TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA JANGAN LUPA LIKE, FOLLOW KOMENTAR DAN SHARE

Keindahan Sang kekasih di Kalbu Pencinta



Awalnya aku melakukan empat kesalahan. Aku menyuntukkan diri untuk selalu mengingat Tuhan, untuk mengenal-Nya, untuk mencintai-Nya dan mencari-Nya. Ketika aku telah sampai di ujung perjalanan aku menyaksikan bahwa Dia telah mengingatku sebelum aku mengingat-Nya. Pengetahuan-Nya tentang aku telah mendahului pengetahuanku tentang Dia. Cinta-Nya terhadapku telah lama sebelum cintaku kepada-Nya dan Dia telah mencari aku sebelum aku mencari-Nya.
Aku berpikir bahwa aku telah sampai di Tahta Tuhan dan berkata kepadanya: “Wahai Sang Tahta, mereka memberitahuku bahwa Tuhan bersemayam di atasmu.” “Oh Bayazid,” jawab Tahta, “kami diberitahu bahwa Dia bersemayam dalam jiwa yang sederhana.”

(Abu Yazid Thaifur al Bisthami)

__________________________

Hal terbaik bagi hamba, yang ingin berdekatan dengan Tuhannya, adalah untuk tidak memiliki apapun di dunia ini atau di dunia esok kecuali Dia semata. Aku tidak mengabdi kepada Allah karena ketakutan akan Neraka, karena aku akan menjadi seorang hamba yang buruk, jika aku melakukannya karena rasa takut. Tidak juga karena Surga, karena aku akan menjadi hamba yang buruk jika aku mengabdi demi apa yang diberikan. Tetapi aku telah beribadah kepada-Nya hanya semata karena kecintaanku kepada-Nya dan karena hasratku hanya kepada-Nya.
Oh Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut akan neraka, bakarlah aku di Neraka. Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan Surga, buanglah aku dari sana, tutup pintunya untukku. Tetapi jika aku menyembah-Mu karena Engkau semata, maka jangan palingkan wajah-Mu, jangan tampik aku dari Kecantikan Abadi-Mu.
Aku telah menjadikan-Mu Sahabat kalbuku,
Tetapi tubuhku siap sedia bagi mereka yang menginginkan persahabatan
Dan tubuhku akrab dengan tamu-tamunya,
Tetapi Sang Kekasih hatiku adalah Tamu jiwaku.

(Rabi’ah al ‘Adawiyah)

____________________________


Tahap pertama bagi hamba yang telah menemukan pengetahuan tentang kemenyatuan dan kebenaran, adalah bahwa di sana telah hilang dari kalbunya semua ingatan kepada benda-benda dan dia menyendiri bersama Tuhan Yang Maha Tinggi. Karena tahap pertama kemenyatuan adalah bahwa sang hamba menyerahkan segalanya dan mengembalikan semua benda kepada-Nya dan kepada Siapa milik semua itu dan bahwa Dia-lah yang mengendalikannya dan membuatnya kembali kepada Diri-Nya. Jadi demikianlah, ingatan terhadap semua benda lepas dari kalbu sang hamba dan ingatan kepada Tuhan Yang Maha Tinggi menggelayuti kalbunya dan ingatan terhadap benda-benda lepas dari kalbunya ketika mengingat Tuhan Yang Maha Mulia.
Terberkahilah manusia yang telah minum dari cangkir cinta-Nya dan mengecap kesenangan bercakap dengan Tuhan Maha Mulia dan telah mendekati-Nya dengan suka dalam kecintaan kepada-Nya. Kalbunya penuh dengan cinta dan, penuh suka, dia telah mendekati Tuhan dan datang kepada-Nya, dengan penuh kerinduan kepada-Nya. Betapa besar jeritan cinta dan sendu kerinduan untuk Tuannya! Dia tidak memiliki tempat tinggal kecuali dalam Dia, tiada pula teman akrab baginya kecuali Dia.

(Abu Sa’id Ahmad bin Isa al Kharraz)

_________________________________

Jika Engkau menempatkan di depanku api Neraka, dengan semua kandungan sikssa, aku akan memikirkan sedikit tentangnya disbanding keadaanku ketika Engkau sembunyi dariku. Ampunilah orang-orang itu dan jangan ampuni aku, dan berkahilah mereka dan jangan berkahi aku. Aku tidak meminta ampunan kepada-Mu untuk diriku sendiri maupun memohon kepada-Mu untuk kebutuhanku sendiri. Lakukan apapun yang Engkau kehendaki terhadapku.
Aku adalah Dia Yang aku cintai dan
Dia Yang aku cintai adalah Aku,
Kami adalah dua ruh yang berkelindan dalam satu jasad.
Ketika kau melihatku, kau melihat-Nya,
Dan ketika kau melihat-Nya,
Maka sesungguhnya kau melihat Kamu berdua.

(Husain bin Manshur al Hallaj)

________________________________

Doa sejati yang paling tinggi adalah perenungan Tuhan dengan kalbu yang murni, yang terlepas dari semua hasrat jkeduniawian, tidak terpaku dengan sikap-sikap jasmaniah, melainkan dengan gerak-gerik jiwa. Jiwa semacam ini memohon pada Dzat Yang Maha Tinggi, untuk kesempurnaannya sendiri, melalui perenungan kepada-Nya, dan untuk kebahagiaannya yang tertinggi, melalui pengetahuan segera tentang Dia. Di atas jiwa ini kemuliaan Illahi terpancar, ketika hamba sedang berdoa.

(Ibnu Sina)

________________________________

Dari dunia ini, tepatnya dalam Rumah-Mu,
Tuan, dengan riang aku melangkah ke sana,
Tak peduli kekalahan atau kemenangan yang
Aku peroleh, jika Engkau perintahkan demikian,
Tidak, demi Engkau semata,
Jika Engkau menawanku, akan aku lemparkan diriku ke dalam Api,
Dan aku tawarkan jiwaku jika Kau mau.
Jalan-Mu, ke mana pun kami melangkah,
Dalam setiap jengkal, begitu indah
Pertemuan dengan-Mu,
Apapun yang akan terjadi, pun begitu indah.
Setiap kali mata menatap Wajah-Mu,
Aku temukan Keindahan di sana,
Pujian-Mu, apapun yang diberikan lidah kepada-Mu, begitu indah.
Ketika weangian-Mu, oleh angin sepoi-sepoi,
Dari nun jauh sana turun kepadaku,
Kemudian kalbuku melambai selamat tinggal dan berangkat mencari-Mu;
Telah lama aku lupa jasadku,
Yang pernah menjadi tempat berdiam,
Karena wewangian-Mu yang kuambil,
Bersama Dzat-Mu.

(Abu Sa’id bin Abu al Khair)

_________________________________

Ketika aku menjadi seorang budak: Nista adalah tuanku,
Tatkala Nista menjadi hambaku, aku bebas:
Kutinggalkan bayang-bayang manusia untuk mencari Kehadiran-Mu,
Kesepian, kutemukan Engkau dalam kelompokku,
Bukan di dunia ini tempat harta karun berada,
Bukan oleh orang yang jumud,
Yang tidak mengenal Engkau,
Yang mencelaku, menganggap bahwa pencarianku adalah bodoh,
Tetapi yakinku, Engkau akan senantiasa bersamaku.

(Abu Hamid al Ghazali)

___________________________

Kemanapun kau mendaki, biarkan ia menuruti Ruh Illahi di dalam dirimu: jangan mendaki melawannya, tetapi dakilah di atas perangkap-perangkap bumi, untuk mencapai tempat-kediaman Yang Maha Tinggi, melintasi perbatasan-perbatasan dunia ruh dengan mata jasad Illahiah-mu. Lepaskan kecongkakan yang sombong agar kau temukan pintu masuk menuju Kerajaan Tuhan, karena rumah besar keabadian itu dipersiapkan untukmu dan dunia yang sementara inibukanlah rumah sejatimu – lepaskan hari ini dan korbankan kehidupanmu demi hari esok…
Terjagalah dan tinggalkan dunia ini dalam rangka menemukan Dia Sang Tuhan. Tinggalkan jasadmu dan kehidupanmu serta akalmu juga keyakinanmu, dan di Jalan-Nya kau temukan untuk dirimu sendiri sebuah jiwa. Jika kau berharap untuk memiliki sebuah batu intan, wahai manusia, tinggalkan gurun ini dan berjalanlah di pinggir laut. Berjuanglah di jalan Tuhan. Wahai tentara: jika kau tak memiliki ambisi, kau tidak akan memiliki kehormatan tetapi manusia yang memandang rendah jasadnya sendiri akan berjalan di atas udara seperti apai. Dia yang menjelajah cintamenuju Tuhan, seperti sebuah lilin di Jalan-Nya, seperti sebuah lilin yang bermahkota api.

(Abul Majdud bin Adam Sana’i)

__________________________________

Pujilah Dia yang tak bisa disaksikan oleh pandangan, dan yang pikiran tidak mampu mencari kesamaan-Nya: kepada-Nya segala syukur dan pujian. Engkau yang member dan Engkau pulan yang mengambil: Engkau adalah Semua Rahmat dan Semua Yang Kekal. Terpujilah Dia, karena milik-Nya kekuasaan atas semua dan kepada-Nya semua akan kembali.
Dari tahap “aku” sang pencari melangkah menuju tahap “aku bukan” dan “Kau adalah”, dan kemudian ke tahap “aku bukan dan Engkau bukan”, karena dia sekarang telah menyatu dengan Dia. Penglihatan Tuhan dan penerimaan Cahaya-Nya berarti penyatuan dan kemanunggalan dengan Dzat-Nya, Yang adalah Cahaya dari Segala Cahaya.

(Syihabuddin Suhrawardi Halabi al Maqtul)

____________________________________

Pecinta tidak mencemaskan kehidupannya sendiri, karena dia yang menjadi seorang pecinta, apakah dia asketis atau awam, siap mengorbankan hidupnya demi cinta. Jika ruhmuberada dalam kebencian dengan jiwamu, korbankan jiwamu dank au akan mempu melanjutkan perjalanan tanpa halangan. Jika jiwamu adalah sebuah halangan bagimu di jalan itu, singkirkan ia, kemudian lihatlah lurus ke depanmudan pasrahkan dirimu kepada perenungan.
Jika kau diperintah untuk melepaskan keyakinan atau untuk menyerahkan kehidupanmu, singkirkanlah keduanya: lepaskan keyakinan dan korbankan hidupmu. Jika seseorang yang jumud terhadap hal-hal yang spiritual mengatakan bahwa tidaklah benar bahwa Cinta hendaknya lebih disukai daripada kekafiran dan keyakinan, katakan kepadanya: “Apa kaitannya Cinta dengan kakafiran atau keyakinan?” Apakah para pecinta mencemaskan jiwa-jiwa mereka? Seorang pecinta membakar seluruh hasil panen: dia meletakkan sebilah pisau di lehernya sendiri dan menusuk badannya sendiri. Penyiksaan dan kesengsaraanadalah tentang Cinta itu sendiri. Barangsiapa menancapkan kakinya kuat-kuat di rumah Cinta seketika itu melepaskan kekafiran dan keyakinan.
Seluruh dunia adalah wadah untuk Cinta,
Karena sia-sialah ia, yang menjauh dari Cinta.
Kebajikan Abadi membuat semua dalam Cinta:
Pada Cinta mereka bergantung, kepada Cinta mereka kembali.
Bumi, langit-langit, matahari, bulan, bintang –gemintang
Pusat orbit mereka bertemu dalam Cinta.
Dengan Cinta semua terkagum dan terpesona,
Teracuni mereka dengan Anggur Cinta.
Dari setiap, Cinta menuntut diamnya seorang mistikus,
Apa yang mereka cari dengan penuh harap? Cinta ini.
Cinta adalah pokok pemikiran terdalam mereka,
Dalam Cinta tak ada lagi “Kau” dan “Aku”
Karena diri telah melebur dalam Sang Kekasih,
Dan di kuil jiwaku yang terdalam
Memandang Sahabat, Cinta Yang Tak Terperi,
Siapa yang akan mengenal rahasia dua dunia
Akan menemukan rahasia keduanya, yakni Cinta.

(Fariduddin ‘Aththar)

_________________________________

Dalam kalbuku, segala bentuk tercipta,
Pelataran-pelataran biara, kuil-kuil bagi berhala,
Sebuah padang rumput untuk sekawanan rusa,
Rumah Suci Tuhan, bagi semua Muslim yang memalingkan wajah kepadanya
Lembaran-lembaran Taurat Yahudi,
Al Qur’an yang terwahyukan   kepada Nabi sejati-Nya.
Cinta adalah keyakinan yang aku genggam,
Dan kemanapun
Unta-unta-Nya berlarian, inilah satu keyakinanku.
Tak ada keberadaan kecuali keberadaan-Nya. Untuk ini Nabi menegaskan seraya berkata: “Jangan caci-maki dunia, karena Tuhan adalah dunia,” menunjuk pada kenyataan bahwa keberadaan dunia adalah keberadaan Tuhan tanpa sandingan atau keserupaan atau persamaan.
Terkisahlah bahwa Nabi menyatakan bahwa Tuhan berkata kepada Musa: “Wahai hamba-Ku, Aku sakit dan kau tidak mengunjungi-Ku. Aku meminta bantuanmu dank au tidak memberikannya pada-Ku,” dan ungkapan-ungkapan lainnya yang serupa. Ini berarti bahwa keberadaan peminta adalah keberadaan-Nya dan keberadaan orang yang sakit adalah keberadaan-Nya.

(Muhyiddin ibnu al ‘Arabi)

________________________________

Source: Mistikus Islam karya Margaret Smith


Nasihat Ibrahim bin Adham




Biografi Singkat

Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Adham bin Manshur al ‘Ijli. Ia lahir di Balkh, sebelah Timur Khurasan, karenanya ia dikenal pula dengan nama Abu Ishaq al-Balkhi. Menurut catatan para ahli, seperti al-Bukhari (w. 870 M), ia merupakan keturunan kedua dari Umar bin Khattab, karenanya ia dikenal juga sebagai al-Tamimy. Ia meninggal tahun 162 H (777/8 M) dan dimakamkan di Jabala, Suriah. Ia adalah murid dari Fudhail bin Iyad, yang merupakan murid dari Abdul Wahid bin Zaid (murid dari Hasan al-Bashri). Salah satu murid Ibrahim bin Adham adalah Hudzaifah al-Mar'ashi.
Mungkin tidak ada yang banyak mengenal bahwa beliau adalah seorang pangeran dari Balakh. Seorang pangeran kaya raya dengan istananya yang megah gemilang. Kemegahannya saat itu belum ada
yang menandinginya. Meskipun hidup bergelimang harta dan kekuasaan tidak membuat hati beliau lalai. Bahkan beliau terkenal sebagai orang yang taat beribadah dan sangat penyantun terhadap sesama terlebih kepada orang-orang miskin di negerinya. Setiap Jum’at dikumpulkan para fakir miskin di depan istananya dan ditaburkannya uang dirham ke halaman istana. Ia juga gemar memberi hadiah bagi orang-orang yang dianggap berjasa serta memberi zakat dan shadaqah jariyah pada hari-hari tertentu.
Ibrahim bin Adham, dikenal orang tak pernah duduk dengan menumpangkan kakinya. Seorang muridnya kehairanan dan bertanya, “Wahai Guru, mengapa kau tak pernah duduk dengan bertumpang kaki?” “Aku pernah melakukan itu satu kali,” jawab Ibrahim, “Tapi kemudian aku dengar sebuah suara dari langit: Hai Anak Adham, apakah seorang hamba duduk seperti itu di hadapan tuannya?” Aku segera duduk tegak dan memohon ampun.”

Perihal Kematian Hati Manusia

Ibrahim bin Adham, seorang ulama yang zuhud dan wara', ditanya tentang firman Allah ta'ala yang artinya, "Berdoa'alah kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkan do'a kalian." (QS. Ghafir: 60). Mereka mengatakan, "kami telah berdoa kepada-Nya namun belum juga dikabulkan". Lalu beliau menjawab, "Karena hatimu telah mati dengan sebab sepuluh perkara...

  1. Kamu telah mengenal Allah tetapi kamu tidak menunaikan hak-hak-Nya.
  2. Kamu telah membaca kitab Allah tetapi kamu tidak mengamalkannya.
  3. Kamu mengatakan bermusuhan dengan syaitan, tetapi kenyataannya kamu setia dengannya.
  4. Kamu mengaku cinta Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam tetapi kamu meninggalkan sunnah-sunnah-Nya.
  5. Kamu mengaku cinta surga, namun kamu tidak melakukan amalan-amalan ahli surga.
  6. Kamu mengaku takut neraka, tetapi kamu tidak mau meninggalkan perbuatan dosa.
  7. Kamu mengatakan bahwa kematian itu adalah benar adanya, tetapi kamu tidak bersiap-siap untuk kematian itu.
  8. Kamu sibuk mencari aib orang lain sedang aibmu sendiri tidak kamu perhatikan.
  9. Kamu telah makan dari rizki-Nya namun kamu tidak pernah bersyukur kepada-Nya.
  10. Kamu sering mengubur orang mati, tetapi kamu tidak pernah mengambil pelajaran darinya.
Ada seorang yang datang kepada Ibrahim bin Adham rahimahullah lalu berkata kepadanya, "Wahai Abu Ishak! Sesungguhnya aku telah berbuat zhalim kepada diriku, maka tunjukkanlah kepadaku sesuatu yang dapat menahan dan menyelamatkanku". Lalu Ibrahim berkata, "Jika Anda menerima lima hal dan mampu untuk melakukannya, maka tidak apa-apa Anda berbuat maksiat." Ia berkata,"Tunjukkanlah, wahai Abu Ishak!" Beliau menjawab,"Yang pertama, jika Anda ingin berbuat maksiat kepada Allah, maka jangalah makan (dari) rizki-Nya." Ia berkata,"Darimana aku makan? Sementara semua yang ada di bumi adalah rizki-Nya?."
Ibrahim berkata, "Wahai fulan, pantaskah Anda memakan rizki-Nya sedang Anda berbuat maksiat kepada-Nya?." Ia menjawab, "Tidak (pantas), lalu tunjukkanlah yang kedua." Ibrahim berkata, "Jika Anda ingin berbuat maksiat kepada-Nya, maka janganlah tinggal di daerah mana saja dari bumi-Nya." Ia berkata, "ini lebih besar lagi, lalu dimana aku akan tinggal?." Ibrahim berkata, "Wahai fulan, pantaskah bagi Anda untuk makan dari rizki-Nya menempati bagian dari bumi-Nya sedang Anda berbuat maksiat kepada-Nya?" Dia menjawab, "Tidak! tunjukkan yang ketiga."
Ibrahim berkata, "Jika Anda ingin berbuat maksiat kepada-Nya, makan dari rizki-Nya, dan bertempat di bumi-Nya, maka carilah sebuah tempat yang tidak dilihat oleh Dia, lalu berbuatlah maksiat disitu." Dia menjawab, "Wahai Ibrahim, bagaimana hal itu terjadi sedang Dia mengetahui segala apa yang tersembunyi dalam hati?." Ibrahim berkata, "Wahai fulan, pantaskah bagi Anda untuk makan dari rizki-Nya, tinggal di bumi-Nya, dan berbuat maksiat kepada-Nya, sedang Dia melihatmu dan mengetahui kemaksiatan yang kamu tampakkan?." Ia menjawab, "Tidak! lalu tunjukkan yang keempat."
Ibrahim berkata, "Jika malaikat maut datang untuk mencabut nyawamu maka katakanlah kepadanya, 'tundalah dahulu sampai aku bertaubat dengan sebenarnya dan beramal shalih'." Ia menjawab, "Dia tidak akan mau menerima hal itu dariku." Ibrahim berkata, "Wahai fulan, jika Anda tidak mampu menolak kematian Anda agar dapat bertaubat lebih dulu dan Andapun mengetahui bahwasanya jika kematian itu datang Anda tidak bisa mengundurkannya, lalu bagaimana Anda menginginkan kebebasan?" Ia berkata, "Tunjukkan yang kelima."
Ibrahim berkata, "Apabila pada hari kiamat malaikat Zabaniyah datang kepada Anda untuk melemparkan Anda kedalam neraka, janganlah pergi bersamanya." Ia menjawab, "mereka tidak akan meninggalkanku, tidak akan mau menerima permintaanku." Ibrahim berkata, "kalau demikian, bagaimana Anda mengharap selamat?". Ia berkata, "wahai Ibrahim, cukup! cukup! Aku akan beristighfar kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya. Dia lalu benar-benar bertaubat kepada Allah dan akhirnya dia beristiqomah dalam beribadah dan menjauhi segala kemaksiatan sampai ia meninggal dunia.

Sumber: 44 Renungan Makna Hidup, Karya Ahmad al-Utsman, Pustaka Elba 

Syaqiiq al-Balkhi adalah teman Ibrahim bin Adham yang dikenal ahli ibadah, zuhud dan tinggi tawakalnya kepada Allah. Hingga pernah sampai pada tataran enggan untuk bekerja. Penasaran dengan keadaan temannya, Ibrahim bin Adham bertanya, “Apa sebenamya yang menyebabkan Anda bisa seperti ini?”
Syaqiiq menjawab, “Ketika saya sedang dalam perjalanan di padang yang tandus, saya melihat seekor burung yang patah kedua sayapnya.
Lalu saya berkata dalam hati, aku ingin tahu, dari mana burung itu mendapatkan rizki. Maka aku duduk memperhatikannya dari jarak yang dekat. Tiba-tiba datanglah seekor burung yang membawa makanan di paruhnya. Burung itu mendekatkan makanan ke paruh burung yang patah kedua sayapnya untuk menyuapinya. Maka saya berkata dalam hati, “Dzat yang mengilhami burung sehat untuk menyantuni burung yang patah kedua sayapnya di tempat yang sepi ini pastilah berkuasa untuk memberiku rejeki di manapun aku berada.”
Maka sejak itu, aku putuskan untuk berhenti bekerja dan aku menyibukkan diriku dengan ibadah kepada Allah. Mendengar penuturan Syaqiiq tersebut Ibrahim berkata, “Wahai Syaqiiq, mengapa kamu serupakan dirimu dengan burung yang cacat itu? Mengapa Anda tidak berusaha menjadi burung sehat yang memberi makan burung yang sakit itu? Bukankah itu lebih utama? Bukankah Nabi bersabda, “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah?”
Sudah selayaknya bagi seorang mukmin memilih derajat yang paling tinggi dalam segala urusannya, sehingga dia bisa mencapai derajat orang yang berbakti?
Syaqiiq tersentak dengan pernyataan Ibrahim dan ia menyadari kekeliruannya dalam mengambil pelajaran. Serta merta diraihnya tangan Ibrahim dan dia cium tangan itu sambil berkata, “Sungguh. Anda adalah ustadzku, wahai Abu Ishaq (Ibrahim).” (Tarikh Dimasyqi, Ibnu Asakir)
Sumber : Al-Risalah No. 112 / Vol. X / 04 Syawal – Dzhulqa’dah 1431 H / Oktober 2010

Hanya Karena Sebutir Kurma

Selesai menunaikan ibadah haji, Ibrahim bin Adham berniat ziarah ke mesjidil Aqsa. Untuk bekal di perjalanan, ia membeli 1 kg kurma dari pedagang tua di dekat mesjidil Haram. Setelah kurma ditimbang dan dibungkus, Ibrahim melihat sebutir kurma tergeletak di dekat timbangan. Menyangka kurma itu bagian dari yang ia beli, Ibrahim memungut dan memakannya. Setelah itu ia langsung berangkat menuju Al Aqsa. 4 Bulan kemudian, Ibrahim tiba di Al Aqsa. Seperti biasa, ia suka memilih sebuah tempat beribadah pada sebuah ruangan dibawah kubah Sakhra. Ia shalat dan berdoa khusuk sekali. Tiba tiba ia mendengar percakapan dua Malaikat tentang dirinya.
“Itu, Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang zuhud dan wara yang doanya selalu dikabulkan Allah swt,” kata malaikat yang satu. “Tetapi sekarang tidak lagi. doanya ditolak karena 4 bulan yang lalu ia memakan sebutir kurma yang jatuh dari meja seorang pedagang tua di dekat mesjidil haram,” jawab malaikat yang satu lagi..
Ibrahim bin adham terkejut sekali, ia terhenyak, jadi selama 4 bulan ini ibadahnya, shalatnya, doanya dan mungkin amalan-amalan lainnya tidak diterima oleh Allah swt. gara-gara memakan sebutir kurma yang bukan haknya. “Astaghfirullahal adzhim” Ibrahim beristighfar. Ia langsung berkemas untuk berangkat lagi ke Mekkah menemui pedagang tua penjual kurma. Untuk meminta dihalalkan sebutir kurma yang telah ditelannya.
Begitu sampai di Mekkah ia langsung menuju tempat penjual kurma itu, tetapi ia tidak menemukan pedagang tua itu melainkan seorang anak muda. “4 bulan yang lalu saya membeli kurma disini dari seorang pedagang tua. kemana ia sekarang ?” tanya Ibrahim. “Sudah meninggal sebulan yang lalu, saya sekarang meneruskan pekerjaannya berdagang kurma” jawab anak muda itu. “Innalillahi wa innailaihi roji’un, kalau begitu kepada siapa saya meminta penghalalan ?”. Lantas ibrahim menceritakan peristiwa yg dialaminya, anak muda itu mendengarkan penuh minat. “Nah, begitulah” kata ibrahim setelah bercerita,
“Engkau sebagai ahli waris orangtua itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur ku makan tanpa izinnya?”. “Bagi saya tidak masalah. Insya Allah saya halalkan. Tapi entah dengan saudara-saudara saya yang jumlahnya 11 orang. Saya tidak berani mengatas nama kan mereka karena mereka mempunyai hak waris sama dengan saya.” “Dimana alamat saudara-saudaramu ? biar saya temui mereka satu persatu.” Setelah menerima alamat, ibrahim bin adham pergi menemui. Biar berjauhan, akhirnya selesai juga. Semua setuju menghalakan sebutir kurma milik ayah mereka yang termakan oleh ibrahim.
4 bulan kemudian, Ibrahim bin adham sudah berada dibawah kubah Sakhra. Tiba tiba ia mendengar dua malaikat yang dulu terdengar lagi bercakap cakap. “Itulah ibrahim bin adham yang doanya tertolak gara gara makan sebutir kurma milik orang lain.” “O, tidak.., sekarang doanya sudah makbul lagi, ia telah mendapat penghalalan dari ahli waris pemilik kurma itu.. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia sudah bebas.”

10 Nasihat Ibrahim bin Adham

Suatu ketika Ibrahim bin Adham, seorang alim yang terkenal zuhud dan wara’nya, melewati pasar yang ramai. Selang beberapa saat beliau pun dikerumuni banyak orang yang ingin minta nasehat. Salah seorang di antara mereka bertanya, “Wahai Guru! Allah telah berjanji dalam kitab-Nya bahwa Dia akan mengabulkan doa hamba-Nya. Kami telah berdoa setiap hari, siang dan malam, tapi mengapa sampai saat ini doa kami tidak dikabulkan?”
Ibrahim bin Adham diam sejenak lalu berkata, “Saudara sekalian. Ada sepuluh hal yang menyebabkan doa kalian tidak dijawab oleh Allah.

Pertama, kalian mengenal Allah, namun tidak menunaikan hak-hak-Nya.

Kedua, kalian membaca al-Quran, tapi kalian tidak mau mengamalkan isinya.


Ketiga, kalian mengakui bahwa iblis adalah musuh yang sangat nyata, namun dengan suka hati kalian mengikuti jejak dan perintahnya.

Keempat, kalian mengaku mencintai Rasulullah, tetapi kalian suka meninggalkan ajaran dan sunnahnya.

Kelima, kalian sangat menginginkan surga, tapi kalian tak pernah melakukan amalan ahli surga.

Keenam, kalian takut dimasukkan ke dalam neraka, namun kalian dengan senangnya sibuk dengan perbuatan ahli neraka.

Ketujuh, kalian mengaku bahwa kematian pasti datang, namun tidak pernah mempersiapkan bekal untuk menghadapinya.

Kedelapan, kalian sibuk mencari aib orang lain dan melupakan cacat dan kekurangan kalian sendiri.

Kesembilan, kalian setiap hari memakan rezeki Allah, tapi kalian lupa mensyukuri nikmat-Nya.

Kesepuluh, kalian sering mengantar jenazah ke kubur, tapi tidak pernah menyadari bahwa kalian akan mengalami hal yang serupa.”

Setelah mendengar nasehat itu, orang-orang itu menangis.
Dalam kesempatan lain Ibrahim kelihatan murung lalu menangis, padahal tidak terjadi apa-apa. Seseorang bertanya kepadanya. Ibrahim menjawab, “Saya melihat kubur yang akan saya tempati kelak sangat mengerikan, sedangkan saya belum mendapatkan penangkalnya. Saya melihat perjalanan di akhirat yang begitu jauh, sementara saya belum punya bekal apa-apa. Serta saya melihat Allah mengadili semua makhluk di Padang Mahsyar, sementara saya belum mempunyai alasan yang kuat untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan saya selama hidup di dunia.”

Duduk Bertumpang Kaki

Ketika Ibrahim Bin Adham Menangis

Suatu hari, seorang tokoh sufi besar, Ibrahim bin Adham, mencoba untuk memasuki sebuah tempat pemandian umum. Penjaganya meminta wang untuk membayar karcis masuk. Ibrahim menggeleng dan mengaku bahwa ia tak punya wang untuk membeli karcis masuk.
Penjaga pemandian lalu berkata, “Jika engkau tidak punya wang, engkau tak boleh masuk.”
Ibrahim seketika menjerit dan tersungkur ke atas tanah. Dari mulutnya terdengar ratapan-ratapan kesedihan. Para pejalan yang lewat berhenti dan berusaha menghiburnya. Seseorang bahkan menawarinya wang agar ia dapat masuk ke tempat pemandian.
Ibrahim menjawab, “Aku menangis bukan karena ditolak masuk ke tempat pemandian ini. Ketika si penjaga meminta ongkos untuk membayar karcis masuk, aku langsung teringat pada sesuatu yang membuatku menangis. Jika aku tak diizinkan masuk ke pemandian dunia ini kecuali jika aku membayar tiket masuknya, harapan apa yang boleh kumiliki agar diizinkan memasuki surga? Apa yang akan terjadi padaku jika mereka menuntut: Amal salih apa yang telah kau bawa? Apa yang telah kau kerjakan yang cukup berharga untuk boleh dimasukkan ke surga? Sama ketika aku diusir dari pemandian karena tak mampu membayar, aku tentu tak akan diperbolehkan memasuki surga jika aku tak mempunyai amal salih apa pun. Itulah sebabnya aku menangis dan meratap.”
Dan orang-orang di sekitarnya yang mendengar ucapan itu langsung terjatuh dan menangis bersama Ibrahim.


Sumber: http://sastra-muslim.blogspot.com/2011/11/mutu-manikam-nasihat-ibraham-bin-adham.html

Nur al-Din 'Abd al-Rahman al-Jami



Musim panas, musim dingin, dan musim semi akan berlalu.
Kita pasti akan jadi tanah dan debu


Biografi Singkat


       'Abd al-Rahaman Jami adalah salah seorang intelektual-Muslim yang pandai dari Persia yang hidup pada masa pertengahan Islam. Ia di lahirkan di Kharjad atau Jam (sebuah kota kecil di Afghanistan) pada tahun 1414 M / 817 H. Nama lengkapnya Nur al-Din 'Abd al-Rahman al-Jami. Anak dari Nizam al-Din ini, sebelum terkenal dengan sebutan al-Jami, ia akrab dengan dipanggil al-Dasty. Gelar terakhir ini diambil dari penisbatannya terhadap sebuah daerah dekat Kota Isfahan, tempat asal ayahnya.
        Ia adalah orang yang cerdas dan pandai, hal ini terbukti dari sejak kecil ia telah menunjukan sifatnya yang luar biasa itu. Ia sangat mudah dan tanggap menguasai pelajaran yang di berikan kepadanya. Ia adalah seorang yang pandai berorasi dan berargumentasi. Salah satu diantara para ulama  yang pernah menjadi gurunya ialah Syeikh Sa’u al-Din al-Kasygari, murid sekaligus khalifah Syeh Baharuddin Naqsibandiah. Dalam karyanya, Alexandrian Book of Wisdom, Jami’ menunjukkan bahwa mata rantai penyebaran
esoteris Sufi Asia Khajagan (para ‘Guru’), sama dengan yang digunakan oleh penulis-penulis mistik Barat. Dalam penyebaran Sufi, ia menempatkan beberapa nama sebagai guru, seperti Plato, Hippocrates, Pythagoras dan Hermes Trismegistos. Jami’ merupakan murid Sadedin Kasygari, pimpinan aliran Naqsyabandiyah, yang berhasil memimpin di wilayah Herat, Afghanistan. Kesetiaannya yang tertinggi kepada Khaja Obaidullah Ahrar, Pemimpin Aliran (madzhab).
        Keuletan dan potensinya itu mengantarkannya menjadi sosok yang dihormati dan dikagumi oleh semua lapisan masyarakat. Ia adalah tokoh yang sangat terkenal di kawasan Persia, sehinggga kemashurannya pun mencapai kawasan Turki Usmani. Disebutkan pada suatu waktu ia berada di Damaskus, ia dicari utusan Sultan Turki Usmani yang bermaksud mengundangnya ke Istana dan telah menyiapakan hadiah baginya. Karena tidak tertarik pada undangan itu, Al-Jami segera meninggalkan Kota Damaskus.     
      Beberapa tahun sebelum kematianya, ia berkunjung ke desa-desa tetangganya yang tidak di perhatikan secara khusus. Tiga hari sebelum meninggal, ia mengumpulkan beberapa murid dekatnya dan berkata, “Jadilah saksiku bahwa aku tidak punya ikatan dengan apapun  dan dengan siapa pun”. Ketika fajar mulai menyingsing di Kota Heart, Pada hari jum’at tahun 1492 M / 898 H, ia merasa bahwa kematiannya akan tiba. Ia merlakukan shalat dan kemudian duduk untuk melakukan dzikir, dan siang harinya ia pun wafat.
       Ada sebuah kisah jenaka dituturkan mengenai saat kematian Al-Jami’.
“Para sufi yang sangat sedih mengetahui bahwa ia akan segera wafat, berkumpul di rumahnya, sebagian menangis pelan-pelan, sementara sebagian yang lain sibuk melantunkan dzikir, tetapi ada salah seorang yang membaca al-Qur’an dengan suara keras dan mengganggu yang lain, akhirnya al-Jami’ mengangkat kepala dan berkata, “Demi Allah aku akan mati jika engkau tidak menghentikan keributanmu!”

Karya-karyanya

     Kita masih bisa melihat kebesarannya dalam karya-karya dan tulisannya yang berhasil ia telurkan. Tidak kurang dari 90 buku dan tulisannya yang dihasilkan, namun menurut sumber lain hanya berjumlah 46 karya dengan berbagai topik dan gaya. Dalam tulisannya, kebanyakan berbicara dalam bidang tasawuf, akan tetapi bidang-bidang lain pun tidak luput dari pehatiannya. Misalnya, menulis komentar tafsir sejumlah surah dalam al-Qu’an, memberikan komentar hadis-hadis yang di riwayatkan oleh Abu Dzar al- Ghifari.
     Di antara karya prosanya adalah Nafahat ul-Uns (Nafas dari Bayu Persahabatan),  Beharistan (Kota Musim Semi) dan koleksi Biography Para Wali Sufi. Karya puisinya yang terkenal adalah Haft Awrang (Tujuh Tahta Rahmat), yang terdiri dari 25 ribu bait. Buku Yusuf & Zulaikha merupakan puncak buah karyanya. Selain itu ia juga menulis tentang biografi Nabi Muhammad, bukti-bukti tentang kenabiannya, tentang biografi para sufi dan pengajaran mereka tentang para penyair, raja-raja, puisi, musik dan taat bahasa Arab.
     Meskipun demikian al-Jami lebih terkenal kehadirannya sebagai penyair dan sebagai juru bicara tasawuf aliran Wahdat al-Wujud. Menurutnya, Nafs atau jiwa manusia, sebagai unsur atau prinsip yang menghidupkan manusia, memiliki potensi untuk mencapai sejumlah tahap kesempurnaan yang berbeda. Dengan melewati tahap demi tahap, jiwa itu akan semakin dekat dan menyatu dengan Tuhan. Al-Jami membaginya dalam tiga fase. Pertama, fase paling rendah yang di sebut Nafs Amarat, yaitu nafs yang terus menerus mendorong kepada hal-hal yang buruk dan rendah. Setelah fase ini terlewati dengan mlalui latihan spiritual, jiwa ini akan meningkat pada fase yang ke-dua  yaitu Nafs Lawamat, yang berarti jiwa ini mampu mencela kekurangan-kekurangan dirinya sendiri. Bila di tingkatkan kembali maka akan mencapai pada fese yang ke-tiga yaitu Nafs Mutmainnat, pada fase ini jiwa akan sampai pada puncak kesempurnaannya, di sini jiwa akan merasa tentram, damai, dan bahagia.

       Dari banyak munajatnya yang indah kepada Allah, dia berkata,

“Ya Rabbi, ya Tuhanku, jauhkanlah kami dari perbuatan menghabiskan waktu untuk perkara-perkara kecil yang tidak berguna. Tunjukkanlah kepada kami segala perkara menurut hakekatnya. Angkatlah dari batin kami selubung ketidaksadaran. Janganlah diperlihatkan kepada kami barang yang tidak nyata sebagai barang yang ada. Janganlah Kau biarkan bayang-bayang menutup batin kami, sehingga kami tidak dapat melihat keindahan-Mu. Jadikanlah bayang-bayang ini sebagai kaca yang melalui batin kami untuk menyaksikan-Mu.”
     
Pada bagian lain dia berkata,

“Sang kekasih menyeru dari kedai minuman,
datanglah lalu berilah aku anggur cinta,
cawan demi cawan.
Kubebaskan diriku dari belenggu logika dan nalar.
Lalu kumulai meratap dan menangis untuk bersatu.”
  
Dalam tahun terakhirnya ia melihat visi tentang kematiannya, dan sering melantunkan bait syair berikut:

Adalah memalukan
Bahwa hari-hari berlalu tanpa kita
Bunga-bunga ‘ akan mekar dan musim semi akan tiba
Musim panas, musim dingin, dan musim semi
Akan berlalu
Dan kita pasti akan menjadi tanah dan debu.

Tulisan dan ajaran Jami’, pada akhirnya membuat dirinya begitu popular, sehingga para Sultan Turki dan para pemimpin lokal, secara terus menerus menawarkan sejumlah besar emas dan hadiah lain agar Jami mau menjadi bagian dari aristocrat Istana mereka.
Di bawah ini dituliskan beberapa ucapan Jami, yang meawakili ekspresi jiwa dan keilmuannya.
Tumbuh Subur
Jika gunting tidak digunakan setiap hari untuk menggunting jenggot, maka tidak akan melebihi panjang janggut itu sendiri karena pertumbuhannya yang subur, seolah-olah menjadi kepala.
 
Kesatuan
Cinta menjadi sempurna jika melebihi cinta itu sendiri Menjadi Satu dengan maksudnya; Menghasilkan Kesatuan Dzat.
 
Sholat dan Hidung
Aku melihat orang tengah sujud dalam shalatnya, dan berseru:
“Engkau menempatkan beban hidungmu di lantai dengan alasan bahwa hal itu syarat orang shalat.”
 
Guru
Penguasa adalah pelindung dan pengikutnya adalah rakyat. Ia harus menolong dan menyelamatkan mereka, tidak mengeksploitasi dan merusak mereka. Apakah pelindung untuk rakyat, atau rakyat untuk pelindung?
 
CINTA
Cinta manusia kebanyakan mampu meningkatkan manusia pada pengalaman cinta sejati.

AWAN KERING
Awan kering, tidak berair, tidak dapat memberi hujan yang berkualitas.
 
Penyair dan Tabib
Seorang penyair mengunjungi tabib. Ia berkata, “Aku mengalami berbagai gejala mengerikan. Aku tidak bahagia dan tidak nyaman, rambut, tangan dan kakiku seolah disiksa.”
Tabib menjawab, “Apakah benar bahwa engkau belum mengeluarkan komposisi puisimu yang terbaru?”
“Benar,” jawab penyair.
“Bagus sekali,” jawab si tabib, “Bawakanlah dengan bagus!”
Ia melakukannya, dan atas perintah tabib, ia bersyair baris demi baris berulang-ulang.
Kemudian tabib mengatakan, “Berdirilah, karena engkau sekarang sudah sembuh. Apa yang engkau rasakan dalam tubuhmu adalah pengaruh dari fisikmu. Sekarang sudah bebas, engkau sehat lagi.”
 
Pengemis
Seorang pengemis menuju sebuah pintu, menanyakan sesuatu yang dapat diberikan kepadanya. Si pemilik (pintu) menjawab:
“Maaf, tidak ada seorang pun di dalam.”
“Aku tidak menginginkan siapa pun,” jawab pengemis, “Aku ingin makanan.”
 
KEMUNAFIKAN
Tercatat dalam Tradisi dari Guru bahwa suatu ketika Jami’ berkata, ketika ditanya tentang kemunafikan dan kejujuran:
“Apa hebatnya kejujuran dan apa anehnya kemunafikan!”
“Aku berkelana ke Mekkah dan ke Baghdad, dan aku membuat percobaan tentang perilaku manusia. Ketika aku meminta mereka untuk jujur, mereka selalu memperlakukanku dengan hormat, karena mereka berpikir bahwa orang baik selalu berkata demikian, dan mereka telah belajar bahwa mereka harus bermimik sedih pada saat orang berbicara kejujuran. Ketika aku meminta mereka menghindari kemunafikan, mereka semua setuju.
Tetapi mereka tidak tahu ketika aku berkata ‘kebenaran’, aku tahu kalau mereka tidak tahu apa kebenaran itu, dan kemudian mereka atau aku menjadi munafik.
Mereka pun tidak tahu bahwa ketika aku mengatakan agar tidak munafik, mereka menjadi munafik karena tidak menanyakan caranya. Mereka tidak tahu pula kalau aku menjadi munafik, ketika mengatakan ‘jangan munafik’, sebab kata-kata tidak menyampaikan pesan dengan sendirinya.
Mereka menghargaiku, ketika aku berlagak munafik. Mereka sudah diajari untuk bertingkah demikian. Mereka menghormati diri sendiri sementara mereka berpikir secara munafik; karena merupakan kemunafikan berpikir, bahwa seseorang secara sederhana bertambah baik dengan berpikir bahwa menjadi munafik itu jelek.
Intinya, Jalan yang membawa ke (derajat) atas adalah: mempraktekkan dan memahami untuk tidak dapat (menjadi) munafik, di mana terdapat kejujuran dan tidak ada sesuatu yang menjadi tujuan manusia.”
 
HARGA DIRI
Jangan membual kalau engkau tidak memiliki harga diri, karena hal itu lebih terlihat daripada kaki semut di atas batu hitam dalam kegelapan malam. Dan jangan berpikir bahwa mengeluarkannya hal mudah, karena lebih mudah menarik gunung dari muka bumi dengan sebuah jarum.
 
AKAL
Berhentilah membual tentang akal dan belajar; karena di sini akal menghambat, dan belajar adalah kebodohan.
 
APA YANG AKAN KITA LAKUKAN?
Mawar telah hilang dari taman; apa yang akan kita lakukan dengan duri-durinya?
Syah tidak ada di kota; apa yang kita lakukan dengan istananya?
Pasar malam adalah sangkar, kecantikan dan keindahan adalah burung; Jika burung telah terbang, apa yang akan kita lakukan dengan sangkar?
 
NEGARA
Keadilan dan kejujuran, bukan agama atau ateisme,
Dibutuhkan untuk perlindungan terhadap Negara.
 
GELOMBANG BESAR
Di hadapan Nusyirwan yang adil, para guru bijak mendiskusikan tentang gelombang berat dalam penderitaan.
Salah seorang mengatakan bahwa hal itu adalah
penyakit dan nestapa;
Lainnya, bahwa hal itu usia lanjut dan kemiskinan;
Ketiga, bahwa hal itu mendekati kematian dengan
sedikit karya (amal).
Dan akhirnya, yang satu ini diterima.




Sumber

http://sastra-muslim.blogspot.com/2011/10/nur-al-din-abd-al-rahman-al-jami.html#more


Jalan Sufi: Reportase Dunia Ma’rifat oleh Idries Shah
Judul asli: The Way of the Sufi, Penterjemah Joko S. Kahhar dan Ita Masyitha
Penerbit Risalah Gusti, Cetakan Pertama Sya’ban 1420H, November 1999
Jln. Ikan Mungging XIII/1, Surabaya 60177
Telp.(031) 3539440 Fax.(031) 3529800

KHAZANAH ISLAM: SYAIR TASAWUF DAN ETIKA POLITIK

Abdul Hadi W. M.


Syair Tasawuf


  Akhir masa peralihan Hindu ke Islam sebenarnya tidak bisa dibatas secara jelas. Hal ini disebabkan karena karya-karya dari abad ke-15 dan 16 M masih terus digubah kembali pada abad-abad berikutnya. Penyaduran dan penciptaan kembali hikayat-hikayat itu juga dilakukan secara intentif dalam bahasa-bahasa Nusantara lain seperti Jawa, Sunda, Aceh, Bugis, Madura, Sasak, Banjar, Minangkabau, Makassar dan Mandailing hingga abad ke-19 M. Tetapi pada akhir abad ke-16 M dan awal abad ke-17 M, bersamaan dengan berkembangnya kesultanan Aceh Darussalam sebagai pusat baru kegiatan penulisan sastra Melayu, gelombang kedua pemikiran Islam bermula. Pada masa ini islamisasi realitas benar-benar dijalankan secara penuh dan Islam dipakai sebagai cermin untuk melihat dan memahami realitas kehidupan dalam hampir seluruh aspeknya.
            Dua gejala dominan yang saling berhubungan muncul pada masa ini, yaitu kecenderungan untuk memusatkan diri pada renungan-renungan tasawuf. Terutama dalam ikhtiar menjawab masalah hubungan manusia dengan Yang Abadi. Gejala dominan kedua ialah upaya untuk merumuskan sistem kekuasaan berdasarkan cara pandang Islam. Kecenderungan kedua ini memunculkan hasrat untuk menyusun teori kenegaraan yang ideal (Taufik Abdullah 2002). Pada masa inilah muncul tokoh-tokoh besar di bidang keagamaan dan sastra yang berpengaruh bagi perkembangan intelektual Islam di Nusantara dalam abad-abad selanjutnya. Tokoh-tokoh Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani (disebut juga Syamsudin Pasai) bersama murid-muridnya dapat dikatakan mewakili gejala dominan pertama. Sedangkan gejala dominan kedua diwakili oleh Bukhari al-Jauhari dan Nuruddin al-Raniri. Dua tokoh yang disebut terakhir ini muncul pada paruh pertama abad ke-17 M, ketika Aceh mencapai puncak kejayaannya sebagai pusat keagamaan, kebudayaan dan kegiatan politik Islam. Pada masa inilah kitab-kitab keagamaan – fiqih, teologi dan tasawuf – untuk pertama kalinya ditulis secara sistematis dan ilmiah.
            Ciri lain dari gelombang kedua ini ialah suburnya penulisan puisi-puisi keagamaan, khususnya syair-syair tasawuf. Para penyair Melayu tidak lagi sekadar menyadur dan menggubah kembali karya-karya Arab dan Parsi, melainkan mulai benar-benar melahirkan karya yang orisional dan ekspresif. Pengaruh dari munculnya karya-karya semacam ini ialah bangkitnya sebuah kesadaran baru, khususnya kesadaran pentingnya individualitas. Karya-karya para penulis Aceh ini memperlihatkan bahwa, diakui atau tidak, Islam telah merupakan bagian dari ’diri yang sah’ dan utuh dalam sejarah peradaban dan kebudayaan bangsa-bangsa Nusantara. Seperti dikatakan Taufik Abdullah, ”Dalam gelombang kedua ini, teori kekuasaan yang bertolak dari pendekatan sufistik mulai dirumuskan. ’Negara’ tidak lagi sekadar refelksi dari kedirian sang raja tetapi juga pranata yang merupakan wadah bagi terwujudnya kesatuan yang harmonis antara ’raja’ dan ’rakyat’, dan antara makhluq dan Khaliq” (Ibid).

Hamzah Fansuri.

Tokoh utama gejala pertama ialah Hamzah Fansuri, seorang sufi terkemuka, ahli agama, sastrawan besar dan pengembara. Dia dilahirkan di tanah Fansuri atau Barus, dan diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 dan 17 M. Sejak akhir abad ke-16 M tanah kelahirannya masuk ke dalam wilayah ke kerajaan Aceh Darussalam. Menurut Ali Hasymi (1984), bersama saudaranya Ali Fansuri, dia mendirikan sebuah dayah (pesantren) besar di daerah Singkil, tidak jauh dari tempat kelahirannya.
            Hamzah Fansuri mempelajari tasawuf dalam tariqat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jilani. Setelah mengembara ke berbagai pusat Islam seperti Baghdad, Mekkah, Medinah dan Yerusalem, dia kembali ke tanah airnya dan mengembangkan ajaran tasawuf sendiri. Dia juga pernah mengembara ke Iran, Afghanistan, India, Siam, Semenanjung Malaya, Jawa, Sumbawa dan Kalimantan. Sebagai sufi dia menempuh jalur pemikiran wujudiyah Ibn `Arabi, Sadrudin al-Qunawi dan Fakhrudin `Iraqi. Sedangkan karangan-karangan sastranya diilhami terutama oleh karya-karya Fariduddin al-`Aththar, Jalaluddin al-Rumi dan Abdur Rahman al-Jami. Semua nama itu merupakan sufi terkemuka Arab dan Parsi pada abad ke-13 – 15 M.
           Hamzah Fansuri menulis banyak kitab, tetapi yang dijumpai hingga kini ialah tiga risalah tasawufnya, masing-masing Syarab al-`Asyiqin (Minuman Orang Berahi), Asrar al-`Arifin (Rahasia Ahli Makrifat) dan al-MuntahiSyarab al-Asyiqin dianggap sebagai karyanya yang pertama dalam bahasa Melayu dan sekaligus risalah tasawuf pertama dalam bahasa Melayu (al-Attas 1970). Versinya yang lain diberi judul Zinat al-Muwahhidin (Perhiasan Ahli Tauhid). Sedangkan syair-syair tasawufnya yang dijumpai tidak kurang dari 32 ikat-ikatan atau untaian1. Syair-syairnya dianggap sebagai ’syair Melayu’ pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu, yaitu sajak empat baris dengan pola bunyi akhir AAAA pada setiap barisnya (al-Attas 1968; Braginsky 1991 dan 1992). Syamsudin al-Sumatrani (w. 1630 M) menyebut sajak-sajak tersebut sebagai ruba’i, yaitu sajak empat baris dalam dua misra’ (Ali Hasymi 1975)
           Syair-syairnya punya ciri-ciri khusus yang sebagian darinya kemudian ditransformasikan menjadi konvensi puitika dan estetika sufi Melayu. Banyaknya kata-kata dan istilah Arab, khususnya dari al-Qur’an dan Hadis, dalam syair-syairnya menunjukkan bahwa pada masa hidupnya proses islamisasi kebudayaan Melayu berlangsung dahsyat. Dan sang penyair sudah memainkan peranan utama sebagai pelaku dari proses islamisasi itu. Ciri-ciri penting ssyair-syair Hamzah Fansuri ialah: 

Pertama,pemakaian penanda kepengarangan seperti faqir, anak dagang, anak jamu, `asyiq dan lain-lain, yang kesemuanya ditransformasikan dari gagasan sufi tentang peringkat rohani (maqam) tertinggi di jalan kerohanian atau ilmu suluk.

Kedua, banyak petikan ayat al-Qur’an, Hadis, pepatah dan kata-kata Arab, yang beberapa di antaranya telah lama dijadikan metafora, istilah dan citraan konseptual penulis-penulis sufi Arab dan Parsi. Di antara tamsil atau citraan konseptual yang diambil dari al-Qur’an dan dijadikan pusat renungan sufi ialah al-bayt al-ma`mur (Q 52:4) untuk menyebut Ka’bah dan kalbu;qaba qawsayn awadna (53:9) = jarak lingkaran dua busur, menggambarkan dekatnya Tuhan dengan manusia; ayna-ma tuwallu fa-tsamma wajh Allah (Q 2:115) = kemana pun kau memandang akan tampak wajah Allah; kuntu kanzan.

Ketiga, dalam setiap bait terakhir ikat-ikatan syairnya sang sufi selalu mencantumkan nama diri dan takhallus-nya, yaitu nama julukannya yang biasanya didasarkan pada nama tempat kelahiran penyair atau kota di mana dia dibesarkan. Di situ penyair juga mengungkapkan tingkat dan pengalaman kesufianyang dicapainya. Di sini penyair benar-benar menekankan pentingnya individualitas dalam penciptaan puisi (Teeuw 1994; Abdul Hadi W. M. 2001: 136-146).

Keempat, penggunaan tamsil dan citraan-citraan simbolik atau konseptual yang melukiskan pengalaman dan gagasan kesufian mereka berkenaan dengan cinta, kemabukan mistikal, fana’, makrifat, tatanan wujud dan lain-lain. Misal anggur atau arak adalah lambang kemabukan mistik. Simbol lain yang digunakan penyair ialah burung (untuk ruh), ikan yang menyatu dengan lautan (persatuan mistik) ; kekasih atau Mahbub (Tuhan); kapal yang berlayar ke Bandar Tauhid (perjalanan ruhani seorang beriman); bukit rantang atau puncak gunung tempat seorang `asyiq bertemu dengan Kekasihnya; Ka’bah (lambang hati seseorang yang imannya teguh) dan lain-lain. Tamsil-tamsil ini ditransformasikan ke dalam lingkungan budaya dan alam kehidupan Melayu. Anggur dirubah menjadi arak dan serbat, gelas anggur dirubah dengan takir dari daun pisang. Selain itu terdapat cukup banyak tamsil yang diambil dari alam kehidupan dan budaya Melayu, seperti kayu, kapur barus, perahu dengan perlengkapannya dan masih banyak lagi tentunya. Kelima, karena paduan yang seimbang antara diksi (pilihan kata), rima dan unsur-unsur puitik lainnya, syair-syair Hamzah Fansuri menciptakan suasana ekstase (wajd) dalam pembacaannya, tidak kurang seperti suasana yang tercipta pada saat para sufi melakukan wirid, zikir dan sama’, yaitu konser musik kerohanian yang disertai dengan zikir, nyanyian dan pembacaan sajak.

Ciri lain yang menonjol dalam pembaharuan Hamzah Fansuri dalam sastra Nusantara ialah penekanannya terhadap individualitas. Penekanan terhadap individualitas berkenaan dengan hakikat pengalaman kesufian itu sendiri. Annemarie Schimmel (1981:17) mengatakan:“Tasawuf berarti, pada periode perumusannya, terutama sebagai pendalaman ajaran Islam secara ruhaniah, suatu pengalaman pribadi tentang rahasia inti dari agama Islam, yaitu tauhid, ‘penyaksian (musyahadah) bahwa Tuhan itu esa”.
              Untuk menjelaskan bahwa yang diungkapkannya dalam puisi-puisinya merupakan pengalaman pribadi, dalam bait-bait penutup untaian syairnya (terdiri dari 13 sampai 21 bait) penyair selalu membubuhkan nama dan takhallus-nya. Dalam konvensi sastra sufi ini dimaksudkan sebagai pembebasan jiwa, yang bentuknya antara lain ialah fana’ (hapusnya nafsru rendah disebabkan menyatu dengan Kehendak Yang Abadi. Bentuk lain pembebasan jiawa ialah makrifat. Kutipan berikut ini menunjukkan hal tersebut:

Hamzah Fansuri di negeri Melayu
Tempatnya kapur di dalam kayu
Asalnya manikam di manakan layu
Dengan ilmu dunia di manakan payu

Hamzah Syahr Nawi terlalu hapus
Seperti kayu sekalian hangus
Asalnya laut tiada berarus
Menjadi kapur di dalam barus

(Ikat-ikatan XXVI, MS Jak. Mal. 83)

              Dalam syair “Hamzah Fansuri di negeri Melayu/Tempatnya kapur di dalam kayu...” dia menggunakan tamsil pohon barus yang merupakan penghasilan utama kota kelahirannya. Tamsil itu digunakan untuk menggambarkan pengalaman fana’, seperti dikatakannya “Seperti kayu sekalian hangus”. Kadang-kadang ia menggantikan citraan kayu dengan tubuh jasmaninya sendiri sebagai tempat yang batin (jiwa) melakukan `uzlat sehingga akhirnya mendapat pencerahan dan menyaksikan bahwa dirinya sebenarnya lebih merupakan makhluq ruhani dibanding makhluq jasmani:

Hamzah `uzlat di dalam tubuh
Ronanya habis sekalian luruh
Zahir dan batin menjadi suluh
Olehnya itu tiada bermusuh

(Ikat-ikatan XVIII, Ibid)


              Kadang perjalanan seorang ahli tasawuf digambarkaan sebagai pelayaran menuju Bandar Tauhid. Perjalanan tasawuf pada hakikatnya juga merupakan penyelaman ke dalam lautan wujud. Untuk itu ditampilkan tamsil-tamsil penyelaman ke dalam lautan. Penyir menggunakan tamsil kenaikan di antaranya juga memperlihatkan akrabnya penyair dengan budaya dan kehidupan masyarakat Melayu. Keindahan pakaian wanita Melayu yang tinggal di rumah yang berpatam birai dan pintu-pintunya penuh dengan ukiran indah, dijadikan tamsil untuk menyampaikan gagasan tasawufnya.

Subhan Allah terlalu kamil
Menjadikan insan alim dan jahil
Dengan hamba-Nya da’im Ia washil
Itulah mahbub yang bernama adil

Mahbubmu itu tiada berlawan
Lagi alim lagi bangsawan
Kasihnya banyak lagi gunawan
Olehnya itu beta tertawan

Bersunting bunga lagi bermalai
Kainnya warna berbagai-bagai
Tahu ber(sem)bunyi di dalam sakai (=makhluq)
Olehnya itu orang terlalai

Ingat-ingat kau lalu lalang
Berlekas-lekas jangan kau mamang
Suluh Muhammad yogya kaupasang
Supaya salim jalanmu datang

Rumahnya `ali berpatam birai
Lakunya bijak sempurna bisai
Tudungnya halus terlalu pingai
Da’im ber(sem)bunyi di balik tirai

Jika sungguh kau `ashiq dan mabuk
Memakai khandi pergi menjaluk
Ke dalam pagar yogya kaumasuk
Barang ghayr (=yang selain) Allah sekalian kau amuk

(Ikat-ikatan II, Ibid)

Gambaran perjalanan naik dari tempat rendah ke tempat tinggi untuk melukiskan perjalanan ruhani sufi dari nafsu rendah menuju Diri Hakiki ini sesuai dengan gambaran tentang tatanan wujud dalam ontologi sufi. Tatanan tersebut dari bawah ke atas ialah: Pertama, alam nasut (alam jasmani, disebut juga alam al-mulk, alam syahadah); kedua, alam malakut (alam kejiwaan, psyche, disebut juga alam misal; ketiga,alam jabarut (alam ruhani); dan keempat alam lahut (alam ketuhanan) (Md. Salleh Yaapar 2002:83). Seseorang yang mengenal tatanan alam yang sedemikian itu akan dapat menyempurnakan dirinya secara maksimal dan berpeluang pula mengenal hakikat dirinya.

Bukhari al-Jauhari dan Taj al-Salatin

              Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1603 di Aceh Darussalam dan merupakan satu-satunya karangan Bukhari al-Jauhari yang dijumpai sampai saat ini. Ketika itu kesultanan Aceh masih berada di bawah pemerintahan Sultan Alauddin Ri`aayat Syah gelar Sayyid al-Mukammil (1590-1604 M), kakek Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Sebagai karya sastra kitab ini digolongkan ke dalam buku adab, yaitu buku yang membicarakan masalah etika, politik dan pemerintahan. Uraian tentang masalah-masalah tersebut dijelaskan melalui kisah-kisah yang menarik, diambil dari berbagai sumber dan kemudian digubah kembali oleh pengarangnya.

              Di antara kitab-kitab yang dijadikan bahan rujukan ialah (1) Syiar al-Mulk atau Siyasat-namah(Kitab Politik) karangan Nizam al-Mulk yang ditulis antara tahun 1092-1106 M; (2) Asrar-namah (Kitab Rahasia Kehidupan) karya Fariduddin `Attar (1188); (3) Akhlaq al-Muhsini karya Husain Wa`iz Kasyifi (1494); (4) Kisah-kisah Arab dan Persia seperti Layla dan Majenun, Khusraw dan Sirin, Yusuf dan Zulaikha, Mahmud dan Ayaz, dan banyak lagi; (5) Kitab Jami’ al-Thawarikh (Kitab Sejarah Dunia) yang ditulis untuk Sultan Mughal di Delhi yaitu Humayun (1535-1556); dan lain-lain.
Gagasan dan kisah-kisah yang dikandung dalam buku ini memberi pengaruh besar terhadap pemikiran politik dan tradisi intelektual Melayu. Bab-bab yang ada di dalamnya, yaitu gagasan dan pokok pembahasannya selalu ditopang oleh ayat-ayat al-Qur`an dan Hadis yang relevan. Begitu pula kisah-kisah yang digunakan sebagian berasal dari buku-buku sejarah, di samping dari cerita rakyat yang terdapat dalam buku seperti Alf Laylah wa Laylah (Seribu Satu Malam) dan lain-lain. Makna yang tersirat dalam kisah-kisah itu dapat dirujuk pada ayat-ayat al-Qur`an dan Hadis yang dikutip.
Tema sentral buku ini ialah keadilan, karena kehidupan sosial keadilanlah jalan yang mampu membawa manusia menuju kebenaran. Untuk menegakkan keadilan diperlukan kearifan dan kematangan berpikir. Buku ini dibagi ke dalam 24 bab. Bab pertama yang merupakan titik tolak pembahasan masalah secara keseluruhan membicarakan pentingnya pengenalan diri, pengenalan Allah sebagai Khaliq dan hakekat hidup di dunia serta masalah kematian. Diri yang harus dikenal oleh setiap Muslim ialah diri manusia sebagai khalifah Tuhan di atas bumi dan hamba-Nya. Melalui ajaran tasawuf, Bukhari al-Jauhari mengemukakan sistem kenegaraan yang ideal dan peranan seorang raja yang adil dan benar. Orang yang tidak adil, apalagi dia seorang raja,akan menerima hukuman berat di dunia dan akhirat. Sebaliknya raja yang baik dan adil, akan menerima pahala dan tempat di sorga. Ia adalah bayang-bayang Tuhan, menjalankan sesuatu berdasarkan sunnah dan hukum Allah.

             Bukhari tidak hanya memberikan makna etis dan moral bagi keadilan, melainkan juga makna ontologis. Raja yang baik adalah seorang Ulil albab yang menggunakan akal pikiran dengan baik dalam menjalankan segala perbuatan dan pekerjaannya, khususnya dalam pemerintahan. Adapun tanda ulil albab ialah:
(1) Bersikap baik terhadap orang yang berbuat jahat, menggembirakan hatinya dan memaafkannya apabila telah meminta maaf dan bertobat;.
(2) Bersikap rendah hati terhadap orang yang berkedudukan lebih rendah dan menghormati orang yang martabat, kepandaian dan ilmunya lebih tinggi;
(3) Mengerjakan dengan sungguh-sungguh dan cekatan pekerjaan yang baik dan perbuatan yang terpuji.
(4) Membenci pekerjaan yang keji, perbuatan jahat, segala bentuk fitnah dan berita yang belum tentu kebenarannya; (5) Menyebut nama Allah senantiasa dan meminta ampun serta petunjuk kepada-Nya, ingat akan kematian dan siksa kubur;
(6) Mengatakan hanya apa yang benar-benar diketahui dan dimengerti, dan sesuai tempat dan waktu, yaitu arif menyampaikan sesuatu;
(7) Dalam kesukaran selalu bergantung kepada Allah swt dan yakin bahwa Allah dapat memudahkan segala yang sukar, asal berikhtiar dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Sebagai pergantungan sekalian mahluq, Allah adalah Maha Pengasih dan Penyayang.

             Karena itu seorang raja atau pemimpin harus memenuhi syarat seperti berikut:
(1) Hifz, yaitu memiliki ingatan yang baik;
(2) Fahm, itu memiliki pemahaman yang benar terhadap berbagai perkara;
(3) Fikr, tajam pikiran dan luas wawasannya;
(4) Iradat, menghendaki kesejahteraan, kemakmuran dan kemajuan untuk seluruh golongan masyarakat;
(5) Nur, menerangi negeri dengan Cinta atau kasihsayang.

  Dalam fasal ke-5 Bukhari al-Jauhari mengutip Kitab Adab al-Mulk, dan menyatakan bahwa ada beberapa syarat lagi yang mesti dipenuhi oleh seorang calon pemimpin atau raja agar dapat memerintah negeri dengan adil dan benar.
(1) Seorang raja harus dewasa dan matang sehingga dapat membedakan yang baik dan yang buruk bagi dirinya, masyarakat banyak dan kemanusiaan;
(2) Seorang raja hendaknya memiliki ilmu pengetahuan yang memadai berkenaan dengan masalah etika, pemerintahan, politik dan agama. Dia hendaklah bersahabat dengan orang-orang berilmu dan cendekiawan, dan bersedia mendengarkan dari mereka berbagai perkara yang tidak diketahuinya. Penasehat raja seharusnya juga orang yang berilmu pengetahuan, di samping jujur dan mencintai rakyat;
(3) Menteri-menteri yang diangkat mesti dewasa dan berilmu, serta menguasai bidang pekerjaannya; (4) Mempunyai wajah yang baik dan menarik, sehingga orang mencintainya, tidak cacat mental dan fisik;
(5) Dermawan dan pemurah, tidak kikir dan bakhil. Sifat kikir dan bakhil adalah tanda orang yang syirik dan murtad;
(6) Raja yang baik harus senantiasa ingat pada orang-orang yang berbuat baik dan membantu dia keluar dari kesukaran, membalas kebajikan dengan kebajikan;
(7) Raja yang baik mesti tegas dan berani. Jika rajanya penakut maka pegawai dan tentara juga akan menjadi penakut. Terutama dalam menghadapi orang jahat dan negara lain yang mengancam kedaulatan negara; (
8) Tidak suka makan dan tidur banyak, dan tidak gemar bersenang-senang dan berfoya-foya, karena semua itu akan membuat dia alpa dan lalai pada tugasnya sebagai kepala negara;
(9) Tidak senang bermain perempuan; (10)Sebaiknya seorang raja dipilih dari kalangan lelaki yang memenuhi syarat dalam memimpin negara. Kecuali dalam keadaan terpaksa.

Fasal ke-6 dimulai dengan kutipan Surah al-Nahl ayat 90, “Inna`l-Lahu ya`muru bi`l-`adl wa’l-ihsan” – Sesungguhnya Allah ta`ala memerintahkan berbuat adil dan ihsan. Sikap adil ada dalam perbuatan, perkataan dan niat yang benar; sedangkan ihsan mengandung makna adanya kebajikan dan kearifan dalam perbuatan, perkataan dan pekerjaan. Raja yang adil merupakan rahmat Tuhan yang diberikan kepada masyarakat yang beriman, sedangkan raja yang dhalim sering merupakan hukuman dan laknat yang diturunkan kepada masyarakat yang aniaya dan bodoh. Hadis lain yang juga dikutip ialah: Raja yang tidak mencintai rakyatnya akan terhalang memasuki pintu syurga dan mengalami kesukaran meraih rahmat Allah.

            Merujuk pada buku Adab al-Mulk, Bukhari menyatakan ada tiga perkara utama yang membuat sebuah kerajaan runtuh: (1) Raja tidak memperoleh informasi yang benar dan rinci tentang keadaan negeri yang sebenar-benarnya, dan hanya menerima pendapat satu pihak atau golongan; (2) Raja melindungi orang jahat, keji, bebal, tamak dan pengisap rakyat; (3) Pegawai-pegawai raja senang menyampaikan berita bohong, menyebar fitnah, membuat intrik-intrik yang membuat timbulnya konflik (BERSAMBUNG).


Catatan kaki:

(1) Empat manuskrip itu ialah Cod. Or. Leiden 2016 (31 ikat-ikatan); Cod. Or. Leiden 3372 (15 ikat-ikatan); Cod. Or. Leiden 3374 (8 ikat-ikatan); dan Naskah Jakarta atau Jak. Mal. 83 (30 ikat-ikatan). Lihat Abdul Hadi W. M. Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah fansuri (Jakarta: Paramadina, 2001:198).

Abu Bakar bin Abi Syaibah (Wafat 235H)

Namanya sebenarnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al Kufy, seorang hafidh yang terkenal. Ia menerima hadist dari al-Ah...

Total Tayangan

Translate