TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA JANGAN LUPA LIKE, FOLLOW KOMENTAR DAN SHARE

Pemikiran Teosofis Suhrawardi al-Maqtul

Mengenal Sosok Suhrawardi

Nama lengkap Suhrawardi adalah Abu al-Futuh Yahya bin Habash bin Amirak Shihab al-Din as-Suhrawardi al-Kurdi, lahir pada tahun 549 H/ 1153M di Suhraward, sebuah kampung di kawasan Jibal, Iran Barat Laut dekat Zanjan. Ia memiliki sejumlah gelar : Shaikh al-Ishraq, Master of Illuminationist, al-Hakim, ash-Shahid, the Martyr, dan al-Maqtul.
Sebagaimana umumnya para intelektual muslim, Suhrawardi juga melakukan perjalanan ke berbagai daerah untuk mengembangkan wawasannya. Wilayah pertama yang ia kunjungi adalah Maragha yang berada di kawasan Azerbaijan. Di kota ini ia belajar filsafat, hukum dan teologi kepada Majd al-Din al-Jili. Untuk memperdalam kajian filsafat ia juga berguru pada Fakhr al-Din al-Mardini. Tampaknya tokoh terakhir ini merupakan guru filsafat yang sangat berpengaruh bagi Suhrawardi.
Pengembaraan ilmiahnya kemudian berlanjut ke Is}fahan, Iran Tengah dan belajar logika kepada Zahir al-Din al-Qari. Dia juga mempelajari logika dari buku al-Basa’ir al-Nasiriyyah karya Umar ibn Sahlan al-Sawi. Dari Isfahan ia melanjutkan perjalanannya ke Anatolia Tenggara dan diterima dengan baik oleh pangeran Bani Saljuq. Setelah itu pengembaraan Suhrawardi berlanjut ke Persia yang merupakan “gudang” tokoh-tokoh sufi. Di sini ia tertarik kepada ajaran tasawuf dan akhirnya menekuni mistisisme. Dalam hal ini Suhrawardi tidak hanya mempelajari teori-teori dan metode-metode untuk menjadi sufi, tetapi sekaligus mempraktekkannya sebagai sufi sejati. Dia menjadi seorang zahid yang menjalani hidupnya dengan ibadah, merenung, kontemplasi, dan berfilsafat. Dengan pola hidup seperti ini akhirnya dalam diri Suhrawardi terkumpul dua keahlian sekaligus, yakni filsafat dan tasawuf. Dengan demikian ia dapat dikatakan sebagai seorang filosof sekaligus sufi.

Perjalanannya berakhir di Aleppo, Syria. Di sini ia berbeda pandangan dengan para fuqaha sehingga akhirnya ia dihukum penjara oleh gubernur Aleppo Malik al-Zahir atas perintah ayahnya Sultan Salahuddin al-Ayyubi di bawah tekanan para fuqaha yang tidak suka dengan pandangannya. Akhirnya Suhrawardi meninggal pada 29 Juli 1191 M/578 H dalam usia 36 tahun (kalender Shamsiyyah) atau 38 tahun (kalender qamariyyah). Namun demikian penyebab langsung kematiannya tidak diketahui secara pasti, hanya menurut Ziai ia mati karena dihukum gantung. Kematiannya yang tragis ini merupakan konsekuensi yang harus ia terima atas pandangannya yang berseberangan dengan para tokoh pada masa itu.

Kondisi Sosial dan Latar Belakang Pemikiran Suhrawardi

Melihat pada tahun hidupnya, peradaban Islam pada masa Suhrawardi berada pada fase kematangan. Kondisi ini merupakan akumulasi dari sejarah panjang peradaban Islam, terutama sejak bani Abbasiyah menjadi penguasa dunia Islam. Diawali dengan penerjemahan berbagai karya ilmiah klasik ke dalam bahasa Arab peradaban Islam terus berkembang. Kegiatan penerjemahan ini pada gilirannya mendorong lahirnya para intelektual muslim dengan berbagai karya monumental mereka sebagai indikator yang paling real bagi masa keemasan Islam mulai abad X hingga mencapai puncaknya pada abad XII.
Secara garis besar, wacana pemikiran Islam pada masa ini memiliki tiga alur utama, pertama, falsafi yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd, kedua, mistis (tasawuf) dengan Rabi’ah al-Adawiyah, Abu Yazid al-Bustami, dan al-Ghazali di antara pionir-pionirnya, ketiga¸ gabungan dari dua aliran itu melahirkan aliran yang disebut dengan teosofi. Corak pemikiran teosofi ini selain bertumpu pada rasio, ia juga bertumpu pada rasa (dhawq) yang mengandung nilai mistis. Berdasarkan pembagian ini, agaknya pada aliran ketiga inilah Suhrawardi mengembang-kan pemikiran-pemikirannya.
Sebagai orang yang mencoba menggabungkan dua aliran pemikiran yang sudah berkembang, pemikiran Suhrawardi tentu tidak terlepas dari pengaruh kedua aliran pemikiran itu. Dalam bidang filsafat, Suhrawardi dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Zoroasterianisme, filsafat Yunani khususnya Plato, Aristoteles, dan Plotinus, serta al-Farabi dan Ibn Sina dari kalangan filosof Islam. Di samping itu, sebagai seorang sufi, Suhrawardi juga banyak terpengaruh oleh pemikiran pendahulunya seperti Dhu al-Nun al-Mis}ri (w. 860), Abu Yazid al-Bustami (w. 974), dan al-Ghazali (w. 1111). Pemikiran Suhrawardi tumbuh dan berkembang sebagai wujud ketidak-puasannya terhadap pemikiran tokoh-tokoh sebelumnya.

Karya-karya Suhrawardi

Suhrawardi adalah sosok pemuda yang cerdas, kreatif, dan dinamis. Ia termasuk dalam jajaran para filosof-sufi yang sangat produktif sehingga dalam usianya yang relatif pendek itu ia mampu melahirkan banyak karya. Hal ini menunjukkan kedalaman pengetahuannya dalam bidang filsafat dan tasawuf yang ia tekuni.
Dalam konteks karya-karyanya ini, Hossein Nasr mengklasifikasikan-nya menjadi lima kategori sebagai berikut :
  1. Memberi interpretasi dan memodifikasi kembali ajaran peripatetik. Termasuk dalam kelompok ini antara lain kitab : At-Talwihat al-Lauhiyyat al-‘Arshiyyat, Al-Muqawamat, dan H}ikmah al-‘Ishraq.
  2. Membahas tentang filsafat yang disusun secara singkat dengan bahasa yang mudah dipahami : Al-Lamahat, Hayakil al-Nur, dan Risalah fi al-‘Ishraq.
  3. Karya yang bermuatan sufistik dan menggunakan lambang yang sulit dipahami : Qissah al-Ghurbah al Gharbiyyah, Al-‘Aql al-Ahmar, dan Yauman ma’a Jama’at al-Sufiyyin.
  4. Karya yang merupakan ulasan dan terjemahan dari filsafat klasik : Risalah al-Tair dan Risalah fi al-‘Ishq.
  5. Karya yang berupa serangkaian do’a yakni kitab Al-Waridat wa al-Taqdisat.
Banyaknya karya ini menunjukkan bahwa Suhrawardi benar-benar menguasai ajaran agama-agama terdahulu, filsafat kuno dan filsafat Islam. Ia juga memahami dan menghayati doktrin-doktrin tasawuf, khususnya doktrin-doktrin sufi abad III dan IV H. Oleh karena itu tidak mengherankan bila ia mampu menghasilkan karya besar serta memunculkan sebuah corak pemikiran baru, yang kemudian dikenal dengan corak pemikiran mistis-filosofis (teosofi).

Pemikiran Teosofis Suhrawardi

Pengertian Teosofi
Secara etimologis kata teosofi berasal dari kata theosophia, gabungan dari kata theos yang berarti Tuhan dan shophia yang berarti knowledge, doctrine, dan wisdom. Jadi secara literal teosofi berarti pengetahuan atau keahlian dalam masalah-masalah ketuhanan.
Dalam kaitan dengan bidang kajiannya, ada term lain yang mirip dengan teosofi, yaitu teologi. Kedua istilah ini mengacu pada pembahasan terhadap masalah-masalah ketuhanan, perbedaannya terletak pada operasionalnya. Di dalam mengkaji masalah ketuhanan, teologi menggunakan pendekatan spekulatif-intelektual dalam menginterpretasikan hubungan antara manusia, alam semesta, dan Tuhan. Sementara teosofi lebih menukik pada inti permasalahan dengan menyelami misteri-misteri ketuhanan yang paling dalam. Orang yang ahli dalam bidang teologi disebut teolog sementara orang yang ahli teosofi dinamakan teosofos.
Dalam pemahaman Suhrawardi, pengertian teosofos menjadi lebih luas. Menurutnya teosofos adalah orang yang ahli dalam dua hikmah sekaligus, yakni hikmah nazariyyah dan hikmah ‘amaliyyah. Adapun yang dimaksud dengan hikmah nazariyyah ialah filsafat sementara hikmah ‘amaliyyah ialah tasawuf.
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa teosofi adalah pemahaman tentang misteri-misteri ketuhanan yang diperoleh melalui pemikiran filosofis-sufistis sekaligus, sedangkan teosofos adalah orang yang mampu mengawinkan latihan intelektual teoritis melalui filsafat dengan penyucian jiwa melalui tasawuf dalam mencapai pemahaman tersebut.

Konsep Teosofi Suhrawardi

Pemikiran teosofi Suhrawardi berujung pada konsep cahaya (iluminasi, ishraqiyyah) yang lahir sebagai perpaduan antara rasio dan intuisi. Istilah Ishraqi sendiri sebagai simbol geografis mengandung makna timur sebagai dunia cahaya. Sementara mashriq yang berarti tempat matahari terbit merefleksikan sumber cahaya.
Sebelum menawarkan konsep iluminasi, Suhrawardi pada mulanya mengikuti pola emanasi yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh peripatetik, terutama al-Farabi dan Ibn Sina, yang membagi arah pemikiran tiap akal yang dihasilkan ke dalam tiga posisi : 1) posisi akal-akal sebagai wajib al-wujud lighairihi, 2) sebagai mumkin al-wujud lidhatihi, dan 3) sebagai mahiyah/zatnya sendiri. Akal pertama, dengan memikirkan dirinya sendiri sebagai wajib al-wujud lighairihi memunculkan akal kedua, dengan memikirkan dirinya sendiri sebagai mumkin al-wujud lidhatihi memunculkan jirm al-falak al-aqsa, dan dengan memikirkan dirinya sendiri sebagai mahiyah menimbulkan nafs al-falak al-muharrik. Begitu seterusnya sampai akal X sebagai al-‘Aql al-fa’al yang menyebabkan adanya alam. (Gambaran lengkap mengenai emanasi al-farabi dan Ibn Sina lihat lampiran 1 dan 2).
Sebagai pembanding dari teori emanasi di atas, Suhrawardi memformulasikan teori baru, yakni teori iluminasi, yang sebenarnya merupa-kan koreksi atas pembatasan akal sepuluh pada teori emanasi. Dalam teorinya ini Suhrawardi tampaknya keberatan dengan adanya posisi akal sebagai wajib al-wujud lighairihi, mumkin al-wujud lidhatihi, dan mahiyah. Menurutnya, bagaimana mungkin dari satu akal memunculkan falak-falak dan kawakib yang tak terhitung banyaknya? Dengan menetapkan tiga posisi akal seperti yang disebutkan di atas, maka mustahil bagi akal tertinggi memiliki persambungan dengan falak-falak dan kawakib yang sangat banyak itu. Oleh karenanya, Suhrawardi menolak pembatasan akal hanya pada jumlah sepuluh.
Selanjutnya Suhrawardi mengganti istilah akal-akal dalam teori emanasi itu dengan istilah cahaya-cahaya. Secara teknis proses iluminasi cahaya-cahaya tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut :
Proses iluminasi Suhrawardi dimulai dari Nur al-Anwar yang merupakan sumber dari segala cahaya yang ada. Ia Maha Sempurna, Mandiri, Esa, sehingga tidak ada satupun yang menyerupai-Nya. Ia adalah Allah. Nur al-Anwar ini hanya memancarkan sebuah cahaya yang disebut Nur al-Aqrab. Selain Nur al-Aqrab tidak ada lainnya yang muncul bersamaan dengan cahaya terdekat. Dari Nur al-Aqrab (cahaya pertama) muncul cahaya kedua, dari cahaya kedua muncul cahaya ketiga, dari cahaya ketiga timbul cahaya keempat, dari cahaya keempat timbul cahaya kelima, dari cahaya kelima timbul cahaya keenam, begitu seterusnya hingga mencapai cahaya yang jumlahnya sangat banyak. Pada setiap tingkat penyinaran setiap cahaya menerima pancaran langsung dari Nur al-Anwar, dan tiap-tiap cahaya dominator meneruskan cahayanya ke masing-masing cahaya yang berada di bawahnya, sehingga setiap cahaya yang berada di bawah selalu menerima pancaran dari Nur al-Anwar secara langsung dan pancaran dari semua cahaya yang berada di atasnya sejumlah pancaran yang dimiliki oleh cahaya tersebut. Dengan demikian, semakin bertambah ke bawah tingkat suatu cahaya maka semakin banyak pula ia menerima pancaran.
Mengacu pada proses penerimaan cahaya yang digambarkan di atas, maka dari proses penyebaran cahaya menurut iluminasi Suhrawardi dapat diperoleh gambaran hasil jumlah pancaran yang dimiliki oleh tiap-tiap cahaya. Cahaya I (Nur al-Aqrab) memperoleh 1 kali pancaran, cahaya II memperoleh 2 kali pancaran, cahaya III memperoleh 4 kali pancaran, cahaya IV memperoleh 8 kali pancara, cahaya V memperoleh 16 kali pancaran, cahaya VI memperoleh 32 kali pancaran, cahaya, VII memperoleh 64 kali pancaran, cahaya VIII memperoleh 128 kali pancaran, cahaya IX memperoleh 256 kali pancaran, dan cahaya X memperoleh 512 kali pancaran, begitu seterusnya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa setiap cahaya yang berada di bawah akan menerima pancaran sebanyak dua kali jumlah pancaran yang dimiliki cahaya yang berada setingkat di atasnya.
Senada dengan teori emanasi, teori iluminasi ini juga membentuk susunan kosmologi yang terpancar dari cahaya-cahaya pada tiap tingkatan. Susunan tersebut, dari cahaya pertama sampai cahaya kesepuluh secara berturut-turut, adalah The great sphere of diurnal motion, the sphere of fixed stars, the sphere of Saturn, the sphere of Jupiter, the sphere of mars, the sphere of the sun, the sphere of venus, the sphere of mercuri, the sphere of moon, the sphere of ether, dan the sphere of zamharir yang dikenal sebagai ruang perbatasan dengan sfera bumi.
Memperhatikan pemikiran Suhrawardi tentang iluminasi ini mengingatkan kita kepada sebuah firman Allah dalam Surat al-Nur ayat 35 berikut ini :
Artinya : Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Dalam konteks iluminasi Suhrawardi, posisi pelita besar dalam ayat di atas merupakan penjelmaan dari Nur al-Anwar yang menjadi sumber dari segala cahaya, sedangkan cahaya yang terpancar dari pelita besar itu diposisikan sebagai Nur al-Aqrab sebagai cahaya yang pertama kali terpancar dari sumber cahaya. Selanjutnya cahaya yang terpancar dari Nur al-Aqrab ini membentur dinding-dinding kaca yang kemudian menghasilkan banyak cahaya yang saling memancar dan menghasilkan cahaya lain. Dari proses seperti inilah cahaya kedua, ketiga dan seterusnya lahir.
Berdasarkan pemahaman seperti ini, maka agaknya ayat inilah yang mendasari atau paling tidak menjadi inspirator bagi Suhrawardi dalam merumuskan teori iluminasinya.

Pengaruh Teosofi Suhrawardi

Suhrawardi boleh saja dihentikan hidupnya, akan tetapi warisan yang ditinggalkannya tetap hidup. Dia mampu survive di tengah kekuasaan yang mengekang kebebasan intelektualnya. Idealisme tinggi yang ia miliki mendorongnya untuk tetap berjuang mempertahankan apa yang diyakini sebagai kebenaran.
Hasil pemikiran Suhrawardi juga mampu mempengaruhi generasi-generasi sesudahnya. Hal ini dapat ditelusuri melalui karya-karya yang muncul belakangan yang indikatornya antara lain terlihat dari adanya tanggapan yang ditunjukkan oleh generasi setelahnya baik berupa komentar, sanggahan ataupun kritik. Pengaruh pemikirannya ini dapat ditelusuri melalui aspek geografis, kontinuitas hubungan antara guru dan murid, dan perdebatan pro-kontra di sekitar pemikirannya.
Dari aspek geografis, pengaruh pemikiran Suhrawardi berkembang di Persia lalu menyebar ke India-Pakistan, Syria, Anatolia, dan bahkan ke Eropa. Di Persia perkembangan pengaruh pemikiran Suhrawardi ini didukung oleh beberapa faktor antara lain : faktor tanah kelahiran, faktor historis dan kultur, serta dukungan politis penguasa Safawi terhadap pengembangan intelektual di Persia.
Di India penyebaran pengaruh pemikiran Suhrawardi berawal dari penerjemahan karya-karyanya, terutama karya monumentalnya Hikmah al-Ishraq yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Sanskrit. Penyebaran ini juga ditopang oleh perhatian penguasa, seperti Sultan Muhammad ibn Tughlug (1325 M), yang besar terhadap pengembangan intelektual di India. Perhatian itu tidak hanya terbatas pada penciptaan suasana yang kondusif tetapi juga penyediaan anggaran untuk fasilitas pendidikan seperti asrama dan perpustakaan yang banyak berisi karya-karya filsafat terutama dari Ibn Sina, Nas}ir al-Din al-T{u>si, dan Qut}b al-Din al-Shirazi. Sebagaimana diketahui bahwa dua tokoh terakhir ini adalah pengikut Suhrawardi. Berdasarkan fakta ini maka dapat diasumsikan bahwa doktrin-doktrin hasil pemikiran Suhrawardi telah mulai dikaji oleh para ilmuan di India.
Jejak pemikiran Suharawardi di Syria dan Anatolia dapat ditelusuri melalui koleksi-koleksi manuskrip yang terdapat di perpustakaan Turki. Data-data koleksi pustaka yang ada mengindikasikan bahwa pemikiran Suhrawardi juga dipelajari oleh para sarjana Turki. Sementara itu, seperti sudah diketahui bahwa dalam pengembaraan intelektualnya Suhrawardi pernah singgah di Syiria untuk berdiskusi dan berdebat dengan para sahabatnya. Dari diskusi dan perdebatan itu serta sejumlah karya yang ia selesaikan di Syria ikut membuka peluang bagi dipelajarinya pemikiran Suhrawardi di negeri ini.
Berbeda dengan kawasan-kawasan yang telah disebutkan di atas, di Eropa, pemikiran Suhrawardi pada mulanya kurang mendapat perhatian yang serius, tidak seperti filosof muslim lainnya seperti Ibn Sina, al-Farabi, dan Ibn Rushd yang karya-karyanya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Eropa. Karya-karya Suhrawardi tidak diterjemahkan sehingga mereka tidak mengenal dengan baik pemikiran teosofis Suhrawardi.
Baru pada abad XX sejumlah sarjana Barat seperti Carra de Vaux, Max Horten, Lois Massignon, Otto Spies, dan Henry Corbin mulai melirik karya-karya Suhrawardi yang mereka anggap sebagai tokoh penting pasca Ibn Sina.
Sedangkan dari segi kontinuitas hubungan antara guru dan murid serta perdebatan pro-kontra di sekitar pemikirannya, pengaruh pemikiran Suhrawardi ini terlihat dari lahirnya tokoh-tokoh yang berusaha melestarikan ajarannya dari abad ke abad. Pada abad XIII, misalnya, lahir komentator pemikiran Suhrawardi seperti Shams al-Din Muhammad Shahrazuri (w. 1288) dan Sa’d bin Mans}ur Ibn Kammunah (w. 1284). Pada abad XIV muncul tokoh Qut}b al-Din al-Shirazi (w. 1311), pada abad XVI ada Jalaluddin Muhammad Ibn Sa’d al-Din al-Dawwani (w. 1502) dan Ghiyath al-Din Mans}ur al-Shirazi (w. 1542), pada abad XVII lahir tokoh Muhammad Sharif Niz}am al-Din al-Harawi dan S}adr al-Din al-Shirazi, pada abad XIX terdapat Mulla Ali Nuri (w. 1830) dan Mulla Hadi Sabziwari (w. 1878), dan pada abad XX terdapat tokoh Muhammad Hussein Tabattaba’i serta Seyyed Hossein Nasr.

Penutup

Dari serangkaian pembahasan yang tertuang dalam makalah ini, dapat disimpulkan bahwa Suhrawardi merupakan filosof muda Islam yang sangat cerdas sehingga mampu membongkar pemikiran-pemikiran para filosof peripatetik yang sudah mapan sebelumnya, sekaligus menawarkan sebuah pemikiran baru yang bercorak filosofis-mistis, yang kemudian lebih popular dengan sebutan teosofi.
Teosofi merupakan bentuk final dari pemikiran filosofis Suhrawardi yang lahir sebagai akibat dari ketidak puasannya kepada pemikiran-pemikiran filosof sebelumnya. Pemikiran teosofisnya ini kemudian berujung kepada pembangunan sebuah teori yang membahas proses penciptaan alam yang dikenal dengan teori iluminasi.
Meskipun mekanisme kerja teori ini dibangun dengan cara yang sama dengan teori sebelumnya (emanasi), yakni melalui pancaran atau limpahan, tetapi tetap ada hal mendasar yang membedakan kedua teori ini. Hal tersebut dapat terlihat pada instrumen yang digunakan dan keberlangsungan proses pancaran dari kedua teori tersebut. Bila teori emanasi menggunakan istilah akal sebagai instrument, maka teori iluminasi menggunakan istilah cahaya yang inspirasinya diambil dari Q.S. al-Nu>r ayat 35. Bila pada teori emanasi penyebaran akal hanya terbatas pada akal ke-10, maka pada teori iluminasi pancaran cahaya itu tidak terbatas. (artikel ini dtulis oleh teman penulis bernama al-Mujahidin, seorang guru Agama Islam di Kepulauan Riau)

BIBLIOGRAFI

al-Ahwani, Ahmad Fuad, al-Madrasah al-Falasafiyyah, Kairo : al-Dar al-Misriyyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, 1965
Corbin, Henry, (ed.), Majmu’ah Musannafat Shaikh al-Ishraq Shihab al-Din Yah}ya Suhrawardi, Teheran: Anjuman Shahanshahay Falsafah Iran, 1397H
______, History of Islamic Philosophy , London : Kegan Paul International, 1993
Drajat, Amroeni, Suhrawardi : Kritik Falsafah Peripatetik, Yogyakarta : LKis, 2005
Eliade, Mirciea, The Encyclopedia of Religion, Vol. XIV, New York : Simon & Schuster Macmillan, 1995
Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosophy, London : Longman Group Limited, 1983
Nasr, Seyyed Hossein, Three Muslim Sages, Cambridge : Harvard University Press, 1964
_____, (ed.), World Sprituality : Islamic Sprituality Manifestations, Vol. XX, New York : The Crossroad Publishing Company, 1991
_____, The Islamic Intelectual Tradition in Persia, Surrey : Curzon Press, 1996
Rayyan, Muhammad ‘Ali Abu, Ushul al-Falsafah al-Ishraqiyyah ‘Inda Shihab al-Din as-Suhrawardi, Beirut : Dar al-Talabat al-Arab, 1969
Razavi, Mehdi Amin, Suhrawardi and the School of Illumination, Surrey : Curzon Press, 1997
Sharif, M.M. (ed.), History of Muslim Philosophy, Vol. I, Delhi : Santosh Offset, 1961
Ziai, Hossein, Knowledge and Illumination, A Study of Suhrawardi H}ikmah al-Ishraq, Terj., Bandung : Zaman Wacana Ilmu, 1998

Mulla Sadra: Berbicara tentang Jiwa





Jiwa, menarik minat Sadr ad-Din Muhammad Shirazi. Cendekiawan Muslim, yang lebih dikenal dengan nama Mulla Sadra ini, membahas tentang jiwa dalam kajian filsafat yang ia tekuni. Dan, dalam bidang ini, ia menuliskan karya penting. Salah satunya, Al-Hikmah al-Muta'aliyyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-Arba'ah . 

Dr Kholid Al Walid, pengajar di Islamic College, Jakarta, dalam Seminar ''Nasional Filsafat dan Mistitisme Islam, Ibnu Arabi dan Mulla Sadra,'' di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 16 Januari 2010 lalu, mengatakan, Sadra membahas soal jiwa dalam satu jilid penuh bukunya itu. Buku tersebut terdiri atas delapan jilid. 

Dalam karyanya itu, Sadra menyodorkan serangkaian bukti tentang keberadaan jiwa. Ia mengatakan, wujud  mumkin merupakan wujud paling utama dan tidak ada kesia-siaan dalam penciptaannya atau dikenal dengan istilah  Imkan al-Asryaf wa 'Adam Abatsiah Khalq al-Mumkinan . Ia pun memberikan penjelasan mengenai hal ini. 

Ketika Allah SWT menciptakan makhluk-makhluk-Nya, Dia memulainya dengan  penciptaan zat yang paling utama dan sempurna. Zat pertama yang diciptakan, ungkap Sadra, memiliki kualitas yang tak terbatas karena kedekatannya dengan Sang Pencipta dan merupakan ciptaan yang pertama. 

Sedangkan zat berikutnya, memiliki tingkat kesempurnaan yang sama dengan zat yang pertama. Namun, kualitasnya di bawah zat yang pertama itu. Sadra pun menyatakan, proses aktualisasi potensi menjadi aksi merupakan proses penyempurnaan wujud. Ini menunjukkan bahwa setiap bentuk wujud tak sia-sia diciptakan.

Menurut Sadra, hal ini hanya bisa terjadi jiwa pada wujud  mumkin tersebut dan terdapat elemen yang menggerakkan aktualisasi, yakni jiwa. Ia pun melontarkan bukti lainnya mengenai keberadaan jiwa. Dalam hal ini, ia membicarakan tentang efek dari materi. Misalnya, tentang indera yang bisa mempersepsi apa yang terdapat di sekitarnya. 

Pun, mengenai indera yang bisa mengetahui apa yang terjadi di sekitarnya. Menurut dia, hal ini hanya bisa terjadi jika ada jiwa. Sebab, jika ada materi, tapi tidak memiliki jiwa, materi tersebut tidak mungkin bisa mempersepsikan segala sesuatu yang ada di sekitarnya.

Sadra menyampaikan pula hal penting lainnya mengenai keberadaan jiwa. Menurut dia, kehidupan adalah jiwa atau  al-Hayah Hiya al-Nafs . Terkait hal ini, ia mengatakan, berbagai macam makhluk memiliki indera dan mampu mempersepsi berbagai macam gambaran. Sehingga, makhluk tersebut bisa disebut sebagai makhluk hidup. 

Indera yang mempunyai kemampuan untuk mempersepsikan berbagai macam objek itu, ungkap Sadra, berasal dari tiga kemungkinan, yakni sumber utama yang disebut jiwa, fisik yang mempunyai jiwa, atau fisik. Namun, ia menegaskan, kemampuan indera untuk mempersepsikan berbagai objek itu bersumber dari jiwa. 

Di sisi lain, Sadra menolak pendapat yang menyatakan bahwa kemampuan indera untuk mempersepsikan objek berasal dari fisik yang mempunyai jiwa. Sebab, fisik sendiri dikendalikan oleh jiwa sehingga jiwalah yang sebenarnya mampu mempersepsikan objek-objek itu. Pandangan bahwa kemampuan indera mempersepsi objek disebabkan fisik, juga ditentang. 

Sebab, kata Sadra, fisik itu tidak akan hidup tanpa ada jiwa. Dalam membahas masalah ini, Sadra memberikan contoh. Sebuah perahu, kata dia, akan memberikan manfaat tertentu bagi manusia. Ini terwujud jika ada yang mendayung atau mengendalikannya, yaitu manusia. Tanpa ada orang yang mendayungnya, perahu itu akan kehilangan makna. 

Menurut Sadra, perahu itu menjadi materi yang tak bermanfaat. Dengan demikian, bentuk fisik membutuhkan sesuatu yang lain selain dari dirinya. Lebih lanjut, ia melihat jiwa sebagai substansi. Artinya, beragam efek, seperti tumbuh, bergerak, dan berkembang biak pada manusia ataupun binatang disebabkan oleh apa yang ada dalam dirinya. 

Namun, diri yang berada di dalam makhluk hidup tersebut bukanlah raga materi melainkan jiwa. Segala bentuk yang menjadi lokus dan sandaran bagi sesuatu adalah substansi. Dan, Sadra menyimpulkan bahwa jiwa adalah substansi. Ia menambahkan pula, terjadinya jiwa bersamaan dengan terbentuknya fisik. 

Raga dan jiwa

Sadra menjelaskan, baik jiwa maupun materi pada awalnya, sama-sama berawal dari materi. Materi itu terdiri atas dua unsur, yakni forma dan materi dasar. Lalu, dalam perkembangannya, forma berubah menjadi jiwa dan materi dasar berubah menjadi fisik. Pandangan Sadra ini berbeda dengan pandangan para filsuf sebelumnya. 

Sebab, para filsuf itu menganggap bahwa jiwa terlebih dahulu diciptakan, baru setelah itu fisik diciptakan lalu keduanya bersatu dan saling berkaitan. Namun, Sadra juga memiliki pandangan yang hampir sama dengan para filsuf lainnya. Ini soal keterkaitan antara raga dan jiwa. 

Para filsuf Muslim menyatakan, jiwa akan tetap hidup meskipun raga telah hancur. Hal itu terjadi karena jiwa bersifat transenden dan tidak bergantung pada raga kecuali sebagai identitas bagi dirinya. Keberadaan jiwa itu menjadi lokus bagi keberadaan raga, namun tidak sebaliknya. 

Seorang filsuf yang juga dokter, Ibnu Sina, mengatakan, sesungguhnya jiwa tidaklah mengalami kematian dengan matinya raga. Bahkan, kata dia, jiwa tidak mengalami kehancuran sedikit pun. Tanpa adanya jiwa, raga tak bisa dibangkitkan. Kebangkitan akan terjadi jika jiwa itu ada. Sadra juga memiliki pandangan serupa. 

Sadra berpendapat, jiwa tidak mungkin mengalami kehancuran sebab potensi tersebut bukanlah substansi jiwa. Menurutnya, sesuatu yang mempunyai potensi kehancuran adalah sesuatu yang bisa hancur dan itu adalah materi. Sedangkan jiwa, itu merupakan substansi yang bersifat transenden. Sehingga, jiwa tidak mungkin mengalami kehancuran.

Ikatan antara jiwa dan raga, ujar Sadra, merupakan ikatan keharusan atau luzumiyyah . Keterikatan keduanya adalah keterikatan keharusan, seperti ikatan antara materi dan forma. Dalam pandangan dia, raga membutuhkan jiwa secara mutlak dalam aktualisasinya. Sedangkan jiwa, memerlukan raga dari segi keberadaan personalitas dan identitasnya. 

Oleh karena itu, Sadra menyimpulkan, posisi raga hanya sebagai reseptif, penerima. Ketergantungan raga terhadap jiwa, ujar dia, adalah ketergantungan mutlak. Ketergantungan ini tak akan lenyap selama jiwa bersamanya dan tidak akan ada, jika jiwa tidak ada.


Sumber:

MENCARI KESATUAN REALITAS



Pengantar untuk terjemahan the Philosophy of Mulla Sadra

______________________________________

Orang seagama, filsafatnya bisa saja berbeda. Begitu sebaliknya, orang yang berbeda agama, bisa saja filsafatnya sama. Namun kesamaan filosofis itu, biasanya, hanyalah pada garis besar saja. Pada uraian rinci  biasanya terdapat perbedaan yang menyolok. Perbedaan itu terletak pada tambahan terhadap pandangan pokok yang berbeda. Itulah kita jumpai pada eksistensialime Islam di abad pertengahan dan eksistensialisme Barat di awal abad-20. Kedua bentuk eksistensialisme itu sama-sama mengatakan bahwa eksistensi mendahului esensi. Atau, dengan perkataan lain, wujud lebih pokok daripada hakekat. Walaupun begitu yang dipersoalkan berbeda. Eksistensialisme Prancis abad 20 mempersoalkan eksistensi dan esensi manusia, sedangkan eksistensialisme Iran abad pertengahan mempersoalkan eksistensi dan esensi realitas secara umum terutama Tuhan.

Eksistensialisme sendiri telah digantikan secarta berturut-turut oleh strukturalisme dan pasca-strukturalisme. Pasca-strukturalisme sebagai varian dari filsafat posmodern yang pluralistik, relativistik dan anarkhis itu telah membuang semua bentuk esensialisme dari metafisika, bukan sekedar merendahkannya seperti yang dilakukan oleh eksistensialisme modern. Post-modernisme telah telah membuang semua esensi sehingga yang tinggal adalah eksistensi-eksistensi yang banyak tang tak lain dari benda-benda material di luar dan dalam tubuh kita. Tentu saja pandangan materialisme pasca-modernis itu sangat kontroversial, karena benda-benda itu tanpa esensinya, yaitu gerak dan interaksi antar sesamanya seperti yang dipahami oleh sains, tak mungkin melahirkan kehidupan, manusia dan bahkan pemikir-pemikir posmodernis itu sendiri.

Tampaknya kaum pasca-modernis telah terlena oleh permainan bit-bit imaji elektronik yang menari-nari di layar kaca dari game watch anak-anak, di layar videogame Playstation ketika anak lebih besar, di monitor komputer ketika dia dewasa dan di layar televisi selama hidupnya sehingga tak sanggup berpikir mendalam dan mendasar terpesona dengan permainan bahasa dan katakata, melupakan makna hakiki dari apa yang direpresentasikan oleh kata-kata itu yaitu  benda-benda di luar kita dan pikiran-pikiran dalam diri kita yang merupakan misteri abadi yang ingin dipecahkan para filosof dari masa ke masa. Yang manakah dari kedua realitas itu yang fundamental, yang sebenar-benarnya ada.

APAKAH YANG SEBENARNYA ADA: MATERI ATAU IDE?


Jika kita ditanya “apa yang sebenarnya ada?”, maka kita pasti tahu bahwa itu pasti pertanyaan filosofis. Apapun jawaban kita, dia akan mencerminkan keyakinan kita tentang realitas. Maksudnya begini. Realitas adalah suatu kenyataan yang sebenarnya ada bukan hanya ada dalam khayalan atau pikiran sesorang.

Nah, kalau kita diperhatikan definisi ini, maka tampak bahwa kata ‘yang sebenarnya’ merupakan embel-embel filosofis yang jelas memusingkan seorang awam. Sebaliknya, bagi seseorang yang mempunyai kecendrungan filosofis, justru akan timbul keresahan jika pertanyaan ini tidak terjawab. Untuk jelasnya marilah kita ikuti perdebatan filosofis berikut ini.


Jawaban pertama: materialisme ilmiah

Apakah realitas yang sebenarnya ada? Berikut ini adalah salah satu jawaban ilmiah yang umum. Yang sebenarnya ada adalah benda-benda. Tetapi para filosof akan terus bertanya, Apa sebenarnya benda-benda seperti kursi, sepatu, batu, udara dan lain sebagainya itu? Jawaban ilmiah akan mengatakan bahwa semua benda-benda itu terdiri dari atom-atom yaitu bagian benda terkecil yang tak dapat dipisahkan lagi.

Jawaban ini mirip dengan jawaban Demokritus di zaman dahulu kala. Belasan abad setelah Demokritus, nama atom pun diberikan Dalton pada zat terkecil yang ditemukan oleh para ahli kimia. Namun sejarah sains menemukan bahwa atomnya Dalton, bukanlah atomos seperti yang dipahami oleh Demokritus. Jika atomos adalah bagian benda terkecil yang tak mempunyai bagian lebih kecil lagi, tidak demikianlah atom dalam kimia modern.

Soalnya, di awal abad lalu, para fisikawan menemukan bahwa setiap atom zat kimia itu terdiri dari bagian-bagian yang lebih kecil lagi yaitu inti dan elektron. Masih di paruh pertama abad yang lalu para fisikawan pun menemukan kenyataan bahwa inti atom itu pun terdiri dari dua jenis partikel atau butiran yang lebih kecil lagi yaitu dua jenis nukleon yaitu proton dan netron.

Paruh kedua abad 20 yang lalu, para fisikawan menemukan lebih dari seratus partikel elementer yang setara tapi lebih berat dari nukleon sehingga orang mulai curiga bahwa partikel elementer bukanlah bagian terkecil semua benda  Memang begitulah keadaanya ketika ditemukan bahwa proton,  netron dan partikel-partikel elementer lainnya yang lebih berat dari pada itu ternyata terdiri dari partikel-partikel yang lebih kecil lagi yaitu partikel-partikel quark.

Walaupun begitu, sampai sekarang secara eksperimental belum pernah ditemukan tanda-tanda tentang adanya subpartikel yang lebih kecil dari quark, kendati secara matematis subpartikel itu tersebut sudah patut dapat diduga. Dengan demikian inilah jawaban terakhir para ilmuwan modern jika ditanya apa yang sebenarnya ada. Tapi marilah kita lihat apakah jawaban itu memuaskan kaum filosof.

Untuk sebagian orang jawaban itu memang memuaskan, yaitu bagi kaum materialis. Tapi buat sebagian lagi, yaitu kaum idealis, hal itu sangat tidak memuaskan. Soalnya, sebagai filsuf sejati mereka terus bertanya. Apa sebenarnya quark dan lepton itu? Soalnya, mana buktinya bahwa partikel-partikel itu benar-benar ada. Bukankah kita tak bisa melihatnya. Bukankah kaum materialis adalah seorang empiris yang mengaku semua pengetahuan dapat diperoleh hanya melalui  indra? “

“Ah, Anda salah mengerti” jawab kaum materialis. “Kata ‘melalui’ bukan berarti langsung saja, tetapi bisa tidak langsung”, begitu lanjut mereka. “Eksistensi partikel-partikel fundamental”, kata mereka, “bukan hanya bisa diduga di dalam pikiran. Dia hanyalah konsep yang ada di pikiran manusia. Dia adalah konsep yang paling ringkas yang bisa digunakan untuk mereka-reka semua pengalaman empiris manusia.”

Jawaban kedua: idealisme religius

Begitulah jawab kaum materialis. Maka para filosof idealispun tersenyum-senyum mendengarkannya. “Wah-wah, bagaimana Anda ini. Jadi sesuatu yang hanya ada di pikiran manusia merupakan bagian terkecil dari semua yang ada di alam semesta ini. Kalau begitu, kamilah yang benar. Semua realitas sebenarnya terdiri dari pikiran atau ide bukan benda-benda. Hidup idealisme.” Begitulah kira-kira argumentasi mutakhir penganut idealisme.

Maka kita kaum awam yang religiuspun senang atas kemenangan kaum idealis ini. Soalnya, dengan demikian sederetan realitas religius, yang hanya bisa diyakini melalui iman dan tak dapat dibuktikan secara empiris atau ilmiah, sekarang memperoleh legitimasinya. Semua yang ada, ada dalam pikiran, yaitu “pikiran semesta yang memikirkan dirinya sendiri” seperti kata Hegel seorang idealime absolut di abad ke-19 yang justru diperkuat oleh pernyataan Stephen Hawking di abad 20 yang mengatakan hukum-hukum alam tak lain dari pada pikiran Tuhan[1]

Tentu saja menjadi seorang idealis tak perlu harus menjadi seorang hegelian dengan logika dialektiknya yang non-ilmiah itu. Nyatanya, idealisme monistik absolut itu kini ternyata merupakan ideologi yang populer di kalangan para anti-sains Zaman Baru di dunia Barat yang muncul semenjak tahun 70-an yang bereksperimen dengan teknik-teknik meditasi untuk mencapai kebenaran mutlak.

Mereka mencari kebenaran tidak dengan menjelajah alam luar, tetapi dengan menukik langsung ke alam batin jiwanya. Sebagian dari mereka merasa memperolehnya, dan merekapun menyampaikan penemuannya sebagai nabi-nabi baru di akhir zaman. Berbagai agama dan aliran kebatinan baru di Barat banyak mengklaim hal seperti itu. Mereka menyebut dirinya sebagai bagian dari gerakan Zaman Baru.

Akan tetapi, mereka ini minoritas di negerinya sendiri. Sebagian lagi justru bertanya lebih lanjut. “Apa sebenarnya itu pikiran?”. Pikiran bagi kaum materialis tak lain dari pola-pola dalam otak manusia. Bukan hanya pada otak manusia tetapi juga di luar otak manusia yaitu di benda-benda penyimpan informasi seperti misalnya buku-buku, pita kaset audio dan video, piringan laser, CD danlain sebagainya.

“Wah-wah,” ujar pengikut idealisme, “Banyak sekali pola yang ada di sana tapi tak semuanya mempunyai makna.” Ah tentu saja hanya pola yang mempunyai makna. Makna itu diberikan oleh manusia melalui komunikasi yang juga terpola antar sesama. Jadi pikiran itu tak lain dari “kumpulan pola bermakna yang saling memaknai”.  Pola bermakna itulah yang disebut “tanda”.   Nah sebagian tanda itu dibuat manusia, sebagian lagi bersifat alamiah. Sains itu membaca tanda-tanda alamiah.

Para strukturalis menganggap tanda-tanda itu membentuk struktur-struktur non-material statik yang ada di alam pikitran yang lepas dari otak-otak manusia dan media informasi di luar otak manusia. Sedangkan kaum pasca-strukturalis justru melihat proses tanda menandai itu tak dapat dilepaskan dari otak manusia dan media teknologi yang ada sebagai peroanjangannya dan kedua yang disebut terakhir ini tak lain dari materi. Tanda-tanda itu bukan statis tetapi dinamis yang terus berkembang dengan evolusi perkembangan materi.


Jawaban Sintesis: Proses Kreatif

Dengan demikian, marilah kita simak lebih jauh, tibalah kita pada suatu pandangan berputar yang mengatakan bahwa Realitas pada hakekatnya adalah materi yang terdiri tanda-tanda yang ada pada materi. Atau bisa juga kita katakan bahwa realitas adalah proses tanda-menanda yang bermain di atas kumpulan tanda-tanda. Lebih pendek, lagi realitas adalah proses yang menafsir-dirinya sendiri. Atau, dengan perkataan lain, realitas adalah proses interpretasi diri

Kreasi dan kognisi, alias cipta dan cita, tak lain dari pada dua modus yang berbeda dari interpretasi. Yang satu disebut kreasi, yang lain disebut refleksi. Jika penekanannya pada proses menulis, yaitu melahirkan tanda-tanda, maka proses itu mengarang diri atau kreasi diri. Jika proses itu bersifat memasukkan tanda-tanda, maka proses itu adalah proses membaca dan memahami bersifat refleksif. Proses selalu mempunyai dua sisi: menulis dan membaca; kreatif dan kognitif; berbuat dan mengetahui.

Dengan demikian kita tibalah kita pada filsafat proses. Filsafat proses non-dialektik  modern, yang dikembangkan oleh Alfred North Whitehead[2] di awal abad ke-20, mempunyai jawaban mengenai apa itu realitas. Realitas itu bukan benda-benda ataupun pikiran yang abadi. Realitas adalah proses yang terdiri dari rangkaian peristiwa-peristiwa yang bersifat sementara. Rekannya di Prancis, Henry Bergson[3], berpendapat bahwa hakekat proses itu adalah evolusi kreatif yang digerakkan oleh semangat hidup atau elan vital.

Jadi, menurut filsafat proses yang benar-benar ada adalah peristiwa-peristiwa dan hakekat proses itu adalah kreativitas. Tampaknya, dengan ini, semua terjelaskan dan bisa memuaskan semua orang. Yang ideal dan yang material tak lain dari aspek-aspek saja dari setiap proses. Bagi orang yang beragama jika proses itu adalah semesta maka keseluruhan hukum-hukum alam merupakan aspek ideal bagi alam semesta. Dan ini, menurut ilmuwan atheis Stephen Hawking, dapat diibaratkan sebagai pikiran Tuhan.

Bagi yang atheis kedua aspek itu ada bagaikan Yin dan Yang dalam Taoisme. Itulah sebabnya pada dasawarsa-dasawarsa terakhir ini buku-buku dengan judul “The Tao of …” berlimpah setelah diterbitkannya “The Tao of Physics[4], karangan Fritjof Capra, laku keras. Dengan pandangan ini maka pasangan Tuhan dan Alam adalah pasangan aspek Realitas yang dinamis kreatif. Dan inilah ajaran oleh mistikus-mistikus agama Zaman Baru yang mendapat angin dengan buku Fritjof Capra, Gary Zukav dan lain-lainnya.

Pandangan yang mirip wahdatul wujud ini mendapat legitimasinya dalam arsitektur komputer alias mesin komputasi elektronik yang mulai mendominasi dunia di dasawarsa-dasawarsa akhir abad yang baru silam. Setiap komputer terdiri dari piranti lunak, alias software, berupa program dan piranti keras, alias hardware, berupa rangkaian elektronik yang semakin lama semakin kompleks, kecil  dan canggih. Maka, orang pun mengidentifikasi alam sebagai komputer dan hukum-hukum alam sebagai program komputer semesta.

Jika alam itu sebuah komputer, maka bagian terkecil alam semesta yaitu partikel-partikel fundamental dapat dianggap sebagi prosesor. Teori kuantum mengatakan sebuah partikel juga merupakan gelombang materi yang mengikuti persamaan matematis yang disebut persamaan gelombang Schrodinger. Bagi sejumlah pemikir filosofis kuantum, fungsi gelombang yang memenuhi persamaan tersebut diidentikkan dengan modul-modul program bagi prosesor partikel.

Sebenarnya, secara teoritis, bukan hanya partikel yang mempunyai persamaan gelombang. Atom, molekul, batu, bumi dan benda-benda besar lainnya pun, termasuk makhluk hidup, juga mempunyai persamaan gelombang. Oleh karena itu tak mengherankan jika sejumlah penganut agama Zaman Baru mengidentifikasi ruh manusia dengan fungsi gelombang kuantumnya. Soalnya seperti halnya ruh manusia yang bebas mengendalikan tubuhnya, begitu juga fungsi gelombang suatu sistem dianggap mengendalikan perilaku sistem tersebut.

Hal ini tentu sangat menggelikan buat kaum materialis. Soalnya buat mereka, fungsi gelombang dalam fisika kuantum hanyalah merupakan peralatan matematis untuk menghitung peluang keadaan suatu sistem. Jadi sebagai perangkat matematis, fungsi gelombang itu hanya ada di pikiran manusia. Artinya begini. Konsep fungsi gelombang dan konsep-konsep abstrak lainnya tak lain dari pola-pola keadaan otak manusia. Dengan sendirinya, bagi kaum materialis, pikiran manusia tak lain dari sifat-sifat dari proses dan keadaan yang dimiliki oleh otak manusia sebagai sistem materi biologis yang sangat kompleks.

Jadi bagi kaum materialis, yang benar-benar ada adalah materi dan pikiran, jiwa dan lain sebagainya yang nonmaterial tak lain dari karakteristik yang dimiliki oleh sistem-sistem material. Maksudnya pikiran itu tak lain dari pada pola-pola dalam proses elektrokimiawi di otak. Sebaliknya, kaum idealis menganggap yang benar-menar ada adalah pikiran dan keseluruhan ide-ide yang ada di dalamnya, sedangkan sistem-sistem material seperti partikel elementer tak lain tak bukan adalah konstruksi pikiran manusia.  Dua-duanya menganggap bahwa salah satu, materi atau ide, benar-benar “Ada” sedangkan yang lain “ada” relatif  terhadapnya. Tetapi apa sebenarnya “Ada” itu?

APAKAH “ADA” ITU SEBENARNYA?

Bagi banyak orang pengertian “ADA” adalah sesuatu konsep yang paling abstrak yang tak perlu didefinisikan atau dijelaskan dengan konsep-konsep lain. Justru konsep-konsep lain memerlukan konsep “ada” untuk jika ingin dijelaskan melaui definisi. Karena itu setiap definisi ada akan merupakan definisi melingkar yang menggunakan kata itu sendiri. Misalya ada orang yang mendefinisikan ADA sebagai “sesuatu yang dimiliki oleh semua benda yang ada”

Oleh karena itu ada dua ekstrim yang menanggapi kebuntuan logika ini. Satu cara menganggap bahwa ADA tidak bisa didefinisikan atau ditangkap pikiran akan tetapi hanya bisa langsung ditangkap oleh intuisi intelektual. Hal ini barangkali dapat masuk akal orang kebanyakan, tetapi pakah ADAnya Tuhan juga demikian? Tentu ada orang berpendapat “ADA”nya sesuatu yang mutlak tak sama dengan “ada”nya sesuatu yang relatif. Akan tetapi tidaklah demikian halnya dengan Mulla Shadra yang berpendapat ADA itu tunggal dan semua untuk semua benda, baik yang konkret maupun yang abstrak. Walaupun begitu “ADA”-Nya Tuhan adalah ADA murni, sedangkan “ada” nya yang lain bercampur dengan esensi

Dengan posisi seperti ini, dia pun menyelesaikan banyak persoalan. Yang pertama adalah persoalan pembuktian adanya Tuhan. Karena Tuhan adalah ADA murni, maka mengatakan “Tuhan itu tidak ada” adalah suatu kemustahilan. Soalnya jika Tuhan tidak ada, itu berarti bahwa “ADA itu tidak ada”. Bukankah itu suatu kemustahilan. Oleh karena itu Tuhan itu tidak bisa tidak harus ada alias wajibul wujud. Karena “Ada itu tidak ada” adalah suatu yang kontradiksi, maka pernyataan kebalikannyalah yang benar.

Bagi sebagian orang pembuktian ontologis seperti ini mungkin merupakan suatu yang menggelikan, karena hal ini sama saja upaya untuk membuktikan bahwa “ADA itu ada”  yaitu sesuatu yang tak perlu dibuktikan. Dan ini bersumber pada kebiasaan kebahasaan khas para filosof, yaitu menganggap kata sifat sebagai kata benda. “ADA” yang merupakan subyek itu adalah kata benda dan “ada” yang merupakan adalah kata sifat. Bahkan Immanuel Kant memberi tahu kita bahwa “ada” itu pun bukan kata sifat, tetapi kata keadaan yang menerangkan kata sifat.

Namun buat pengikut Mulla Shadra, pembuktian ini merupakan argumentasi terunggul karena tak memerlukan yang lain selain DiriNya sendiri. Pembuktian-pembuktian eksistensi Tuhan yang lain memulai argumennya dari sesuatu yang bukan Tuhan yaitu alam. Keunggulan lain dari identifikasi Tuhan sebagai ADA murni adalah terselesaikannya persoalan Dzat dan Sifat yang menghantui para ahli ilmu kalam.

Pada awalnya, ketika ulama Mu’tazilah, yang merupakan pelopor ilmu kalam, membuktikan keesaan Tuhan dan keadilanNya dengan menggunakan  logika Yunani sebenarnya mereka menjalankan suatu tuntutan da’wah untuk melawan da’wah pendeta Nasrani yang menggunakannya terlebih dahulu. Salah satu konsep yang diperlukan untuk itu adalah wujud alias ADA dan menjadikannya sebagai sifat Tuhan yang paling pokok.

Kata Wujud itu sendiri sebenarnya tak ada dalam Quran. Walaupun begitu, kata ini nyatanya diterapkan oleh para ulama ilmu kalam pada Allah swt sebagai salah satu SifatNya, bahkan sebagai Sifat pertama. Tak mengherankan jika konsep wujud ini dalam kaitannya dengan Tuhan menimbulkan sejumlah kontoversi di dunia pemikiran Islam. Di dunia keilmuan Kalam, diperdebatkan apakah sifat mempunyai wujud atau tidak. Dikalangan tasawuf,  diperdebatkan mengenai wihdatul wujud ataupun wihdatul syuhud. Di kalangan filsafat diperdebatkan prioritas wujud dan mahiyah.
Persoalan dasarnya adalah kenyataan bahwa Quran dalam merujuk Tuhan, menggunakan berbagai nama yang berbeda yang bersesuaian dengan Sifat-sifatNya. Pertanyaan timbul apakah sifat itu ada secara independen, ataukah hanya berada di dalam pikiran manusia? Kalau sifat itu menyangkut benda-benda konkret yang bisa dilihat dan dipegang, maka sifat-sifat itu ada yang independen artinya lepas dari benda itu, ada pula yang tak dapat dilepaskan dari benda tersebut. Sifat-sifat pertama disebut sifat-sifat aksidental, sedangkan sifat-sifat jenis kedua disebut sebagai sifat esensial (hakiki) atau esensi alias hakekat.

MANAKAH YANG DAHULU: EKSISTENSI ATAU ESENSI


Dari pengalaman sehari-hari, kita memang tak bisa menyangsikan realitas luar dan realitas dalam pikiran kita. Kedua-duanya ada, kedua-duanya dapat dijadikan subyek alias pokok kalimat berupa kata benda. Semua yang ada dapat dijadikan pokok kalimat. Inilah yang disebut oleh Aristoteles sebagi substansi. Bagi Aristoteles, substansi atau dzat itulah yang mempunyai eksistensi. Yang lainnya, yaitu kata kerja, kata sifat dan lain sebagainya merupakan  keterangan alias aksiden yang ditambahkan atau esensi yang melekat pada substansi. Pengetahuan kita tentang substansi itu termasuk aksiden. Tetapi pengetahuan kita tentang diri kita termasuk esensi begitu juga pengetahuan Tuhan tentang diriNya. Begitu pula Sifat–sifat Tuhan lainnya.  Lalu manakah lebih fundamental antara keduanya?

Jawaban Mu’tazilah

Bagi kaum Mu’tazilah sebagian dari sifat-sifat Tuhan bersifat esensial, termasuk wujud, esa, ilm dan lain sebagainya. Sekarang timbul pertanyaan, apakah sifat-sifat itu abadi atau tidak. Jawab yang umum, tentulah: ya, sifat-sifat itu abadi. Nah, kalau sifat-sifat itu abadi, apakah sifat-sifat itu ada atau tidak. Tentu saja jawabnya: sifat-sifat itu ada. Jika tidak ada, bagaimana pula sifat-sifat itu akan disebut dalam firman-firmanNya.

Disinilah kaum Mu’tazilah berkeberatan. Kalau sifat-sifat itu ada dan abadi, maka dengan sendirinya Tuhan mempunyai sekutu alias syir’k. Tentu saja ini bertentangan dengan sifat Tuhan yang paling pokok yaitu keesaanNya.  Untuk menyelesaikan persoalan pelik ini, mereka mengatakan sifat-sifat itu tidak ada, yang ada hanyalah nama-nama yang diberikan oleh Tuhan untuk menjelaskan pada manusia. Metoda penelitian kaum Mu’tazilah adalah penggunaan Manthiq (Logika) untuk menafsirkan ayat-ayat Quran suci. Dari penalaran seperti itu mereka hanya mengenal dua realitas, Yang Mutlak dan yang nisbi, dengan jurang tak terseberangi antara keduanya, kecuali dengan iman yang rasional.

Jawaban Hikmatul Masya’iyyah

Kaum filosof Masya’iyyah, seperti Ibn Sina, punya pendapat lain, walaupun sama-sama menganggap tinggi logika Yunani. Tuhan itu ada dan Sifat-SifatNya juga ada. Hanya saja keberadaan Dzat Tuhan berbeda dengan keberadaan Sifat-Sifat Tuhan. Dzat atau substansi, Keberadaan atau eksistensi Tuhan bersifat primer, sedangkan yang keberadaan Sifat-Sifat tuhan, termasuk esensiNya bersifat sekunder. Tak terbayangkan yang kedua tanpa yang pertama. Sebaliknya tidak demikian. Jadi, Eksistensi Ilahi mendahului EsensiNya. Dalam bahasa ilmu Kalam, Dzat mendahului Sifat. Dzat dan Sifat, sama-sama merupakan realitas yang nyata. Begitulah pandangan mazhab Peripatetisme Islam atau Hikmatul Masya’iyyah yang ditegakkan para pendirinya dengan menggunakan nalar rasional terhadap konsep-konsep intelektual. Berbeda dengan ontologi Kalam yang hanya memahami dua realitas, Yang Mutlak dan yang Nisbi, para filosof  mengakui adanya perjenjangan diskrit antara keduanya seperti kaum neoplatonis

Jawaban Hikmatul Wahdatiyah

Akan tetapi para ahli sufi aliran wujudiyah, misalnya Ibn Arabi, yang berlawanan dengan pandangan para filosof. Katanya, wujud itu hanya satu, yaitu Tuhan. Benda-benda lain tak punya wujud apa lagi sifat-sifatnya. Sedangkan Sifat-Sifat Tuhan yang mereka sebut a’yan tsabitah (realitas-realitas tetap) itu adalah bentuk-bentuk dalam pengetahuanNya.

Sebenarnya, a’yan tsabitah itu juga dikenal oleh para pemikir lainnya di kalangan muslim dan non muslim. Kaum mutakalimun menyebutnya ma’lumat (yang diketahui) dan kaum falasifah menyebutnya sebagai mahiyyat (quidditas, ke-apa-an atau esensi). Aristoteles menyebutnya morphe (bentuk-bentuk) dan gurunya, Plato, menyebutnya eidos (ide-ide).

Bagi Ibn Arabi, apa yang kita hadapi sebagai benda-benda fisik itu tak lain dari bayangan realitas-realitas tetap itu. Inilah pandangan irfan Wihdatul Wujud alias kesatuan Realitas. Dalam pandangan ini Wujud atau eksistensi mendahului mahiyyat atau esensi. Para arifin ini mencurigai penggunakan rasio atau aql, sebagai gantinya mereka menggunakan intuisi atau pengalaman batin mengenai realitas sebagai sumber utama pengetahuannya di samping.  Dari pengalaman mistik mereka, mereka meyimpulkan adanya jenjang realitas dan kesadaran yang bersifat diskrit.

Jawaban Hikamatul Isyraqiyah

Seorang sufi lainnya dari Persia, Syihabuddin Suhrawardi yang juga seorang kritikus tajam filsafat Ibn Sina, berusaha mengekspresikan pengalaman kesatuan mistiknya  dalam pandangan yang sama sekali lain. Katanya, wujud, alias eksistensi, hanya ada dalam pikiran manusia. Yang benar-benar ada hanyalah esensi-esensi itu yang tak lain dari pada bentuk-bentuk  cahaya dari Maha Cahaya yang tak lain dari pada Tuhan. Cahaya itu Satu dan benda-benda yang banyak lagi berbeda-beda itu hanyalah gradasi intensitasnya atau kebenderangannya. Dalam pandangan metafisika cahaya Persi ini, wujud bersifat sekunder, dan sifat-sifat atau esensi bersifat primer. Dalam bahasa filosofis, ini berarti esensi lebih fundamental atau mendahului, secara logis, eksistensi. Inilah pandangan filsafat iluminasionisme alias Hikmatul Isyraqi. Suhrawardi, pendiri mazhab Isyraqiyah, mengambil kesimpulannya melalui suatu penelitian filosofis yang menggabungkan metoda intuitif mistikus dengan metoda rasional filosofis sebagai pelengkapnya.

Jawaban Sintesa: Hikmatul Muta’aliyah

Pandangan Suhrawardi itu menjadi dominan di kalangan filsuf Persia di masa kejayaan Daulah Shafawiyah di Iran yang kemudian dikenal sebagai mazhab Isfahan. Begitulah Mula Shadra diajarkan oleh gurunya: Mir Damad. Akan tetapi dia juga sangat mengagumi pandangan Ibn Arabi yang menakjubkan itu. Oleh karena itu dia membalik ajaran Isyraqiyah dengan mengambil pandangan Ibnu Arabi tentang prioritas eksistensi atau wujud terhadap esensi atau mahiyah, namun dia menolak pandangan Ibn Arabi tentang ketunggalan wujud. Bagi Mulla Sadra benda-benda sekitar kita di alam bukanlah tanpa eksistensi atau ilusi, namun juga ada seperti adanya Tuhan. Sedangkan sifat-sifat atau esensi yang tidak mempunyai eksistensi sama sekali. Esensi adalah kebalikan dari eksistensi.

Jika Tuhan adalah Ada dan benda-benda juga ada, maka tak dapat secara logika dihindarkanlah kesimpulan bahwa segala benda-benda adalah Tuhan atau pantheisme seperti yang dituduhkan secara salah oleh para ulama terhadap pandangan wihdatul wujud. Solusi Mulla Sadra dalam hal ini adalah gagasan Tasykikul Wujud atau gradasi wujud yang mengatakan bahwa Eksistensi alias wujud mempunyai gradasi yang kontinu seperti halnya cahaya yang diidentifikasi sebagai Esensi oleh Suhrawardi.

Jadi, menurut Mulla Shadra, dari Ada Mutlak hingga Tiada terdapat gradasi “ada-ada nisbi” yang tak terhingga banyaknya. Dengan perkataan lain, realitas alam semesta merentang dari kutub Tiada ke kutub ADA mutlak. Inilah pandangan kesatuan realitas versi Mulla Shadra yang disebutnya sebagai Hikmatul Muta’aliyyah. Pandangan ini merupakan sintesa besar yang meliputi pandangan teologis kalam, pandangan filosofis hikmat dan pandangan mistis irfan.

Secara tabular kita dapat melukiskan pokok-pokok pikiran  tradisional Islam sebagai berikut



Kalam
Mu’tazilah
Hikmat
Masya’iyah
Hikmat
Isyraqiyah
Irfan
Wujudiyah
Hikmat
Muta’aliyah
Eksistensi
(wujud)
riil
riil
mental
riil
riil
Esensi
(mahiyyah)
riil
riil
riil
mental
mental
Hubungan
Eksistensi
Esensi
eksistensi
mendahului
esensi
eksistensi
mendahului
esensi
esensi
mendahului
eksistensi
eksistensi
mendahului
esensi
eksistensi
mendahului
esensi
Struktur
Realitas
Polaritas
mutlak/nisbi
jenjang
eksistensi
gradasi
esensi
jenjang
esensi
gradasi
eksistensi
Metoda
keilmuan
Rasio

Wahyu
Rasio

Wahyu
Rasio,
Intuisi,
Wahyu

Intuisi,
Wahyu
Rasio,
Intuisi,
Wahyu

SHADRIANISME DAN WAWASAN ONTOLOGIS KONTEMPORER


Satu hal yang menarik pada pandangan Mulla Shadra ini adalah pandangannya tentang gerak substantif atau harakatul jawhariyah yang berbicara tentang terjadinya perubahan tingkat wujud pada benda-benda di alam semesta. Berbeda dengan pemikiran filosofis sebelumnya, yang menganggap spesies sebagai suatu yang tetap, dalam pandangan Mulla Shadra batu dimungkinkan menjadi tanaman, tanaman menjadi hewan dan seterusnya yang sekarang dikenal sebagai pandangan evolusionisme.

Namun, berbeda dengan evolusionisme materialistik biologi modern, gerak evolusioner Mulla Shadra bukanlah perubahan-perubahan material bersifat acak yang diseleksi alam seperti pandangan Darwinisme, namun merupakan perubahan substantif menuju tingkat wujud yang lebih tinggi karena tarikan Wujud Tertinggi atau Tuhan Pencipta Semesta. Dalam bahasa filosofis kontemporer, dapat dikatakan bahwa pandangan evolusionis Shadra sebagai pandangan teleologis yang mengikuti asas finalisme.

Dalam hal ini, Mulla Shadra telah memberikan landasan filosofis yang kokoh bagi evolusionisme spiritualistik Jalaluddin Rumi. Kompleksitas wawasan “evolusionisme spiritualistik” Mulla Sadra dapat dibaca dalam buku yang Anda pegang ini. Pertanyaannya kini: Apakah pandangan evolusionisme spiritualistik ini konsisten dengan pandangan keilmuan sekarang. Untuk menjawab pertanyaan ini, hendaknya diingat bahwa evolusionisme spiritualistik adalah suatu pandangan falsafi yang bersifat umum yang meliputi seluruh semesta sedangkan pandangan evolusionisme materialistik hanya mencakup dunia kehidupan atau dunia biologis.

Pandangan evolusionisme yang bersifat universal di dunia modern dipelopori oleh aliran vitalisme[5] buah pikiran Henry Bergson filsof Prancis yang hidup di awal abad 20. Berbeda dengan darwinisme, evolusionisme Bergson melihat dinamika kehidupan pada elan vital atau ruh kehidupan yang kreatif tersimpan dalam esensi setiap materi. Pandangan filosofis ini sangat populer di kalangan seniman dan agamawan di awal abad 20, sebelum esensi digusur oleh kaum eksitensialis di pertengahan abad dan digusur keluar wacana filosofis oleh para pemikir pos-strukturalis. Sedangkan darwinisme ilmiah atau neo-darwinisme tetap mendominasi intelektualitas para ilmuwan, bahkan akhir-akhir ini diperluas untuk ranah sosial dan kultural oleh Richard Dawkin[6] dengan konsep meme sebagai padanan bagi gene dalam ranah biologi.

Akan tetapi, akhir-akhir ini pandangan evolusionisme neodarwinisme materialistik telah dikembangkan menjadi pandangan yang lebih holistik meliputi seluruh sejarah seluruh jagatraya. Salah seorang pemikir Inggris wanita, Donah Zohar[7] yang juga seorang murid fisikawan filsuf holisme terkemuka David Bohm, punya wawasan yang disebutnya holisme relasional. Dalam holisme kuantum versi Donah Zohar, evolusi biologis hanyalah merupakan satu fase saja dalam evolusi semesta raya yang bermula pada riak kecil pada kehampaan kuantum dan berakhir pada kehampaan kuantum yang sama. Karena itu dia mengidentifikasi kehampaan kuantum itu dengan Sunyata di agama Budha dan Tuhan pada agama-agama monotheistik.

Metafisika kuantum Zohar ini sebenarnya lebih mirip dengan mistisisme panteistik, karena vakum atau kehampaan kuantum itu ada di mana-mana meliputi seluruh alam semesta. Pandangan yang lebih monotheistik adalah Omega Point Theory[8] buah pikiran pakar kosmologi matematis Frank Tippler tentang adanya titik singularitas kosmologis di masa depan yang disebut titik Omega yang tak pernah dicapai oleh alam. Titik omega yang ada di masa depan yang tak terhingga ini merupakan limit penciutan alam semesta setelah pada suatu saat nanti, di masa depan jang jauh, akan berbalik dari pengembangannya yang sekarang.

Uniknya, Titik Omega ini diidentifikasi Frank Tipler sebagai Tuhan Maha-Pencipta alam semesta, karena dia mempunyai sejumlah karakteristikNya yang fundamental. Titik Omega itu “tunggal”, “transenden”, “pencipta” alam semesta, “menguasai” semua dan “mengetahui” segalanya. Lalu, alam yang di”cipta” oleh Titik Omega itu mengikuti prinsip antropik kosmologi. Prinsip antropik mengatakan bahwa konstanta-konstanta fisika fundamental di awal kejadian alam terpilih sedemikian rupa sehingga akan timbul kehidupan yang cerdas di salah satu planet, yaitu bumi. Tipler berspekulasi bahwa kehidupan cerdas itu kemudian akan terus menyebar ke seluruh penjuru alam.

Penyebaran kehidupan dan kecerdasan inipun berlangsung terus, bahkan pada masa kontraksi sehingga pada akhirnya alam dapat dikatakan menjadi semacam komputer biologis yang sangat-teramat kecil, akan tetapi teramat-sangat canggih. Yang menarik adalah pernyataan Frank Tippler bahwa alam akhirat itu identik dengan realitas virtual dalam super-komputer biokosmik tersebut. Lebih menarik lagi adalah kenyataan bahwa Mulla Shadra juga mengatakan bahwa hakekat alam akhirat adalah alamul mitsal.

Sementara itu fungsi gelombang kuantum jagatraya, yang dapat dianggap metaprogram bagi superkomputer biokosmos tersebut di atas, diidentifikasikan oleh Tipler sebagai Ruh Kudus di kalangan Kristen atau ‘Aqlul Awwal di kalangan filsuf muslim tradisional. Bagi kalangan tasawuf Akal Pertama itu disebut Nur Muhammad atau Haqiqat Muhammadiyah, sedangkan bagi Mulla Shadra, Akal Pertama itu tak lain dari Ilmu Tuhan tentang DiriNya sendiri. Eidos Plato atau morphe Aristoteles tak lain dari kandungan dalam Ilmu Tuhan sebagai salah satu SifatNya.

Yang menarik pula ialah kenyataan bahwa dalam metafisika kuantum kontemporer, benda-benda terkecil yaitu partikel-partikel fundamental dan gaya-gaya fundamental yang bekerja antara mereka juga mempunyai sifat gelombang yang dapat dianggap sebagai riak-riak kecil di lautan kehampaan kuantum yang terus membesar menjadi ombak dan gelombang yang kita kenal sebagai alam semesta tempat kita semua berada.

Bagi sebagian dari metafisikawan itu riak-riak terkecil kuantum itu pada dasarnya tak lain dari bit-bit informasi dalam komputer semesta yang terus berkembang menjadi cerdas melalui proses yang disebutkan Tipler di atas. Bit-bit itu, serupa dengan esensi-esensi dalam metafisika Shadrianisme, tidaklah mempunyai eksistensi. Sedangkan konsep vakum kuantum mereka, mirip dengan prima materia yang diyakini kaum perenialis. Dalam bahasa metafisika Shadra, prima materia adalah bayang-bayang Ketunggalan Wujud Murni pada Ketiadaan Mutlak.

Satu hal yang perlu diperhatikan ialah kenyataan bahwa Mulla Sadra dan pemikir-pemikir klasik lainnya bertolak dari refleksi murni logis terhadap pengalaman-pengalaman langsung indrawi dan intuisi intelektual. Sedangkan apa yang dilakukan filsuf evolusionisme modern adalah spekulasi filosofis terhadap pengamatan empris operasional ilmiah. Para shadrianis meyakini pandangan mereka sebagai puncak kebenaran filosofis, sedangkan para filsuf evolusionisme kontemporer menganggap pandangannya masih terbuka untuk disempurnakan dengan ditemukannya penemuan-penemuan ilmiah yang lebih mutakhir.

KESIMPULAN


Tampaknya, pandangan Mulla Sadra sebagai varian dari filsafat perennial dapat digunakan sebagai penangkal nihilisme posmodern yang bukan saja meniadakan esensi tetapi juga meniadakan eksistensi melalui proses dekonstruksi destruktifnya. Pandangan Mulla Shadra justru serasi dengan pandangan holisme, kutub lain dari intelektualisme  posmodern. Akan tetapi identifikasi Realitas dengan Kesadaran, dalam wacana holitik posmodern, lebih cocok dengan perennialisme dengan varian Suhrawardianisme di kalangan Islam dan Vedanta di kalangan Hinduisme. Varian Shadrianisme dengan pasangan Ada/Tiada ini lebih mirip dengan varian Taoisme Cina yang dipandang orientalis Jepang Isutzu sebagai padanan bagi Wihdatul Wujudnya Ibn Arabi.

Seorang mistikus tentunya akan melihat varian-varian intelektual perennialisme sebagai pandangan-pandangan tentang gajah yang dilihat oleh simelek dari sudut yang berbeda-beda. Bagaimanapun berbedanya, pandangan-pandangan ini lebih utuh dari bayangan gajah oleh empat orang buta seperti yang dikisahkan Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi-nya yang terkenal itu. Yang perlu digaris bawahi ialah kenyataan bahwa orang-orang buta dalam kisah Rumi itu sebenarnya tak lain dari ilmuwan-ilmuwan yang melihat segala sesuatu secara empiris positivistik. Dan orang melek itu tak lain dari simbolisme filsuf yang melihat realitas lebih logis komprehensif. Namun, tak ada yang mengetahui gajah kecuali gajah itu sendiri dan ini tak lain dari simbolisasi Realitas Mutlak yang identik dengan Kesadaran Semesta dalam wacana agama-agama pasca-modernis Zaman Baru.

Mudah-mudahan, pengantar ini menjadi jembatan antara pikiran pasca-modernis yang pluralistik masyarakat kontemporer dengan pikiran tradisionalis yang monistik seperti yang direpresentasikan oleh pikiran filsuf Islam terbesar di kalangan Syi’ah yang dipaparkan oleh Fazlur Rahman secara kritis. Walaupun kritik-kritiknya terasa agak asing, karena kecenderungan modernistik almarhum Fazlur Rahman, beliau berhasil menunjukkan dengan adil keluasan dan kedalaman wawasan Shadrianisme, yang merupakan filsafat tinggi akademisi Iran Syi’ah, kepada kalangan Sunni tanpa memberikan sikap a priori yang bersumber pada perbedaan keyakinan teologis yang fundamental. Semoga buku ini menjadi jembatan menuju upaya pemahaman kembali khazanah wawasan monistik tradisional Islam yang lebih menyeluruh terutama sumbangan pemikiran ulama-ulama Nusantara di masa silam. Amin ya Rabbal alamin.
Bandung, 1 Nopember 2000
Armahedi Mahzar


[1] Stephen Hawking, dalam bukunya A Brief History of Time (Bantam, London & New York 1988), menuliskan kalimat terakhirnya “If we find the anwer to that, it would be the ultimate triumph of human reason --- for then we would truly know the mind of God
[2] Alfred North Witehead, matematikawan Inggris penulis buku Process and Reality, berbicara eternal objects yaitu universal essences yang terus menerus menyelusup dan keluar apa yang disebutnya masyarakat organisme yang terdiri dari kejadian-kejadian aktual alias particular existents. Dia adalah penerus evolusionisme Bergson dengan cara menyempurnakannya dengan memasukkan penemuan-penemuan fisika baru : teori relativitas dan teori kuantum
[3] Henry Bergson, Creative Evolution
[4] Fritjof Capra, The Tao of Physics (Bantam Books, NewYork 1980)
[5] Henry Bergson, penulis Creative Evolution, mengajukan wawasan evolusionisme anti-darwinian yang bersifat vitalistik bukan mekanistik. Rekan senegaranya Pierre Teilhard deChardin juga mengembangkan wawasan evolusionisme antidarwinian yang finalistik, bukan mekanistik maupun  vitalistik.
[6] Richard Dawkin, Selfless Gene
[7] Danah Zohar menulis tiga buku berkaitan dengan metafisika kuantum ini yaitu Quantum Self  (Flamingo, London1991 ), Quantum Society (bersama suaminya Ian Marshall diterbitkan oleh Flamingo, London 1994 ) dan Connecting with our  Spiritual Intelligence (bersama suaminya diterbitkan Bloomsbury, NewYork 2000).
[8] Frank Tipler, penulis Physics of Immortality (Doubleday, New York 1994), adalah salah seorang pencetus Prinsip Antropik dalam kosmologi untuk menerangkan besaran-besaran fisika di awal jagatraya melalui eksistensi kehidupan manusia di bumi masa kini.

Baca juga:

Mulla Sadra: Berbicara tentang Jiwa

Abu Bakar bin Abi Syaibah (Wafat 235H)

Namanya sebenarnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al Kufy, seorang hafidh yang terkenal. Ia menerima hadist dari al-Ah...

Total Tayangan

Translate