoleh 128 kali pancaran, cahaya IX memperoleh 256 kali pancaran, dan cahaya X memperoleh 512 kali pancaran, begitu seterusnya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa setiap cahaya yang berada di bawah akan menerima pancaran sebanyak dua kali jumlah pancaran yang dimiliki cahaya yang berada setingkat di atasnya.
Senada dengan teori emanasi, teori iluminasi ini juga membentuk susunan kosmologi yang terpancar dari cahaya-cahaya pada tiap tingkatan. Susunan tersebut, dari cahaya pertama sampai cahaya kesepuluh secara berturut-turut, adalah The great sphere of diurnal motion, the sphere of fixed stars, the sphere of Saturn, the sphere of Jupiter, the sphere of mars, the sphere of the sun, the sphere of venus, the sphere of mercuri, the sphere of moon, the sphere of ether, dan the sphere of zamharir yang dikenal sebagai ruang perbatasan dengan sfera bumi.
Memperhatikan pemikiran Suhrawardi tentang iluminasi ini mengingatkan kita kepada sebuah firman Allah dalam Surat al-Nur ayat 35 berikut ini :
Artinya : Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Dalam konteks iluminasi Suhrawardi, posisi pelita besar dalam ayat di atas merupakan penjelmaan dari Nur al-Anwar yang menjadi sumber dari segala cahaya, sedangkan cahaya yang terpancar dari pelita besar itu diposisikan sebagai Nur al-Aqrab sebagai cahaya yang pertama kali terpancar dari sumber cahaya. Selanjutnya cahaya yang terpancar dari Nur al-Aqrab ini membentur dinding-dinding kaca yang kemudian menghasilkan banyak cahaya yang saling memancar dan menghasilkan cahaya lain. Dari proses seperti inilah cahaya kedua, ketiga dan seterusnya lahir.
Berdasarkan pemahaman seperti ini, maka agaknya ayat inilah yang mendasari atau paling tidak menjadi inspirator bagi Suhrawardi dalam merumuskan teori iluminasinya.

Pengaruh Teosofi Suhrawardi

Suhrawardi boleh saja dihentikan hidupnya, akan tetapi warisan yang ditinggalkannya tetap hidup. Dia mampu survive di tengah kekuasaan yang mengekang kebebasan intelektualnya. Idealisme tinggi yang ia miliki mendorongnya untuk tetap berjuang mempertahankan apa yang diyakini sebagai kebenaran.
Hasil pemikiran Suhrawardi juga mampu mempengaruhi generasi-generasi sesudahnya. Hal ini dapat ditelusuri melalui karya-karya yang muncul belakangan yang indikatornya antara lain terlihat dari adanya tanggapan yang ditunjukkan oleh generasi setelahnya baik berupa komentar, sanggahan ataupun kritik. Pengaruh pemikirannya ini dapat ditelusuri melalui aspek geografis, kontinuitas hubungan antara guru dan murid, dan perdebatan pro-kontra di sekitar pemikirannya.
Dari aspek geografis, pengaruh pemikiran Suhrawardi berkembang di Persia lalu menyebar ke India-Pakistan, Syria, Anatolia, dan bahkan ke Eropa. Di Persia perkembangan pengaruh pemikiran Suhrawardi ini didukung oleh beberapa faktor antara lain : faktor tanah kelahiran, faktor historis dan kultur, serta dukungan politis penguasa Safawi terhadap pengembangan intelektual di Persia.
Di India penyebaran pengaruh pemikiran Suhrawardi berawal dari penerjemahan karya-karyanya, terutama karya monumentalnya Hikmah al-Ishraq yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Sanskrit. Penyebaran ini juga ditopang oleh perhatian penguasa, seperti Sultan Muhammad ibn Tughlug (1325 M), yang besar terhadap pengembangan intelektual di India. Perhatian itu tidak hanya terbatas pada penciptaan suasana yang kondusif tetapi juga penyediaan anggaran untuk fasilitas pendidikan seperti asrama dan perpustakaan yang banyak berisi karya-karya filsafat terutama dari Ibn Sina, Nas}ir al-Din al-T{u>si, dan Qut}b al-Din al-Shirazi. Sebagaimana diketahui bahwa dua tokoh terakhir ini adalah pengikut Suhrawardi. Berdasarkan fakta ini maka dapat diasumsikan bahwa doktrin-doktrin hasil pemikiran Suhrawardi telah mulai dikaji oleh para ilmuan di India.
Jejak pemikiran Suharawardi di Syria dan Anatolia dapat ditelusuri melalui koleksi-koleksi manuskrip yang terdapat di perpustakaan Turki. Data-data koleksi pustaka yang ada mengindikasikan bahwa pemikiran Suhrawardi juga dipelajari oleh para sarjana Turki. Sementara itu, seperti sudah diketahui bahwa dalam pengembaraan intelektualnya Suhrawardi pernah singgah di Syiria untuk berdiskusi dan berdebat dengan para sahabatnya. Dari diskusi dan perdebatan itu serta sejumlah karya yang ia selesaikan di Syria ikut membuka peluang bagi dipelajarinya pemikiran Suhrawardi di negeri ini.
Berbeda dengan kawasan-kawasan yang telah disebutkan di atas, di Eropa, pemikiran Suhrawardi pada mulanya kurang mendapat perhatian yang serius, tidak seperti filosof muslim lainnya seperti Ibn Sina, al-Farabi, dan Ibn Rushd yang karya-karyanya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Eropa. Karya-karya Suhrawardi tidak diterjemahkan sehingga mereka tidak mengenal dengan baik pemikiran teosofis Suhrawardi.
Baru pada abad XX sejumlah sarjana Barat seperti Carra de Vaux, Max Horten, Lois Massignon, Otto Spies, dan Henry Corbin mulai melirik karya-karya Suhrawardi yang mereka anggap sebagai tokoh penting pasca Ibn Sina.
Sedangkan dari segi kontinuitas hubungan antara guru dan murid serta perdebatan pro-kontra di sekitar pemikirannya, pengaruh pemikiran Suhrawardi ini terlihat dari lahirnya tokoh-tokoh yang berusaha melestarikan ajarannya dari abad ke abad. Pada abad XIII, misalnya, lahir komentator pemikiran Suhrawardi seperti Shams al-Din Muhammad Shahrazuri (w. 1288) dan Sa’d bin Mans}ur Ibn Kammunah (w. 1284). Pada abad XIV muncul tokoh Qut}b al-Din al-Shirazi (w. 1311), pada abad XVI ada Jalaluddin Muhammad Ibn Sa’d al-Din al-Dawwani (w. 1502) dan Ghiyath al-Din Mans}ur al-Shirazi (w. 1542), pada abad XVII lahir tokoh Muhammad Sharif Niz}am al-Din al-Harawi dan S}adr al-Din al-Shirazi, pada abad XIX terdapat Mulla Ali Nuri (w. 1830) dan Mulla Hadi Sabziwari (w. 1878), dan pada abad XX terdapat tokoh Muhammad Hussein Tabattaba’i serta Seyyed Hossein Nasr.

Penutup

Dari serangkaian pembahasan yang tertuang dalam makalah ini, dapat disimpulkan bahwa Suhrawardi merupakan filosof muda Islam yang sangat cerdas sehingga mampu membongkar pemikiran-pemikiran para filosof peripatetik yang sudah mapan sebelumnya, sekaligus menawarkan sebuah pemikiran baru yang bercorak filosofis-mistis, yang kemudian lebih popular dengan sebutan teosofi.
Teosofi merupakan bentuk final dari pemikiran filosofis Suhrawardi yang lahir sebagai akibat dari ketidak puasannya kepada pemikiran-pemikiran filosof sebelumnya. Pemikiran teosofisnya ini kemudian berujung kepada pembangunan sebuah teori yang membahas proses penciptaan alam yang dikenal dengan teori iluminasi.
Meskipun mekanisme kerja teori ini dibangun dengan cara yang sama dengan teori sebelumnya (emanasi), yakni melalui pancaran atau limpahan, tetapi tetap ada hal mendasar yang membedakan kedua teori ini. Hal tersebut dapat terlihat pada instrumen yang digunakan dan keberlangsungan proses pancaran dari kedua teori tersebut. Bila teori emanasi menggunakan istilah akal sebagai instrument, maka teori iluminasi menggunakan istilah cahaya yang inspirasinya diambil dari Q.S. al-Nu>r ayat 35. Bila pada teori emanasi penyebaran akal hanya terbatas pada akal ke-10, maka pada teori iluminasi pancaran cahaya itu tidak terbatas. (artikel ini dtulis oleh teman penulis bernama al-Mujahidin, seorang guru Agama Islam di Kepulauan Riau)

BIBLIOGRAFI

al-Ahwani, Ahmad Fuad, al-Madrasah al-Falasafiyyah, Kairo : al-Dar al-Misriyyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, 1965
Corbin, Henry, (ed.), Majmu’ah Musannafat Shaikh al-Ishraq Shihab al-Din Yah}ya Suhrawardi, Teheran: Anjuman Shahanshahay Falsafah Iran, 1397H
______, History of Islamic Philosophy , London : Kegan Paul International, 1993
Drajat, Amroeni, Suhrawardi : Kritik Falsafah Peripatetik, Yogyakarta : LKis, 2005
Eliade, Mirciea, The Encyclopedia of Religion, Vol. XIV, New York : Simon & Schuster Macmillan, 1995
Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosophy, London : Longman Group Limited, 1983
Nasr, Seyyed Hossein, Three Muslim Sages, Cambridge : Harvard University Press, 1964
_____, (ed.), World Sprituality : Islamic Sprituality Manifestations, Vol. XX, New York : The Crossroad Publishing Company, 1991
_____, The Islamic Intelectual Tradition in Persia, Surrey : Curzon Press, 1996
Rayyan, Muhammad ‘Ali Abu, Ushul al-Falsafah al-Ishraqiyyah ‘Inda Shihab al-Din as-Suhrawardi, Beirut : Dar al-Talabat al-Arab, 1969
Razavi, Mehdi Amin, Suhrawardi and the School of Illumination, Surrey : Curzon Press, 1997
Sharif, M.M. (ed.), History of Muslim Philosophy, Vol. I, Delhi : Santosh Offset, 1961
Ziai, Hossein, Knowledge and Illumination, A Study of Suhrawardi H}ikmah al-Ishraq, Terj., Bandung : Zaman Wacana Ilmu, 1998

Mulla Sadra: Berbicara tentang Jiwa





Jiwa, menarik minat Sadr ad-Din Muhammad Shirazi. Cendekiawan Muslim, yang lebih dikenal dengan nama Mulla Sadra ini, membahas tentang jiwa dalam kajian filsafat yang ia tekuni. Dan, dalam bidang ini, ia menuliskan karya penting. Salah satunya, Al-Hikmah al-Muta'aliyyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-Arba'ah . 

Dr Kholid Al Walid, pengajar di Islamic College, Jakarta, dalam Seminar ''Nasional Filsafat dan Mistitisme Islam, Ibnu Arabi dan Mulla Sadra,'' di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 16 Januari 2010 lalu, mengatakan, Sadra membahas soal jiwa dalam satu jilid penuh bukunya itu. Buku tersebut terdiri atas delapan jilid. 

Dalam karyanya itu, Sadra menyodorkan serangkaian bukti tentang keberadaan jiwa. Ia mengatakan, wujud  mumkin merupakan wujud paling utama dan tidak ada kesia-siaan dalam penciptaannya atau dikenal dengan istilah  Imkan al-Asryaf wa 'Adam Abatsiah Khalq al-Mumkinan . Ia pun memberikan penjelasan mengenai hal ini. 

Ketika Allah SWT menciptakan makhluk-makhluk-Nya, Dia memulainya dengan  penciptaan zat yang paling utama dan sempurna. Zat pertama yang diciptakan, ungkap Sadra, memiliki kualitas yang tak terbatas karena kedekatannya dengan Sang Pencipta dan merupakan ciptaan yang pertama. 

Sedangkan zat berikutnya, memiliki tingkat kesempurnaan yang sama dengan zat yang pertama. Namun, kualitasnya di bawah zat yang pertama itu. Sadra pun menyatakan, proses aktualisasi potensi menjadi aksi merupakan proses penyempurnaan wujud. Ini menunjukkan bahwa setiap bentuk wujud tak sia-sia diciptakan.

Menurut Sadra, hal ini hanya bisa terjadi jiwa pada wujud  mumkin tersebut dan terdapat elemen yang menggerakkan aktualisasi, yakni jiwa. Ia pun melontarkan bukti lainnya mengenai keberadaan jiwa. Dalam hal ini, ia membicarakan tentang efek dari materi. Misalnya, tentang indera yang bisa mempersepsi apa yang terdapat di sekitarnya. 

Pun, mengenai indera yang bisa mengetahui apa yang terjadi di sekitarnya. Menurut dia, hal ini hanya bisa terjadi jika ada jiwa. Sebab, jika ada materi, tapi tidak memiliki jiwa, materi tersebut tidak mungkin bisa mempersepsikan segala sesuatu yang ada di sekitarnya.

Sadra menyampaikan pula hal penting lainnya mengenai keberadaan jiwa. Menurut dia, kehidupan adalah jiwa atau  al-Hayah Hiya al-Nafs . Terkait hal ini, ia mengatakan, berbagai macam makhluk memiliki indera dan mampu mempersepsi berbagai macam gambaran. Sehingga, makhluk tersebut bisa disebut sebagai makhluk hidup. 

Indera yang mempunyai kemampuan untuk mempersepsikan berbagai macam objek itu, ungkap Sadra, berasal dari tiga kemungkinan, yakni sumber utama yang disebut jiwa, fisik yang mempunyai jiwa, atau fisik. Namun, ia menegaskan, kemampuan indera untuk mempersepsikan berbagai objek itu bersumber dari jiwa. 

Di sisi lain, Sadra menolak pendapat yang menyatakan bahwa kemampuan indera untuk mempersepsikan objek berasal dari fisik yang mempunyai jiwa. Sebab, fisik sendiri dikendalikan oleh jiwa sehingga jiwalah yang sebenarnya mampu mempersepsikan objek-objek itu. Pandangan bahwa kemampuan indera mempersepsi objek disebabkan fisik, juga ditentang. 

Sebab, kata Sadra, fisik itu tidak akan hidup tanpa ada jiwa. Dalam membahas masalah ini, Sadra memberikan contoh. Sebuah perahu, kata dia, akan memberikan manfaat tertentu bagi manusia. Ini terwujud jika ada yang mendayung atau mengendalikannya, yaitu manusia. Tanpa ada orang yang mendayungnya, perahu itu akan kehilangan makna. 

Menurut Sadra, perahu itu menjadi materi yang tak bermanfaat. Dengan demikian, bentuk fisik membutuhkan sesuatu yang lain selain dari dirinya. Lebih lanjut, ia melihat jiwa sebagai substansi. Artinya, beragam efek, seperti tumbuh, bergerak, dan berkembang biak pada manusia ataupun binatang disebabkan oleh apa yang ada dalam dirinya. 

Namun, diri yang berada di dalam makhluk hidup tersebut bukanlah raga materi melainkan jiwa. Segala bentuk yang menjadi lokus dan sandaran bagi sesuatu adalah substansi. Dan, Sadra menyimpulkan bahwa jiwa adalah substansi. Ia menambahkan pula, terjadinya jiwa bersamaan dengan terbentuknya fisik. 

Raga dan jiwa

Sadra menjelaskan, baik jiwa maupun materi pada awalnya, sama-sama berawal dari materi. Materi itu terdiri atas dua unsur, yakni forma dan materi dasar. Lalu, dalam perkembangannya, forma berubah menjadi jiwa dan materi dasar berubah menjadi fisik. Pandangan Sadra ini berbeda dengan pandangan para filsuf sebelumnya. 

Sebab, para filsuf itu menganggap bahwa jiwa terlebih dahulu diciptakan, baru setelah itu fisik diciptakan lalu keduanya bersatu dan saling berkaitan. Namun, Sadra juga memiliki pandangan yang hampir sama dengan para filsuf lainnya. Ini soal keterkaitan antara raga dan jiwa. 

Para filsuf Muslim menyatakan, jiwa akan tetap hidup meskipun raga telah hancur. Hal itu terjadi karena jiwa bersifat transenden dan tidak bergantung pada raga kecuali sebagai identitas bagi dirinya. Keberadaan jiwa itu menjadi lokus bagi keberadaan raga, namun tidak sebaliknya. 

Seorang filsuf yang juga dokter, Ibnu Sina, mengatakan, sesungguhnya jiwa tidaklah mengalami kematian dengan matinya raga. Bahkan, kata dia, jiwa tidak mengalami kehancuran sedikit pun. Tanpa adanya jiwa, raga tak bisa dibangkitkan. Kebangkitan akan terjadi jika jiwa itu ada. Sadra juga memiliki pandangan serupa. 

Sadra berpendapat, jiwa tidak mungkin mengalami kehancuran sebab potensi tersebut bukanlah substansi jiwa. Menurutnya, sesuatu yang mempunyai potensi kehancuran adalah sesuatu yang bisa hancur dan itu adalah materi. Sedangkan jiwa, itu merupakan substansi yang bersifat transenden. Sehingga, jiwa tidak mungkin mengalami kehancuran.

Ikatan antara jiwa dan raga, ujar Sadra, merupakan ikatan keharusan atau luzumiyyah . Keterikatan keduanya adalah keterikatan keharusan, seperti ikatan antara materi dan forma. Dalam pandangan dia, raga membutuhkan jiwa secara mutlak dalam aktualisasinya. Sedangkan jiwa, memerlukan raga dari segi keberadaan personalitas dan identitasnya. 

Oleh karena itu, Sadra menyimpulkan, posisi raga hanya sebagai reseptif, penerima. Ketergantungan raga terhadap jiwa, ujar dia, adalah ketergantungan mutlak. Ketergantungan ini tak akan lenyap selama jiwa bersamanya dan tidak akan ada, jika jiwa tidak ada.


Sumber:

Abu Bakar bin Abi Syaibah (Wafat 235H)

Namanya sebenarnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al Kufy, seorang hafidh yang terkenal. Ia menerima hadist dari al-Ah...

Total Tayangan

Translate