Berterimakasihlah

Oleh: Candra Malik

Cara seseorang berterimakasih menunjukkan caranya menerima kasih. Ucapan menunjukkan adab dan perilaku menunjukkan ilmu. Dan siapa yang menjaga dirinya dari tinggi hati, niscaya ia akan selamat dari tiga penyakit hati yang paling mematikan; yaitu takabur, ujub, dan riya'. Takabur adalah sombong, ujub adalah angkuh, riya' adalah pamer. Menurut Rasulullah Muhammad SAW, senoktah sombong saja cukup untuk mengantarkan manusia ke neraka. Na'udzu bi 'l-laahi min dzalik.

Seringkali kita lupa berterimakasih, apalagi jika merasa kitalah yang paling hebat dan berjasa di antara yang lain. Seolah-olah jika tidak ada kita, maka kegagalanlah yang akan terjadi. Allah bahkan tidak masuk dalam daftar faktor keberhasilan jika kita berprestasi. Seakan-akan hal-hal mengenai kesuksesan adalah hasil jerih payah dan daya upaya sendiri. Allah baru diletakkan di urutan kesatu ketika kita sedih, takut, khawatir, panik, sakit, kehilangan harapan, dan gagal. NamaNya disebut-sebut.

Manusia suka lupa dan lalai, lantas berbantah dan berdebat. Terlebih jika didera sesuatu yang dianggapnya musibah, manusia gemar sekali memertanyakan keberadaan Tuhan. Allah dipersalahkan saat mengalami kesusahan, dengan tuduhan tunggal: tidak hadir ketika dibutuhkan. Namun, ketika keadaan baik-baik saja, apalagi sewaktu mencapai puncak gemerlap, kita lalai menyebutNya. Kita bahkan lupa betapa kehadiran Allah penentu segala keberhasilan itu. Betapa sering kita kelewat batas seperti itu.

Padahal, biji kesombongan adalah benih penyakit hati yang menjelma benalu yang sangat cepat menjalar. Jika iman serupa pohon, tawadhu atau kerendahanhati adalah benih terbaik. Ia ditanam dalam-dalam dan tak ditonjol-tonjolkan. Ketika tumbuh, tawadhu membesar sebagai pohon kehambaan dengan akar menghujam ke dasar bumi dan batang menjulang ke atap langit. Dengan tawadhu-lah, kalimatu 't-thayyibah "laa ilaaha illa 'l-lah Muhammad Rasula 'l-lah" menjadi galih atau lingkar terdalam pohon.

Siapa yang pandai berterimakasih, ia pasti pandai meminta maaf dan memberi maaf. Salah satu dari ciri-ciri manusia yang telah diampuni dosa-dosanya oleh Allah adalah ia ringan meminta maaf dan tidak berat memaafkan. Ia sadar bahwa ia tidak bisa hidup sendiri. Oleh karena itulah, ia pandai berterimakasih atas peran orang lain dalam kehidupannya. Pun ia pandai meminta maaf atas segala kekurangan dan kesalahannya dan pandai pula memaafkan kekurangan dan kesalahan orang lain.

Dalam kehidupan berpasangan, jika mengetahui keburukan kekasihnya, orang baik akan menjadikan dirinya sebagai kebaikan bagi kekasihnya itu. Mendapati kekurangan kekasihnya, ia akan memosisikan diri sebagai kelebihan. Saling mengisi dan saling mengerti. Saling memaafkan satu sama lain dan saling berterimakasih. Bukan justru menjelek-jelekkan dan mengungkit kesalahan, merasa diri paling benar, dan tidak menghargai peran sesama. Siapa menebar benci, ia menyesali itu kelak suatu hari.

Berbuat baik adalah satu-satunya perlombaan yang Allah perintahkan, yaitu fastabiqu 'l-khairat. Sebaik-baik manusia adalah ia yang memberi manfaat bagi sesama. Siapa yang menjadi yang terbaik pun masih perlu belajar untuk menjadi lebih baik. Tak ada puncak kebaikan. Dalam hidup, tiap manusia terus-menerus mendaki gunung kebaikan itu dan tak ada yang menyentuh puncaknya. Oleh karena itulah, mawas diri menjadi bekal yang tepat dalam perjalanan tiada akhir ini. Dan, jadilah kawan seperjalanan.

Kelak, ketika hari akhir telah tiba, Allah yang Maha Baik menunjukkan kebaikanNya. Bukan ilmu dan amal ibadah yang memasukkan kita ke surga atau menyelamatkan dari neraka, tapi semata-mata berkat rahmat Allah. Siapa yang menjadikan pahala sebagai tujuan, ia akan tahu betapa sifat tulus dan sikap rela itu lebih baik. Tak berhitung dengan amal ibadah, pun tidak mempertanyakan anugerahNya. Seperti sabda Rasul SAW, doa terbaik itu berterimakasih dan memuji keagunganNya. []

Candra Malik, praktisi Tasawuf

No comments:

Post a Comment