Hanya Engkau - Rumi
Dari seluruh semesta,
hanya Engkau saja yang kupilih,
Apakah Engkau akan membiarkanku
duduk bersedih?
Hatiku bagaikan pena,
dalam genggaman tanganmu.
Engkaulah sebab gembiraku,
atau sedihku.
Kecuali yang Engkau kehendaki,
apakah yang kumiliki?
Kecuali yang Engkau perlihatkan,
apakah yang kulihat?
Engkaulah yang menumbuhkanku:
ketika aku sebatang duri,
ketika aku sekuntum mawar;
ketika aku seharum mawar,
ketika duri-duriku dicabut.
Jika Engkau tetapkan aku demikian,
maka demikianlah aku.
Jika Engkau kehendaki aku seperti ini,
maka seperti inilah aku.
Di dalam wahana tempat Engkau mewarnai jiwaku,
siapakah aku?
apakah yang kusukai?
apakah yang kubenci?
Engkaulah yang Awal, dan kiranya, Engkau
akan menjadi yang Akhir;
jadikanlah akhirku lebih baik,
daripada awalku.
Ketika Engkau tersembunyi,
aku seorang yang kufur;
Ketika Engkau tampak,
aku seorang yang beriman.
Tak ada sesuatupun yang kumiliki,
kecuali yang Engkau anugerahkan;
Apakah yang Engkau cari,
dari hati dan wadahku?
__________
(Rumi: Divan Syamsi Tabriz no 30, terjemahan Nicholson)
Kepalamu Adalah Tanggamu - Rumi
Hari ini kulihat Sang Tercinta, seri semarak segala perkara itu; Ia lepas menuju ke langit bagai ruh Mustafa. 1)
Karena wajah-Nya, matahari menjadi malu, daerah langit terharu-biru sekacau kalbu; lantaran cerlangnya, air dan tanah lempung lebih bercahaya dari api menyala.
Aku berkata, “Berikan padaku tangga, agar aku dapat naik ke langit pula.” Jawab-Nya, “kepalamu ialah tangga; purukkan kepalamu lebih rendah dari kakimu.” 2)
Bila kautempatkan kakimu lebih tinggi dari kepalamu, maka kakimu akan berada di atas kepala bintang-bintang; bila kau menyibak angkasa, injakkan kakimu di angkasa, nah, mulailah!
Seratus jalan ke angkasa—langit pun menjadi jelas bagimu; membubunglah kau di setiap samar fajar ke langit raya, bagai sebuah doa. 3)
: : : : : : : :
K e t e r a n g a n :
1) Rujukan pada Mi’raj Nabi Muhammad. Mustafa adalah panggilan untuk Beliau.
2) Sujud
3) Q.S. Adz-Dzâriyât [51] : 18), “Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).”
* Terjemahan oleh Hartojo Andangdjaja, dari Rumi, Jalaluddin; Kasidah Cinta, 1982: Budaya Jaya.
Filosof dan Nahkoda
‘Ali adalah
seorang filosof yang beranggapan bahwa ia tahu segala-galanya. Semua orang
sepakat bahwa ia memang memiliki pengetahuan luas tentang berbagai sains dan
seni. Namun, ia suka menyombongkan diri bahwa ia adalah orang yang paling
pandai dikota itu. Sahabat ‘Ali, Sam, terganggu oleh kesombongannya ini dan
berusaha keras agar ‘Ali mau melihat dunia sekelilingnya dengan mata terbuka.
Akan tetapi, argumen-argumen yang dikemukakannya selalu saja mentok. Sesudah
membicarakan masalahnya dengan seorang pelaut yang dikenalnya, Sam memutuskan menganjurkan ‘Ali untuk ikut berlayar.
Perjalanan seperti ini akan menunjukkan kepada ‘Ali berbagai cara hidup lain
dan memperlihatkan kepadanya berbagai kesulitan yang belum pernah dialaminya.
Yang membuatnya heran, ‘Ali menerima anjurannya itu dan kemudian berbagai
persiapan pun dilakukan.
Sesudah berada dilaut, ‘Ali
berbicara tentang filsafat dengan para pelaut. Sang Nahkoda mendengarkan dengan
sabar tanpa berkata sepatah kata pun, tetapi akhirnya ia menyela pembicaraan
dan mengeluh bahwa ia bosan dengan pembicaraan ini.
“Apakah
engkau tahu dengan filsafat?” tanya ‘Ali.
“Sama
sekali tidak,” jawab sang Nahkoda.
“Sungguh
sayang,” Kata ‘Ali sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, sebab separuh hidupmu terbuang percuma
karena tidak punya pengetahuan seperti ini.” Sang Nahkoda pun mendiamkan
saja komentar seperti ini dan sibuk mengemudikan kapal.
Mereka berlayar selama beberapa
hari. ‘Ali sangat senang dan terus menerus berbicara. Ia sedemikian asyik
menerangkan gagasannya tentang bagaimana pemerintah semestinya membina negeri
mereka dan bagaimana pemimpin menangani berbagai persoalan yang berbeda
sehingga ia merasa tidak perli lagi belajar tentang pelayaran. Malahan ketika
mereka membuang sauh disepanjang sebuah pulau kecil untuk mengubah arah, ‘Ali,
yang tidak bisa berenang, tidak mau memanfaatkan air yang tenang guna meminta sahabat-sahabat pelautnya untuk
mengajarinya berenang. Ia juga tidak bertanya tentang kehidupan meeka di laut.
Malam berikutnya, ketika mereka
berada ditengah-tengah lautan, dalam perjalanan pulang, kapten kapal merasa
khawatir. Ada tanda-tanda jelas bahwa badai bakal datang. Awak kapal
bersiap-siap menghadapi keadaan darurat ini. Hanya ‘Ali saja yang tetap tenang
dalam kabinnya. Ia sibuk memikirkan persoalan-persoalan penting dan utama.
Angin bertiup keras sehingga sang
Kapten tidak sanggup mengendalikan kapalnya. Awak kapal, yang panik dan
ketakutan, terlempar kesana kemari. Ada banyak air di geladak karena hujan
lebatdan gelombang besar sehigga kapal pun perlahan-lahan mulai karam. Sang
Nahkoda berseru kepada awak kapal untuk segera bersiap-siap meninggalkan kapal.
Perahu pelampung satu-satunya pun
diturunkan ke air dan segera jelas bahwa perahu itu tak cukup untuk memuat
semua orang. Sang Nahkoda dan beberapa awak kapal bersiap-siap terjun kelaut
dan berenang. Kemudian sang Nahkoda ingat pada ‘Ali. Ia meminta salah seorang
awak kapal untuk mencarinya.
‘Ali berpegangan dipintu kabinnya
dan berusaha menjaga keseimbangannya. Sang awak kapal pun berseru kepadanya, “Cepatlah, kita harus meninggalkan kapal
itu. Tenggelam!” ‘Ali, yang
kebingungan, dibantu naik keatas geladak.
Sang Nahkoda berteriak, “Engkau bisa berenang?”
“Tidak!”
teriak ‘Ali.
Sang Nahkoda menggeleng-gelengkan
kepalanya. “Sungguh sayang, sebab seluruh
hidupmu terbuang sia-sia karena tidak tahu ilmu berenang.”
Malam itu, sang Nahkoda dan awaknya
pun diselamatkan oleh kapal lain sesudah badai reda. ‘Ali sendiri juga selamat
berkat bantuan dua awak kapal yang tetap membuatnya terapung di dalam air.
Sejak hari itu, ‘Ali tak pernah lagi membangga-banggakan pengetahuannya yang
luas tentang filsafat.
Beberapa tahun setelah kejadian itu,
‘Ali memberikan hadiah kepada sang Nahkoda, yang kini menjadi sahabat karibnya.
Hadiah itu berupa lukisan kapal di laut yang sedang dihantam badai. Ada dua
bait syair tertulis dibawah lukisan itu:
Hanya benda-benda kosong yang terapung di
permukaan air.
Kosongkan dirimu dari sifat-sifat kemanusian, dan engkau
akan
Mengapung dilautan penciptaan.
Jalaluddin Rumi
Negeri Sufi/ Mojdeh Bayat dan Muhammad Ai Jamnia;
Penerjemah M.S. Nasrullah
Nabi Musa dan Gembala
Alkisah,
hiduplah seorang gembala berjiwa bebas yang tidak punya uang dan tidak pula
menginginkannya. Seluruh miliknya hanyalah hati yang bersih dan tulus, hati yang
bergetar karena mencintai Tuhannya. Bersama gembalaannya, sepanjang hari ia
menjelajahi padang rumput, dataran, dan tanah lapang, sambil bernyanyi dan
berbincang-bincang kepada Tuhan, Kekasihnya:
“Wahai Tuhan, dimanakah Engkau yang kepada-Mu aku abdikan hidupku? Dimanakah Engkau, yang aku hanyalah hamba-Mu? Wahai Tuhan, yang demi diri-Mu aku hidup dan bernafas, yang dengan rahmat-Nya aku ada, aku akan mengorbankan dombaku untuk memandang dan menatap-Mu...”
“Wahai Tuhan, dimanakah Engkau yang kepada-Mu aku abdikan hidupku? Dimanakah Engkau, yang aku hanyalah hamba-Mu? Wahai Tuhan, yang demi diri-Mu aku hidup dan bernafas, yang dengan rahmat-Nya aku ada, aku akan mengorbankan dombaku untuk memandang dan menatap-Mu...”
Suatu hari,
Nabi Musa melewati sebuah padang rumput dalam perjalanannya menuju kota. Ia
melihat seorang gembala yang duduk disamping gembalaannya dan menengadahkan
wajahnya keatas, sambil menyeru Tuhan,
“Dimanakah Engkau, agar bisa kujahitkan pakaian-Mu, kutambal kaus Kaki-Mu, dan kusiapkan tempat tidur-Mu? Dimanakah Engkau, agar bisa kusemir sepatu-Mu dan kubawakan susu untuk minuman-Mu?”
“Dimanakah Engkau, agar bisa kujahitkan pakaian-Mu, kutambal kaus Kaki-Mu, dan kusiapkan tempat tidur-Mu? Dimanakah Engkau, agar bisa kusemir sepatu-Mu dan kubawakan susu untuk minuman-Mu?”
Nabi Musa
menghampiri gembala itu dan bertanya, “Siapa
yang engkau ajak berbincang-bincang?”
“Tuhan yang menciptakan kita. Tuhan
yang menguasai siang dan malam, langit dan bumi.”
Nabi Musa
berang dan marah mendengar jawaban sang gembala itu.
“Berani-beraninya engkau berbicara kepada Tuhan seperti itu! Engkau sudah menghujat-Nya. Sumpal mulutmu jika engkau tidak bisa mengendalikan lidahmu agar agar tak ada seorangpun yang mendengar ucapanmu yang menghina dan meracuni udara ini. Jangan berbicara seperti itu lagi, nanti Tuhan akan mengutuk seluruh manusia karena dosamu!”
“Berani-beraninya engkau berbicara kepada Tuhan seperti itu! Engkau sudah menghujat-Nya. Sumpal mulutmu jika engkau tidak bisa mengendalikan lidahmu agar agar tak ada seorangpun yang mendengar ucapanmu yang menghina dan meracuni udara ini. Jangan berbicara seperti itu lagi, nanti Tuhan akan mengutuk seluruh manusia karena dosamu!”
Sang
gembala, yang bangkit begitu mengetahui kehadiran sang Nabi, berdiri gemetar.
Dengan berurai air mata, ia mendengarkan ucapan nabi Musa,
“Apakah Tuhan iitu manusia sehingga Dia memakai sepatu dan kaus kaki? Apakah Ia seorang bocah yang memerlukan susu untuk menbuat-Nya tumbuh besar? Tentu saja tidak! Tuhan amat sempurna dalam diri-Nya sendiri, sama sekali tidak membutuhkan apa pun. Dengan berbicara seperti itu kepada Tuhan, engkau bukan saja merendahkan dirimu sendiri tetapi juga seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Engkau tak lain adalah penentang agama dan musuh Tuhan! Pergi dan mohonlah ampun kepada-Nya, jika engkau masih sadar dan waras!”
“Apakah Tuhan iitu manusia sehingga Dia memakai sepatu dan kaus kaki? Apakah Ia seorang bocah yang memerlukan susu untuk menbuat-Nya tumbuh besar? Tentu saja tidak! Tuhan amat sempurna dalam diri-Nya sendiri, sama sekali tidak membutuhkan apa pun. Dengan berbicara seperti itu kepada Tuhan, engkau bukan saja merendahkan dirimu sendiri tetapi juga seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Engkau tak lain adalah penentang agama dan musuh Tuhan! Pergi dan mohonlah ampun kepada-Nya, jika engkau masih sadar dan waras!”
Sang gembala
yang yang sederhana dan lugu sama sekali tidak mengerti bahwa ucapannya kepada
Tuhan sungguh kasar dan kurang ajar. Ia juga tidak paham mengapa san Nabi
menyebutnya sebagai musuh. Namun, ia tahu bahwa seorang Nabi utusan Tuhan
pastilah lebih tahu ketimbang orang lain. Hampir tak sanggup menahan tangisnya,
ia berkata kepada nabi Musa, “Engkau telah membakar jiwaku. Mulai
sekarang, aku diam dan tutup mulut!” dengan menarik nafas dalam-dalam,
ia pergi meninggalkan hewan-hewan
gembalaannya dan berjalan menuju padang pasir.
Merasa
bangga karena telah meluruskan jiwa yang sesat, nabi Musa melanjutkan
perjalanannya ke kota. Disaat inilah Tuhan menyapa dan berkata padanya,
“Mengapa engkau mengusik-Ku dan hamba setia-Ku? Mengapa engkau memisahkan pecinta dari sang Kekasih? Aku mengutusmu untuk mempersatukan manusia, dan bukan mencerai-beraikannya.”
Nabi Musa mendengarkan kata-kata Tuhan dengan penuh takzim.
“Mengapa engkau mengusik-Ku dan hamba setia-Ku? Mengapa engkau memisahkan pecinta dari sang Kekasih? Aku mengutusmu untuk mempersatukan manusia, dan bukan mencerai-beraikannya.”
Nabi Musa mendengarkan kata-kata Tuhan dengan penuh takzim.
“ Aku tidak menciptakan dunia ini
untuk mengambil manfaat darinya. Seluruh ciptaan ini hanyalah untuk kepentingan
makhluk. Manusialah yang beroleh manfaat darinya. Ingatlah bahwa, dalam cinta,
kata-kata hanya kulit luar dan tidak berarti sama sekali. Aku tidak
memperhatikan keindahan kata-kata atau susunan kalimat. Aku hanya memperhatikan
keadaan hati. Dengan begitu, Aku mengetahu ketulusan makhluk-makhluk-Ku,
sekalipun kata-katanya mungkin tidak bagus. Sebab, mereka yang terbakar oleh Cinta
sesungguhnya telah membakar kata-katanya sendiri.”
Tuhan
melanjutkan firman-Nya,
“Mereka yang terikat oleh kesopan-santunan sama sekali tidak sama dengan mereka yang terikat oleh Cinta, dan bangsa agama bukanlah bangsa Cinta, sebab sang pencinta tidak mengetahu agama lain kecuali sang Kekasih itu sendiri.”
“Mereka yang terikat oleh kesopan-santunan sama sekali tidak sama dengan mereka yang terikat oleh Cinta, dan bangsa agama bukanlah bangsa Cinta, sebab sang pencinta tidak mengetahu agama lain kecuali sang Kekasih itu sendiri.”
Begitulah,
Tuhan mengajarkan segenap rahasia Cinta kepada nabi Musa. Kini, beliau sadar
akan kesalahannya dan menyesali kemarahannya. Beliau bergegas mencari sang
gembala itu dan minta maaf kepadanya.
Selama
berhari-hari nabi Musa mengarungi padang rumput dan gurun sahara. Beliau
bertanya kepada orang-orang apakah mereka pernah melihat sang gembala. Setiap
orang yang ditanya menunjukkan arah yang berbeda. Hampir putus asa mencari,
akhirnya nabi Musa menemukan sang gembala duduk didekat mata air dengan pakaian
compang-camping dan usang. Ia sedang duduk merenung dalam-dalam dan tidak
melihat kedatangan nabi Musa yanh sudah lama menunggunya. Akhirnya sang gembala
mengangkat kepalanya dan melihat nabi Musa.
“Aku punya pesan penting untukmu,” Kata nabi Musa. Tuhan telah berfirman kepadaku bahwa tidak perlu ada sopan-santun atau
tatakrama bagimu untuk berbincang-bincang dengan Tuhan. Engkau bebas berbicara
pada-Nya dengan cara yang engkau sukai, dengan kata-kata pilihanmu sendiri.
Sebab, apa yang kukira sebagai penghujatan sesungguhnya akidah dan cinta yang
menyelamatkan dunia.”
Sang gembala
itu menjawab dengan enteng, “Aku telah melewati tahap kata-kata dan
kalimat. Hatiku ini dicerlangi oleh kehadiran-Nya. Aku tak bisa menjelaskan
keadaanku yang aku alami kepadamu. Aku juga tak bisa menggambarkannya kepada
orang lain.” Ia kemudian bangkit dan melanjutkan perjalanannya.
Nabi Musa melihat sosok gembala yang pergi meninggalkannya
hingga beliau tidak lagi melihatnya. Kemudian beliau menempuh jalan menuju kota
terdekat sambil merasa terkagum-kagum oleh pelajaran yang diterima dari seorang
hamba yang sederhana, lugu dan tak berpendidikan.
_Jalaluddin
Rumi_
Sumber:
Negri sufi/ Mojdeh Bayat dan Muhammad Ali Jamnia : Penerjemah, MS. Nasrullah;
Lentera 2003
Mursyid, Salik, dan Thariqah.
Sebiji buncis meronta dan terus melompat
hingga hampir melampaui bibir kuali
di mana ia tengah direbus di atas api.
“Kenapa kau lakukan ini padaku?”
Dengan sendok kayunya,
Sang Juru Masak mementungnya jatuh kembali.
“Jangan coba-coba melompat keluar.
Kau kira aku sedang menyiksamu?
Aku memberimu cita rasa!
Sehingga kau layak bersanding dengan rempah dan nasi
untuk menjadi gelora kehidupan dalam diri seseorang.
Ingatlah saat-saat kau nikmati regukan air hujan di kebun.
Saat itu ada untuk saat ini!”
Pertama, keindahan. Lalu kenikmatan,
kemudian kehidupan baru yang mendidih akan muncul.
Setelah itu, Sang Sahabat akan punya sesuatu yang enak untuk dimakan.
Pada saatnya, buncis akan berkata pada Sang Juru Masak,
“Rebuslah aku lagi. Hajar aku dengan sendok adukan,
karena aku tak bisa melakukannya sendirian.
Aku seperti gajah yang melamun menerawang
tentang taman di Hindustan yang dulu kutinggalkan,
dan tidak memperhatikan pawang pengendali arah jalan.
Engkaulah pemasakku, pawangku, jalanku menuju cita rasa kesejatian.
Aku suka caramu membuat masakan.”
“Dulu aku pun seperti engkau,
masih hijau dari atas tanah. Lalu aku direbus matang dalam waktu,
direbus matang dalam jasad. Dua rebusan yang dahsyat.
Jiwa binatang dalam diriku tumbuh kuat.
Kukendalikan dia dengan latihan,
lalu aku direbus lagi, dan direbus lagi.
Pada satu titik aku melampaui itu semua,
dan menjadi gurumu.1”
Seorang Mursyid yang sejati, yang menerima perintah khusus dari Allah untuk menjadi guru bagi para pejalan sufi, bisa tampil dengan berbagai macam wajah. Ada kalanya ia tampak lembut dan sabar, begitu mudah dipahami. Ada kalanya pula ia tampil dengan galak dan keras, begitu membingungkan dan sulit dipahami.
Seorang mursyid akan mendidik murid-muridnya untuk belajar mengendalikan seluruh bala tentara hawa nafsu dan syahwatnya, untuk mengenal segala macam aspek yang ada dalam diri masing-masing, dan untuk memunculkan potensi dirinya yang sesungguhnya. Potensi yang diletakkan Allah dalam qalb masing-masing manusia ketika ia dijadikan.
Dalam tahap pembersihan diri ini, hampir semua murid biasanya meronta. Tentu saja, karena hawa nafsu dalam diri kita pasti meronta jika dipisahkan dari hal-hal yang disukainya. Tapi demi memunculkan diri muridnya yang asli, maka mau tak mau, Sang Mursyid harus melakukannya. Sang Mursyid harus memaksa murid-muridnya untuk belajar mengendalikan seluruh bala tentara hawa nafsu dan syahwat (Rumi menyebutnya sebagai ‘jiwa binatang’) dalam diri masing-masing.
Inilah yang dimaksud Rumi dalam puisinya di atas, bahwa sebenarnya tugas seorang mursyid adalah ‘merebus’ murid-muridnya di atas api, demi memunculkan cita rasanya yang asli dalam diri masing-masing. Pada awalnya, biasanya buncis akan meronta dan bisa jadi, ingin lari. Pada tahap ini, mau tak mau, mursyid kadang perlu ‘mementungnya’ supaya kembali tenggelam dalam rebusan air mendidih. Tapi sekali si murid sudah merasakan manfaat bimbingan Sang Mursyid dalam perkembangan jiwanya, maka ia akan terus-menerus meminta untuk ‘direbus’ kembali.
Apakah ini berarti bahwa seorang murid harus memposisikan dirinya di hadapan gurunya seperti mayat yang dibolak-balik oleh pemandinya?
Nah, ini juga pemahaman yang perlu dikoreksi. Ada beberapa hal yang biasanya diajukan kepada para pejalan sufi yang ber-thariqat maupun yang memiliki mursyid, yang belakangan ini sering mengemuka. Berikut dua contoh representatif ketidaktepatan penilaian yang digeneralisir tersebut.
Pertama, “Saya bukan pengikut tasawuf formal. Saya tidak pernah bersumpah setia di bawah telapak tangan seorang guru spiritual untuk hanya menaati dia seorang, karena saya tidak menyukainya. Saya pikir, tidak ada pemikiran dan kesadaran sehat yang bisa terbangun jika seseorang telah memutuskan untuk berhenti bertanya, dan bersikap kritis.” 2
Kedua, “…Sekurang-kurangnya ada tiga hal penting yang sering dipersoalkan orang mengenai tarekat ini. Pertama, soal otoritas guru yang mutlak tertutup dan cenderung bisa diwariskan. Kedua, soal bai’at yang menuntut kepatuhan mutlak seorang murid kepada sang guru, seperti mayat di depan pemandinya; dan ketiga, soal keabsahan (validitas) garis silsilah guru yang diklaim setiap tarekat sampai kepada Nabi Muhammad Saw…Salah satu ciri utama tasawuf positif adalah rasionalitas. Karena itu, tasawuf positif harus menolak segala bentuk kepatuhan buta kepada seorang manusia—yang bertentangan dengan semangat Islam.” 3
Sekilas, kedua penilaian ‘kritis’ atas mursyid dan thariqah tersebut terkesan memperjuangkan keotonoman individu beserta rasionalitasnya, namun sayangnya terlalu terburu-buru melakukan generalisasi. Terlebih, kedua penilaian ‘kritis’ tersebut lebih merefleksikan prasangka semata ketimbang pembuktian melalui pengalaman menggeluti thariqah.
Posisi seperti itu tak ubahnya seperti komentator sepakbola dengan pemain sepakbola. Seorang komentator sepakbola sangat mahir dalam menganalisis kesalahan pemain, strategi yang sedang dimainkan, kegemilangan permainan, dan lain sebagainya. Namun yang lebih mengetahui dan merasakan realitasnya, bersusah-payah, pontang-panting, senantiasa waspada terhadap setiap serangan lawan, hingga akhirnya menjadi pemilik sejati pengetahuannya adalah si pemain sepakbola itu sendiri.
Sahabat Ali bin Abi Thalib r.a pernah berkata,
“Bila kau merasa cemas dan gelisah akan sesuatu, masuklah ke dalamnya, sebab ketakutan menghadapinya lebih mengganggu daripada sesuatu yang kautakuti itu sendiri.” 4
Namun, di sisi lain, bisa dimaklumi juga bahwa generalisasi bermasalah—karena ketakutan memasuki dunia thariqah secara langsung—seperti terlihat pada kedua penilaian ‘kritis’ di atas, dilandaskan pada perkembangan mutakhir berbagai thariqahklasik. Maka lahirlah penilaian yang digeneralisasi sebagai karakter sejati seluruh tarekat, sehingga luput mengamati prinsip terdasar kemursyidan dan kethariqahan.
Deviasi adalah hal yang lazim terjadi dalam perjalanan sejarah kemanusiaan. Bahkan berbagai kitab suci pun sering mengemukakan bagaimana di setiap masa senantiasa terjadi deviasi ajaran agama sepeninggal sang pembawa risalah atau nubuwahnya. Ini tak ubahnya air yang semakin keruh ketika menjauhi sumber mata airnya, sehingga praktis di hilir hanya akan ditemui air kotor yang sudah tercampur sampah.
Begitu pula halnya dengan thariqah. Ketika sang pendiri atau mursyid sejatinya meninggal, maka hanya kehendak dan izin Allah Ta‘ala semata yang bisa menjamin kemurnian dan keberlanjutan thariqah tersebut, yaitu, dengan menghadirkan mursyid sejati pengganti. Apabila Allah Ta‘ala tidak menghadirkan mursyid sejati pengganti, berarti thariqah tersebut sudah berakhir. Kemursyidan itu adalah misi hidup, dan hanya boleh dipegang oleh mereka yang telah mencapai ma‘rifat dan misi hidupnya adalah mursyid. Tidak semua orang yang telah ma‘rifat boleh serta merta menjadi mursyid. Wali Quthb (pemimpin para wali di suatu zaman) seperti Ibn ‘Arabi pun tidak menjadi mursyid thariqah.
Oleh karena itu, sebagaimana puisi Rumi tadi, seseorang tidak bisa mengangkat dirinya sendiri menjadi seorang guru spiritual sebelum ia sendiri sudah pernah, dan berhasil, melalui semua ’rebusan’, dan kemudian memperoleh pengetahuan dari Allah ta’ala bahwa misi hidupnya memang sebagai seorang mursyid.
Kemursyidan adalah sebuah tugas langsung dari Allah ta’ala (misi hidup). Oleh karena itu, jabatan kemursyidan pun tidak dapat diwariskan, sekalipun dengan landasan senioritas, keluasan pengetahuan, atau bahkan garis keturunan. Lantas, bagaimana dengan para salik yang tersisa apabila Allah Ta‘ala tidak lagi menghadirkan mursyid sejati pengganti di sebuah thariqah? Tetaplah berpegang teguh pada dua hal paling berharga yang ditinggalkan Rasulullah Muhammad Saw, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Jangan mengada-adakan mekanisme regenerasi mursyid hanya karena ikatan emosional pada thariqah sebagai lembaga, sehingga akhirnya menyerahkan ‘amr (urusan) kepada orang yang bukan ahlinya.
Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra, katanya dia mendengar Rasulullah saw bersabda:
“Allah tidak menarik kembali ilmu dengan jalan mencabutnya dari qalb manusia, tetapi dengan jalan mematikan ulama. Apabila ulama telah punah, maka masyarakat akan mengangkat orang-orang bodoh menjadi pemimpin yang akan dijadikan tempat bertanya. Orang-orang bodoh ini akan berfatwa tanpa ilmu; mereka itu sesat dan menyesatkan.” (Al-Hadits)
Mursyid sejati adalah pembimbing spiritual para salik thariqah untuk memurnikan dan menyucikan diri, sebagaimana Rasulullah Saw pun adalah mursyid bagi para sahabat utama yang terpanggil untuk menempuh suluk. Mursyid sejati bertugas membantu saliknya mengenal al-haqq secara bertahap sesuai perkembangan nafs-nya, serta mengembalikannya ke penyembahan yang murni kepada Allah Ta‘ala.
Namun, para salik pun akan dihadapkan pada dilema akan ketidakpercayaan kepada mursyid yang akan menjadi racun dan penyebab kegagalannya dalam bersuluk, tetapi dia pun tidak boleh taklid buta kepada mursyidnya. Kepercayaan tidak bisa dipaksakan. Kepercayaan harus muncul secara alami melalui proses yang alami pula, yang muncul sendirinya dari qalb, sehingga mutlak diperlukan penguatan dengan ‘ilm.
Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalahmuhtadun*. (QS Yâsîn [36]: 21)
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ‘ilmtentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan fu‘adsemuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS Al-Isrâ’ [17]: 36)
* Muhtaduun: orang yang telah menerima petunjuk Allah atas segala aspek kehidupannya, dan semua tindakannya semata-mata hanya berdasarkan petunjuk Allah ta’ala kepada dirinya.
Dalam kedua penilaian ‘kritis’ terhadap thariqah dan mursyid di atas, hubungan antara mursyid dengan saliknya dipermasalahkan secara terlampau disederhanakan, karena dianggap menuntut ketaatan seperti mayat dengan pemandinya. Sikap seperti sangat potensial untuk menghambat terbentuknya individu modern otonom. Padahal, hakikatnya tidak pernah ada manusia yang otonom. Manusia hanya terbagi menjadi dua golongan, yaitu, mereka yang diperbudak oleh Allah Ta‘ala atau diperbudak oleh selain Allah Ta‘ala (syahwat dan hawa nafsu).
Benarkah dalam thariqah berlangsung ketaklidan buta tak bersyarat dari seorang salik kepada mursyidnya? Kepatuhan seperti jenazah di hadapan pemandinya? Permasalahannya, bagaimana seorang salik bisa taklid kepada sang Mursyid, sementara perkataan sang Mursyid sendiri ternyata seringkali salah ditafsirkan?
Sebagai contoh, dalam sebuah thariqah, ketika seorang mursyid memerintahkan seorang salik untuk bersiaga menghadapi sebuah serangan sebentar lagi, si salik menafsirkan bahwa ia tengah diajari untuk bersiaga terhadap “serangan” lahiriah seperti perkelahian, sementara sang Mursyid sebenarnya tengah mengajari kesiagaan batiniah terhadap “serangan” masalah kehidupan.
Bagaimana dengan berbagai pertanyaan dalam kepala kita yang muncul dan berlalu-lalang? Setiap pertanyaan yang muncul di benak manusia itu pasti ada hak jawabannya. Itu tak ubahnya seseorang yang tengah menunggu di ruang tamu. Kemudian dari arah dapur tercium olehnya bau masakan. Bersabarlah, karena tepat pada saatnya makanan tersebut akan dihidangkan ke hadapannya.
Tidak semua pertanyaan harus terjawab saat ini juga. Bersabarlah, karena jawaban atas berbagai pertanyaan yang muncul di benak ada hak jawabannya, hanya tinggal masalah waktu saja. Namun, tak jarang manusia begitu arogan sehingga merasa bahwa rasionalitasnya pasti bisa memahami segala hal saat ini juga, dan bisa menghakimi segala perkara dengan bermodalkan ilmu yang kini dimilikinya. Seakan rasionalitas itu tidak punya kelemahan dan batasan.
Biasanya terhadap salik tipe fundamentalis rasional seperti ini, mursyid sejati akan ‘menghajar’ habis-habisan keliaran berpikirnya agar bisa fokus demi kebaikan salik itu sendiri. Hal yang paling sulit adalah menjinakan keliaran pikiran untuk fokus kepada perkara fundamental: misi hidup yang Allah Ta‘ala amanahkan kepada dirinya. Pikiran yang liar memancar kesana-kemari itu seperti lampu pijar 10 watt, hanya cocok dipakai untuk lampu tidur. Namun, apabila cahaya 10 watt tersebut difokuskan menjadi laser, maka besi pun dapat ditembusnya.
Munculnya tawaran seperti tasawuf tanpa tarekat maupun tanpa guru saat ini juga berasalan, namun bukan berarti kritiknya terhadap dunia thariqah yang digeneralisir tersebut tepat sasaran. Semangat untuk mengedepankan akal sehat atau rasionalitas dalam mengkaji tashawwuf merupakan salah satu hal yang penting. Karena Allah Ta‘ala mengaruniakan otak di tubuh manusia, maka cara mensyukurinya adalah memanfaatkannya untuk berpikir maksimal di alam terendah dari seluruh alam ciptaan-Nya, yaitu dunia. Namun, Ad-Diin (Agama) adalah perkara yang baru akan terpahami apabila seluruh bola akal manusia—otak nalar, fu‘ad (bentuk primitif lubb) dan lubb (akal nafs, orang yang telah memiliki lubb disebut sebagai ulil albab)—terbuka keseluruhannya. Sayangnya, sangat sedikit di antara manusia yang telah Allah anugerahkan kemampuan akal paripurna lahir dan batinnya seperti ini.
Di atas semuanya, bukanlah otak yang cerdas dan banyaknya bacaan yang dapat menyelamatkan manusia dari berbagai jebakan syahwat dan hawa nafsu dalam beragama, tetapi niat tulus murni mencari Allah Ta‘ala. Seorang buta huruf pun bisa Allah rahmati menjadi ‘ulil albâb dan ‘arifin (orang yang telah mencapai ma‘rifat), seperti Muhammad Raheem Bawa Muhaiyaddeen, maupun banyak sufi buta huruf lainnya, semata karena adanya niat tulus murni untuk mencari dan berserah diri kepada Allah Ta‘ala. Niat itu pulalah yang membuat Allah Ta‘ala berkenan menganugrahkan cahaya iman ke dalam qalb.
Misalnya, seseorang menyatakan bahwa karena dia memiliki kecenderungan saintifik, maka dia memerlukan penjelasan ilmiah terlebih dahulu sebelum memutuskan bersuluk. Namun, kebanyakan manusia memiliki mentalitas untuk tergesa-gesa menyimpulkan sebelum tuntas menelaah. Kecenderungan sikap saintifik itu baik, terlebih karena setiap manusia itu unik serta memiliki kebutuhan dan jalan masuk berbeda-beda. Ibaratnya, ada seekor kucing (pertanyaan) yang selalu mengeong dalam rumah (pikiran) kita, karena lapar meminta makanan (jawaban). Apabila kucing(pertanyaan) tersebut tidak diberi makanan (jawaban), maka rumah (pikiran) kita akan berisik oleh suara mengeongnya. Akibatnya, kita pun tidak bisa belajar dengan tenang. Karena itu, berilah makanan (jawaban) yang tepat untuk mengenyangkan kucing (pertanyaan) dalam rumah (pikiran) kita. Penuhilah haknya, sehingga dia bisa diam dan kita pun bisa belajar dengan tenang. Apabila makanan (jawaban) belum ditemukan, bersabarlah, saatnya pasti akan tiba.
Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu penyebab munculnya sikap alergi thariqahadalah ekses dari berbagai praktik yang dilakukan thariqah yang telah kehilangan ulamanya (baca: mata airnya). Misalnya, dahulu kala muncul sebuah thariqah. Lazimnya mereka melakukan riyadhah berkala secara bersama-sama. Kebetulan mursyid thariqah tersebut selalu memelihara kucing yang sering mengeong di malam hari karena lapar. Agar suara mengeong kucing tersebut tidak mengganggu riyadhah, maka sang mursyid memerintahkan muridnya untuk memasukkan kucing tersebut ke dalam sebuah ruangan, memberinya makan dan menguncinya. Hal itu berjalan terus selama bertahun-tahun, hingga sang mursyid meninggal.
Sepeninggal sang mursyid, para salik generasi pertama thariqah tersebut tetap memasukkan kucing peliharaan sang mursyid ke dalam sebuah ruangan, memberinya makan dan menguncinya agar tidak mengganggu riyadhah. Namun, para salik generasi kedua dari thariqah tersebut—yang tidak tahu sebab akibat dari perbuatan tersebut—mulai mengira bahwa perbuatan itu adalah sesuatu yang harus dilakukan sebelum mereka riyadhah. Maka, ketika sampai di salik generasi ketiga, muncullah semacam kewajiban baru, yaitu adanya sebuah keharusan sebelum riyadhah untuk mencari kucing yang kemudian harus dimasukkan ke dalam sebuah ruangan, kemudian memberinya makan dan menguncinya. Ketika sampai di salik generasi keempat, muncullah buku tentang makna batin dan hakikat memasukkan kucing ke dalam sebuah ruangan, memberinya makan dan menguncinya sebelum melakukanriyadhah. Dan, di salik generasi kelima hingga seterusnya, perbuatan tadi sudah menebarkan citra ketidakrasionalan dan ketidaksejalanan thariqah tersebut dengan syariat.
Dalam sejarah tashawwuf ada juga tipe sufi yang dinamakan sebagai Uwaysiyyah. Nama ini merujuk kepada seorang tokoh sezaman Rasulullah Saw. yang mengetahui ihwal beliau Saw. tetapi tidak pernah bertemu secara langsung sepanjang hidupnya. Demikian pula Rasulullah Saw., mengetahui Uways Al-Qarni tanpa pernah bertemu dengannya. Hal itu disebabkan karena Uways setibanya di Mekkah tidak bisa menunggu untuk bertemu dengan Rasulullah Saw (yang ketika itu sedang pergi) sebab ia telah berjanji kepada ibunya di kota lain untuk tidak berlama-lama meninggalkannya. Kondisi Uways berbeda dengan Salman Al-Farisi yang Allah Ta‘ala bukakan jalan untuk bisa bertemu dengan Rasulullah Saw., meskipun berasal jauh dari Persia, dan harus dua kali pindah agama sebagai proses pencariannya.
Salah satu sufi yang tergolong Uwaysiyyah adalah seorang Iran, Abu al-Hasan Kharraqani, yang pernah menyatakan: “Aku kagum pada salik-salik yang menyatakan bahwa mereka membutuhkan Mursyid ini dan itu. Kalian tahu bahwa aku tidak pernah diajari manusia manapun. Allah Ta‘ala adalah pembimbingku, kendatipun demikian, Aku menaruh respek besar pada semua Mursyid.”
Dari pernyataan seorang Uwaysiyyah tersebut bisa terlihat bahwa yang menjadi pokok persoalan bukanlah apakah seorang Mursyid diperlukan ataukah tidak, apakah perlu ikut thariqah atau tidak. Tetapi, apakah kita adalah seorang pencari Allah Ta‘ala dan berazam untuk mencari jalan kepada-Nya? Apabila ya, maka biarlah Allah Ta‘ala yang mengalirkan dan membukakan jalan hidup kita, entah itu ikut thariqah atau tidak, apakah akan dipertemukan dengan mursyid sejati di zamannya ataukah Allah Ta‘ala sendiri yang akan mengajari. Bukan dengan menyatakan terlalu dini bahwa thariqahdan Mursyid itu tidaklah diperlukan.
Ketidakberanian mengambil resiko untuk mengarungi lautan (thariqah), terlebih terburu-buru melontarkan pernyataan seolah heroik yang mengisyaratkan keengganan mencari mursyid sejati zamannya, atau senantiasa memilih berjarak ala saintis serta mengandalkan kecerdasan otak untuk bertashawwuf secara wacana, bisa dipastikan mustahil mencapai tingkatan ma‘rifat.
Rumi menggambarkan hal itu sebagai berikut:
Ketika kauletakkan muatan di atas palka kapal, usahamu itu tanpa jaminan,
Karena engkau tak tahu apakah engkau bakal tenggelam atau selamat sampai tujuan.
Jika engkau berkata, “Aku takkan
berlayar sampai aku yakin akan nasibku,” maka engkau takkan berniaga:
lantas rahasia kedua nasib ini takkan pernah terungkap.
Saudagar yang penakut takkan meraih untung maupun rugi; bahkan
sesungguhnya ia merugi: orang harus mengambil api agar mendapat cahaya.
Karena seluruh kejadian berjalan di atas harapan, maka
hanya Imanlah tujuan terbaik harapan, karena dengan Iman memperoleh
keselamatan.5
Amati kisah pencarian Salman Al-Farisi. Sebelum mengenal Tuhannya
Muhammad Saw, dia adalah seorang Majusi. Kesadaran yang muncul atas
kejanggalan perbuatannya sendiri untuk menjaga agar api yang disembahnya
sebagai Tuhan tidak padam, membuat Salman Al-Farisi berani mengambil
resiko berpindah ke agama Kristen. Setelah beberapa kali berpindah
mengabdi pada beberapa pendeta, dia ditunjuki ihwal keberadaan Nabi
akhir zaman. Dan pertemuannya dengan Rasullah Saw, membuat Salman
Al-Farisi berani mengambil resiko kedua kalinya untuk berpindah ke agama
Islam.Thariqah adalah wadah pengajaran tashawwuf yang menuntun pemanifestasiannya melalui ujian-ujian kehidupan. Adapun yang dimaksud dengan syariat adalah Al-Islam, yaitu syariat lahir yang lebih dikenal sebagai rukun Islam. Antara syariat dantashawwuf (keihsanan) tidak boleh dipisahkan, sedangkan thariqah—sebagai manifestasi lahiriah tashawwuf—adalah perbuatan (af’al) Rasulullah Saw dalam kehidupan dunia, yang tiada lain merupakan syariat juga. Apabila syariat adalah permulaan thariqah, maka thariqah adalah permulaan haqiqat. Namun, bukan berarti yang sebelumnya sudah tidak berlaku lagi untuk tahap berikutnya, atau bahkan ditinggalkan begitu saja. Sebagaimana dikatakan oleh Hamzah Fansuri, awal dari thariqah itu adalah taubat.
Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: “Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku di malam hari, maka buatlah untuk mereka thariqah yang kering dalam laut itu, kamu tak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut.” (QS Thâhâ [20]: 77)
Thariqah adalah jalan kering dalam lautan, perjalanan seseorang menuju Tuhannya di muka bumi ini tanpa terbasahi oleh lautan duniawi. Tak ubahnya seperti ikan yang hidup di laut asin, tapi tidak menjadi asin karenanya. Thariqah bukanlah berarti seseorang itu harus hidup dengan mengabaikan dunia dan miskin. Manusia tidak mungkin bisa mencapai tingkatan ma‘rifat, yaitu mengenal Tuhannya, menemukan diri sejati serta misi hidupnya, dengan cara menjauhkan diri dan tidak bergaul dengan masyarakat serta tidak berikhtiar untuk penghidupannya dan menghargai syariat. Seseorang boleh saja kaya raya, seperti Nabi Sulaiman, tapi tidak boleh mengisi hatinya dengan kecintaan terhadap dunia. Inilah yang disebut dengan zuhud.
Apakah seseorang bisa menempuh jalan suluk dengan meninggalkan syariat? Nah, ini adalah hal yang mustahil. Jalan tasawuf adalah jalan seseorang untuk mulai belajar bersyariat secara batiniyah. Dan ini hanya bisa ditempuh setelah seseorang melakukan syariat lahiriah. Mustahil mencapai tujuan tasawuf jika seseorang meninggalkan syariat lahiriyah. Ada sebuah kisah nyata yang menarik untuk kita perhatikan berikut ini.
Suatu ketika, mursyid sebuah thariqah di Jawa Barat pernah didatangi beberapa orang lelaki yang ingin bersilaturahmi. Sang Mursyid bertanya, “Dari mana kalian tahu rumah saya?” Mereka menjawab, “Kami bertanya pada orang-orang di masjid agung kota ini, kira-kira siapa ulama yang bisa kami kunjungi untuk bersilaturahmi. Mereka menunjukkan kami ke rumah Bapak.”
Ternyata para lelaki itu telah sekian bulan selalu berpindah-pindah, tinggal dari satu masjid ke masjid lainnya. Sang Mursyid bertanya, “Apa yang kalian lakukan dengan tinggal di masjid-masjid seperti itu?” Mereka menjawab, “Kami mencari Allah, pak.” Sang Mursyid kembali bertanya, “Apakah kalian punya anak dan istri?” Mereka menjawab, “Punya pak?” Dengan keheranan sang Mursyid bertanya lagi, “Lantas bagaimana dengan anak istri kalian? Siapa yang merawat dan menafkahinya?” Mereka menjawab, “Kami telah tawakalkan kepada Allah, pak.”
Maka sang Mursyid berkata, “Bermimpi kalian ini. Bermimpi kalau kalian ingin mencari Allah sementara syariat lahir kalian abaikan. Secara syariat kalian diwajibkan untuk menafkahi istri, mendidik dan merawat anak, dan berbagai kewajiban lainnya sebagai ayah dan suami yang seharusnya ditunaikan. Kalian itu bermimpi kalau mencari Allah Ta‘ala, sementara syariat lahir diabaikan.”
Adapun thariqah itu sendiri mempunyai mempunyai tiga tujuan. Dua tujuan yang pertama adalah mendapatkan dua rahmat dari Allah.
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Hadid [57]: 28)
Tujuan pertama thariqah adalah mendapatkan rahmat pertama, yaitu cahaya iman dan kesucian bayi seperti pertama kali lahir. Suatu keadaan ketika manusia belum lagi menumpuk dosa. Keadaan ini dinamakan juga dengan al-muththaharûn.
Tujuan kedua dari thariqah adalah mendapatkan rahmat kedua, yaitu berupa Ruhul Quds yang akan mengingatkan manusia ihwal misi hidupnya, mengingatkan ihwal perjanjian primordial dengan Allah Ta‘ala (QS Al-A‘raf [7]: 172) dan membimbingnya dalam menjalankan misi hidup tersebut. Tahap inilah yang dinamakan sebagai ma‘rifat, tahap ketika seseorang setelah mengenal nafs-nya, maka akan mengenalRabb-nya (tingkatan syuhada).
Sedang tujuan ketiga dari thariqah adalah menjadi hamba-Nya yang didekatkan(qarib). Fungsi mursyid adalah membimbing saliknya hingga sampai pada tujuan kedua dari thariqah, yaitu menjadi syuhada. Setelah itu, yang akan berperan sebagai mursyid adalah Ruhul Quds-nya sendiri untuk ber-dharma sebagai shiddiqiin.
Thariqah merupakan perjalanan kembali kepada Allah untuk menemukan diri sejati dan misi hidup tiap-tiap individu. Namun, perjalanan kembali kepada Allah mewajibkan berbagai ujian berat yang harus dilalui, hingga nafs manusia ditempa menjadi kuat. Tak ubahnya, api yang membakar logam hingga merah membara agar dapat dibentuk menjadi sesuatu yang berguna. Dengan tempaan ujian tersebut, sang hamba akan siap menerima amanah berupa misi hidup dalam posisi percaya dan dipercaya.
Melalui jalan suluk, seorang murid juga akan belajar untuk memperoleh ketenangan. Berbeda dengan anggapan umum bahwa ketenangan adalah hidup menjadi tentram dan tenang, ketenangan dalam tashawwuf adalah tidak goyahnya hati dalam menghadapi setiap permasalahan yang datang, menyambut masalah dan ujian sebagai jubah keagungan. Ujian itu hukumnya wajib bagi para salik yang berjalan mencari Allah Ta‘ala.
Ketenangan hidup yang semu, sebagaimana yang diinginkan banyak orang awam dalam ber-tashawwuf, bagi para sufi lebih merupakan isyarat bahwa Allah Ta‘ala tidak lagi peduli. Ketenangan dan hidup adem ayem, lancar dan tenang tanpa masalah merupakan isyarat bahwa Allah membiarkan seseorang hanya mendapatkan bagian di dunia saja, namun tidak di akhirat nanti. Ketenangan hidup yang semu ini justru membuat seseorang menjadi tidak lagi memiliki stimulus untuk merenung, tidak merasa membutuhkan Allah, dan statis.
Sayangnya, saat ini banyak sekali ungkapan yang menyatakan bahwa kegunaan untuk mempelajari tashawwuf adalah untuk mendapatkan ketenangan dan terapi bagi berbagai masalah kehidupan sehari-hari. Padahal, sejak dulu tashawwuf adalah jalan yang mewajibkan adanya ujian dalam setiap detik kehidupan. Para pengikutnya akan disucikan dan dibersihkan.
Suatu ketika, saat sedang makan siang, seorang salik bertanya kepada mursyidnya, “Pak, apakah tetangga di sekitar ini tahu bahwa Bapak adalah mursyid?” Beliau menjawab, “Ya, mereka tahu. Bahkan banyak di antara mereka yang datang kepada saya.” Kemudian salik itu bertanya kembali, “Lalu mengapa mereka tidak berguru pada Bapak?” Beliau menjawab, “Karena saya mengatakan kepada mereka, bahwa apabila kalian mau menjadi murid-murid saya maka kalian harus siap-siap dibersihkan. Harta-harta yang kalian dapatkan dengan cara yang tidak halal akan dihilangkan dari kalian. Ternyata mereka pun kemudian malah ketakutan dan mundur dengan sendirinya.”
Setelah membaca pracetak buku ‘Guru Sejati dan Muridnya’, melalui pemaparannya dalam buku ini, pembaca bisa melihat bagaimana Allah Ta‘ala membuat seorang sufi buta huruf dari pedalaman Sri Lanka memiliki ilmu sedalam ini. Hal ini menunjukkan bahwa rasionalitas hanyalah salah satu jalan saja—dan bukan yang teristimewa—untuk langkah awal mempelajari dunia tashawwuf. Selain itu, ini yang paling menarik, bahwa setelah Bawa Muhaiyaddeen hijrah ke Amerika, kebanyakan muridnya justru adalah orang kulit putih, yang secara umum dicap sebagai masyarakat paling rasional di muka bumi ini.
Wallahu‘alam bishawwab.
Catatan Akhir:
1 Puisi Jalaluddin Rumi, “Chickpea to Cook,” dalam Barks, Coleman (trans.) “The Essential Rumi”. Castle Books, 1997. Dalam tulisan ini, puisi ini diterjemahkan oleh Herry Mardian.
2 Miranda Risang Ayu, “Mencari Tuhan”, Basis, nomor 03-04, tahun ke-55, Maret-April 2006, hlm. 31, 34.
3 Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf, Bandung: Mizan, April 2005, hlm. 178, 183-184.
4 Muhammad Al-Bagir, Mutiara Nahjul Balaghah: Wacana dan Surat-surat Imam Ali R.A., Bandung: Mizan, cetakan ketiga, 1994, hlm. 130.
5 Nicholson, Reynold A., Jalaluddin Rumi: Ajaran dan Pengalaman Sufi, Jakarta: Pustaka Firdaus,
cet. 2, 1996, hlm. 30.
Detik detik menjelang kelahiran Nabi Muhammad SAW
Mekah, malam 1 Rab’iul Awal tahun Gajah :
Allah SWT melimpahkan segala kedamaian dan ketentraman yang luar biasa kepada ibunda Nabi Muhammad SAW, Sayyidah Aminah sehingga beliau merasakan ketenangan dan kesejukan jiwa yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Pada malam ke 2 :
Datang seruan berita gembira kepada ibunda Nabi Muhammad SAW yang menyatakan dirinya akan mendapati anugerah yang luar biasa dari Allah SWT.
Pada malam ke 3 :
Datang seruan memanggil “Wahai Aminah… sudah dekat saat engkau melahirkan Nabi yang agung dan mulia, Muhammad Rasulullah SAW yang senantiasa memuji dan bersyukur kepada Allah SWT.”
Pada malam ke 4 :
Sayyidah Aminah mendengar seruan beraneka ragam tasbih para malaikat secara nyata dan jelas.
Pada malam ke 5 :
Sayyidah Aminah bermimpi dengan Nabi Allah Ibrahim AS.
Pada malam ke 6 :
Sayyidah Aminah melihat cahaya Nabi Muhammad SAW memenuhi alam semesta.
Pada malam ke 7 :
Sayyidah Aminah melihat para malaikat silih berganti saling berdatangan mengunjungi kediamannya membawa kabar gembira sehingga kebahagiaan dan kedamaian semakin memuncak.
Pada malam ke 8 :
Sayyidah Aminah mendengar seruan memanggil dimana-mana, suara tersebut terdengar dengan jelas mengumandangkan “Bahagialah wahai seluruh penghuni alam semesta, telah dekat kelahiran Nabi agung, Kekasih Allah SWT Pencipta Alam Semesta.”
Pada malam ke 9 :
Allah SWT semakin mencurahkan rahmat belas kasih sayang kepada Sayyidah Aminah sehingga tidak ada sedikitpun rasa sedih, susah, sakit, dalam jiwa Sayyidah Aminah.
Pada malam ke 10 :
Sayyidah Aminah melihat tanah Tho’if dan Mina ikut bergembira menyambut kelahiran Baginda Nabi Muhammad SAW.
Pada malam ke 11 :
Sayyidah Aminah melihat seluruh penghuni langit dan bumi ikut bersuka cita menyongsong kelahiran Sayyidina Muhammad SAW.
Malam detik-detik kelahiran Rasulullah, tepat tanggal 12 Rabiul Awwal jam 2 pagi.
Di malam ke 12 ini langit dalam keadaan cerah tanpa ada mendung sedikitpun. Saat itu Sayyid Abdul Mutholib (kakek Nabi Muhammad SAW) sedang bermunajat kepada Allah SWT di sekitar Ka’bah. Sayyid Aminah sendiri di rumah tanpa ada seorangpun yang menemaninya.
Tiba-tiba beliau, Sayyidah Aminah melihat tiang rumahnya terbelah dan perlahan-lahan muncul 4 wanita yang sangat anggun, cantik, dan jelita diliputi dengan cahaya yang memancar berkemilau serta semerbak harum memenuhi seluruh ruangan.
Wanita pertama datang berkata,”Sungguh berbahagialah engkau wahai Aminah, sebentar lagi engkau akan melahirkan Nabi yang agung, junjungan semesta alam. Beliaulah Nabi Muhammad SAW. Kenalilah aku, bahwa aku adalah istri Nabi Allah Adam AS, ibunda seluruh uamt manusia., aku diperintahakan Allah untuk menemanimu.”
Kemudian datanglah wanita kedua yang menyampaiakan kabar gembira, “Aku adalah istri Nabi Allah Ibrahim AS diperintahkan Allah SWT untuk menemanimu.”
Begitu pula menghampiri wanita yang ketiga,”Aku adalah Asiyah binti Muzahim, diperintahkan Allah untuk menemanimu.”
Datanglah wanita ke empat,”Aku adalah Maryam, ibunda Isa AS menyambut kehadiran putramu Muhammad Rasulullah.”
Sehingga semakin memuncak rasa kedamaian dan kebahagiaan ibunda Nabi Muhammad SAW yang tidak bisa terlukiskan dengan kata-kata. Keajaiban berikutnya Sayyidah Aminah melihat sekelompok demi sekelompok manusia bercahaya berdatangan silih berganti memasuki ruangan Sayyidah Aminah dan mereka memanjatkan puji-pujian kepada Allah SWT dengan berbagai macam bahasa yang berbeda.
Detik berikutnya Sayyidah Aminah melihat atap rumahnya terbuka dan terlihat oleh beliau bermacam-macam bintang di angkasa yang sangat indah berkilau saling beterbangan.
Detik berikutnya Allah memerintahkan kepada Malaikat Ridwan agar mengomandokan seluruh bidadari syurga agar berdandan cantik dan rapih, memakai segala macam bentuk perhiasan kain sutra dengan bermahkota emas, intan permata yang bergemerlapan, dan menebarkan wangi-wangian syurga yang harum semerbak ke segala arah. lalu trilyunan bidadari itu dibawa ke alam dunia oleh Malaikat Ridwan, terlihat wajah bidadari itu gembira.
Lalu Allah SWT memanggil : “Yaa Jibril… serukanlah kepada seluruh arwah para nabi, para rasul, para wali agar berkumpul, berbaris rapih, bahwa sesungguhnya Kekasihku cahaya di atas cahaya, agar disambut dengan baik dan suruhlah mereka menyambut kedatangan Nabi Muhammad SAW.
Yaa Jibril… perintahkanlah kepada Malaikat Malik agar menutup pintu-pintu neraka dan perintahakan kepada Malaikat Ridwan untuk membuka pintu-pintu syurga dan bersoleklah engkau dengan sebaik-baiknya keindahan demi menyambut kekasihKu Nabi Muhammad SAW.
Yaa Jibril… bawalah trilyunan malaikat yang ada di langit, turunlah ke bumi, ketahuilah KekasihKu Muhammad SAW telah siap untuk dilahirkan dan sekarang tiba saatnya Nabi Akhiruzzaman.”
Dan turunlah semua malaikat, maka penuhlah isi bumi ini dengan trilyunan malaikat. Lalu ibunda Rasulullah SAW di bumi, beliau melihat malaikat itupun berdatangan membawa kayu-kayu gahru yang wangi dan memenuhi seluruh jagat raya.
Pada saat itu pula mereka semua berdzikir, bertasbih, bertahmid, dan pada saat itu pula datanglah burung putih berkilau cahaya mendekati Sayyidah Aminah dan mengusapkan sayapnya pada Sayyidah Aminah, maka pada saat itu pula lahirlah Muhammad Rasulullah SAW dan tidaklah Sayyidah Aminah melihat kecuali cahaya, tak lama kemudian terlihatlah jari-jari Nabi Muhammad SAW bersujud kepada Allah seraya mengucapkan, “Allahu Akbar.. Allahu Akbar.. Walhamdulillahi katsiro, wasubhanallahibukrotan wa asiilaa.”
Sayidah Aminah sendiri melihat bayi suci Nabi Muhammad SAW dalam keadaan terbaring dengan dua tangannya mengangkat ke langit seperti seorang yang sedang berdoa. Kemudian Sayidah Aminah juga melihat awan turun menyelimuti dirinya sehingga beliau mendengar sebuah seruan "Pimpinlah dia mengelilingi bumi Timur dan Barat, supaya mereka tahu dan dialah yang akan menghapuskan segala perkara syirik''.
Selepas itu awan tersebut lenyap daripada pandangan Aminah. Nabi Muhammad SAW dilahirkan dalam keadaan memandang ke arah langit sambil meletakkan tangannya ke tanah sebagai tanda ketinggian martabatnya daripada semua makhluk.
Semakin memuncaklah kegembiraan seluruh alam dunia dan semesta dan terucaplah “Yaa Nabi Salam Alaika… Yaa Rasul Salam Alaika… Yaa Habib Salam Alaika… Sholawatullah Alaika.. ”
Senyum indah terpancar dari wajahnya.......... dan hancurlah berhala-berhala
serta bergembiralah semua alam semesta menyambut kelahiran Nabi yang sangat mulia…...Nabi Muhammad SAW....
Di ambil dari catatan "Misykat Al Marhum"
Kumpulan cerita-cerita yang penuh dengan Hikmah
Diceritakan oleh waliyullah Abu Yazid Al-Bustami r.a.:
Saat saya berada di dalam khalwatku, menikmati pendekatan diri dengan Rabbul Izzati, sedang dalam khayalan mengingati serta mengagungkan Allah, tiba-tiba dalam batinku terdengar suatu suara menyeru:
'Wahai Abu Yazid! Pergilah ke gereja Sam'an. Berkumpullah dengan para pendeta di situ pada hari besar mereka, ada hal perlu dan penting.'
Mendengar bisikan itu, saya terkejut dan berkata: 'Semoga Allah melindungi diriku dari bisikan ini. Saya berzikir kembali dan saya tertidur sekejap, dan bisikan itu muncul kembali. Saya terbangun lalu duduk termangu-mangu dan penuh kebimbangan, tiba-tiba terdengar suara itu sekali lagi, dan kali ini sangat jelas, dia mengulangi apa yang dikatakan kepadaku sebelum ini. Kemudian katanya lagi: 'Wahai Abu Yazid! Janganlah engkau merasa takut dan bimbang, engkau termasuk waliullah dan orang yang Kucintai sebagai orang-orang yang Abraar. Nah, sekarang pakailah engkau akan pakaian orang pendeta Nasrani, dan pasangkan Salib di lehermu, dan jangan engkau bimbang, semua itu tidak akan menjadikan apa-apa pada dirimu. Sekarang pergilah engkau ke gereja Sam'an ada hal yang perlu dan sangat penting di sana!' bunyi suara itu kali ini.
Saya pun cepat-cepat bangun dari tempat tidurku, lalu memakai pakaian menurut apa yang diperintahkan oleh suara itu. Kini saya serupa seperti seorang pendeta Nasrani. Saya pun berangkat menuju ke gereja Sam'an, lalu berkumpul dengan para pendeta yang ada di situ.
Apabila pembesar pendeta itu tiba untuk memberikan pidatonya, para pendeta yang lain semuanya berdiri dengan teratur dan tenang untuk memberikan hormat kepadanya. Mereka kemudian duduk siap-sedia untuk mendengar dan memperhatikan segala kata-kata yang akan disampaikan oleh pembesar pendeta itu. Namun demikian si pembesar pendeta itu tidak mampu mengucapkan kata-katanya, dicubanya berkali-kali, namun dia tetap tidak berdaya seakan-akan mulutnya dikekang oleh sesuatu yang menguncinya.
Para pendeta dan beberapa orang rahib lain yang hadir di situ pada ribut dan tercengang, kenapa pemimpin mereka menjadi seperti orang bisu, lalu seorang bertanya: 'Wahai pemimpin kami! Apakah yang menghalangi bapak untuk memberikan nasehat kepada kami? Ketahuilah, kami selalu menunggu nasehat yang berharga dari bapak, kami siap sedia untuk mendengarkannya dan siap sedia untuk melakukannya.'
Pemimpin pendeta itu menjawab: 'Sesuatu yang mencegah lisanku untuk berbicara di hadapanmu adalah karena adanya seseorang di antara kalian yang beragama syariat Muhammad, yang datang ke sini semata-mata untuk menguji keimanan kalian.'
Para pendeta itu saling berpandangan yang satu kepada yang lain, dan berkata dengan penuh semangat: 'Manakah orang itu, kami akan membunuhnya sekarang juga.'
Pemimpin itu lalu menjawab: 'Tidak, kamu tidak boleh membunuhnya kecuali dengan bukti dan alasan yang kuat.'
Mereka menjawab: 'Baiklah, kami akan menuruti segala nasehat bapak. Kami datang ke mari adalah demi mencari petunjuk yang berguna bagi diri kami,'
Pemimpin pendeta itu berdiri lalu berkata: 'Wahai orang yang mengaku agama Muhammad, demi Muhammad, bangunlah dan berdiri, kami ingin melihat dan mengenali anda!'
Maka Abu Yazid Al-Bustami tidak dapat mengelak lagi dan terus berdiri serta berjalan menuju ke tempat pemimpin itu, sementara lisan beliau tak lepas dari bertakbir, bertahmid, bertasbih dan bertahlil.
Pemimpin pendeta itu berkata: 'Wahai pengikut Muhammad, saya akan mengajukan beberapa pertanyaan kepada anda. Jika anda dapat menjawab semuanya dengan benar, maka saya akan mengikuti agama anda. Namun jika anda tak mampu menjawabnya, maka kami akan membunuh anda.'
Abu Yazid Al-Bustami menjawab: 'Baiklah! tanyalah apa pun yang anda inginkan!'
Pemimpin pendeta itu berkata: 'Baik, harap anda memperhatikan semua pertanyaan saya ini! Terangkan kepada kami, tentang yang satu tak ada duanya, yang dua tak ada tiganya, yang tiga tanpa empatnya, yang empat tidak ada limanya, yang lima tanpa enamnya, yang enam tanpa tujuhnya, yang tujuh tanpa delapanya, yang delapan tanpa sembilannya, yang sembilan tanpa sepuluhnya, yang sempurna dari yang sepuluh, yang sebelas, yang dua belas, yang tiga belas, dan yang empat belas. Kemudian coba jelaskan juga kepada kami siapa dari golongan yang membenarkan, namun dimasukkan ke dalam neraka, siapa dari golongan yang mendustakan, namun dimasukkan ke dalam Syurga. Di manakah tempat roh saat di jasad, sebutkan apa yang disebut Adz-Zariyaati Zarwan, tentang Al-Hamilaati Waqran, tentang Al-Jaariyati Yusran, dan tentang Al-Muqassimaati Amran?
Kemudian, jelaskan kepada kami tentang sesuatu yang bernafas namun tanpa roh, tentang kubur yang berjalan bersama penghuninya, tentang air yang tidak turun dari langit dan tidak berasal dari bumi, dan dari hal empat golongan yang tidak tergolong manusia, jin, malaikat dan tidak pula berasal dari punggung seorang laki-laki, dan tidak keluar dari perut sang ibu?
Kemudian, jelaskan pula kepada kami, dari hal darah pertama yang mengaliri bumi, dan dari suatu ciptaan Allah lalu dianggapnya sebagai sesuatu yang berat. Siapakah seutama-utama kaum wanita, seutama-utama lautan, seutama-utama gunung, seutama-utama binatang, seutama-utama bulan, dan semulia-mulia malam? Apakah Thammah itu?
Kemudian coba jelaskan tentang sebuah pohon yang mempunyai dua belas cabang, setiap cabangnya memiliki tiga puluh daun, setiap daun memiliki lima bunga, dua di antaranya di matahari sedang tiga lainnya berada di bayang-bayangnya.
Kemudian jelaskan tentang sesuatu yang berhaji ke Baitullah, namun tidak memiliki roh sedang ia tak berkewajiban haji! Berapakah jumlah Nabi-nabi Allah, berapa yang menjadi Rasul, dan berapa pula yang tak terutus!
Kemudian jelaskan tentang empat macam benda yang berlainan rasa dan warnanya, namun sumbernya adalah satu! Sebutkan apakah itu Naqir, Fatil, Qitmir, Sabed, Labed, Tham dan Ram! Terangkan tentang apakah yang di gonggongkan oleh anjing, disuarakan oleh himar, sapi, kuda, unta, burung Merak, burung Durju, burung Bulbul, katak, Naqus dalam suara masing-masing!
Kemudian jelaskan kepada kami dari segolongan makhluk Allah di mana Allah berwahyu kepadanya, namun mereka tiada tergolong jin, manusia, dan bukan pula Malaikat.
Kemudian jelaskan ke mana perginya malam jika siang datang, dan ke mana perginya siang jika malam datang!
Abu Yazid Al-Bustami kelihatan seolah-olah hendak melompat dari tempat berdirinya, kerana tidak tertahan menunggu lama mendengarkan pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan oleh pemimpin pendeta itu. Dia mendengar kesemua pertanyaan yang di kemukakan kepadanya dengan perasaan tenang, dan kalau boleh mahu dia menjawabnya secara sepontan tanpa menunggu penerangannya begitu lama.
Apabila pemimpin pendeta itu berhenti dan duduk, Abu Yazid Al-Bustami dengan penuh semangat mengemukakan pertanyaannya pula: 'Wahai pemimpin pendeta yang budiman! apakah masih ada lagi pertanyaan-pertanyaan yang lain, yang mahu dikemukakan lagi sesudah ini?'
'Tidak ada lagi,'jawab pemimpin pendeta itu, 'itulah saja. Dan sekarang cubalah engkau berikan jawabnya yang betul. Ingat kepada janjiku tadi, jika engkau tidak dapat menjawab, ataupun jawapanmu tidak betul, engkau akan kami bunuh kerana berani menyeludupkan dirimu ke tempat kami ini,' tambahnya lagi.
'Baiklah,' kata Abu Yazid Al-Bustami. 'Aku terima semua syarat-syarat kamu itu. Tetapi, jika aku dapat menjawab semua pertanyaan-pertanyaan kamu itu dengan betul dan benar, maukah kamu sekalian beriman kepada Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagiNya?! Maukah kamu mempercayai dan mengikut agama yang benar yang diutus kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan beriman kepadanya seperti aku yang beriman kepadanya ini?!'
Abu Yazid Al-Bustami merenung setiap wajah pendeta yang berada di situ. Mereka pada memandang yang satu kepada yang lain. Ada yang nampak keberatan untuk memenuhi permintaan Abu Yazid itu. Yang dihukum untuk menjawab di sini ialah si Abu Yazid yang memberanikan dirinya masuk di tengah-tengah mereka. Dia tidak boleh diberikan syarat apa pun untuk melepaskan dirinya selain menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang dikemukan oleh pemimpin pendeta mereka dengan betul.
Kemudian Abu Yazid Al-Bustami merenung dalam kepada wajah pemimpin pendeta itu dan menunggu sesuatu jawapan yang baik daripadanya.
'Baiklah, kami semua bersedia beriman kepadanya,' tegas pemimpin pendeta itu. Dan semua para pendeta yang hadir kelihatan mengangguk-anggukkan kepala, seraya mengucapkan 'Ya, kami semua akan beriman kepadanya!'
Abu Yazid pun mengangkat kepalanya ke arah atas seraya mengucapkan: 'Ya Allah! Ya Tuhanku! Saksikanlah apa yang berlaku di sini, kerana Dikaulah sebaik-baik saksi hamba atas kesediaan semua pendeta-pendeta ini untuk beriman kepadaMu dan kepada RasulMu!'
'Sekarang saya akan menjawab kesemua pertanyaan-pertanyaan kamu itu satu persatu dengan keterangannya sekali!,' kata Abu Yazid Al-Bustami.
Adapun tentang pertanyaan kamu Yang Satu tak ada duanya? Itulah kewujudan Allah Maha Esa. Dia Tuhan yang Tunggal tidak ada sekutu bagiNya.
Adapun tentang Yang dua tak ada tiganya? Bukankah itu malam dan siang. Bila pergi malam datanglah siangnya, dan bila pergi siang datang malam menggantikannya.
Tentang Yang tiga tak ada empatnya? dia itu adalah Kursi, Qalam dan Arasy Tuhan.
Tentang Empat tak ada limanya? Dia itu adalah Taurat, Injil, Zabur dan Al-Quran.
Tentang Lima tak ada enamnya pula? Agama Islam telah memfardhukan penganutnya bershalat lima waktu, yaitu Zohor, Asar, Maghrib, Isya' dan Subuh.
Tentang Enam tak ada tujuhnya? Dia itu adalah hari-hari Allah telah menciptakan bumi dan langit, hal ini tersebut di dalam kesemua kitab suciNya.
Tentang Tujuh tak ada delapannya? Itulah dia tujuh petala langit dan tujuh petala bumi yang disebutkan di dalam kitab suciNya juga.
Tentang Delapan tak ada sembilannya? Mereka itu adalah Malaikat-malaikat pemikul Arasy Tuhan, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab suciNya: Dan akan memikul Arasy Tuhan kamu pada hari (kiamat) itu nanti adalah delapan orang Malaikat.
Tentang Sembilan tak ada sepuluhnya? Mereka itu adalah kaum dari golongan manusia yang menjadi perusak bumi Allah, sebagaimana yang tersebut di dalam kitab suci: di dalam kota itu dahulu terdapat sembilan kumpulan yang menjadi perusak di bumi dan mereka tidak pernah melakukan yang baik.
Tentang yang dikatakan Sepuluh yang sempurna, yaitu kefardhuan puasa sepuluh hari ke atas orang-orang yang berihram haji, sebagaimana bunyi firmanNya: Maka hendaklah dia (orang yang berihram haji) berpuasa tiga hari di masa haji, dan tujuh hari lagi apabila dia kembali ke negerinya. Itulah dia sepuluh yang sempurna, kata Tuhan.
Kemudian yang dikatakan Yang sebelas itu? Mereka itu adalah saudara mara Nabi Yusuf a.s.
Dan yang dikatakan Yang dua belas pula? Itulah dia nama-nama hitungan bulan-bulan dalam setahun.
Yang dikatakan Yang tiga belas itu? Yaitu apa yang dimimpikan
oleh Nabi Yusuf a.s. sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab suci. Berkata Yusuf: Sesungguhnya aku lihat sebelas bintang, matahari dan bulan. Semuanya bukankah tiga belas.
Adapun tentang orang-orang yang berdusta, tetapi mereka akhirnya dapat menduduki syurga? Mereka itulah saudara-saudara Nabi Yusuf a.s. kerana mereka ketika mendakwa kepada ayah mereka (Nabi Ya'qub a.s.) bahwa Yusuf telah dimakan serigala, mereka membawa pakaiannya setelah dilumurkan dengan darah kambing. Apa yang mereka buat itu adalah hal yang dusta.
Dan tentang orang-orang berkata benar, tetapi mereka akan dimasukkan ke dalam neraka? Mereka itu adalah kaum Yahudi dan kaum Nasrani, sesuai denga firman Allah Ta'ala di dalam kitab suciNya: Telah berkata kaum Yahudi, bahwa kaum Nasrani itu tidak benar. Dan berkata kaum Nasrani pula, bahwa kaum Yahudi itu tidak benar. Kedua-dua kaum Yahudi dan Nasrani itu telah berkata benar dalam tuduhan mereka antara satu dengan yang lain, namun begitu mereka tidak mahu tunduk kepada kebenaran yang ada di hadapan mereka, yaitu mempercayai agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad s. a. w. sebagai agama yang telah memansukhkan segala agama yang sebelumnya. Lantaran itulah mereka akan menduduki neraka.
Mengenai pertanyaan kamu dari hal Roli pula? Ia berada di jasadmu di antara kedua telinga kamu pada gambaran wajah.
Tentang Adz-Zariyaati Zarwan? Dia adalah nama dari macam- macam angin yang empat.
Tentang Al-Hamilaati Waqran? Dia itu adalah awan gemawan yang tersebar di dada langit.
Tentang Al-Jaariyaati Yusran? Dia itu adalah perahu-perahu yang sedang belayar di muka laut.
Tentang Al-Muqassimaati Amran? Mereka itulah Malaikat- malaikat yang bertugas untuk membagi-bagikan rezeki kepada manusia pada malam Nisfu Sya'ban.
Tentang Empat belas? Mereka itulah yang berkata-kata kepada Tuhan semesta alam, yaitu: Tujuh petala langit, tujuh petala bumi, sesuai dengan firman Allah Ta'ala: Maka Tuhan berkata kepadanya, yakni kepada tujuh petala langit dan kepada tujuh petala bumi, datanglah kepadaKu secara patuh terhadap perintah, ataupun secara terpaksa. Maka berkata kedua bumi dan langit: Kami akan datang kepadaMu secara patuh dan taat.
Tentang kuburan yang berjalan dengan penghuninya? Yaitu ikan
besar yang menelan Nabi Yunus a.s. Nabi Yunus berada di dalamnya sebagai kuburan, dibawanya ke mana-mana sehingga dimuntahkan- nya di sebuah pantai, dengan izin Allah Ta'ala.
Tentang sesuatu yang bernafas, namun tak memiliki roh? Yaitu waktu Subuh, sesuai dengan firman Allah Ta'ala: Demi subuh dan apabila bernafas.
Tentang air yang tiada turun dari langit dan tiada pula berasal dari bumi? Dia itulah air yang dikirimkan Ratu Balqis (Ratu Negeri Yaman) kepada Nabi Sulaiman a.s. di dalam sebuah botol, yaitu air keringat kuda.
Adapun tentang empat yang bukan dari golongan jin, manusia dan malaikat, juga tidak berasal dari punggung laki-laki dan bukan dari seorang ibu? Dialah kambing kibasy yang dibawa Jibril a.s. untuk menjadi korban ganti Nabi Ismail a.s. Juga unta Nabi Allah Saleh a.s. yang disembelih oleh kaumnya. Dan yang ketiga dan keempat, ialah Nabi Adam dan Siti Hawa - alaihimas-salam.
Tentang suatu ciptaan Allah, lalu diingkarinya sebagai sesuatu yang buruk? Yaitu suara keledai yang tidak enak didengar, sesuai dengan firman Allah: Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai!
Tentang darah pertama yang dialirkan di atas muka bumi? Yaitu darah Habil apabila dibunuh oleh saudaranya sendiri bernama Qabil.
Tentang suatu ciptaan Allah, lalu dianggapnya sebagai sesuatu yang berat? Yaitu tipu helah kaum wanita, sesuai dengan firman Allah: Sesungguhnya tipu helah wanita adalah suatu tipu helah yang besar atau berat!
Tentang mulanya sebatang kayu dan akhirnya menjadi roh? Yaitu tongkat Musa a.s.
Tentang siapa dia seutama-utama kaum wanita? Yaitu Hawa, ibu kepada sekalian manusia, kemudian Khadijah r.a. kemudian Aisyah r.a. kemudian Asia (isteri Fir'aun) dan Maryam binti Imran.
Tentang yang mana satu menjadi seutama-utama laut? Yaitu Sihurn, Jihun, Furat dan Nil di negeri Mesir.
Tentang seutama-utama gunung-ganang? Dialah itu Tursina.
Tentang seutama-utama binatang? Dialah itu kuda.
Tentang seutama-utama bulan? Dialah itu bulan Ramadhan.
Tentang seutama-utama malam? Dialah itu malam lailatul-qadar.
Tentang At-Thammah? Dia itu adalah hari kiamat.
Tentang suatu pohon mempunyai dua belas ranting, setiap ranting mempunyai tiga puluh pucuk, setiap pucuk mempunyai lima kembang, dua kembang di matahari dan tiga lagi di tepi kegelapan? Jawabnya: Yang pohon itu ialah 'tahun', dan yang dua belas ialah 'dua belas bulan', dan yang tiga puluh daun itu ialah 30 hari, dan lima kembang itu ialah lima waktu shalat, dua di waktu siang di waktu ada matahari dan tiga di waktu malam di mana kegelapan niengelubungi alam ini.
Tentang suatu benda yang pergi ke haji dan mengelilingi Baitul-haram, tetapi tidak mempunyai roh dan tidak wajib atasnya? Yaitu bahtera Nabi Allah Nuh a.s.
Tentang empat macam air yang lain rupa dan rasanya sedang sumbernya berasal dari yang satu? Yaitu air mata, air telinga, air hidung
dan air mulut. Air mata adalah asin, air telinga adalah pahit, air hidung adalah masam dan air mulut adalah tawar.
Tentang pertanyaan kamu mengenai Naqir, Fatil dan Qitmir? Naqir adalah titik yang terdapat pada luar kulit benih, dan Fatil titik yang terdapat di dalam benih itu sendiri, sedangkan Qitmir ialah kulit yang menutupi benih itu.
Tentang Sabed, Labed? Dia itu adalah bulu-bulu kambing biri-biri dan kambing kasi.
Tentang perkataan Tham dan Ram? Mereka itu adalah jenis-jenis makhluk yang telah wujud sebelum wujudnya Adam a.s.
Tentang apa yang dikatakan himar (keledai) dalam nguaknya? Dia terlihat syaitan, lalu ia berkata: Allah melaknatinya!
Tentang apa yang dikatakan anjing dalam gonggongannya? Maka ia berkata: Awas! celaka bagi penghuni-penghuni neraka dari kemurkaan Tuhan Maha Berkuasa!
Tentang apa yang dikatakan kuda dalam jeritannya? Yaitu Maha Suci Tuhan yang memeliharaku ketika bersatu padu para pahlawan dan masing-masing bertempur secara laki-laki.
Tentang apa yang dikatakan unta dalam jeritannya? Dia mengucapkan 'Hasbiyallahu Wakafaa Billaahi Wakiilaa', yakni memadailah Allah hanya bagiku, dan cukuplah Dia tempat aku menyerahkan diriku.
Tentang apa yang dikatakan burung Bulbul dalam nyanyiannya? Maha Suci Allah di waktu petang dan di waktu pagi.
Tentang apa yang dikatakan katak dalam tasbihnya? Dia mengucapkan Maha Suci Tuhan yang disembah di tempat-tempat berisi makhlukNya dan di tempat-tempat kosong yang tiada berpenghuni.
Tentang apa yang dikatakan burung Nakus? Katanya: Maha Suci Allah sungguh-sungguh! Wahai anak Adam! Lihatlah di barat dan di timur di dalam dunia ini, adakah makhluk yang menungkat langit?
Adapun tentang suatu kaum dari makhluk Allah yang diutus kepadanya, namun dia bukan dari bangsa jin, bukan bangsa manusia
dan bukan Malaikat maka dia itu adalah lebah, sesuai dengan firman Allah: Dan Tuhan kamu telah mewahyukan kepada lebah...
Tentang pertanyaan kamu mengenai malam, di manakah dia ketika datangnya siang, dan begitu pula dengan siang, di mana dia ketika datangnya malam? Kedua-dua berada di dalam ilmu Allah yang amat sulit.
Sesudah memberikan jawapan-jawapannya satu persatu terhadap pertanyaan pemimpin pendeta itu, maka Abu Yazid Al-Bustami berkata pula: 'Saya sudah jawab semua pertanyaan-pertanyaan tuan, sekarang adakah lagi pertanyaan-pertanyaan yang lain?'
Semua pendeta di situ menjawab hampir serentak: 'Tidak ada lagi!'
'Bagaimana jawapan-jawapanku itu,' tanya Abu Yazid.
'Kami setuju terhadap semua jawapan-jawapan itu!' kata pemimpin pendeta itu.
'Tak adakah lagi siapa di antara kamu yang mau menanyakan sesuatu yang lain?' tanya Abu Yazid lagi.
Mereka semua diam. Tidak ada seorang pun yang mahu mengemukakan pertanyaan, ataupun barangkali mereka sudah tidak ada apa-apa yang hendak ditanyakan lagi.
'Tapi saya ada sesuatu yang hendak saya tanya,' kata Abu Yazid. 'Ini giliran saya pula,' tambahnya bersahaja.
Para pendeta itu memandang satu dengan yang lain.
'Soalan pertama,' kata Abu Yazid. 'Beritahu aku akan kunci syurga dan kunci langit?!'
Para pendeta itu semuanya berdiam diri, barangkali tidak ada seorang pun yang dapat menjawabnya termasuk pemimpin pendeta itu sendiri.
'Kamu telah mengemukakan kepadaku berbagai-bagai pertanyaan, bukan satu dua, tetapi banyak sekali, semuanya telah aku jawab,' kata Abu Yazid. 'Ini baru satu pertanyaan yang aku kemukakan, tapi kamu semua tidak dapat menjawabnya. Apakah kamu tak sanggup menjawabnya?'
'Kami memang tidak dapat menjawabnya,'jawab hampir semua pendeta yang berada di situ. Kemudian mereka sekalian memandang wajah pemimpin pendeta mereka, lalu meminta dia menjawab.
'Cubalah bapak pendeta menjawabnya untuk melepaskan kami dari malu!' kata mereka kepada pemimpin pendeta itu.
Namun begitu pemimpin pendeta itu tetap berdiam seribu bahasa.
'Apakah bapak pendeta juga tidak dapat menjawabnya?' tanya
seorang di antara mereka.
'Bukan saya tidak tahu jawabnya, akan tetapi saya bimbang nanti kamu sekalian tidak akan setuju dengan jawapanku itu,' jelas pemimpin pendeta itu.
Kebanyakan para pendeta di situ berkerut mukanya, kenapa pemimpin pendeta mereka sampai menjawab serupa itu. Apa yang menghalangnya dari menjawab, dan kenapa dia mengatakan bahwa mereka mungkin tidak setuju dengan jawapannya. Apakah ada suatu rahasia yang lain yang mereka tidak tahu dan orang Islam ini tahu?!
'Jawablah, wahai bapak pendeta,' kata para pendeta itu, 'selama ini kami tidak pernah membantah apa yang bapak katakan.'
'Ya, memang benar,' sampuk Abu Yazid sekaki, 'bukankah engkau pemimpin mereka sekalian, dan dasar anak buah harus mendengar kata-kata pemimpinnya, bukan begitu?!
'Memang betul, kata orang Islam itu,' sampuk seorang terkanan dari para pendeta itu. 'Katakanlah, dan kami tetap akan tunduk kepada apa yang bapak katakan!'
'Baiklah, kalau begitu saya akan jawab pertanyaan orang Islam itu,' kata pemimpin pendeta itu. Para pendeta di situ hampir semua merasa gembira kerana rupanya pemimpin pendeta mereka dapat menjawab pertanyaan orang Islam itu.
'Ketahuilah, bahwa kunci syurga dan langit itu tiada lain melainkan Laa Ilaaha Illallaah, Muhammadur Rasulullaah (tiada Tuhan yang sebenarnya melainkan Allah, dan bahawasanya Muhammad itu adalah pesuruh Allah),' tegas pemimpin pendeta itu.
Para pendeta itu hampir kesemuanya terkejut mendengar ucapan itu. Mereka hampir tidak percaya kepada apa yang diucapkan oleh pemimpin pendeta mereka. Apa' benar yang dikatakan itu, ataupun dia telah terpukau oleh orang Islam ini. Keadaan di situ agak hiruk- pikuk sedikit.
'Memang benar, apa yang dikatakan oleh bapak pendeta kamu itu,' sampuk Abu Yazid Al-Bustami. 'Selama ini mungkin dia menyembunyikannya kerana bimbang kamu semua tidak mahu mengikutinya nanti.' Pemimpin pendeta itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan tunduk.
'Kamu semua telah mengaku sebelum ini, bahwa kamu akan setuju kepadanya, walau apa pun yang dia katakan,' kata Abu Yazid lagi. 'Sekarang, marilah kita bersama-sama mengucapkan syahadat itu dan menjadi Islam seperti aku ini!'
'Nanti dulu,' jawab seorang di antara mereka. 'Kami ingin
pastikan sendiri apa yang diucapkannya itu memang benar.'
'Kawan-kawan sekalian!,' kata pemimpin pendeta itu. 'Percayalah, bahwa apa yang saya beritahukan itu memang benar. Saya tidak terdesak oleh mana-mana tekanan pun. Memang sudah lama saya fikirkan hendak sampaikan perkara ini kepada kawan-kawan sekalian, tetapi saya selalu bimbang dan saya takut kawan-kawan sekalian tidak percaya kepadaku lagi. Saya hanya menunggu waktu saja.'
'Dari mana bapak mengetahui hal ini?' tanya seorang yang lain.
'Dari bapak pendeta yang sebelumku,' terang pemimpin pendeta itu. Kali ini ia lebih tegas, mungkin dia tidak perduli apa yang akan berlaku sesudah itu.
'Ketika bapak pendeta itu akan meninggal dunia, dia telah memberitahuku dan dia bersumpah apa yang dia katakan itu adalah yang benar,' tambah pemimpin pendeta itu lagi.
'Kalau begitu apa lagi kita menunggu,' sampuk salah seorang dari antara mereka.
'Ya, jangan tunggu lagi! Saya sendiri memang sudah Islam, tapi saya tidak terangkan,' tambah pemimpirn pendeta itu mendedahkan rahasianya.
Dengan hidayah Allah Ta'ala, maka kesemua para pendeta itu telah memeluk Islam satu persatu. Mereka semua telah bertukar kulit. Daripada menjadi pendeta Nasrani, kini menjadi pula orang-orang salih yang mematuhi agama Islam. Rumah gereja mereka itu disesuaikan untuk dijadikan masjid.' Salib yang mereka pakai di leher mereka dilontarkan ke dalam laut.
Selesailah sejarah para pendeta itu yang selama ini hidup dalam kesesatan, lalu dengan sebab seorang yang ikhlas dan benar dalam kata-katanya untuk berkhidmat kepada Islam, maka sekumpulan para pendeta itu telah dapat melihat cahaya kebenarannya serta memeluk Islam.
Abu Yazid Al-Bustami, sesudah berada bersama-sama teman- temannya yang baru Islam itu beberapa hari, dia lalu memohon untuk beredar dari situ.
Dalam perjalanannya Abu Yazid kedengaran lagi suara lama itu. Katanya kali ini: 'Wahai Abu Yazid! Engkau telah merasa berat untuk memakai salib itu untuk Aku, dan kerana itu Aku telah memutuskan lima ratus salib untuk engkau!'
"Diambil dari Catatan Muhammad Shulfi Alaydrus";
Di sadur dari terjemahan kitab Mukhtashor Raudhur-Raiyahin Karya Al Allamah Al Yafi'iy yang diterjemahkan oleh Syed Ahmad Semait dengan judul Untaian kisah para Wali Allah Cetakan Pustaka Nasional Singapura.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Abu Bakar bin Abi Syaibah (Wafat 235H)
Namanya sebenarnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al Kufy, seorang hafidh yang terkenal. Ia menerima hadist dari al-Ah...