Nama
lengkapnya adalah Adi bin Hatim bin Abdullah bin Saad bin Hasyraj
At-Thai, dijuluki dengan Abu Wahab dan Abu Tarif. Sahabat yang masuk
Islam pada tahun 9 H ini terkenal sebagai orator yang sangat pandai.
Beliau adalah kepala suku Thai baik pada masa jahiliah maupun masa
Islam. Dia mempunyai jasa besar dalam menumpas kaum murtad dan ikut
serta dalam penaklukan Irak. Beliau berdomisili di Kota Kufah dan wafat
di sana.
Sejumlah
raja Arab mulai menerima Islam sesudah mereka menentang keras. Mereka
tunduk dan patuh kepada Rasulullah . Dari riwayat keislaman, tersebutlah
kisah ‘Adi bin Hatim at-Tha’i yang pemurah. ‘Adi mewarisi kepemimpinan
ayahnya sebagai penguasa suku at-Tha’i. Kaum Tha’i mengeluarkan
seperempat harta mereka sebagai pajak kepada ‘Adi, untuk imbalan bagi
kepemimpinannya.
Ketika
Rasulullah mendakwahkan Islam, berangsur bangsa Arab mulai mendekat
kepada beliau, suku demi suku. Tetapi, ‘Adi justru melihat pengaruh
Rasulullah merupakan ancaman yang akan melenyapkan kepemimpinannya.
Karena itu, dia memusuhi Rasulullah meski dia sendiri belum mengenal
pribadi Nabi yang mulia itu.
Hampir
dua puluh tahun dia memusuhi Islam. Sampai pada suatu hari hatinya
menerima dakwah Rasul. Islamnya ‘Adi mempunyai kisah tersendiri. Dia
menceritakannya sendiri, kisah yang menarik dan patut dipercaya. ‘Adi
berkata: Tidak seorang pun bangsa Arab yang lebih benci daripada aku
terhadap Rasulullah ketika mendengar berita tentang beliau
dan kegiatan dakwahnya. Aku seorang pemimpin yang dihormati dan tinggal
dengan kaumku di daerah kekuasaanku. Aku memungut pajak dari mereka
seperempat dari penghasilan mereka, sama dengan yang dilakukan raja-raja
Arab yang lain.
Ketika
pengaruh Rasulullah bertambah besar dan tentaranya bertambah banyak,
aku berkata kepada sahaya gembala ontaku, “Hai, anak manis! Siapkan onta
betina yang gemuk dan jinak, lalu tambatkan selalu di dekatku. Bila
kamu dengar tentara Muhammad atau ekspedisinya menjejakkan kaki di
negeri ini, beritahukan kepadaku segera!”
Hingga
suatu pagi, sahayaku datang menghadap. Katanya, “Wahai Tuanku! Apa yang
akan Tuan-ku perbuat jika tentara berkuda Muhammad datang ke negeri
ini, maka lakukanlah sekarang!”
Tanyaku, “Mengapa?” Jawabnya, “Hamba melihat beberapa bendera sekeliling
kampung.” Lalu aku bertanya,” Bendera apa itu?”. Jawabnya, “Itulah
bendera tentara Muhammad.”
Aku
perintahkan sahayaku untuk menyiapkan onta tadi. Seketika itu juga aku
memanggil istri dan anak-anakku untuk segera berangkat ke negeri yang
aman, (Syam). Di sana kami bergabung dengan orang-orang seagama dengan
kami dan tinggal di rumah mereka. Aku terburu-buru mengumpulkan semua
keluargaku.
Setelah
melewati tempat yang mencemaskan, ternyata ada keluargaku yang
tertinggal. Saudara perempuanku tertinggal di negeri kami, Nejed,
beserta penduduk Tha’i yang lain. Tidak ada jalan lain bagiku untuk
menjemputnya kecuali kembali ke Tha’i. Aku terus berjalan dengan
rombonganku sampai ke Syam dan menetap di sana. Saudara perempuanku aku
biarkan tertinggal di Tha’i, tetapi mencemaskan hatiku. Ketika berada di
Syam, aku mendapat berita, tentara berkuda Muhammad menyerang negeri
kami. Saudara perempuanku tertangkap dan menjadi tawanan, kemudian
dibawa ke Yatsrib bersama beberapa penduduk lainnya.
Di
sana mereka ditempatkan dalam penjara dekat pintu masjid. Ketika
Rasulullah lewat, saudaraku menyapa, “Ya Rasulullah! Bapakku telah
binasa. Yang menjaminku telah lenyap. Maka, limpahkan kepadaku karunia
yang dikaruniakan Allah kepada Anda.” Rasul bertanya, “Siapa yang
menjamin engkau?” Jawab saudaraku, “‘Adi bin Hatim!” Rasululah menjawab,
“Dia lari dari Allah dan Rasul-Nya.” Sesudah berkata begitu, Rasulullah
pergi. Besok pagi Rasulullah lewat dekat saudaraku. Saudaraku berkata
pula seperti kemarin kepada beliau. Kemudian beliau menjawab seperti
yang kemarin pula.
Hari
ketiga Rasulullah lewat, saudaraku lupa menyapa beliau. Seorang
laki-laki memberi isyarat kepada saudaraku supaya menyapa beliau.
Saudaraku berdiri menghampiri Rasulullah seraya berkata, “Ya Rasulullah!
Bapakku telah meninggal. Yang menjaminku telah lenyap. Maka,
limpahkanlah kepadaku karunia yang dikaruniakan Allah kepada Anda.”
Rasulullah
menjawab, “Saya penuhi permintaanmu!” Saudaraku berujar, “Saya ingin
pergi ke Syam menemui keluargaku.” Rasulullah berkata, “Tetapi, engkau
jangan buru-buru pergi ke sana, sebelum engkau dapatkan orang yang dapat
dipercaya dari kaummu untuk mengantarmu. Bila engkau dapatkan orang
yang dipercaya, beritahukan kepada saya.”
Setelah
Rasulullah pergi, saudaraku menanyakan siapa laki-laki yang memberi
isyarat kepadanya supaya menyapa Rasulullah. Dikatakan bahwa orang itu
adalah Ali bin Abi Thalib.
Saudaraku
tinggal di sana sebagai tawanan sampai datang orang yang dipercaya
untuk membawanya ke Syam. Setelah orang itu datang, dia memberitahu
kepada Rasulullah. Katanya, “Ya Rasulullah! Telah datang serombongan
kaumku yang dipercaya dan mereka menyanggupi mengantarku.” Rasulullah
memberi saudaraku pakaian, onta untuk kendaraan dan belanja secukupnya.
Maka berangkatlah dia beserta rombongan tersebut.
Kami
selau mencari-cari berita tentang saudaraku dan menunggu kedatangannya.
Kami hampir tidak percaya apa yang diberitakan tentang Muhammad dengan
segala kebaikannya terhadap saudaraku. Demi Allah! Pada suatu hari
ketika aku sedang duduk di lingkungan keluargaku, tiba-tiba muncul
seorang wanita dalam hawdaj (sekedup) menuju ke arah kami. Aku berkata,
“Nah, itu anak perempuan Hatim!” Dugaan itu betul. Dia adalah saudaraku
yang ditunggu-tunggu.
Setelah
turun dari kendaraan, dia segera menghampiriku seraya berkata, “Anda
tinggalkan kami, Anda dzalim! Istri dan anak-anak Anda, Anda bawa.
Tetapi, bapak dan saudara perempuan Anda, serta yang lainnya Anda
tinggalkan.” Aku menjawab, “Hai Adikku! Janganlah berkata begitu!” Aku
berhasil menenangkannya. Setelah itu aku minta dia menceritakan
pengalamannya. Selesai bercerita, aku berkata kepadanya, “Engkau wanita
cerdik dan pintar. Bagaimana pendapatmu tentang orang yang bernama
Muhammad itu?” Dia menjawab, “Menurut pendapatku, demi Allah, sebaiknya
temui dia segera. Jika dia Nabi, maka yang paling dahulu mendatanginya
beruntunglah dia. Dan jika dia raja, tidak ada hinanya Anda berada di
sampingnya. Anda adalah seorang raja pula.”
Maka,
aku siapkan perlengkapanku, lalu aku pergi ke Madinah menemui
Rasulullah . Tanpa iman dan kitab, aku mendengar berita bahwa beliau
pernah berkata, “Sesungguhnya saya berharap semoga ‘Adi bin Hatim masuk
Islam di hadapan saya.” Sampai di Yastrib, aku langsung masuk ke majelis
Nabi , ketika beliau berada di dalam masjid. Aku memberi salam
kepadanya. Mendengar salamku beliau bertanya, “Siapa itu?” Jawabku,
“‘Adi bin Hatim!” Rasulullah berdiri menyongsongku. Beliau menggandeng
tanganku lalu dibawa ke rumahnya. Ketika beliau membawaku, tiba-tiba
seorang wanita tua yang dhaif (lemah) sedang menggendong seorang bayi,
menemuinya minta sedekah. Wanita tua itu berbicara tentang kesulitan
hidupnya. Beliau mendengarkan bicara wanita itu sampai selesai. Aku pun
tegak menunggu.
Aku
berkata kepada diriku, “Demi Allah! Ini bukan kebiasaan raja-raja!”
Kemudian beliau menggandeng tanganku dan berjalan bersama-sama denganku
sampai ke rumah beliau. Tiba di rumah, beliau mengambil sebuah bantal
kulit yang diisi sabut kurma, lalu diberikan kepadaku. Beliau berkata,
“Silahkan Anda duduk di atas bantal ini!” Aku malu. Karena itu aku
berkata, “Andalah yang pantas duduk di situ.” Jawab Rasulullah, “Anda
lebih pantas.”
Aku
menuruti kata beliau lalu duduk di atas bantal. Nabi duduk di tanah,
karena tidak ada lagi bantal lain selain yang satu itu. Aku berkata
dalam diriku, “Demi Allah! Ini bukan kebiasaan raja-raja.” Kemudian,
beliau menoleh kepadaku seraya berkata, “Hai ‘Adi! Sudahkah Anda
membanding-bandingkan agama yang Anda anut, antara Nasrani dengan
Shabiah?” Jawabku, “Sudah.”
Beliau
bertanya lagi, “Bukankah Anda memungut pajak dari rakyat seperempat
penghasilan mereka. Bukankah itu tidak halal menurut agama Anda?”
Jawabku, “Betul”. Sementara itu, aku telah yakin Muhammad sesungguhnya
rasul Allah. Kemudian, beliau berkata, “Hai ‘Adi! Agaknya Anda enggan
masuk Islam karena pernyataan yang Anda lihat tentang kaum Muslim,
mereka miskin. Demi Allah! Tidak lama lagi harta akan berlimpah-ruah di
kalangan mereka, sehingga susah didapat orang yang mau menerima sedekah.
Atau barangkali Anda enggan masuk agama ini karena kaum Muslim sedikit
jumlahnya sedangkan musuh-musuh mereka banyak. Demi Allah! Tidak lama
lagi Anda akan mendengar berita seorang wanita datang dari Qadisiyah
mengendarai onta ke Baitullah tanpa takut kepada siapa pun selain kepada
Allah.”
“Atau
mungkin juga Anda enggan masuk Islam karena ternyata raja-raja dan para
sultan terdiri dari orang yang bukan Islam. Demi Allah! Tidak lama lagi
Anda akan mendengar Istana Putih di negeri Babil (Iraq) direbut kaum
Muslim dan kekayaan Kisra bin Hurmuz pindah menjadi milik mereka.”
Aku
bertanya kagum, “Kekayaan Kisra bin Hurmuz?” Jawab beliau, “Ya kekayaan
Kisra bin Hurmuz.” Maka seketika itu juga aku mengucapkan dua kalimah
syahadat di hadapan beliau dan aku menjadi Muslim.
‘Adi
bin Hatim dikaruniai Allah usia panjang. ‘Adi bercerita lagi, “Dua
perkara yang dikatakan Rasulullah sudah terbukti kebenarannya. Tinggal
lagi yang ketiga. Namun, itu pasti terjadi. Aku telah menyaksikan
seorang wanita berkendaraan onta datang dari Qadisiyah tanpa takut
kepada siapa pun, sehingga dia sampai ke Baitullah. Dan aku adalah
tentara berkuda yang pertama-tama menyerang masuk ke gudang
perbendaharaan Kisra dan merampas harta kekayaannya. Aku bersumpah demi
Allah, yang ketiga pasti akan terjadi pula.
Allah
pasti membuktikan setiap perkataan Nabi-Nya yang mulia. Peristiwa
ketiga terjadi pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul Aziz.
Yakni, ketika kemakmuran merata di kalangan kaum Muslim. Saat itu setiap
orang mencari-cari dengan susah payah orang yang berhak menerima zakat.
Tetapi, mereka tidak mendapatkan orang yang mau menerima, karena kaum
Muslim hidup berkecukupan seluruhnya. Memang benar ucapan Rasulullah dan
tepat pula sumpah yang diucapkan ‘Adi bin Hatim. Semoga Allah
meridhainya.
Pada
tahun kesembilan hijriyah, beberapa raja Arab mulai mendekat kepada
Islam sesudah mereka lari dari Islam. Hati mereka lembut menerima iman
setelah menentang keras. Mereka menyerah, tunduk dan patuh kepada
Rasulullah sesudah enggan. Tersebutlah kisah “Adi bin Hatim at-Tha’i” yang pemurah seperti bapaknya.
‘Adi
mewarisi kepemimpnan dari bapaknya. Karena itu, suku at-Tha’i
mengangkatnya jadi penguasa suku tersebut. Kaum Tha’i mengeluarkan
seperempat harta mereka sebagai pajak yang diserahkannya kepada Adi,
sebagai imbalan bagi kepemimpinannya memimpin suku tersebut.
Tatkala Rasulullah memproklamirkan da’wah Islam, bangsa Arab mendekat kepada Rasulullah suku demi suku. ‘Adi melihat pengaruh Rasulullah sebagai suatu ancaman yang akan melenyapkan kepemimpinannya. Karena itu, dia memusuhi Rasulullah dengan sikap keras. Padahal dia sendiri belum mengenal pribadi Nabi yang mulia itu. Dia benci kepada Rasulullah sebelum
bertemu dengan orangnya. Hampir dua puluh tahun lamanya dia memusuhi
Islam, sampai pada suatu hari hatinya lapang menerima da’wah yang hak
itu.
Islamnya
‘Adi mempunyai kisah tersendiri yang tak dapat dilupakannya. Karena
itu, marilah kita simak, dia menceritakan kisahnya sendiri, kisah yang
menarik dan patut dipercaya. ‘Adi berkata:
Tidak seorang pun bangsa Arab yang lebih benci daripada aku terhadap Rasulullah ketika
aku mendengar berita tentang beliau dan kegiatan da’wahnya. Aku seorang
pemimpin yang dihormati. Aku tinggal dengan kaumku dalam daerah
kekuasaanku. Aku memungut pajak dari mereka seperempat dari penghasilan
mereka, sama dengan yang dilakukan raja-raja Arab yang lain. Karena itu
ketika aku mendengar da’wah Rasulullah , aku membencinya. Ketika
pengaruh dan kekuatan Rasulullah b ertambah besar dan
tentaranya bertambah banyak yang tersebar di Timur dan Barat negeri
Arab, aku berkata kepada sahaya gembala ontaku, “Hai, anak manis!
Siapkan onta betina yang gemuk dan jinak, lalu tambatkan selalu di
dekatku. Bila kamu dengar tentara Muhammad atau ekspedisinya menjejakkan
kaki di negeri ini, beritahukan kepadaku segera!”
Maka,
pada suatu pagi sahayaku datang menghadap kepadaku. Katanya, “Wahai
Tuanku! Apa yang akan Tuanku perbuat jika tentara berkuda Muhammad
datang ke negeri ini, maka lakukanlah sekarang!” Tanyaku, “Mengapa?”
Jawabnya, “Hamba melihat beberapa bendera sekeliling kampung. Lalu aku
bertanya, bendera apa itu. Jawabnya, itulah bendera tentara Muhammad “.
Kemudian,
aku perintahkan kepada sahayaku, “siapkan onta yang kuperintahkan
kepadamu, bawa kemari.”Aku bangkit, ketika itu juga aku memanggil istri
dan anak-anakku untuk segera berangkat ke negeri yang kami anggap aman,
(Syam). Di sana kami bergabung dengan orang- orang seagama dengan kami
dan bertempat tinggal di rumah mereka. Aku terburu-buru mengumpulkan
semua keluargaku. Setelah melewati tempat yang mencemaskan, ternyata ada
di antara keluargaku yang tertinggal. Saudara perempuanku tertinggal di
negeri kami, Nejed, beserta pendduk Tha’i yang lain. Tidak ada jalan
lain bagiku untuk mendapatkannya kecuali kembali ke Tha’i. Aku terus
berjalan dengan rombonganku sampai ke Syam dan menetap di sana di
tengah-tengah penduduk yang seagama denganku. Saudara perempuanku aku
biarkan tertinggal di Tha’i, tetapi mencemaskan hatiku.
Sementara,
ketika aku berada di Syam, aku mendapatkan berita, tentara berkuda
Muhammad menyerang negeri kami. Saudara perempuanku tertangkap beserta
sejumlah wanita menjadi tawanan, kemudian mereka dibawa ke Yatsrib. Di
sana mereka ditempatkan dalam sebuah penjara dekat pintu masjid. Ketika
Rasulullah lewat, saudaraku menyapa, “Ya Rasulullah!
Bapakku telah binasa. Yang menjaminku telah lenyap. Maka, limpahkan
kepadaku karunia yang dikaruniakan Allah kepada Anda.”Rasul bertanya,
“Siapa yang menjamin engkau?” Jawab saudaraku, “Adi bin Hatim!”
Rasululah menjawab, “Dia lari dari Allah dan Rasul-Nya.” Sesudah berkata
begitu, Rasulullah pergi meninggalkannya. Besok pagi Rasulullah lewat
pula dekat saudaraku. Saudaraku berkata pula seperti kemarin kepada
beliau. Dan beliau menjawab seperti kemarin pula. Hari ketiga Rasulullah
lewat, saudaraku lupa menyapa beliau dan tidak berkata-kata kepadanya.
Seorang laki-laki memberi isyarat kepadaku supaya menyapa beliau.
Saudaraku berdiri menghampiri Rasulullah seraya berkata, “Ya Rasulullah!
Bapakku telah meninggal. Yang menjaminku telah lenyap. Maka,
limpahkanlah kepadaku karunia yang dikaruniakan Allah kepada Anda.”
Rasulullah
menjawab, “Saya penuhi permintaanmu!” Saudaraku berujar, “Saya ingin
pergi ke Syam menemui keluargaku di sana.” Rasulullah berkata,
“Tetapi, engkau jangan terburu- buru pergi ke sana, sebelum engkau
dapatkan orang yang dapat dipercaya dari kaummu untuk mengantarmu. Bila
engkau dapatkan orang yang dipercaya, beritahukan kepada saya.”
Setelah
Rasulullah pergi, saudaraku menanyakan siapa laki-laki yang memberi
isyarat kepadanya supaya menyapa Rasulullah. Dikatakan orang kepadanya,
orang itu adalah Ali bin Abu Thalib.
Saudaraku
tinggal di Madinah sebagai tawanan sampai datang orang yang dipercaya
untuk membawanya ke Syam. Setelah orang itu datang, dia memberitahu
kepada Rasulullah. Katanya, ‘Ya Rasulullah! Telah datang serombongan
kaumku yang dipercaya dan mereka menyanggupi mengantarku. Rasulullah
memberi saudaraku pakaian, onta untuk kendaraan dan belanja secukupnya.
Maka berangkatlah dia beserta rombongan tersebut.
Kata
‘Adi, selanjutnya, “Kami selau mencari-cari berita tentang saudaraku
itu dan menunggu kedatangannya. Kami hampir tidak percaya apa yang
diberitakan kepada kami tentang Muhammad dengan segala kebaikan beliau
terhadap saudaraku, di samping rasa tinggiku dari beliau.
Demi
Allah! Pada suatu hari ketika aku sedang duduk di lingkungan
keluargaku, tiba-tiba muncul seorang wanita dalam hawdaj(sekedup) menuju
ke arah kami. Aku berkata, “Nah, itu anak perempuan Hatim!” Dugaan itu
betul. Dia adalah saudaraku yang ditunggu-tunggu.
Setelah
turun dari kendaraan, dia segera menghampiriku seraya berkata, “Anda
tinggalkan kami, Anda dzalim! Istri dan anak-anak Anda, Anda bawa.
Tetapi, bapak dan saudara perempuan Anda, serta yang lainnya Anda
tinggalkan.”
Aku
menjawab, “Hai Adikku! Janganlah berkata begiutu!” Aku berhasil
menenangkannya. Setelah itu aku minta dia menceritakan pengalamannya.
Selesai bercerita, aku berkata kepadanya, “Engkau wanita cerdik dan
pintar. Bagaimana pendapatmu tentang orang yang bernama Muhammad itu?”
Dia menjawab, “Menurut pendapatku, demi Allah sebaiknya Anda temui dia
segera. Jika dia Nabi, maka yang paling dahulu mendatanginya
beruntunglah dia. Dan jika dia raja, tidak ada hinanya Anda berada di
sampingnya. Anda adalah seorang raja pula.”
‘Adi
berkata, “Maka, aku siapkan perlengkapanku, lalu aku pergi ke Madinah
menemui Rasulullah . Tanpa Iman dan Kitab, aku mendengar berita bahwa
beliau pernah berkata, “Sesunguhnya saya berharap semoga ‘Adi bin Hatim
masuk Islam di hadapan saya.” Aku masuk ke majlis Nabi , ketika beliau
berada di dalam masjid. Aku memberi salam kepadanya. Mendengar salamku
beliau bertanya, “Siapa itu?” Jawabku, “‘Adi bin Hatim !”
Rasululah berdiri
menyongsongku. Beliau menggandeng tanganku lalu dibawanya ke rumahnya.
Ketika beliau membawaku, tiba-tiba seorang wanita tua yang dhaif (lemah)
sedang menggendong seorang bayi, menemuinya minta sedekah. Wanita tua
itu berbicara dengan beliau mengatakan kesulitan hidupnya. Beliau
berhenti mendengarkan bicara wanita itu sampaui selesai. Dan aku pun
tegak menunggumu.
Aku
berkata kepada diriku, “Demi Allah! Ini bukan kebiasaan raja-raja!”
Kemudian beliau menggandeng tanganku dan berjalan bersama-sama denganku
sampai ke rumah beliau. Tiba di rumah, beliau mengambil sebuah bantal
kulit yang diisi dengan sabut kurma, lalu diberikannya kepadaku. Beliau
berkata, “Silahkan Anda duduk di atas bantal ini!” Aku malu. Karena itu
aku berkata, “Andalah yang pantas duduk di situ.” Jawab Rasulullah,
“Anda lebih pantas.” Aku menuruti kata beliau. Lalu aku duduk di atas
bantal. Nabi duduk di tanah, karena tidak ada lagi bantal
lain selain yang satu itu. Aku berkata dalam diriku, “Demi Allah! Ini
bukan kebiasaan raja-raja.” Kemudian, beliau menoleh kepadaku seraya
berkata, “Hai Adi! Sudahkah Anda membanding-bandingkan agama yang Anda
anut, antara Nasrani dengan Shabiah?” Jawabku, “Sudah.” Beliau bertanya
lagi, “Bukankah Anda memungut pajak dari rakyat Anda seperempat
penghasilan mereka. Bukankah itu tidak halal menurut agama Anda?”
Jawabku, “Betul”. Sementara itu, aku telah yakin Muhammad ini
sesungguhnya Nabi dan rasul Allah. kemudian, beliau berkata pula, “Hai
‘Adi! Agaknya Anda enggan masuk Islam karena pernyataan yang Anda lihat
tentang kaum muslimin, mereka miskin. Demi Allah! Tidak lama lagi harta
akan berlimpah-ruah di kalangan mereka, sehingga susah didapat orang
yang mau menerima sedekah.
Atau
barangkali Anda hai ‘Adi enggan masuk agama ini karena kaum muslimin
sedikit jumlahnya sedangkan musuh-musuh mereka banyak. Demi Allah! Tidak
lama lagi Anda akan mendengar berita seorang wanita datang dari
Qadisiyah mengendarai onta ke Baitullah tanpa takut kepada siapa pun
selain kepada Allah.
Atau
mungkin juga Anda enggan masuk Islam karena ternyata raja-raja dan para
Sultan terdiri dari orang-orang yang bukan Islam. Demi Allah! Tidak
lama lagi Anda akan mendengar Istana Putih di negeri Babil (Iraq)
direbut kaum muslimin dan kekayaan Kisra bin Hurmuz pindah menjadi milik
mereka.
Aku
bertanya kagum, “Kekayaan kisra bin Hurmuz?” Jawab beliau, “Ya kekayaan
Kisra bin Hurmuz.” ‘Adi berkata, “Maka seketika itu juga aku
mengucapkan dua kalimah syahadat di hadapan beliau dan aku menjadi
muslim.”
‘Adi
bin Hatim dikaruniai Allah usia yang panjang. ‘Adi bercerita lagi, “Dua
perkara yang dikatakan Rasulullah sudah terbukti kebenarannya. Tinggal
lagi yang ketiga. Namun, itu pasti terjadi. Aku telah menyaksikan
seorang wanita berkendaraan onta datang dari Qadisiyah tanpa takut
kepada siapa pun, sehingga dia sampai ke Baitullah. Dan aku adalah
tentara berkuda yang pertama-tama menyerang masuk ke gudang
perbendaharaan Kisra dan merampas harta kekayaannya. Aku bersumpah demi
Allah, yang ketiga pasti akan terjadi pula.
Allah
pasti membuktikan setiap perkataan Nabi-Nya yang mulia. Peristiwa
ketiga terjadi pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul Aziz.
Yakni, ketika kemakmuran merata di kalangan kaum muslimin. Ketika itu
setiap orang mencari-cari dengan susah payah orang yang berhak menerima
zakat. Tetapi, mereka tidak mendapatkan orang yang mau menerima, karena
kaum muslimin hidup berkecukupan seluruhnya. Memang benar ucapan
Rasulullah dan tepat pula sumpah yang diucapkan ‘Adi bin Hatim. Semoga
Allah meridhainya.
Sumber: Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya