Sebiji buncis meronta dan terus melompat
hingga hampir melampaui bibir kuali
di mana ia tengah direbus di atas api.
“Kenapa kau lakukan ini padaku?”
Dengan sendok kayunya,
Sang Juru Masak mementungnya jatuh kembali.
“Jangan coba-coba melompat keluar.
Kau kira aku sedang menyiksamu?
Aku memberimu cita rasa!
Sehingga kau layak bersanding dengan rempah dan nasi
untuk menjadi gelora kehidupan dalam diri seseorang.
Ingatlah saat-saat kau nikmati regukan air hujan di kebun.
Saat itu ada untuk saat ini!”
Pertama, keindahan. Lalu kenikmatan,
kemudian kehidupan baru yang mendidih akan muncul.
Setelah itu, Sang Sahabat akan punya sesuatu yang enak untuk dimakan.
Pada saatnya, buncis akan berkata pada Sang Juru Masak,
“Rebuslah aku lagi. Hajar aku dengan sendok adukan,
karena aku tak bisa melakukannya sendirian.
Aku seperti gajah yang melamun menerawang
tentang taman di Hindustan yang dulu kutinggalkan,
dan tidak memperhatikan pawang pengendali arah jalan.
Engkaulah pemasakku, pawangku, jalanku menuju cita rasa kesejatian.
Aku suka caramu membuat masakan.”
“Dulu aku pun seperti engkau,
masih hijau dari atas tanah. Lalu aku direbus matang dalam waktu,
direbus matang dalam jasad. Dua rebusan yang dahsyat.
Jiwa binatang dalam diriku tumbuh kuat.
Kukendalikan dia dengan latihan,
lalu aku direbus lagi, dan direbus lagi.
Pada satu titik aku melampaui itu semua,
dan menjadi gurumu.1”
Seorang Mursyid yang sejati, yang menerima perintah khusus dari Allah
untuk menjadi guru bagi para pejalan sufi, bisa tampil dengan berbagai
macam wajah. Ada kalanya ia tampak lembut dan sabar, begitu mudah
dipahami. Ada kalanya pula ia tampil dengan galak dan keras, begitu
membingungkan dan sulit dipahami.
Seorang mursyid akan mendidik murid-muridnya untuk belajar
mengendalikan seluruh bala tentara hawa nafsu dan syahwatnya, untuk
mengenal segala macam aspek yang ada dalam diri masing-masing, dan untuk
memunculkan potensi dirinya yang sesungguhnya. Potensi yang diletakkan
Allah dalam
qalb masing-masing manusia ketika ia dijadikan.
Dalam tahap pembersihan diri ini, hampir semua murid biasanya
meronta. Tentu saja, karena hawa nafsu dalam diri kita pasti meronta
jika dipisahkan dari hal-hal yang disukainya. Tapi demi memunculkan diri
muridnya yang asli, maka mau tak mau, Sang Mursyid harus melakukannya.
Sang Mursyid harus memaksa murid-muridnya untuk belajar mengendalikan
seluruh bala tentara hawa nafsu dan syahwat (Rumi menyebutnya sebagai
‘jiwa binatang’) dalam diri masing-masing.
Inilah yang dimaksud Rumi dalam puisinya di atas, bahwa sebenarnya
tugas seorang mursyid adalah ‘merebus’ murid-muridnya di atas api, demi
memunculkan cita rasanya yang asli dalam diri masing-masing. Pada
awalnya, biasanya buncis akan meronta dan bisa jadi, ingin lari. Pada
tahap ini, mau tak mau, mursyid kadang perlu ‘mementungnya’ supaya
kembali tenggelam dalam rebusan air mendidih. Tapi sekali si murid sudah
merasakan manfaat bimbingan Sang Mursyid dalam perkembangan jiwanya,
maka ia akan terus-menerus meminta untuk ‘direbus’ kembali.
Apakah ini berarti bahwa seorang murid harus memposisikan dirinya di
hadapan gurunya seperti mayat yang dibolak-balik oleh pemandinya?
Nah, ini juga pemahaman yang perlu dikoreksi. Ada beberapa hal yang biasanya diajukan kepada para pejalan sufi yang ber-
thariqat maupun
yang memiliki mursyid, yang belakangan ini sering mengemuka. Berikut
dua contoh representatif ketidaktepatan penilaian yang digeneralisir
tersebut.
Pertama, “Saya bukan pengikut tasawuf
formal. Saya tidak pernah bersumpah setia di bawah telapak tangan
seorang guru spiritual untuk hanya menaati dia seorang, karena saya
tidak menyukainya. Saya pikir, tidak ada pemikiran dan kesadaran sehat
yang bisa terbangun jika seseorang telah memutuskan untuk berhenti
bertanya, dan bersikap kritis.” 2
Kedua, “…Sekurang-kurangnya ada tiga hal
penting yang sering dipersoalkan orang mengenai tarekat ini. Pertama,
soal otoritas guru yang mutlak tertutup dan cenderung bisa diwariskan.
Kedua, soal bai’at yang menuntut kepatuhan mutlak seorang murid kepada
sang guru, seperti mayat di depan pemandinya; dan ketiga, soal keabsahan
(validitas) garis silsilah guru yang diklaim setiap tarekat sampai
kepada Nabi Muhammad Saw…Salah satu ciri utama tasawuf positif adalah
rasionalitas. Karena itu, tasawuf positif harus menolak segala bentuk
kepatuhan buta kepada seorang manusia—yang bertentangan dengan semangat
Islam.” 3
Sekilas, kedua penilaian ‘kritis’ atas mursyid dan
thariqah tersebut
terkesan memperjuangkan keotonoman individu beserta rasionalitasnya,
namun sayangnya terlalu terburu-buru melakukan generalisasi. Terlebih,
kedua penilaian ‘kritis’ tersebut lebih merefleksikan prasangka semata
ketimbang pembuktian melalui pengalaman menggeluti
thariqah.
Posisi seperti itu tak ubahnya seperti komentator sepakbola dengan
pemain sepakbola. Seorang komentator sepakbola sangat mahir dalam
menganalisis kesalahan pemain, strategi yang sedang dimainkan,
kegemilangan permainan, dan lain sebagainya. Namun yang lebih mengetahui
dan merasakan realitasnya, bersusah-payah, pontang-panting, senantiasa
waspada terhadap setiap serangan lawan, hingga akhirnya menjadi pemilik
sejati pengetahuannya adalah si pemain sepakbola itu sendiri.
Sahabat Ali bin Abi Thalib r.a pernah berkata,
“Bila kau merasa cemas dan gelisah akan sesuatu, masuklah ke
dalamnya, sebab ketakutan menghadapinya lebih mengganggu daripada
sesuatu yang kautakuti itu sendiri.” 4
Namun, di sisi lain, bisa dimaklumi juga bahwa generalisasi bermasalah—karena ketakutan memasuki dunia
thariqah secara langsung—seperti terlihat pada kedua penilaian ‘kritis’ di atas, dilandaskan pada perkembangan mutakhir berbagai
thariqahklasik.
Maka lahirlah penilaian yang digeneralisasi sebagai karakter sejati
seluruh tarekat, sehingga luput mengamati prinsip terdasar kemursyidan
dan ke
thariqahan.
Deviasi adalah hal yang lazim terjadi dalam perjalanan sejarah
kemanusiaan. Bahkan berbagai kitab suci pun sering mengemukakan
bagaimana di setiap masa senantiasa terjadi deviasi ajaran agama
sepeninggal sang pembawa risalah atau nubuwahnya. Ini tak ubahnya air
yang semakin keruh ketika menjauhi sumber mata airnya, sehingga praktis
di hilir hanya akan ditemui air kotor yang sudah tercampur sampah.
Begitu pula halnya dengan
thariqah. Ketika sang pendiri atau
mursyid sejatinya meninggal, maka hanya kehendak dan izin Allah Ta‘ala
semata yang bisa menjamin kemurnian dan keberlanjutan
thariqah tersebut,
yaitu, dengan menghadirkan mursyid sejati pengganti. Apabila Allah
Ta‘ala tidak menghadirkan mursyid sejati pengganti, berarti
thariqah tersebut sudah berakhir. Kemursyidan itu adalah misi hidup, dan hanya boleh dipegang oleh mereka yang telah mencapai
ma‘rifat dan misi hidupnya adalah mursyid. Tidak semua orang yang telah
ma‘rifat boleh serta merta menjadi mursyid.
Wali Quthb (pemimpin para wali di suatu zaman) seperti Ibn ‘Arabi pun tidak menjadi mursyid
thariqah.
Oleh karena itu, sebagaimana puisi Rumi tadi, seseorang tidak bisa
mengangkat dirinya sendiri menjadi seorang guru spiritual sebelum ia
sendiri sudah pernah, dan berhasil, melalui semua ’rebusan’, dan
kemudian memperoleh pengetahuan dari Allah ta’ala bahwa misi hidupnya
memang sebagai seorang mursyid.
Kemursyidan adalah sebuah tugas langsung dari Allah ta’ala (misi
hidup). Oleh karena itu, jabatan kemursyidan pun tidak dapat diwariskan,
sekalipun dengan landasan senioritas, keluasan pengetahuan, atau bahkan
garis keturunan. Lantas, bagaimana dengan para salik yang tersisa
apabila Allah Ta‘ala tidak lagi menghadirkan mursyid sejati pengganti di
sebuah
thariqah? Tetaplah berpegang teguh pada dua hal paling
berharga yang ditinggalkan Rasulullah Muhammad Saw, yaitu Al-Quran dan
As-Sunnah. Jangan mengada-adakan mekanisme regenerasi mursyid hanya
karena ikatan emosional pada thariqah sebagai lembaga, sehingga akhirnya
menyerahkan ‘amr (urusan) kepada orang yang bukan ahlinya.
Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra, katanya dia mendengar Rasulullah saw bersabda:
“Allah
tidak menarik kembali ilmu dengan jalan mencabutnya dari qalb manusia,
tetapi dengan jalan mematikan ulama. Apabila ulama telah punah, maka
masyarakat akan mengangkat orang-orang bodoh menjadi pemimpin yang akan
dijadikan tempat bertanya. Orang-orang bodoh ini akan berfatwa tanpa
ilmu; mereka itu sesat dan menyesatkan.” (Al-Hadits)
Mursyid sejati adalah pembimbing spiritual para salik
thariqah untuk
memurnikan dan menyucikan diri, sebagaimana Rasulullah Saw pun adalah
mursyid bagi para sahabat utama yang terpanggil untuk menempuh suluk.
Mursyid sejati bertugas membantu saliknya mengenal
al-haqq secara bertahap sesuai perkembangan
nafs-nya, serta mengembalikannya ke penyembahan yang murni kepada Allah Ta‘ala.
Namun, para salik pun akan dihadapkan pada dilema akan
ketidakpercayaan kepada mursyid yang akan menjadi racun dan penyebab
kegagalannya dalam bersuluk, tetapi dia pun tidak boleh taklid buta
kepada mursyidnya. Kepercayaan tidak bisa dipaksakan. Kepercayaan harus
muncul secara alami melalui proses yang alami pula, yang muncul
sendirinya dari
qalb, sehingga mutlak diperlukan penguatan dengan
‘ilm.
Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah
muhtadun*. (QS Yâsîn [36]: 21)
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
‘ilmtentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
fu‘adsemuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS Al-Isrâ’ [17]: 36)
*
Muhtaduun: orang yang telah menerima petunjuk Allah atas
segala aspek kehidupannya, dan semua tindakannya semata-mata hanya
berdasarkan petunjuk Allah ta’ala kepada dirinya.
Dalam kedua penilaian ‘kritis’ terhadap thariqah dan mursyid di atas,
hubungan antara mursyid dengan saliknya dipermasalahkan secara
terlampau disederhanakan, karena dianggap menuntut ketaatan seperti
mayat dengan pemandinya. Sikap seperti sangat potensial untuk menghambat
terbentuknya individu modern otonom. Padahal, hakikatnya tidak pernah
ada manusia yang otonom. Manusia hanya terbagi menjadi dua golongan,
yaitu, mereka yang diperbudak oleh Allah Ta‘ala atau diperbudak oleh
selain Allah Ta‘ala (syahwat dan hawa nafsu).
Benarkah dalam
thariqah berlangsung ketaklidan buta tak
bersyarat dari seorang salik kepada mursyidnya? Kepatuhan seperti
jenazah di hadapan pemandinya? Permasalahannya, bagaimana seorang salik
bisa taklid kepada sang Mursyid, sementara perkataan sang Mursyid
sendiri ternyata seringkali salah ditafsirkan?
Sebagai contoh, dalam sebuah
thariqah, ketika seorang
mursyid memerintahkan seorang salik untuk bersiaga menghadapi sebuah
serangan sebentar lagi, si salik menafsirkan bahwa ia tengah diajari
untuk bersiaga terhadap “serangan” lahiriah seperti perkelahian,
sementara sang Mursyid sebenarnya tengah mengajari kesiagaan batiniah
terhadap “serangan” masalah kehidupan.
Bagaimana dengan berbagai pertanyaan dalam kepala kita yang muncul
dan berlalu-lalang? Setiap pertanyaan yang muncul di benak manusia itu
pasti ada hak jawabannya. Itu tak ubahnya seseorang yang tengah menunggu
di ruang tamu. Kemudian dari arah dapur tercium olehnya bau masakan.
Bersabarlah, karena tepat pada saatnya makanan tersebut akan dihidangkan
ke hadapannya.
Tidak semua pertanyaan harus terjawab saat ini juga. Bersabarlah,
karena jawaban atas berbagai pertanyaan yang muncul di benak ada hak
jawabannya, hanya tinggal masalah waktu saja. Namun, tak jarang manusia
begitu arogan sehingga merasa bahwa rasionalitasnya pasti bisa memahami
segala hal saat ini juga, dan bisa menghakimi segala perkara dengan
bermodalkan ilmu yang kini dimilikinya. Seakan rasionalitas itu tidak
punya kelemahan dan batasan.
Biasanya terhadap salik tipe fundamentalis rasional seperti ini,
mursyid sejati akan ‘menghajar’ habis-habisan keliaran berpikirnya agar
bisa fokus demi kebaikan salik itu sendiri. Hal yang paling sulit adalah
menjinakan keliaran pikiran untuk fokus kepada perkara fundamental:
misi hidup yang Allah Ta‘ala amanahkan kepada dirinya. Pikiran yang liar
memancar kesana-kemari itu seperti lampu pijar 10 watt, hanya cocok
dipakai untuk lampu tidur. Namun, apabila cahaya 10 watt tersebut
difokuskan menjadi laser, maka besi pun dapat ditembusnya.
Munculnya tawaran seperti tasawuf tanpa tarekat maupun tanpa guru
saat ini juga berasalan, namun bukan berarti kritiknya terhadap dunia
thariqah yang digeneralisir tersebut tepat sasaran. Semangat untuk mengedepankan akal sehat atau rasionalitas dalam mengkaji
tashawwuf merupakan
salah satu hal yang penting. Karena Allah Ta‘ala mengaruniakan otak di
tubuh manusia, maka cara mensyukurinya adalah memanfaatkannya untuk
berpikir maksimal di alam terendah dari seluruh alam ciptaan-Nya, yaitu
dunia. Namun,
Ad-Diin (Agama) adalah perkara yang baru akan terpahami apabila seluruh bola akal manusia—otak nalar,
fu‘ad (bentuk primitif
lubb) dan
lubb (akal
nafs, orang yang telah memiliki
lubb disebut sebagai
ulil albab)—terbuka
keseluruhannya. Sayangnya, sangat sedikit di antara manusia yang telah
Allah anugerahkan kemampuan akal paripurna lahir dan batinnya seperti
ini.
Di atas semuanya, bukanlah otak yang cerdas dan banyaknya bacaan yang
dapat menyelamatkan manusia dari berbagai jebakan syahwat dan hawa
nafsu dalam beragama, tetapi niat tulus murni mencari Allah Ta‘ala.
Seorang buta huruf pun bisa Allah rahmati menjadi
‘ulil albâb dan
‘arifin (orang yang telah mencapai
ma‘rifat),
seperti Muhammad Raheem Bawa Muhaiyaddeen, maupun banyak sufi buta
huruf lainnya, semata karena adanya niat tulus murni untuk mencari dan
berserah diri kepada Allah Ta‘ala. Niat itu pulalah yang membuat Allah
Ta‘ala berkenan menganugrahkan cahaya iman ke dalam
qalb.
Misalnya, seseorang menyatakan bahwa karena dia memiliki
kecenderungan saintifik, maka dia memerlukan penjelasan ilmiah terlebih
dahulu sebelum memutuskan bersuluk. Namun, kebanyakan manusia memiliki
mentalitas untuk tergesa-gesa menyimpulkan sebelum tuntas menelaah.
Kecenderungan sikap saintifik itu baik, terlebih karena setiap manusia
itu unik serta memiliki kebutuhan dan jalan masuk berbeda-beda.
Ibaratnya, ada seekor kucing
(pertanyaan) yang selalu mengeong dalam rumah
(pikiran) kita, karena lapar meminta makanan
(jawaban). Apabila kucing
(pertanyaan) tersebut tidak diberi makanan
(jawaban), maka rumah
(pikiran) kita akan berisik oleh suara mengeongnya. Akibatnya, kita pun tidak bisa belajar dengan tenang. Karena itu, berilah makanan
(jawaban) yang tepat untuk mengenyangkan kucing
(pertanyaan) dalam rumah
(pikiran) kita. Penuhilah haknya, sehingga dia bisa diam dan kita pun bisa belajar dengan tenang. Apabila makanan
(jawaban) belum ditemukan, bersabarlah, saatnya pasti akan tiba.
Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu penyebab munculnya sikap alergi
thariqahadalah ekses dari berbagai praktik yang dilakukan
thariqah yang telah kehilangan ulamanya (baca: mata airnya). Misalnya, dahulu kala muncul sebuah
thariqah. Lazimnya mereka melakukan
riyadhah berkala secara bersama-sama. Kebetulan mursyid
thariqah tersebut
selalu memelihara kucing yang sering mengeong di malam hari karena
lapar. Agar suara mengeong kucing tersebut tidak mengganggu riyadhah,
maka sang mursyid memerintahkan muridnya untuk memasukkan kucing
tersebut ke dalam sebuah ruangan, memberinya makan dan menguncinya. Hal
itu berjalan terus selama bertahun-tahun, hingga sang mursyid meninggal.
Sepeninggal sang mursyid, para salik generasi pertama
thariqah tersebut
tetap memasukkan kucing peliharaan sang mursyid ke dalam sebuah
ruangan, memberinya makan dan menguncinya agar tidak mengganggu
riyadhah. Namun, para salik generasi kedua dari
thariqah tersebut—yang
tidak tahu sebab akibat dari perbuatan tersebut—mulai mengira bahwa
perbuatan itu adalah sesuatu yang harus dilakukan sebelum mereka
riyadhah. Maka, ketika sampai di salik generasi ketiga, muncullah
semacam kewajiban baru, yaitu adanya sebuah keharusan sebelum
riyadhah untuk
mencari kucing yang kemudian harus dimasukkan ke dalam sebuah ruangan,
kemudian memberinya makan dan menguncinya. Ketika sampai di salik
generasi keempat, muncullah buku tentang makna batin dan hakikat
memasukkan kucing ke dalam sebuah ruangan, memberinya makan dan
menguncinya sebelum melakukan
riyadhah. Dan, di salik generasi kelima hingga seterusnya, perbuatan tadi sudah menebarkan citra ketidakrasionalan dan ketidaksejalanan
thariqah tersebut dengan syariat.
Dalam sejarah tashawwuf ada juga tipe sufi yang dinamakan sebagai
Uwaysiyyah.
Nama ini merujuk kepada seorang tokoh sezaman Rasulullah Saw. yang
mengetahui ihwal beliau Saw. tetapi tidak pernah bertemu secara langsung
sepanjang hidupnya. Demikian pula Rasulullah Saw., mengetahui Uways
Al-Qarni tanpa pernah bertemu dengannya. Hal itu disebabkan karena Uways
setibanya di Mekkah tidak bisa menunggu untuk bertemu dengan Rasulullah
Saw (yang ketika itu sedang pergi) sebab ia telah berjanji kepada
ibunya di kota lain untuk tidak berlama-lama meninggalkannya. Kondisi
Uways berbeda dengan Salman Al-Farisi yang Allah Ta‘ala bukakan jalan
untuk bisa bertemu dengan Rasulullah Saw., meskipun berasal jauh dari
Persia, dan harus dua kali pindah agama sebagai proses pencariannya.
Salah satu sufi yang tergolong
Uwaysiyyah adalah seorang
Iran, Abu al-Hasan Kharraqani, yang pernah menyatakan: “Aku kagum pada
salik-salik yang menyatakan bahwa mereka membutuhkan Mursyid ini dan
itu. Kalian tahu bahwa aku tidak pernah diajari manusia manapun. Allah
Ta‘ala adalah pembimbingku, kendatipun demikian, Aku menaruh respek
besar pada semua Mursyid.”
Dari pernyataan seorang
Uwaysiyyah tersebut bisa terlihat
bahwa yang menjadi pokok persoalan bukanlah apakah seorang Mursyid
diperlukan ataukah tidak, apakah perlu ikut
thariqah atau
tidak. Tetapi, apakah kita adalah seorang pencari Allah Ta‘ala dan
berazam untuk mencari jalan kepada-Nya? Apabila ya, maka biarlah Allah
Ta‘ala yang mengalirkan dan membukakan jalan hidup kita, entah itu ikut
thariqah atau
tidak, apakah akan dipertemukan dengan mursyid sejati di zamannya
ataukah Allah Ta‘ala sendiri yang akan mengajari. Bukan dengan
menyatakan terlalu dini bahwa
thariqahdan Mursyid itu tidaklah diperlukan.
Ketidakberanian mengambil resiko untuk mengarungi lautan
(thariqah),
terlebih terburu-buru melontarkan pernyataan seolah heroik yang
mengisyaratkan keengganan mencari mursyid sejati zamannya, atau
senantiasa memilih berjarak ala saintis serta mengandalkan kecerdasan
otak untuk ber
tashawwuf secara wacana, bisa dipastikan mustahil mencapai tingkatan
ma‘rifat.
Rumi menggambarkan hal itu sebagai berikut:
Ketika kauletakkan muatan di atas palka kapal, usahamu itu tanpa jaminan,
Karena engkau tak tahu apakah engkau bakal tenggelam atau selamat sampai tujuan.
Jika engkau berkata, “Aku takkan
berlayar sampai aku yakin akan nasibku,” maka engkau takkan berniaga:
lantas rahasia kedua nasib ini takkan pernah terungkap.
Saudagar yang penakut takkan meraih untung maupun rugi; bahkan
sesungguhnya ia merugi: orang harus mengambil api agar mendapat cahaya.
Karena seluruh kejadian berjalan di atas harapan, maka
hanya Imanlah tujuan terbaik harapan, karena dengan Iman memperoleh
keselamatan.5
Amati kisah pencarian
Salman Al-Farisi. Sebelum mengenal Tuhannya
Muhammad Saw, dia adalah seorang Majusi. Kesadaran yang muncul atas
kejanggalan perbuatannya sendiri untuk menjaga agar api yang disembahnya
sebagai Tuhan tidak padam, membuat Salman Al-Farisi berani mengambil
resiko berpindah ke agama Kristen. Setelah beberapa kali berpindah
mengabdi pada beberapa pendeta, dia ditunjuki ihwal keberadaan Nabi
akhir zaman. Dan pertemuannya dengan Rasullah Saw, membuat Salman
Al-Farisi berani mengambil resiko kedua kalinya untuk berpindah ke agama
Islam.
Thariqah adalah wadah pengajaran
tashawwuf yang menuntun pemanifestasiannya melalui ujian-ujian kehidupan. Adapun yang dimaksud dengan syariat adalah
Al-Islam, yaitu syariat lahir yang lebih dikenal sebagai rukun Islam. Antara syariat dan
tashawwuf (keihsanan) tidak boleh dipisahkan, sedangkan
thariqah—sebagai manifestasi lahiriah
tashawwuf—adalah perbuatan
(af’al) Rasulullah Saw dalam kehidupan dunia, yang tiada lain merupakan syariat juga. Apabila syariat adalah permulaan
thariqah, maka
thariqah adalah permulaan
haqiqat.
Namun, bukan berarti yang sebelumnya sudah tidak berlaku lagi untuk
tahap berikutnya, atau bahkan ditinggalkan begitu saja. Sebagaimana
dikatakan oleh Hamzah Fansuri, awal dari thariqah itu adalah taubat.
Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: “Pergilah kamu
dengan hamba-hamba-Ku di malam hari, maka buatlah untuk mereka thariqah
yang kering dalam laut itu, kamu tak usah khawatir akan tersusul dan
tidak usah takut.” (QS Thâhâ [20]: 77)
Thariqah adalah jalan kering dalam lautan, perjalanan
seseorang menuju Tuhannya di muka bumi ini tanpa terbasahi oleh lautan
duniawi. Tak ubahnya seperti ikan yang hidup di laut asin, tapi tidak
menjadi asin karenanya.
Thariqah bukanlah berarti seseorang itu
harus hidup dengan mengabaikan dunia dan miskin. Manusia tidak mungkin
bisa mencapai tingkatan ma‘rifat, yaitu mengenal Tuhannya, menemukan
diri sejati serta misi hidupnya, dengan cara menjauhkan diri dan tidak
bergaul dengan masyarakat serta tidak berikhtiar untuk penghidupannya
dan menghargai syariat. Seseorang boleh saja kaya raya, seperti Nabi
Sulaiman, tapi tidak boleh mengisi hatinya dengan kecintaan terhadap
dunia. Inilah yang disebut dengan
zuhud.
Apakah seseorang bisa menempuh jalan suluk dengan meninggalkan
syariat? Nah, ini adalah hal yang mustahil. Jalan tasawuf adalah jalan
seseorang untuk mulai belajar bersyariat secara batiniyah. Dan ini hanya
bisa ditempuh setelah seseorang melakukan syariat lahiriah. Mustahil
mencapai tujuan tasawuf jika seseorang meninggalkan syariat lahiriyah.
Ada sebuah kisah nyata yang menarik untuk kita perhatikan berikut ini.
Suatu ketika, mursyid sebuah thariqah di Jawa Barat pernah didatangi
beberapa orang lelaki yang ingin bersilaturahmi. Sang Mursyid bertanya,
“Dari mana kalian tahu rumah saya?” Mereka menjawab, “Kami bertanya pada
orang-orang di masjid agung kota ini, kira-kira siapa ulama yang bisa
kami kunjungi untuk bersilaturahmi. Mereka menunjukkan kami ke rumah
Bapak.”
Ternyata para lelaki itu telah sekian bulan selalu berpindah-pindah,
tinggal dari satu masjid ke masjid lainnya. Sang Mursyid bertanya, “Apa
yang kalian lakukan dengan tinggal di masjid-masjid seperti itu?” Mereka
menjawab, “Kami mencari Allah, pak.” Sang Mursyid kembali bertanya,
“Apakah kalian punya anak dan istri?” Mereka menjawab, “Punya pak?”
Dengan keheranan sang Mursyid bertanya lagi, “Lantas bagaimana dengan
anak istri kalian? Siapa yang merawat dan menafkahinya?” Mereka
menjawab, “Kami telah tawakalkan kepada Allah, pak.”
Maka sang Mursyid berkata, “Bermimpi kalian ini. Bermimpi kalau
kalian ingin mencari Allah sementara syariat lahir kalian abaikan.
Secara syariat kalian diwajibkan untuk menafkahi istri, mendidik dan
merawat anak, dan berbagai kewajiban lainnya sebagai ayah dan suami yang
seharusnya ditunaikan. Kalian itu bermimpi kalau mencari Allah Ta‘ala,
sementara syariat lahir diabaikan.”
Adapun
thariqah itu sendiri mempunyai mempunyai tiga tujuan. Dua tujuan yang pertama adalah mendapatkan dua rahmat dari Allah.
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah
dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya
kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya
itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Hadid [57]: 28)
Tujuan pertama
thariqah adalah mendapatkan rahmat pertama,
yaitu cahaya iman dan kesucian bayi seperti pertama kali lahir. Suatu
keadaan ketika manusia belum lagi menumpuk dosa. Keadaan ini dinamakan
juga dengan
al-muththaharûn.
Tujuan kedua dari
thariqah adalah mendapatkan rahmat kedua,
yaitu berupa Ruhul Quds yang akan mengingatkan manusia ihwal misi
hidupnya, mengingatkan ihwal perjanjian primordial dengan Allah Ta‘ala
(QS Al-A‘raf [7]: 172) dan membimbingnya dalam menjalankan misi hidup
tersebut. Tahap inilah yang dinamakan sebagai ma‘rifat, tahap ketika
seseorang setelah mengenal
nafs-nya, maka akan mengenal
Rabb-nya (tingkatan syuhada).
Sedang tujuan ketiga dari thariqah adalah menjadi hamba-Nya yang didekatkan
(qarib). Fungsi mursyid adalah membimbing saliknya hingga sampai pada tujuan kedua dari
thariqah, yaitu menjadi syuhada. Setelah itu, yang akan berperan sebagai mursyid adalah
Ruhul Quds-nya sendiri untuk ber-
dharma sebagai
shiddiqiin.
Thariqah merupakan perjalanan kembali kepada Allah untuk
menemukan diri sejati dan misi hidup tiap-tiap individu. Namun,
perjalanan kembali kepada Allah mewajibkan berbagai ujian berat yang
harus dilalui, hingga nafs manusia ditempa menjadi kuat. Tak ubahnya,
api yang membakar logam hingga merah membara agar dapat dibentuk menjadi
sesuatu yang berguna. Dengan tempaan ujian tersebut, sang hamba akan
siap menerima amanah berupa misi hidup dalam posisi percaya dan
dipercaya.
Melalui jalan suluk, seorang murid juga akan belajar untuk memperoleh
ketenangan. Berbeda dengan anggapan umum bahwa ketenangan adalah hidup
menjadi tentram dan tenang, ketenangan dalam
tashawwuf adalah
tidak goyahnya hati dalam menghadapi setiap permasalahan yang datang,
menyambut masalah dan ujian sebagai jubah keagungan. Ujian itu hukumnya
wajib bagi para salik yang berjalan mencari Allah Ta‘ala.
Ketenangan hidup yang semu, sebagaimana yang diinginkan banyak orang awam dalam ber-
tashawwuf, bagi
para sufi lebih merupakan isyarat bahwa Allah Ta‘ala tidak lagi peduli.
Ketenangan dan hidup adem ayem, lancar dan tenang tanpa masalah
merupakan isyarat bahwa Allah membiarkan seseorang hanya mendapatkan
bagian di dunia saja, namun tidak di akhirat nanti. Ketenangan hidup
yang semu ini justru membuat seseorang menjadi tidak lagi memiliki
stimulus untuk merenung, tidak merasa membutuhkan Allah, dan statis.
Sayangnya, saat ini banyak sekali ungkapan yang menyatakan bahwa kegunaan untuk mempelajari
tashawwuf adalah untuk mendapatkan ketenangan dan terapi bagi berbagai masalah kehidupan sehari-hari. Padahal, sejak dulu
tashawwuf adalah jalan yang mewajibkan adanya ujian dalam setiap detik kehidupan. Para pengikutnya akan disucikan dan dibersihkan.
Suatu ketika, saat sedang makan siang, seorang salik bertanya kepada
mursyidnya, “Pak, apakah tetangga di sekitar ini tahu bahwa Bapak adalah
mursyid?” Beliau menjawab, “Ya, mereka tahu. Bahkan banyak di antara
mereka yang datang kepada saya.” Kemudian salik itu bertanya kembali,
“Lalu mengapa mereka tidak berguru pada Bapak?” Beliau menjawab, “Karena
saya mengatakan kepada mereka, bahwa apabila kalian mau menjadi
murid-murid saya maka kalian harus siap-siap dibersihkan. Harta-harta
yang kalian dapatkan dengan cara yang tidak halal akan dihilangkan dari
kalian. Ternyata mereka pun kemudian malah ketakutan dan mundur dengan
sendirinya.”
Setelah membaca pracetak buku
‘Guru Sejati dan Muridnya’, melalui
pemaparannya dalam buku ini, pembaca bisa melihat bagaimana Allah Ta‘ala
membuat seorang sufi buta huruf dari pedalaman Sri Lanka memiliki ilmu
sedalam ini. Hal ini menunjukkan bahwa rasionalitas hanyalah salah satu
jalan saja—dan bukan yang teristimewa—untuk langkah awal mempelajari
dunia
tashawwuf. Selain itu, ini yang paling menarik, bahwa
setelah
Bawa Muhaiyaddeen hijrah ke Amerika, kebanyakan muridnya justru
adalah orang kulit putih, yang secara umum dicap sebagai masyarakat
paling rasional di muka bumi ini.
Wallahu‘alam bishawwab.
Catatan Akhir:
1 Puisi Jalaluddin Rumi,
“Chickpea to Cook,” dalam Barks, Coleman (trans.)
“The Essential Rumi”. Castle Books, 1997. Dalam tulisan ini, puisi ini diterjemahkan oleh Herry Mardian.
2 Miranda Risang Ayu,
“Mencari Tuhan”, Basis, nomor 03-04, tahun ke-55, Maret-April 2006, hlm. 31, 34.
3
Haidar Bagir,
Buku Saku Tasawuf, Bandung: Mizan, April 2005, hlm. 178, 183-184.
4
Muhammad Al-Bagir,
Mutiara Nahjul Balaghah: Wacana dan Surat-surat Imam Ali R.A., Bandung: Mizan, cetakan ketiga, 1994, hlm. 130.
5
Nicholson, Reynold A.,
Jalaluddin Rumi: Ajaran dan Pengalaman Sufi, Jakarta: Pustaka Firdaus,
cet. 2, 1996, hlm. 30.