~sebuah
karya terindah dan termegah (masterpiece) dari seorang Martyr Cinta Ilahi Al-Hallaj~
Metafisika Al- Hallaj adalah
ekperimentasi paling jitu untuk menyingkap gejala transendensi, dalam ujud yang
samar. Disalah satu kitabnya yang terkenal Kitab
at-Tawasin, Al- Hallaj menguji kehadiran the One yang transenden
itu, dengan bertolak dari prinsip an-nafy wa al-isbat dalam doktrin tauhid. Sebagaimana tergambar
dari kalimat La Ilaha Illa Allah ,
prinsip itu menegaskan adanya afirmasi
sesudah negasi: bahwa eksistensi
Tuhan terbukti setelah meniadakan eksistensi selainNya. Hanya Tuhan-lah, dengan
demikan, satu-satunya yang bereksistensi. Namun ditengah kesendirianNya itulah,
kata Al-Hallaj, Dia menampakkan diriNya dalam bayang-bayang fatamorgana alam
dunia yang imanen.
Dunia adalah majla’ , tempatNya melepas segala jubah transendensi, sekaligus
menyatu, imanen, dalam ruang dan waktu. Dari majla’-Nya, Tuhan membuka tirai
kegaiban untuk dikenali siapapun yang ingin mengejarNya. Maka kata Al-Hallaj,
Diapun menciptakan Nur Muhammad sebagai
simbol kehadiranNya dalam realitas imanen.
Nur Muhammad
adalah istilah yang dipakai Al-Hallaj untuk melukiskan episode terakhir dari
mata rantai proses penciptaan eksistensial. Mengapa Muhammad? Suatu keyakinan
yang kuat dalam diri Al-Hallaj mempercayai bahwa karena jiwa Muhammad lah,
Tuhan menciptakan semesta raya seisinya. “Lawlak lawlak maa Khalaqtu al aflak”,
firman Tuhan dalam sebaris hadist qudsyi. “Andaikan bukan karenamu, tak akan
Kuciptakan alam ini”, Muhammad menyandang status eksistensial yang amat
istimewa, justru karena dalam dirinya bersatu kemungkinan transendensi dan
imanensi tanpa saling menafikan. Dan dalam jiwanya, kontradiksi-kontradiksi
diantara kedua hal tersebut, didamaikan tanpa menimbulkan dilema dan ketegangan
yang tak perlu (coincidenta in oppositerum).
Al-Hallaj sangat menghormati posisi
Muhammad, dengan menyebutnya berulangkali dalam dialog-dialog imajinernya,
seperti banyak kita temui disepanjang karya-karyanya, terutama didalam salah
satu kitabnya yang berjudul at-Tawasin.
Didalam kitab at Tawasin ini, menjelaskan
kompleksitas al-Hallaj sebagai potret utuh pemikiran seorang sufi, filsuf, dan
mistikus terbesar islam.Kita mungkin bisa belajar banyak tentang kombinasi unik
kesyahidan dan transendensi, sebagai pengalaman hidup dan intelektual yang authentic. Seperti yang kita ketahui
bahwa al-Hallaj bukanlah tipe penyair prolifik seperti Rumi ataupun fayruz,
yang sangat pandai memintal bahasa, apa yang ada didalam kitabnya ini lebih
merupakan suatu novissima verba, gumam-gumam prosaik yang mengandalkan gagasan
literer ketimbang menulis yang puitis.
Sumber:
TAWASIN; Kitab Kematian, Al-Hallaj
Penerbit Pustaka Sufi, Jl. Gejayan
Gg. Buntu II/5A Yogyakarta
Telp/faks. 0274-518886, email:
jendela_press@kompascyber,com
Cetakan pertama, oktober 2002.
Saudara-saudaraku, dipostingan kali ini,
Aku ingin mengajak saudara-saudara menikmati sedikit dari banyaknya gumam-gumam
prosaik yang sangat indah dan tentunya sarat dengan makna-makna yang terkandung
didalamnya, inilah sebuah karya terindah dan termegah (masterpiece) dari
seorang Martyr Cinta Ilahi Al-Hallaj....Selamat menikmati!
TA’-SIN PEMAKNAAN ATAS REALITAS
Pemaknaan atas dunia ciptaan tak pernah mempertautkan
realitas, dan realitas tak pernah terpaut dengan dunia ciptaan.
Pikiran-pikiran manusia adalah bentuk
ketaatan, yang tak bersentuhan langsung dengan realitas-realitas.
Ini dikarenakan, suatu persepsi atas
realitas sulit dicapai.
Maka bayangkan, betapa sulitnya
mempersepsikan realitas dari Yang Maharealitas.
Oleh sebab itu, Allah berdiri
mengatasi realitas, dan realitas dengan sendirinya tak menyatakan (eksistensi) Allah.
_____________
Seekor ngengat selalu beterbangan
mengitari lidah api hingga pagi tiba. Lalu ia akan kembali pada
pengikut-pengkutnya, dan mengajak mereka berbicara tentang derajat
spiritualnya, dengan bahasa yang fasih.
Dan ia akan memasukkan hasratnya
dalam bara api untuk menggapai “kesatuan”
yang sempurna.
_____________
Nyala bara api adalah makrifat
realitas, panasnya adalah realitas dari realitas, dan kesatuan (ittihad) denganNya adalah kebenaran
realitas.
_____________
Sayangnya, ia tak puas dengan cahaya
dan panas sang api, jadilah, ia melompat masuk kedalamnya. Padahal, disaat yang
sama, para pengikutnya menunggui kedatangannya, menunggui pikiran-pikirannya
yang jernih dan menyegarkan, sejak ia tak puas dengan desas-desus. Tetapi, kini
ia sudah terlanjur habis, lebur, dan terberai berkeping-keping. Ia kini berwujud
tanpa bentuk, tubuh, atau apapun yang kasat mata. Lalu, dengan cara apa ia bisa
kembali pada para pengikutnya? Ia, yang datang dengan pandangan jernih, akan
sanggup hadir dengan sejumlah kabar menyenangkan. Dan, ia, yang bergegas menuju
objek penglihatan tak akan berlama-lama terpaku pada pandangan matanya.
_______________
Makna-makna semacam itu tak dapat
direbut oleh manusia yang alpa, manusia yang fana, yang selalu berbuat salah----manusia
yang mengikuti godaan hawa-nafsunya secara membabi-buta.
______________
Wahai orang yang hidup dalam
ketakpastian, jangan pernah menyamakan “aku adalah” dengan ke-“Aku”an Tuhan. Kapan
pun: sekarang, diwaktu mendatang, atau dimasa lampau. Karena, apabila kata”aku
adalah” merupakan makrifat yang sempurna, dan memang demikianlah tingkatan yang
telah kucapai, ini bukanlah suatu kesempurnaan hakiki. Karena, bagaimana pun,
walau “aku milik-Nya” aku bukanlah Dia.
____________
Bila kau memahami ini, kau akan
mengerti bahwa makna-makna itu tidak selayaknya dikaruniakan selain pada
Muhammad. Dan, “Muhammad bukanlah seorang
ayah diantara kalian, tetapi seorang pesuruh Allah dan penutup para Nabi.” Ia
menanggalkan dirinya dari (alam) manusia dan jin, menutup matanya untuk
menerawang apapun “dimana-mana,”
sampai tak ada sesuatu pun yang luput, yang menghijab hati dan dosa-dosa.
Kini, tinggal seukuran “jarak dua
ujung tombak (qab qawsayn) atau lebih
dekat,” ketika ia mencapai sahara “makrifat
realitas” Tak dinyana, dari hatinya terlontar untaian kata-kata. Ketika ia
datang menukik dalam kebenaran realitas, ia enyahkan nafsu disana, dan
melangkahkan jejak menuju Zat Yang Maha Melimpah. Ketika kebenaran itu telah
digenggamnya, ia kembali dan berkata: “Lubuk
hatiku mengadu pada-Mu, dan hatiku senantiasia mengimani-Mu.” Ketika,
lagi-lagi, ia menggapai Batas Tertinggi, ia berucap, “Aku tak mampu memuji-Mu selayaknya Engkau berhak dipuja-puji.” Ketika
sampai pada realitas dari realitas, ia bermunajat: “Hanya Engkaulah satu-satunya Zat yang berhak memuji Diri-Mu sendiri.” Ia
putuskan untuk meninggalkan keinginannya, dan mengikuti apa yang mesti ia
lakukan, karena memang, “hati tak akan
pernah membohongi apa yang ia bisikkan, “ di suatu tempat rindang dekat
Pohon Sidrah al-Muntaha. Mukanya tak
sedang berpaling kearah kanan realitas benda-benda maupun arah kiri realitas
dari realitas. “Pandangan matanya tak melenceng (dari realitas Tertinggi),
alih-alih memantul ke segala penjuru realitas.
_____________