TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA JANGAN LUPA LIKE, FOLLOW KOMENTAR DAN SHARE

Hakim bin Huzam (wafat 54 H)

Nama lengkapnya adalah Hakim bin Huzam bin Asad bin Abdul Gazi, ponakan Khadijah istri Rasulullah . Sebelum dan setelah kenabian beliau ini adalah teman akrab Rasulullah , sewaktu kaum Quraisy memboikot Rasulullah, beliau tidak termasuk, karena menghormati Nabi. Beliau baru masuk Islam ketika penaklukan kota Mekah dan terkenal sebagai orang yang banyak jasa baik dan derma.
Sejarah mencatat, dia adalah satu-satunya anak yang lahir dalam Kabah yang agung. Ceritanya sebagai berikut. Pada suatu hari ibunya yang sedang hamil tua masuk ke dalam Kabah bersama rombongan orang-orang sebayanya untuk melihat-lihat Kabah. Hari itu Kabah dibuka untuk umum sesuai dengan ketentuan. Ketika berada dalam Kabah, perut ibu tiba-tiba terasa hendak melahirkan. Dia tidak sanggup lagi berjalan keluar Kabah. Seseorang lalu memberikan tikar kulit kepadanya, dan lahirlah bayi itu di atas tikar tersebut. Bayi itu adalah Hakim bin Hazam bin Khuwailid, yaitu anak laki-laki dari saudara Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid.

Hakim bin Hazam dibesarkan dalam keluarga keturunan bangan yang berakar dalam dan terkenal kaya. Karena itu, tidak heran kalau dia menjadi orang pandai, mulia, dan banyak berbakti. Dia diangkat menjadi kepala kaumnya dan diserahi urusan rifadah (lembaga yang menangani orang-orang yang kehabisan bekal ketika musim haji) di masa jahiliah. Untuk itu dia banyak berkorban harta pribadinya. Dia bijaksana dan bersahabat dekat dengan Rasulullah sebelum beliau menjadi Nabi. Sekalipun Hakim bin Hazam kira-kira lima tahun lebih tua dari Nabi , tetapi dia lebih senang, lebih ramah, dan lebih suka berteman dan bergaul dengan beliau. Rasulullah mengimbanginya pula dengan kasih sayang dan persahabatan yang lebih akrab. Kemudian, ditambah pula dengan hubungan kekeluargaan, karena Rasulullah mengawini bibi Hakim, Khadijah binti Khuwailid ra, hubungan di antara keduanya bertambah erat.
Anda boleh jadi heran, walaupun hubungan persahabatan dan kekerabatan antara keduanya demikian erat, ternyata Hakim tidak segera masuk Islam, melainkan sesudah pembebasan kota Mekah dari kekuasaan kafir Quraisy, kira-kira dua puluh tahun sesudah Muhammad diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Orang memperkirakan Hakim bin Hazam, yang dikaruniai Allah akal sehat dan pikiran tajam ditambah dengan hubungan kekeluargaan, serta persahabatan yang akrab dengan Rasulullah, akan menjadi mukmin pertama-tama yang membenarkan dakwah Muhammad, dan menerima ajarannya dengan spontan. Tetapi, Allah berkehendak lain. Dan, kehendak Allah jualah yang berlaku.
Kita heran dengan terlambatnya Hakim bin Hazam masuk Islam, tetapi Hakim sendiri pun tidak kurang keheranannya. Setelah dia masuk Islam dan merasakan nikmat iman, timbullah penyesalan mendalam, karena umurnya hampir habis dalam kemusyrikan dan mendustakan Rasulullah. Putranya pernah melihat dia menangis, lalu bertanya, “Mengapa Bapak menangis?”
“Banyak sekali hal-hal yang menyebabkan Bapak menangis, hai anakku!” jawab Hakim.
“Pertama, keterlambatan masuk Islam menyebabkan aku tertinggal merebut banyak kebajikan. Seandainya aku nafkahkan emas sepenuh bumi, belum seberapa artinya dibandingkan dengan kebajikan yang mungkin aku peroleh dengan Islam. Kedua, sesungguhnya Allah telah menyelamatkan dalam Perang Badar dan Uhud, lalu aku berkata kepada diriku ketika itu, aku tidak lagi akan membantu kaum Quraisy memerangi Muhammad, dan tidak akan keluar dari kota Mekah. Tetapi, aku senantiasa ditarik-tarik kaum Quraisy untuk membantu mereka. Ketiga, setiap aku hendak masuk Islam, aku lihat pemimpin-pemimpin Quraisy yang lebih tua tetap berpegang pada kebiasaan-kebiasaan jahiliah. Lalu, aku ikuti saja mereka secara fanatik.”
“Kini aku menyesal, mengapa aku tidak masuk Islam lebih dini. Yang mencelakakan kita tidak lain melainkan fanatik buta terhadap bapak-bapak dan orang-orang tua kita. Bagaimana aku tidak akan menangis karenanya, hai anakku?”
Sebagaimana kita heran dengan terlambatnya Hakim bin Hazam masuk Islam, begitu pulalah dia heran terhadap dirinya. Rasulullah pun heran terhadap orang-orang yang berpikiran tajam dan berpaham luas seperti Hakim bin Hazam, tetapi menutupi diri untuk menerima Islam. Padahal, dia dan golongan orang-orang yang seperti dia ingin segera masuk Islam.
Semalam sebelum memasuki kota Mekah, Rasulullah bersabda kepada para sahabat, “Di Mekah terdapat empat orang yang tidak suka kepada kemusyrikan, dan lebih cenderung kepada Islam.”
“Siapa mereka itu, ya Rasulullah,” tanya para sahabat. “Mereka adalah ”Attab bin Usaid, Jubair bin Muth”im, Hakim bin Hazam, dan Suhail bin Amr. Maka, dengan karunia Allah, mereka masuk Islam secara serentak,” jawab Rasulullah .
Ketika Rasulullah masuk kota Mekah sebagai pemenang, beliau tidak ingin memperlakukan Hakim bin Hazam, melainkan dengan cara terhormat. Maka, beliau perintahkan juru pengumuman agar menyampaikan beberapa pengumuman.
Siapa yang mengaku tidak ada Tuhan selain Allah yang maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dan mengaku Muhammad sesungguhnya hamba Allah dan Rasul-Nya, dia aman.
Siapa yang duduk di Kabah, lalu meletakkan senjata, dia aman.
Siapa yang mengunci pintu rumahnya, dia aman.
Siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, dia aman.
Siapa yang masuk ke rumah Hakim bin Hazam, dia aman.
Rumah Hakim bin Hazam terletak di kota Mekah bagian bawah, sedang rumah Abu Sufyan bin Harb terletak di bagian atas kota Mekah.
Hakim bin Hazam memeluk Islam dengan sepenuh hati, dan iman mendarah daging di kalbu. Dia bersumpah akan selalu menjauhkan diri dari kebiasaan-kebiasaan jahiliah dan menghentikan bantuan dana kepada Quraisy untuk memenuhi Rasulullah dan para sahabat beliu. Hakim menempati sumpahnya dengan sungguh-sungguh.
Sekali peristiwa di Darun Nadwah (Balai Sidang), suatu tempat terhormat bagi kaum QuraISy di masa Jahiliah untuk bermusyawarah, para pemimpin, tetua-tetua, dan para pembesar mereka memutuskan dalam musyawarah hendak membunuh Rasulullah . Hakim ingin melepaskan diri dari kenangan pada putusan tersebut. Untuk itu, dia membuat tirai penutup yang dapat melupakan ingatannya pada masa lalu yang dibencinya itu. Lalu dibelinya gedung Darun Nadwah tesebut seharga seratus ribu dirham.
Para pemuda Quraisy bertanya kepadanya, “Untuk apa gedung yang dimuliakan kaum Quraisy itu Anda beli, hai paman? Jawab Hakim, “Bukan begitu, wahai anakku! segala kemuliaan telah sirna. Yang mulia hanyalah takwa. Aku tidak hendak membelinya, melainkan karena ingin menjual kembali untuk membeli rumah di surga. Aku saksikan kepada kalian semuanya, uangnya akan kusumbangkan untuk perjuangan fi sabilillah.”
Sesudah masuk Islam, Hakim bin Hazam pergi menunaikan ibadah haji. Dia membawa seratus ekor unta yang diberinya pakaian kebesaran yang megah. Kemudian unta-unta itu disembelihnya sebagai kurban untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla.
Waktu haji tahun berikutnya, dia wukuf di Arafah, beserta seratus orang hamba sahayanya. Masing-masing sahaya tergantung di lehernya sebuah kalung perak bertuliskan kalimat, “Bebas karena Allah Azza wa jalla, dari Hakim bin Hazam. Selesai menunaikan ibadah haji, budak-budak itu dimerdekakan semuanya.
Waktu naik haji ketiga kalinya. Hakim bin Hazam mengurbankan seribu ekor biri, seribu ekor persis, disembelihnya di Mina, untuk dimakan dagingnya oleh fakir miskin, guna mendekatkan dirinya kepada Allah Azza wa Jalla.
Sesudah Perang Hunain, Hakim bin Hazam meminta harta rampasan kepada Rasulullah lalu diberi oleh beliau. Kemudian ia meminta lagi, diberi pula oleh beliau. Akhirnya harta rampasan yang diterima Hakim dengan jalan meminta-minta itu berjumlah seratus ekor unta yang kini menjadi cerita (hadis) dalam Islam.
Rasulullah lalu berkata kepada Hakim, “Sesungguhnya harta itu manis dan enak. Siapa yang mengambilnya dengan rasa sukur dan rasa cukup, dia akan diberi barakah dengan harta itu. Dan, siapa yang mengambilnya dengan nafsu serakah, dia tidak akan mendapat barakah dengan harta itu, bahkan dia seperti orang makan yang tidak pernah merasa kenyang. Tangan yang di atas (memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (meminta atau menerima).”
Mendengar sabda Rasulullah tersebut, Hakim bin Hazam bersumpah, Ya Rasulullah, demi Allah yang mengutus engkau dengan agama yang hak, aku berjanji tidak akan meminta-minta apa pun kepada siapa saja sesudah ini. Dan, aku berjanji tidak akan mengambil sesuatu dari orang lain sampai aku berpisah dengan dunia.”
Sumpah tersebut dipenuhi Hakim dengan sungguh-sungguh. Pada masa pemerintahan Abu Bakar, dia disuruh supaya mengambil gajinya dari baitul mal, tetapi dia tidak mengambilnya. Tatkala jabatan khalifah pindah kepada Umar al-Faruq, Hakim pun tidak mau mengambil gajinya setelah dipanggil beberapa kali.
Khalifah Umar mengumumkan di hadapan orang banyak, “Ya, maasyiral muslimin! saya telah memanggil Hakim bin Hazam beberapa kali supaya mengambil gajinya dari baitul mal, tetapi dia tidak mengambilnya.”
Begitulah, sejak mendengar sabda Rasulullah tersebut di atas, Hakim selamanya tidak mau mengambil sesuatu dari seseorang sampai dia meninggal.

Sumber: Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya

Bilal bin Rabah Al Habasyi (wafat 20 H/641 M)

Namanya adalah Bilal bin Rabah, Muazin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, memiliki kisah menarik tentang sebuah perjuangan mempertahankan aqidah. Sebuah kisah yang tidak akan pernah membosankan, walaupun terus diulang-ulang sepanjang zaman. Kekuatan alurnya akan membuat setiap orang tetap penasaran untuk mendengarnya.
Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam).
Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Mekah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abduddar. Saat ayah mereka meinggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir.
Ketika Mekah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Shalallahu ‘alaihi wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid, Bilal adalah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk agama baru itu, seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abu Thalib, ‘Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin al-Aswad.
Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.
Orang-orang Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib masih memiliki keluarga dan suku yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas (mustadh’afun) dari kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki siapa pun, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya tanpa belas kasihan. Quraisy ingin menjadikan penyiksaan atas mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti ajaran Muhammad.
Kaum yang tertindas itu disiksa oleh orang-orang kafir Quraisy yang berhati sangat kejam dan tak mengenal kasih sayang, seperti Abu Jahal yang telah menodai dirinya dengan membunuh Sumayyah. Ia sempat menghina dan mencaci maki, kemudian menghunjamkan tombaknya pada perut Sumayyah hingga menembus punggung, dan gugurlah syuhada pertama dalam sejarah Islam.
Sementara itu, saudara-saudara seperjuangan Sumayyah, terutama Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Biasanya, apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekah berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, orang-orang Quraisy itu mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk tubuh mereka sambil memaksa mereka mencaci maki Muhammad.
Adakalanya, saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh orang-orang Islam yang tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara lahir, sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Bilal, semoga Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan jika dibandingkan dengan kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.
Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ….“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”
Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!”
Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.
Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah1 Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.
Suatu ketika, Abu Bakar Rodhiallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas2.
Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, “Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya.”
Abu Bakar membalas, “Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya.”
Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Bakar, “Kalau begitu, biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar.”
Ash-Shiddiq Rodhiallahu ‘anhu menjawab, “Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah.”
Setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah, termasuk Bilal Rodhiallahu ‘anhu. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal satu rumah dengan Abu Bakar dan ‘Amir bin Fihr. Malangnya, mereka terkena penyakit demam. Apabila demamnya agak reda, Bilal melantunkan gurindam kerinduan dengan suaranya yang jernih,
Duhai malangnya aku, akankah suatu malam nanti
Aku bermalam di Fakh3 dikelilingi pohon idzkhir4 dan jalil
Akankah suatu hari nanti aku minum air Mijannah5
Akankah aku melihat lagi pegunungan Syamah dan Thafil6
Tidak perlu heran, mengapa Bilal begitu mendambakan Mekah dan perkampungannya; merindukan lembah dan pegunungannya, karena di sanalah ia merasakan nikmatnya iman. Di sanalah ia menikmati segala bentuk siksaan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Di sanalah ia berhasil melawan nafsu dan godaan setan.
Bilal tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan orang-orang Quraisy yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Bilal selalu mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun beliau pergi. Selalu bersamanya saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad. Kebersamaannya dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ibarat bayangan yang tidak pernah lepas dari pemiliknya.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan azan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan azan (muazin) dalam sejarah Islam.
Biasanya, setelah mengumandangkan azan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya ‘alashsholaati hayya ‘alashsholaati…(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan….)” Lalu, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.
Suatu ketika, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek yang termasuk barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengambil satu tombak, sementara sisanya diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab, tapi tidak lama kemudian, beliau memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu ke mana-mana. Ia membawanya dalam kesempatan dua shalat ‘id (Idul Fitri dan Idul Adha), dan shalat istisqa’ (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau saat melakukan shalat di luar masjid.
Bilal menyertai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Badar. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi janji-Nya dan menolong tentara-Nya. Ia juga melihat langsung tewasnya para pembesar Quraisy yang pernah menyiksanya dengan hebat. Ia melihat Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf tersungkur berkalang tanah ditembus pedang kaum muslimin dan darahnya mengalir deras karena tusukan tombak orang-orang yang mereka siksa dahulu.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Mekah, beliau berjalan di depan pasukan hijaunya bersama ’sang pengumandang panggilan langit’, Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka’bah, beliau hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai kekasih Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan Bilal bin Rabah, Muazin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam saat itu, baik dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan pemandangan yang agung itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke atap Ka’bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal melaksanakan perintah Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan senang hati, lalu mengumandangkan azan dengan suaranya yang bersih dan jelas.
Ribuan pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan lidah mengikuti kalimat azan yang dikumandangkannya. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.
Saat azan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”. Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, “Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu. Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi.” Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.
Khalid bin Usaid berkata, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan ayahku dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini.” Kebetulan ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Mekah..
Sementara al-Harits bin Hisyam berkata, “Sungguh malang nasibku, mengapa aku tidak mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka’bah.”
AI-Hakam bin Abu al-’Ash berkata, “Demi Allah, ini musibah yang sangat besar. Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka’bah).”
Sementara Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, “Aku tidak mengatakan apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau hanya satu kalimat, maka pasti akan sampai kepada Muhammad bin Abdullah.”
Bilal menjadi muazin tetap selama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam hidup. Selama itu pula, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sangat menyukai suara yang saat disiksa dengan siksaan yang begitu berat di masa lalu, ia melantunkan kata, “Ahad…, Ahad… (Allah Maha Esa).”
Sesaat setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengembuskan napas terakhir, waktu shalat tiba. Bilal berdiri untuk mengumandangkan azan, sementara jasad Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan. Saat Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang hadir di sana tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah suara isak tangis yang membuat suasana semakin mengharu biru.
Sejak kepergian Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, Bilal hanya sanggup mengumandangkan azan selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, ia langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.
Karena itu, Bilal memohon kepada Abu Bakar, yang menggantikan posisi Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin, agar diperkenankan tidak mengumandangkan azan lagi, karena tidak sanggup melakukannya. Selain itu, Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar dari kota Madinah dengan alasan berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.
Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya.”
Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah.”
Bilal menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan azan untuk siapa pun setelah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam wafat.”
Abu Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan azan hingga kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal Rodhiallahu ‘anhu setelah terpisah cukup lama.
Umar sangat merindukan pertemuan dengan Bilal dan menaruh rasa hormat begitu besar kepadanya, sehingga jika ada yang menyebut-nyebut nama Abu Bakar ash-Shiddiq di depannya, maka Umar segera menimpali (yang artinya), “Abu Bakar adalah tuan kita dan telah memerdekakan tuan kita (maksudnya Bilal).”
Dalam kesempatan pertemuan tersebut, sejumlah sahabat mendesak Bilal agar mau mengumandangkan azan di hadapan al-Faruq Umar ibnul Khaththab. Ketika suara Bilal yang nyaring itu kembali terdengar mengumandangkan azan, Umar tidak sanggup menahan tangisnya, maka iapun menangis tersedu-sedu, yang kemudian diikuti oleh seluruh sahabat yang hadir hingga janggut mereka basah dengan air mata. Suara Bilal membangkitkan segenap kerinduan mereka kepada masa-masa kehidupan yang dilewati di Madinah bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam..BiIal, “pengumandang seruan langit itu”, tetap tinggal di Damaskus hingga wafat.

Sumber: Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya, Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya

Anas bin Malik (Wafat 93 H)

Anas bin Malik urutan ke tiga dari sahabat yang banyak meriwayatkan hadist, Ia meriwayatkan sebanyak 2.286 hadits.
Anas adalah (Khadam) pelayan Rasulullah yang terpercaya, ketika ia berusia 10 tahun, ibunya Ummu sulaiman membawanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam untuk berkhidmat. Ayahnya bernama Malik bin an-Nadlr. Rasulullah sering bergurau dengan Anas bin Malik, dan Rasulullah sendiri tidaklah bersikap seperti seorang majikan kepada hambanya.
Anas sendiri pernah berkata:” Rasulullah Shallallahu alaihi wasssalam tidak pernah menegur apa yang aku perbuat, beliau juga tidak pernah menanyakan tentang sesuatu yang aku tidak kerjakan, akan tetapi beliau selalu mengucapkan Masya’allahu kan wa ma lam yasya”.
Anas bin Malik tidak berperang dalam perang Badar yang akbar, karena usianya masih sangat muda. Tetapi ia banyak mengikuti peperangan lainnya sesudah itu. Pada waktu Abu Bakar meminta pendapat Umar mengenai pengangkatan Anas bin Malik menjadi pegawai di Bahrain, Umar memujinya :” Dia adalah anak muda yang cerdas dan bisa baca tulis, dan juga lama bergaul dengan Rasulullah”.
Sedangkan Komentar Abu Hurairah tentangnya : “ Aku belum pernah melihat orang lain yang shalatnya menyerupai Rasulullah kecuali Ibnu Sulaiman (Anas bin Malik)”.
Ibn Sirin berkata:” Dia (Anas) paling bagus Shalatnya baik di rumah maupun ketika sedang dalam perjalanan”.
Pada hari hari terakhir masa kehidupannya, Anas pindah ke Basrah, Sebagian lain mengatakan kepindahannya karena terkena fitnah Ibn al-Asy’ats yang mendorong Hajjaj mengancamnya. Maka tidak ada jalan lain bagi anas bin Malik untuk pindah ke Basrah yang menjadikan satu satunya sahabat Nabi disana.
Itulah sebabnya para Ulama mengatakan bahawa Anas bin Malik adalah sahabat terakhir yang meninggal di Basrah., pada wafatnya Muwarriq berkata: “ Telah hilang separuh ilmu. Jika ada orang suka memperturutkan kesenangannya bila berselisih dengan kami, kami berkata kepadanya, marilah menghadap kepada orang yang pernah mendenganr dari Rasululah Shallallahu alaihi wassalam”.
Sanad paling sahih yang bersumber awalnya dari : Malik, dari az-Zuhri, dan dia (Anas bin Malik). Sedangkan yang paling Dlaif dari Dawud bin al-Muhabbir, dari ayahnya Muhabbir dari Abban bin Abi Iyasy dari dia.
Ia wafat pada tahun 93 H dalam usia melampaui seratus tahun.

Disalin dari Biografi Anas dalam Thabaqaat Ibn sa’ad 7/10 dan Tahdzib 3/319

Ali bin Abi Thalib

Nama dan Nasab beliau:

Nama Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muththalib bin Hasyim. Abu Thalib adalah saudara kandung Abdullah bin Abdul Muththalib, ayah baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jadi Ali bin Abi Thalib adalah saudara sepupu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau dijuluki Abul Hasan dan Abu Turab.
Semenjak kecil beliau hidup diasuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena ayahnya terlalu banyak beban dan tugas yang sangat banyak dan juga banyak keluarga yang harus dinafkahi, sedangkan Abu Thalib hanya memiliki sedikit harta semenjak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih anak-anak.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengasuhnya sebagai balas budi terhadap pamannya, Abu Thalib yang telah mengasuh beliau ketika beliau tidak punya bapak dan ibu serta kehilangan kakek tercintanya, Abdul Muththalib.

Ali bin Abi Thalib masuk Islam:

Mayoritas ahli sejarah Islam menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah orang kedua yang masuk Islam setelah Khadijah radhiyallahu ‘anha, di mana usia beliau saat itu masih berkisar antara 10 dan 11 tahun. Ini adalah suatu kehormatan dan kemuliaan bagi beliau, di mana beliau hidup bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan terdepan memeluk Islam. Bahkan beliau adalah orang pertama yang melakukan shalat berjamaah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana ditulis oleh al-Askari (penulis kitab al-Awa`il).

Sifat fisik dan kepribadian beliau:

Beliau adalah sosok yang memiliki tubuh yang kekar dan lebar, padat berisi dengan postur tubuh yang tidak tinggi, perut besar, warna kulit sawo matang, berjenggot tebal berwarna putih seperti kapas, kedua matanya sangat tajam, murah senyum, berwajah tam-pan, dan memiliki gigi yang bagus, dan bila berjalan sangat cepat.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah sosok manusia yang hidup zuhud dan sederhana, memakai pakaian seadanya dan tidak terikat dengan corak atau warna tertentu. Pakaian beliau berbentuk sarung yang tersimpul di atas pusat dan menggantung sampai setengah betis, dan pada bagian atas tubuh beliau adalah rida’ (selendang) dan bahkan pakaian bagian atas beliau bertambal. Beliau juga selalu mengenakan kopiah putih buatan Mesir yang dililit dengan surban.
Ali bin Abi Thalib juga suka memasuki pasar, menyuruh para pedagang bertakwa kepada Allah dan menjual dengan cara yang ma`ruf.
Beliau menikahi Fatimah az-Zahra putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dikarunia dua orang putra, yaitu al-Hasan dan al-Husain.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah sosok pejuang yang pemberani dan heroik, pantang mundur, tidak pernah takut mati dalam membela dan menegakkan kebenaran. Keberanian beliau dicatat di dalam sejarah, sebagai berikut:

a) Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ingin berhijrah ke Madinah pada saat rumah beliau dikepung di malam hari oleh sekelompok pemuda dari berbagai utusan kabilah Arab untuk membunuh Nabi, Nabi menyuruh Ali bin Abi Thalib shallallahu ‘alaihi wasallam tidur di tempat tidur beliau dengan mengenakan selimut milik beliau. Di sini Ali bin Abi Thalib benar-benar mempertaruhkan nyawanya demi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan penuh tawakal kepada Allah Ta’ala.
Keesokan harinya, Ali disuruh menunjukkan keberadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun beliau menjawab tidak tahu, karena beliau hanya disuruh untuk tidur di tempat tidurnya. Lalu beliau disiksa dan digiring ke Masjidil Haram dan di situ beliau ditahan beberapa saat, lalu dilepas.

b) Beliau kemudian pergi berhijrah ke Madinah dengan berjalan kaki sendirian, menempuh jarak yang sangat jauh tanpa alas kaki, sehingga kedua kakinya bengkak dan penuh luka-luka setibanya di Madinah.

c) Ali bin Abi Thalib terlibat dalam semua peperangan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, selain perang Tabuk, karena saat itu beliau ditugasi menjaga kota Madinah. Di dalam peperangan-peperangan tersebut beliau sering kali ditugasi melakukan perang tanding (duel) sebelum peperangan sesungguhnya dimulai. Dan semua musuh beliau berhasil dilumpuhkan dan tewas. Dan beliau juga menjadi pemegang panji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Keutamaan Ali bin Abi Thalib radhiayallahu ‘anhu:

Keutamaan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu sangat banyak sekali. Selain yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi keutamaan dan keistimewaan beliau. Berikut ini di antaranya:

-Ali adalah manusia yang benar-benar dicintai Allah dan RasulNya.
Pada waktu perang Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bendera ini sungguh akan saya berikan kepada seseorang yang Allah memberikan kemenangan melalui dia, dia mencintai Allah dan RasulNya, dan dia dicintai Allah dan RasulNya.” Maka pada malam harinya, para sahabat ribut membicarakan siapa di antara mereka yang akan mendapat kehormatan membawa bendera tersebut. Dan keesokan harinya para sahabat datang menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, masing-masing berharap diserahi bendera. Namun beliau bersabda, “Mana Ali bin Abi Thalib?” Mereka menjawab, “Matanya sakit, ya Rasulullah.” Lalu Rasulullah menyuruh untuk menjemputnya dan Ali pun datang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyemburkan ludahnya kepada kedua mata Ali dan mendoakannya. Dan Ali pun sembuh seakan-akan tidak pernah terkena penyakit. Lalu beliau memberikan bendera kepadanya. Ali berkata, “Ya Rasulullah, aku memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita.” Beliau menjawab, “Majulah dengan tenang sampai kamu tiba di tempat mereka, kemudian ajaklah mereka masuk Islam dan sampaikan kepada mereka hak-hak Allah yang wajib mereka tunaikan. Demi Allah, sekiranya Allah memberikan hidayah kepada seorang manusia melalui dirimu, sungguh lebih baik bagimu dari pada unta-unta merah.” (HR. Muslim, no. 2406).

-Jiwa juang Ali sangat melekat di dalam kalbunya, sehingga ketika Rasulullah ingin berangkat pada perang Tabuk dan memerintah Ali agar menjaga Madinah, Ali merasa keberatan sehingga mengatakan, “Apakah engkau meninggalkan aku bersama kaum perempuan dan anak-anak?”
Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru menunjukkan kedudukan Ali yang sangat tinggi seraya bersabda, “Apakah engkau tidak ridha kalau kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada kenabian sesudahku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

-Beliau juga adalah salah satu dari sepuluh orang yang telah mendapat “busyra biljannah” (berita gembira sebagai penghuni surga), sebagaimana dinyatakan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam al-Mustadrak.

-Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyatakan kepada Ali radhiyallahu ‘anhu, “bahwa tidak ada yang mencintainya kecuali seorang Mukmin dan tidak ada yang membencinya, kecuali orang munafik.” (HR. Muslim)
-Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda kepada Ali radhiyallahu ‘anhu,
Ø£َÙ†ْتَ Ù…ِÙ†ِّÙŠْ ÙˆَØ£َÙ†َا Ù…ِÙ†ْÙƒَ.
“Engkau adalah bagian dariku dan aku adalah bagian darimu.” (HR. al-Bukhari).

-Beliau juga sangat dikenal dengan kepandaian dan ketepatan dalam memecahkan berbagai masalah yang sangat rumit sekalipun, dan beliau juga seorang yang memiliki `abqariyah qadha’iyah (kejeniusan dalam pemecahan ketetapan hukum) dan dikenal sangat dalam ilmunya. (Lihat: Aqidah Ahlussunnah fi ash-Shahabah, jilid I, halaman 283).

Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah:

Ketika Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah keempat, situasi dan suasana kota Madinah sangat mencekam, dikuasai oleh para pemberontak yang telah menodai tanah suci Madinah dengan melakukan pembunuhan secara keji terhadap Khalifah ketiga, Uts-man bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu.
Ali bin Abi Thalib dalam pemerintahannya benar-benar menghadapi dilema besar yang sangat rumit, yaitu:

1) Kaum pemberontak yang jumlahnya sangat banyak dan menguasai Madinah.

2) Terbentuknya kubu penuntut penegakan hukum terhadap para pemberontak yang telah membunuh Utsman bin ‘Affan, yang kemudian melahirkan perang saudara, perang Jamal dan Shiffin.

3) Kaum Khawarij yang dahulunya adalah para pendukung dan pembela beliau kemudian berbalik memerangi beliau.
Namun dengan kearifan dan kejeniusan beliau dalam menyikapi berbagai situasi dan mengambil keputusan, beliau dapat mengakhiri pertumpahan darah itu melalui albitrasi (tahkim), sekalipun umat Islam pada saat itu masih belum bersatu secara penuh.
Abdurrahman bin Muljam, salah seorang pentolan Khawarij memendam api kebencian terhadap Ali bin Abi Thalib, karena dianggap telah menghabisi rekan-rekannya yang seakidah, yaitu kaum Khawarij di Nahrawan. Maka dari itu ia melakukan makar bersama dua orang rekannya yang lain, yaitu al-Barak bin Abdullah dan Amr bin Bakar at-Tamimi, untuk menghabisi Ali, Mu’awiyah dan Amr bin al-’Ash, karena dia anggap sebagai biang keladi pertumpahan darah.
Al-Barak dan Amr gagal membunuh Mu’awiyah dan Amr bin al-’Ash, sedangkan Ibnu Muljam berhasil mendaratkan pedangnya di kepala Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib, pada dini hari Jum’at, 17 Ramadhan, tahun 40 H. dan beliau wafat keesokan hari-nya.

Adi bin Hatim at-Tha’i (wafat 68 H)

Nama lengkapnya adalah Adi bin Hatim bin Abdullah bin Saad bin Hasyraj At-Thai, dijuluki dengan Abu Wahab dan Abu Tarif. Sahabat yang masuk Islam pada tahun 9 H ini terkenal sebagai orator yang sangat pandai. Beliau adalah kepala suku Thai baik pada masa jahiliah maupun masa Islam. Dia mempunyai jasa besar dalam menumpas kaum murtad dan ikut serta dalam penaklukan Irak. Beliau berdomisili di Kota Kufah dan wafat di sana.
Sejumlah raja Arab mulai menerima Islam sesudah mereka menentang keras. Mereka tunduk dan patuh kepada Rasulullah . Dari riwayat keislaman, tersebutlah kisah ‘Adi bin Hatim at-Tha’i yang pemurah. ‘Adi mewarisi kepemimpinan ayahnya sebagai penguasa suku at-Tha’i. Kaum Tha’i mengeluarkan seperempat harta mereka sebagai pajak kepada ‘Adi, untuk imbalan bagi kepemimpinannya.

Ketika Rasulullah mendakwahkan Islam, berangsur bangsa Arab mulai mendekat kepada beliau, suku demi suku. Tetapi, ‘Adi justru melihat pengaruh Rasulullah merupakan ancaman yang akan melenyapkan kepemimpinannya. Karena itu, dia memusuhi Rasulullah meski dia sendiri belum mengenal pribadi Nabi yang mulia itu.
Hampir dua puluh tahun dia memusuhi Islam. Sampai pada suatu hari hatinya menerima dakwah Rasul. Islamnya ‘Adi mempunyai kisah tersendiri. Dia menceritakannya sendiri, kisah yang menarik dan patut dipercaya. ‘Adi berkata: Tidak seorang pun bangsa Arab yang lebih benci daripada aku terhadap Rasulullah ketika mendengar berita tentang beliau dan kegiatan dakwahnya. Aku seorang pemimpin yang dihormati dan tinggal dengan kaumku di daerah kekuasaanku. Aku memungut pajak dari mereka seperempat dari penghasilan mereka, sama dengan yang dilakukan raja-raja Arab yang lain.
Ketika pengaruh Rasulullah bertambah besar dan tentaranya bertambah banyak, aku berkata kepada sahaya gembala ontaku, “Hai, anak manis! Siapkan onta betina yang gemuk dan jinak, lalu tambatkan selalu di dekatku. Bila kamu dengar tentara Muhammad atau ekspedisinya menjejakkan kaki di negeri ini, beritahukan kepadaku segera!”
Hingga suatu pagi, sahayaku datang menghadap. Katanya, “Wahai Tuanku! Apa yang akan Tuan-ku perbuat jika tentara berkuda Muhammad datang ke negeri ini, maka lakukanlah sekarang!”
Tanyaku, “Mengapa?” Jawabnya, “Hamba melihat beberapa bendera sekeliling kampung.” Lalu aku bertanya,” Bendera apa itu?”. Jawabnya, “Itulah bendera tentara Muhammad.”
Aku perintahkan sahayaku untuk menyiapkan onta tadi. Seketika itu juga aku memanggil istri dan anak-anakku untuk segera berangkat ke negeri yang aman, (Syam). Di sana kami bergabung dengan orang-orang seagama dengan kami dan tinggal di rumah mereka. Aku terburu-buru mengumpulkan semua keluargaku.
Setelah melewati tempat yang mencemaskan, ternyata ada keluargaku yang tertinggal. Saudara perempuanku tertinggal di negeri kami, Nejed, beserta penduduk Tha’i yang lain. Tidak ada jalan lain bagiku untuk menjemputnya kecuali kembali ke Tha’i. Aku terus berjalan dengan rombonganku sampai ke Syam dan menetap di sana. Saudara perempuanku aku biarkan tertinggal di Tha’i, tetapi mencemaskan hatiku. Ketika berada di Syam, aku mendapat berita, tentara berkuda Muhammad menyerang negeri kami. Saudara perempuanku tertangkap dan menjadi tawanan, kemudian dibawa ke Yatsrib bersama beberapa penduduk lainnya.
Di sana mereka ditempatkan dalam penjara dekat pintu masjid. Ketika Rasulullah lewat, saudaraku menyapa, “Ya Rasulullah! Bapakku telah binasa. Yang menjaminku telah lenyap. Maka, limpahkan kepadaku karunia yang dikaruniakan Allah kepada Anda.” Rasul bertanya, “Siapa yang menjamin engkau?” Jawab saudaraku, “‘Adi bin Hatim!” Rasululah menjawab, “Dia lari dari Allah dan Rasul-Nya.” Sesudah berkata begitu, Rasulullah pergi. Besok pagi Rasulullah lewat dekat saudaraku. Saudaraku berkata pula seperti kemarin kepada beliau. Kemudian beliau menjawab seperti yang kemarin pula.
Hari ketiga Rasulullah lewat, saudaraku lupa menyapa beliau. Seorang laki-laki memberi isyarat kepada saudaraku supaya menyapa beliau. Saudaraku berdiri menghampiri Rasulullah seraya berkata, “Ya Rasulullah! Bapakku telah meninggal. Yang menjaminku telah lenyap. Maka, limpahkanlah kepadaku karunia yang dikaruniakan Allah kepada Anda.”
Rasulullah menjawab, “Saya penuhi permintaanmu!” Saudaraku berujar, “Saya ingin pergi ke Syam menemui keluargaku.” Rasulullah berkata, “Tetapi, engkau jangan buru-buru pergi ke sana, sebelum engkau dapatkan orang yang dapat dipercaya dari kaummu untuk mengantarmu. Bila engkau dapatkan orang yang dipercaya, beritahukan kepada saya.”
Setelah Rasulullah pergi, saudaraku menanyakan siapa laki-laki yang memberi isyarat kepadanya supaya menyapa Rasulullah. Dikatakan bahwa orang itu adalah Ali bin Abi Thalib.
Saudaraku tinggal di sana sebagai tawanan sampai datang orang yang dipercaya untuk membawanya ke Syam. Setelah orang itu datang, dia memberitahu kepada Rasulullah. Katanya, “Ya Rasulullah! Telah datang serombongan kaumku yang dipercaya dan mereka menyanggupi mengantarku.” Rasulullah memberi saudaraku pakaian, onta untuk kendaraan dan belanja secukupnya. Maka berangkatlah dia beserta rombongan tersebut.
Kami selau mencari-cari berita tentang saudaraku dan menunggu kedatangannya. Kami hampir tidak percaya apa yang diberitakan tentang Muhammad dengan segala kebaikannya terhadap saudaraku. Demi Allah! Pada suatu hari ketika aku sedang duduk di lingkungan keluargaku, tiba-tiba muncul seorang wanita dalam hawdaj (sekedup) menuju ke arah kami. Aku berkata, “Nah, itu anak perempuan Hatim!” Dugaan itu betul. Dia adalah saudaraku yang ditunggu-tunggu.
Setelah turun dari kendaraan, dia segera menghampiriku seraya berkata, “Anda tinggalkan kami, Anda dzalim! Istri dan anak-anak Anda, Anda bawa. Tetapi, bapak dan saudara perempuan Anda, serta yang lainnya Anda tinggalkan.” Aku menjawab, “Hai Adikku! Janganlah berkata begitu!” Aku berhasil menenangkannya. Setelah itu aku minta dia menceritakan pengalamannya. Selesai bercerita, aku berkata kepadanya, “Engkau wanita cerdik dan pintar. Bagaimana pendapatmu tentang orang yang bernama Muhammad itu?” Dia menjawab, “Menurut pendapatku, demi Allah, sebaiknya temui dia segera. Jika dia Nabi, maka yang paling dahulu mendatanginya beruntunglah dia. Dan jika dia raja, tidak ada hinanya Anda berada di sampingnya. Anda adalah seorang raja pula.”
Maka, aku siapkan perlengkapanku, lalu aku pergi ke Madinah menemui Rasulullah . Tanpa iman dan kitab, aku mendengar berita bahwa beliau pernah berkata, “Sesungguhnya saya berharap semoga ‘Adi bin Hatim masuk Islam di hadapan saya.” Sampai di Yastrib, aku langsung masuk ke majelis Nabi , ketika beliau berada di dalam masjid. Aku memberi salam kepadanya. Mendengar salamku beliau bertanya, “Siapa itu?” Jawabku, “‘Adi bin Hatim!” Rasulullah berdiri menyongsongku. Beliau menggandeng tanganku lalu dibawa ke rumahnya. Ketika beliau membawaku, tiba-tiba seorang wanita tua yang dhaif (lemah) sedang menggendong seorang bayi, menemuinya minta sedekah. Wanita tua itu berbicara tentang kesulitan hidupnya. Beliau mendengarkan bicara wanita itu sampai selesai. Aku pun tegak menunggu.
Aku berkata kepada diriku, “Demi Allah! Ini bukan kebiasaan raja-raja!” Kemudian beliau menggandeng tanganku dan berjalan bersama-sama denganku sampai ke rumah beliau. Tiba di rumah, beliau mengambil sebuah bantal kulit yang diisi sabut kurma, lalu diberikan kepadaku. Beliau berkata, “Silahkan Anda duduk di atas bantal ini!” Aku malu. Karena itu aku berkata, “Andalah yang pantas duduk di situ.” Jawab Rasulullah, “Anda lebih pantas.”
Aku menuruti kata beliau lalu duduk di atas bantal. Nabi duduk di tanah, karena tidak ada lagi bantal lain selain yang satu itu. Aku berkata dalam diriku, “Demi Allah! Ini bukan kebiasaan raja-raja.” Kemudian, beliau menoleh kepadaku seraya berkata, “Hai ‘Adi! Sudahkah Anda membanding-bandingkan agama yang Anda anut, antara Nasrani dengan Shabiah?” Jawabku, “Sudah.”
Beliau bertanya lagi, “Bukankah Anda memungut pajak dari rakyat seperempat penghasilan mereka. Bukankah itu tidak halal menurut agama Anda?” Jawabku, “Betul”. Sementara itu, aku telah yakin Muhammad sesungguhnya rasul Allah. Kemudian, beliau berkata, “Hai ‘Adi! Agaknya Anda enggan masuk Islam karena pernyataan yang Anda lihat tentang kaum Muslim, mereka miskin. Demi Allah! Tidak lama lagi harta akan berlimpah-ruah di kalangan mereka, sehingga susah didapat orang yang mau menerima sedekah. Atau barangkali Anda enggan masuk agama ini karena kaum Muslim sedikit jumlahnya sedangkan musuh-musuh mereka banyak. Demi Allah! Tidak lama lagi Anda akan mendengar berita seorang wanita datang dari Qadisiyah mengendarai onta ke Baitullah tanpa takut kepada siapa pun selain kepada Allah.”
“Atau mungkin juga Anda enggan masuk Islam karena ternyata raja-raja dan para sultan terdiri dari orang yang bukan Islam. Demi Allah! Tidak lama lagi Anda akan mendengar Istana Putih di negeri Babil (Iraq) direbut kaum Muslim dan kekayaan Kisra bin Hurmuz pindah menjadi milik mereka.”
Aku bertanya kagum, “Kekayaan Kisra bin Hurmuz?” Jawab beliau, “Ya kekayaan Kisra bin Hurmuz.” Maka seketika itu juga aku mengucapkan dua kalimah syahadat di hadapan beliau dan aku menjadi Muslim.
‘Adi bin Hatim dikaruniai Allah usia panjang. ‘Adi bercerita lagi, “Dua perkara yang dikatakan Rasulullah sudah terbukti kebenarannya. Tinggal lagi yang ketiga. Namun, itu pasti terjadi. Aku telah menyaksikan seorang wanita berkendaraan onta datang dari Qadisiyah tanpa takut kepada siapa pun, sehingga dia sampai ke Baitullah. Dan aku adalah tentara berkuda yang pertama-tama menyerang masuk ke gudang perbendaharaan Kisra dan merampas harta kekayaannya. Aku bersumpah demi Allah, yang ketiga pasti akan terjadi pula.
Allah pasti membuktikan setiap perkataan Nabi-Nya yang mulia. Peristiwa ketiga terjadi pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul Aziz. Yakni, ketika kemakmuran merata di kalangan kaum Muslim. Saat itu setiap orang mencari-cari dengan susah payah orang yang berhak menerima zakat. Tetapi, mereka tidak mendapatkan orang yang mau menerima, karena kaum Muslim hidup berkecukupan seluruhnya. Memang benar ucapan Rasulullah dan tepat pula sumpah yang diucapkan ‘Adi bin Hatim. Semoga Allah meridhainya.
Pada tahun kesembilan hijriyah, beberapa raja Arab mulai mendekat kepada Islam sesudah mereka lari dari Islam. Hati mereka lembut menerima iman setelah menentang keras. Mereka menyerah, tunduk dan patuh kepada Rasulullah sesudah enggan. Tersebutlah kisah “Adi bin Hatim at-Tha’i” yang pemurah seperti bapaknya.
‘Adi mewarisi kepemimpnan dari bapaknya. Karena itu, suku at-Tha’i mengangkatnya jadi penguasa suku tersebut. Kaum Tha’i mengeluarkan seperempat harta mereka sebagai pajak yang diserahkannya kepada Adi, sebagai imbalan bagi kepemimpinannya memimpin suku tersebut.
Tatkala Rasulullah memproklamirkan da’wah Islam, bangsa Arab mendekat kepada Rasulullah suku demi suku. ‘Adi melihat pengaruh Rasulullah sebagai suatu ancaman yang akan melenyapkan kepemimpinannya. Karena itu, dia memusuhi Rasulullah dengan sikap keras. Padahal dia sendiri belum mengenal pribadi Nabi yang mulia itu. Dia benci kepada Rasulullah sebelum bertemu dengan orangnya. Hampir dua puluh tahun lamanya dia memusuhi Islam, sampai pada suatu hari hatinya lapang menerima da’wah yang hak itu.
Islamnya ‘Adi mempunyai kisah tersendiri yang tak dapat dilupakannya. Karena itu, marilah kita simak, dia menceritakan kisahnya sendiri, kisah yang menarik dan patut dipercaya. ‘Adi berkata:
Tidak seorang pun bangsa Arab yang lebih benci daripada aku terhadap Rasulullah ketika aku mendengar berita tentang beliau dan kegiatan da’wahnya. Aku seorang pemimpin yang dihormati. Aku tinggal dengan kaumku dalam daerah kekuasaanku. Aku memungut pajak dari mereka seperempat dari penghasilan mereka, sama dengan yang dilakukan raja-raja Arab yang lain. Karena itu ketika aku mendengar da’wah Rasulullah , aku membencinya. Ketika pengaruh dan kekuatan Rasulullah b ertambah besar dan tentaranya bertambah banyak yang tersebar di Timur dan Barat negeri Arab, aku berkata kepada sahaya gembala ontaku, “Hai, anak manis! Siapkan onta betina yang gemuk dan jinak, lalu tambatkan selalu di dekatku. Bila kamu dengar tentara Muhammad atau ekspedisinya menjejakkan kaki di negeri ini, beritahukan kepadaku segera!”
Maka, pada suatu pagi sahayaku datang menghadap kepadaku. Katanya, “Wahai Tuanku! Apa yang akan Tuanku perbuat jika tentara berkuda Muhammad datang ke negeri ini, maka lakukanlah sekarang!” Tanyaku, “Mengapa?” Jawabnya, “Hamba melihat beberapa bendera sekeliling kampung. Lalu aku bertanya, bendera apa itu. Jawabnya, itulah bendera tentara Muhammad “.
Kemudian, aku perintahkan kepada sahayaku, “siapkan onta yang kuperintahkan kepadamu, bawa kemari.”Aku bangkit, ketika itu juga aku memanggil istri dan anak-anakku untuk segera berangkat ke negeri yang kami anggap aman, (Syam). Di sana kami bergabung dengan orang- orang seagama dengan kami dan bertempat tinggal di rumah mereka. Aku terburu-buru mengumpulkan semua keluargaku. Setelah melewati tempat yang mencemaskan, ternyata ada di antara keluargaku yang tertinggal. Saudara perempuanku tertinggal di negeri kami, Nejed, beserta pendduk Tha’i yang lain. Tidak ada jalan lain bagiku untuk mendapatkannya kecuali kembali ke Tha’i. Aku terus berjalan dengan rombonganku sampai ke Syam dan menetap di sana di tengah-tengah penduduk yang seagama denganku. Saudara perempuanku aku biarkan tertinggal di Tha’i, tetapi mencemaskan hatiku.
Sementara, ketika aku berada di Syam, aku mendapatkan berita, tentara berkuda Muhammad menyerang negeri kami. Saudara perempuanku tertangkap beserta sejumlah wanita menjadi tawanan, kemudian mereka dibawa ke Yatsrib. Di sana mereka ditempatkan dalam sebuah penjara dekat pintu masjid. Ketika Rasulullah lewat, saudaraku menyapa, “Ya Rasulullah! Bapakku telah binasa. Yang menjaminku telah lenyap. Maka, limpahkan kepadaku karunia yang dikaruniakan Allah kepada Anda.”Rasul bertanya, “Siapa yang menjamin engkau?” Jawab saudaraku, “Adi bin Hatim!” Rasululah menjawab, “Dia lari dari Allah dan Rasul-Nya.” Sesudah berkata begitu, Rasulullah pergi meninggalkannya. Besok pagi Rasulullah lewat pula dekat saudaraku. Saudaraku berkata pula seperti kemarin kepada beliau. Dan beliau menjawab seperti kemarin pula. Hari ketiga Rasulullah lewat, saudaraku lupa menyapa beliau dan tidak berkata-kata kepadanya. Seorang laki-laki memberi isyarat kepadaku supaya menyapa beliau. Saudaraku berdiri menghampiri Rasulullah seraya berkata, “Ya Rasulullah! Bapakku telah meninggal. Yang menjaminku telah lenyap. Maka, limpahkanlah kepadaku karunia yang dikaruniakan Allah kepada Anda.”
Rasulullah menjawab, “Saya penuhi permintaanmu!” Saudaraku berujar, “Saya ingin pergi ke Syam menemui keluargaku di sana.” Rasulullah berkata, “Tetapi, engkau jangan terburu- buru pergi ke sana, sebelum engkau dapatkan orang yang dapat dipercaya dari kaummu untuk mengantarmu. Bila engkau dapatkan orang yang dipercaya, beritahukan kepada saya.”
Setelah Rasulullah pergi, saudaraku menanyakan siapa laki-laki yang memberi isyarat kepadanya supaya menyapa Rasulullah. Dikatakan orang kepadanya, orang itu adalah Ali bin Abu Thalib.
Saudaraku tinggal di Madinah sebagai tawanan sampai datang orang yang dipercaya untuk membawanya ke Syam. Setelah orang itu datang, dia memberitahu kepada Rasulullah. Katanya, ‘Ya Rasulullah! Telah datang serombongan kaumku yang dipercaya dan mereka menyanggupi mengantarku. Rasulullah memberi saudaraku pakaian, onta untuk kendaraan dan belanja secukupnya. Maka berangkatlah dia beserta rombongan tersebut.
Kata ‘Adi, selanjutnya, “Kami selau mencari-cari berita tentang saudaraku itu dan menunggu kedatangannya. Kami hampir tidak percaya apa yang diberitakan kepada kami tentang Muhammad dengan segala kebaikan beliau terhadap saudaraku, di samping rasa tinggiku dari beliau.
Demi Allah! Pada suatu hari ketika aku sedang duduk di lingkungan keluargaku, tiba-tiba muncul seorang wanita dalam hawdaj(sekedup) menuju ke arah kami. Aku berkata, “Nah, itu anak perempuan Hatim!” Dugaan itu betul. Dia adalah saudaraku yang ditunggu-tunggu.
Setelah turun dari kendaraan, dia segera menghampiriku seraya berkata, “Anda tinggalkan kami, Anda dzalim! Istri dan anak-anak Anda, Anda bawa. Tetapi, bapak dan saudara perempuan Anda, serta yang lainnya Anda tinggalkan.”
Aku menjawab, “Hai Adikku! Janganlah berkata begiutu!” Aku berhasil menenangkannya. Setelah itu aku minta dia menceritakan pengalamannya. Selesai bercerita, aku berkata kepadanya, “Engkau wanita cerdik dan pintar. Bagaimana pendapatmu tentang orang yang bernama Muhammad itu?” Dia menjawab, “Menurut pendapatku, demi Allah sebaiknya Anda temui dia segera. Jika dia Nabi, maka yang paling dahulu mendatanginya beruntunglah dia. Dan jika dia raja, tidak ada hinanya Anda berada di sampingnya. Anda adalah seorang raja pula.”
‘Adi berkata, “Maka, aku siapkan perlengkapanku, lalu aku pergi ke Madinah menemui Rasulullah . Tanpa Iman dan Kitab, aku mendengar berita bahwa beliau pernah berkata, “Sesunguhnya saya berharap semoga ‘Adi bin Hatim masuk Islam di hadapan saya.” Aku masuk ke majlis Nabi , ketika beliau berada di dalam masjid. Aku memberi salam kepadanya. Mendengar salamku beliau bertanya, “Siapa itu?” Jawabku, “‘Adi bin Hatim !”
Rasululah berdiri menyongsongku. Beliau menggandeng tanganku lalu dibawanya ke rumahnya. Ketika beliau membawaku, tiba-tiba seorang wanita tua yang dhaif (lemah) sedang menggendong seorang bayi, menemuinya minta sedekah. Wanita tua itu berbicara dengan beliau mengatakan kesulitan hidupnya. Beliau berhenti mendengarkan bicara wanita itu sampaui selesai. Dan aku pun tegak menunggumu.
Aku berkata kepada diriku, “Demi Allah! Ini bukan kebiasaan raja-raja!” Kemudian beliau menggandeng tanganku dan berjalan bersama-sama denganku sampai ke rumah beliau. Tiba di rumah, beliau mengambil sebuah bantal kulit yang diisi dengan sabut kurma, lalu diberikannya kepadaku. Beliau berkata, “Silahkan Anda duduk di atas bantal ini!” Aku malu. Karena itu aku berkata, “Andalah yang pantas duduk di situ.” Jawab Rasulullah, “Anda lebih pantas.” Aku menuruti kata beliau. Lalu aku duduk di atas bantal. Nabi duduk di tanah, karena tidak ada lagi bantal lain selain yang satu itu. Aku berkata dalam diriku, “Demi Allah! Ini bukan kebiasaan raja-raja.” Kemudian, beliau menoleh kepadaku seraya berkata, “Hai Adi! Sudahkah Anda membanding-bandingkan agama yang Anda anut, antara Nasrani dengan Shabiah?” Jawabku, “Sudah.” Beliau bertanya lagi, “Bukankah Anda memungut pajak dari rakyat Anda seperempat penghasilan mereka. Bukankah itu tidak halal menurut agama Anda?” Jawabku, “Betul”. Sementara itu, aku telah yakin Muhammad ini sesungguhnya Nabi dan rasul Allah. kemudian, beliau berkata pula, “Hai ‘Adi! Agaknya Anda enggan masuk Islam karena pernyataan yang Anda lihat tentang kaum muslimin, mereka miskin. Demi Allah! Tidak lama lagi harta akan berlimpah-ruah di kalangan mereka, sehingga susah didapat orang yang mau menerima sedekah.
Atau barangkali Anda hai ‘Adi enggan masuk agama ini karena kaum muslimin sedikit jumlahnya sedangkan musuh-musuh mereka banyak. Demi Allah! Tidak lama lagi Anda akan mendengar berita seorang wanita datang dari Qadisiyah mengendarai onta ke Baitullah tanpa takut kepada siapa pun selain kepada Allah.
Atau mungkin juga Anda enggan masuk Islam karena ternyata raja-raja dan para Sultan terdiri dari orang-orang yang bukan Islam. Demi Allah! Tidak lama lagi Anda akan mendengar Istana Putih di negeri Babil (Iraq) direbut kaum muslimin dan kekayaan Kisra bin Hurmuz pindah menjadi milik mereka.
Aku bertanya kagum, “Kekayaan kisra bin Hurmuz?” Jawab beliau, “Ya kekayaan Kisra bin Hurmuz.” ‘Adi berkata, “Maka seketika itu juga aku mengucapkan dua kalimah syahadat di hadapan beliau dan aku menjadi muslim.”
‘Adi bin Hatim dikaruniai Allah usia yang panjang. ‘Adi bercerita lagi, “Dua perkara yang dikatakan Rasulullah sudah terbukti kebenarannya. Tinggal lagi yang ketiga. Namun, itu pasti terjadi. Aku telah menyaksikan seorang wanita berkendaraan onta datang dari Qadisiyah tanpa takut kepada siapa pun, sehingga dia sampai ke Baitullah. Dan aku adalah tentara berkuda yang pertama-tama menyerang masuk ke gudang perbendaharaan Kisra dan merampas harta kekayaannya. Aku bersumpah demi Allah, yang ketiga pasti akan terjadi pula.
Allah pasti membuktikan setiap perkataan Nabi-Nya yang mulia. Peristiwa ketiga terjadi pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul Aziz. Yakni, ketika kemakmuran merata di kalangan kaum muslimin. Ketika itu setiap orang mencari-cari dengan susah payah orang yang berhak menerima zakat. Tetapi, mereka tidak mendapatkan orang yang mau menerima, karena kaum muslimin hidup berkecukupan seluruhnya. Memang benar ucapan Rasulullah dan tepat pula sumpah yang diucapkan ‘Adi bin Hatim. Semoga Allah meridhainya.

Sumber: Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya

Abu Dzar Al Gifari (wafat 32 H/652 M)

Beliau ini adalah seorang sahabat yang masuk Islam dari sejak dini. Semasa Jahiliah beliau ini telah melarang minum khamar dan beliau tidak pernah ikut menyembah berhala oleh sebab itu beliau terkenal orang takwa. Dia selalu mengajak fakir miskin agar integrasi dengan orang kaya. Beliau ini mengikuti penaklukan Baitulmakdis bersama khalifah Umar bin Khatab. Rasulullah pernah bersabda tentang beliau “semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada Abu Zar, yang hidup menyendiri, mati menyendiri dan akan dibangkitkan sendiri pula”
Meski tak sepopuler sahabat-sahabat besar seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, namun sosoknya tak dapat dilepaskan sebagai tokoh yang paling giat menerapkan prinsip egaliter, kesetaraan dalam hal membelanjakan harta di jalan Allah. Ditentangnya semua orang yang cenderung memupuk harta untuk kepentingan pribadi, termasuk sahabat-sahabatnya sendiri.
Di masa Khalifah Utsman, pendapat kerasnya tentang gejala nepotisme dan penumpukan harta yang terjadi di kalangan Quraisy membuat ia dikecam banyak pihak. Sikap serupa ia tunjukkan kepada pemerintahan Muawiyah yang menjadi gubernur Syiria. Baginya, adalah kewajiban setiap muslim sejati menyalurkan kelebihan hartanya kepada saudara-saudaranya yang miskin.
Kepada Muawiyah yang membangun istana hijaunya atau Istana Al Khizra, abu Dzar menegur, “Kalau Anda membangun istana ini dengan uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya dengan uang Anda sendiri berarti Anda telah berlaku boros,” katanya. Muawiyah hanya terdiam mendengar teguran sahabatnya ini.
Dukungannya kepada semangat solidaritas sosial, kepedulian kalangan berpunya kepada kaum miskin, bukan hanya dalam ucapan. Seluruh sikap hidupnya ia tunjukkan kepada upaya penumbuhan semangat tersebut. Sikap wara’ dan zuhud selalu jadi perilaku hidupnya. Sikapnya inilah yang dipuji Rasulullah . Saat Rasul akan berpulang, Abu Dzar dipanggilnya. Sambil memeluk Abu Dzar, Nabi berkata “Abu Dzar akan tetap sama sepanjang hidupnya. Dia tidak akan berubah walaupun aku meninggal nanti.” Ucapan Nabi ternyata benar. Hingga akhir hayatnya kemudian, Abu Dzar tetap dalam kesederhanaan dan sangat shaleh.
Abu Dzar terlahir dengan nama Jundab. Dulu, ia adalah seorang perampok yang mewarisi karir orang tuanya selaku pimpinan besar perampok kafilah yang melaui jalur itu. Teror di wilayah sekitar jalur perdagangan itu selalu dilakukannya untuk mendapatkan harta dengan cara mudah. Hidupnya penuh dengan kejahatan dan kekerasan. Siapa pun di tanah Arab masa itu tahu, jalur perdagangan Mekkah-Syiria dikuasai perampok suku Ghiffar, sukunya.
Namun begitu, hati kecil Abu Dzar sesungguhnya tak menerimanya. Pergolakan batin membuatnya sangat menyesali perbuatan buruk tersebut. Akhirnya ia melepaskan semua jabatan dan kekayaan yang dimilikinya. Kaumnya pun diserunya untuk berhenti merampok. Tindakannya itu menimbulkan amarah sukunya. Abu Dzar akhirnya hijrah ke Nejed bersama ibu dan saudara laki-lakinya, Anis, dan menetap di kediaman pamannya.
Di tempat ini pun ia tidak lama. Ide-idenya yang revolusioner berkait dengan sikap hidup tak mengabaikan sesama dan mendistribusikan sebagian harta yang dimiliki, menimbulkan kebencian orang-orang sesuku. Ia pun diadukan kepada pamannya. Kembali Abu Dzar hijrah ke kampung dekat Mekkah. Di tempat inilah ia mendapat kabar dari Anis, tentang kehadiran Rasulullah dengan ajaran Islam.
Abu Dzar segera menemui Rasulullah . Melihat ajarannya yang sejalan dengan sikap hidupnya selama ini, akhirnya ia pun masuk Islam. Tanpa ragu-ragu, ia memproklamirkan keislamannya di depan Ka’bah, saat semua orang masih merahasiakan karena khawatir akan akibatnya. Tentu saja pernyataan ini menimbulkan amarah warga Mekkah. Ia pun dipukuli dan hampir saja terbunuh bila Abbas, paman Rasulullah , tidak melerai dan mengingatkan warga Mekkah bahwa Abu Dzar adalah warga Ghiffar yang akan menuntut balas jika mereka membunuhnya.
Sejak itu, Abu Dzar menghabiskan hari-harinya untuk mencapai kejayaan Islam. Tugas pertama yang diembankan Rasul di pundaknya adalah mengajarkan Islam di kalangan sukunya. Ternyata, bukan hanya ibu dan saudaranya, namun hampir seluruh kaumnya yang suka merampok pun akhirnya masuk Islam. Sikap hidupnya yang menentang keras segala bentuk penumpukkan harta, ia sampaikan juga kepada mereka. Namun, tak semua menyukai tindakannya itu. Di masa Khalifah Utsman, ia mendapat kecaman dari kaum Quraisy, termasuk salah satu tokohnya, Muawiyah bin Abu sufyan.
Suatu kali pernah Muawiyah yang kala itu menjadi Gubernur Syiria, mengatur perdebatan antara Abu Dzar dengan para ahli tentang sikap hidupnya. Tujuannya agar Abu Dzar membolehkan umat menumpuk kekayaannya. Namun, usaha itu tak menggoyahkan keteguhan pandangannya. Karena jengkel, Muawiyah melaporkan kepada Khalifah Utsman ihwal Abu Dzar. Khalifah segera memanggil Abu Dzar. Memenuhi panggilan Khalifah, Abu Dzar mendapat sambutan hangat di Madinah. Namun, ia pun tak kerasan tinggal di kota Nabi tersebut karena orang-orang kaya di kota itu pun tak menyukai seruannya utnuk pemerataan kekayaan. Akhirnya Utsman meminta Abu Dzar meninggalkan Madinah dan tinggal di Rabza, sebuah kampung kecil di jalur jalan kafilah Irak Madinah.
Di kampung inilah Abu Dzar wafat karena usia lanjut pada 8 Dzulhijjah 32 Hijriyah. Jasadnya terbaring di jalur kafilah itu hanya ditunggui jandanya. Hampir saja tak ada yang menguburkan sahabat Rasulullah ini bila tak ada kafilah haji yang menuju Mekkah. Kafilah haji itu segera berhenti dan menshalati jenazah dengan imam Abdullah ibn Masud, seorang sarjana Islam terkemuka masa itu.

—ooOoo–

Abu Thalhah An-Anshary (wafat..H)

Zaid bin Sahal an-Najjary alias Abu Thalhah mengetahui bahwa perempuan bernama Rumaisha” binti Milhan an-Najjariyah, alias Ummu Sulaim, hidup menjanda sejak suaminya meninggal. Abu Thalhah sangat gembira mengetahui Ummu Sulaim merupakan perempuan baik-baik, cerdas, dan memiliki sifat-sifat perempuan yang sempurna.
Abu Thalhah bertekad hendak melamar Ummu Sulaim segera, sebelum laki-laki lain mendahuluinya. Karena, Abu Thalhah tahu, banyak laki-laki lain yang menginginkan Ummu Sulaim menjadi istrinya. Namun begitu, Abu Thalhah percaya tidak seorang pun laki-laki lain yang akan berkenan di hati Ummu Sulaim selain Abu Thalhah sendiri. Abu Thalhah laki-laki sempurna, menduduki status sosial tinggi, dan kaya raya. Di samping itu, dia terkenal sebagai penunggang kuda yang cekatan di kalangan Bani Najjar, dan pemanah jitu dari Yatsrib yang harus diperhitungkan.
Abu Thalhah pergi ke rumah Ummu Sulaim. Dalam perjalan ia ingat, Ummu Sulaim pernah mendengar dakwah seorang dai yang datang dari Mekah, Mushab bin Umair. Lalu, Ummu Sulaim beriman dengan Muhammad dan menganut agama Islam. Tetapi, stelah berpikir demikian, dia berkata kepda dirinya, “Hal ini tidak menjadi halangan. Bukankah suaminya yang meninggal menganut agama nenek moyangnya? Bahkan, suaminya itu menentang Muhammad dan dakwahnya.
Abu Thalhah tiba di rumah Ummu Sulaim. Dia minta izin untuk masuk, maka diizinkan oleh Ummu Sulaim. Putra Ummu Sulaim, Anas, hadir dalam pertemuan mereka itu. Abu Thalhah menyampaikan maksud kedatangannya, yaitu hendak melamar Ummu Sulaim menjadi istrinya. Ternyata Ummu Sulaim menolak lamaran Abu Thalhah.
Kata Ummu Sulaim, “Sesungguhnya laki-laki seperti Anda, wahai Abu Thalhah, tidak pantas saya tolak lamarannya. Tetapi aku tidak akan kawin dengan Anda, karena Anda kafir.”
Abu Thalhah mengira Ummu Sulaim hanya sekedar mencari-cari alasan. Mungkin di hati Ummu Sulaim telah berkenan laki-laki lain yang lebih kaya dan lebih mulia daripadanya.
Kata Abu Thalhah , “Demi Allah! Apakah yang sesungguhnyayang menghalangi engkau untuk menerima lamaranku, hai Ummu Sulaim?”
Jawab Ummu Sulaim, “Tidak ada, selain itu.”
Tanya Abu Thalhah, “Apakah yang kuning ataukah yang putih…? Emas atau perak?”
Ummu Sulaim balik bertanya, “Emas atau perak…?”
“Ya, emas atau perak?” jawab Abu Thalhah menegaskan.
Kata Ummu Sulaim, “Kusaksikan kepada Anda, hai Abu Talhah, kusaksikan kepada Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya jika engkau Islam, aku rela Anda menjadi suamiku tanpa emas dan perak, cukuplah emas itu menjadi mahar bagiku.”
Mendengar ucapan dari Ummu Sulaim tersebut, Abu Thalhah teringat akan patung sembahannya yang terbuat dari kayu bagus dan mahal. Patung itu khusus dibuatnya untuk pribadinya, seperti kebiasaan bangan-bangan kaumnya, Bani Najjar.
Ummu Sulaim telah bertekad hendak menempa besi itu selagi masih panas (mengislamkan Abu Talhah). Sementara Abu Thalhah terbengong-bengong melihat berhala sesembahannya, Ummu Sulaim melanjutkan bicaranya, “Tidak tahukah Anda, wahai Abu Thalhah, patung yang Anda sembah itu terbuat dari kayu yang tumbuh di bumi?” Tanya Ummu Sulaim.
“Ya, Betul!” jawab Abu Thalhah.
“Apakah Anda tidak malu menyembah sepotong kayu menjadi Tuhan, sementara potongannya yang lain Anda jadikan kayu api untuk memasak? Jika Anda masuk Islam, hai Abu Thalhah, aku rela engkau menjadi suamiku. Aku tidak akan meminta mahar darimu selain itu,” kata Ummu Sulaim.
“Siapakah yang harus mengislamkanku?” Tanya Abu Thalhah.
“Aku bisa,” jawab Ummu Sulaim.
“Bagaimana caranya?” tanya Abu Thalhah.
“Tidak sulit. Ucapkan saja kalimat syahadah! Saksikan tidak ada ilah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad Rasulullah. Sesudah itu pulang ke rumahmu, hancurkan berhala sembahanmu, lalu buang!” kata Ummu Sulaim menjelaskan.
Abu Thalhah tampak gembira. Lalu, dia mengucapkan dua kalimat syahadah. Sesudah itu Abu Thalhah menikah dengan Ummu Sulaim. Mendengar kabar Abu Thalhah menikah dengan Ummu Sulaim dengan maharnya Islam, maka kaum muslimin berkata, “Belum pernah kami mendengar mahar kawin yang lebih mahal daripada mahar kawin Ummu Sulaim. Maharnya ialah masuk Islam.
Sejak hari itu Abu Thalhah berada di bawah naungan bendera Islam. Segala daya yang ada padanya dikorbankan untuk berkhidmat kepada Islam.
Abu Thalhah dan istrinya, Ummu Sulaim, termasuk kelompok tujuh puluh yang bersumpah setia (baiat) dengan Rasulullah di Aqabah. Abu Thalhah ditunjuk Rasulullah menjadi kepala salah satu regu dari dua belas regu yang dibentuk malam itu atas perintah Rasulullah untuk mengislamkan Yatsrib.
Dia ikut berperang bersama Rasulullah dalam setiap peperangan yang dipimpin beliau. Dalam peperangan itu, tidak urung pula Abu Thalhah mendapatkan cobaan-cobaan yang mulia. Tetapi, cobaan yang paling besar diderita Abu Thalhah ialah ketika berperang bersama Rasulullah dalam Perang Uhud. Dengarkanlah kisahnya!
Abu Thalhah mencintai Rasulullah sepenuh hati, sehingga perasaan cintanya itu mengalir ke segenap pembuluh darahnya. Dia tidak pernah merasa jemu melihat wajah yang mulia itu, dan tidak pernah merasa bosan mendengar hadis-hadis beliau yang selalu terasa manis baginya. Apabila Rasulullah berdua saja dengannya, dia bersimpuh di hadapan beliau sambil berkata, “Inilah dariku, kujadikan tebusan bagi diri Anda dan wajahku pengganti wajah Anda.”
Ketika terjadi Perang Uhud, barisan kaum muslimin terpecah-belah. Mereka lari kocar-kacir dari samping Rasulullah . Oleh karena itu, kaum muslimin sempat menerobos pertahanan mereka sampai ke dekat beliau. Musuh berhasil menciderai beliau, mematahkan gigi, melukai dahi, dan bibir beliau, sehingga darah mengalir membasahi mukanya. Lalu kaum musyrikin menyiarkan isu Rasulullah telah wafat.
Mendengar teriakan Rasulullah itu, kaum muslimin menjadi kecut, lalu lari porak-poranda memberikan punggung mereka kepada musuh-musuh Allah. Hanya beberapa orang saja tentar muslimin yang tinggal mengawal dan melindungi Rasulullah. Di antara mereka adalah Abu Thalhah yang berdiri paling depan.
Abu Thalhah berada di hadapan Rasulullah bagaikan sebuah bukit berdiri dengan kokohnya melindungi beliau. Rasulullah berdiri di belakangnya, terlindung dari panah dan lembing musuh oleh tubuh Abu Thalhah. Abu Thalhah menarik tali panahnya, kemudian melepaskan tali anak panah tepat mengenai sasaran tanpa pernah gagal. Dia memanah musuh satu demi satu. Tiba-tiba Rasulullah mendongakkan kepala melihat siapa sasaran panah Abu Thalhah.
Abu Thalhah mundur menghampiri beliau, karena khawatir beliau terkena panah musuh. “Demi Allah, janganlah Rasulullah mendongakkan kepala melihat mereka, nanti terkena panah mereka. Biarkan leher dan dadaku sejajar dengan leher dan dada Rasulullah . Jadikan aku menjadi perisai Anda,” ujarnya mantap.
Seorang prajurit muslim tiba-tiba lari ke dekat Rasulullah sambil membawa kantong anak panah. Rasulullah memanggil prajurit itu. Kata beliau, “Berikan anak panahmu kepada Abu Thalhah. Jangan dibawa lari!” Abu Thalhah senantiasa melindungi Rasulullah sehingga tiga batang busur panah patah olehnya, dan sejumlah prajurit musyrikin tewas dipanahnya.
Allah menyelamatkan dan memelihara Nabi-Nya yang selalu berada dibawah pengawasan-Nya sampai pertemuan usai.
Abu Thalhah sangat pemurah dengan nyawanya berperang fisabilillah, namun lebih pemurah lagi mengorbankan hartanya untuk agama Allah. Abu Thalhah mempunyai sebidang kebun kurma dan anggur yang amat luas. Tidak ada kebun di Yatsrib seluas dan sebagus kebun Abu Thalhah. Pohon-pohonnya rimbun, buah-buahnya subur, dan airnya manis.
Pada suatu hari ketika Abu Thalhah shalat di bawah naungan sebatang nan rindang, pikirannya terganggu oleh siulan burung berwarna hijau, berparuh merah, dan kedua kaikinya indah berwarna. Burung itu melompat dari dahan ke dahan dengan suka citanya, bersiul-siul dan menari-nari. Abu Thalhah kagum melihat burung itu. Dia membaca tasbih, tetapi pikirannya tidak lepas dari burung itu.
Ketika menyadari bahwa ia sedang shalat, dia lupa sudah berapa rakaat shalatnya. Dua atau tiga rakaatkah dia tak ingat. Selesai shalat dia pergi menemui Rasulullah dan menceritakan kepada beliau peristiwa yang baru dialaminya dalam shalatnya. Diceritakannya pula kepada beliau pohon-pohon nan rindang dan burung yang bersiul sambil menari-nari ketika dia sedang shalat.
Kemudian katanya, “Saksikan wahai Rasulullah! Kebun itu aku sedekahkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Pergunakanlah sesuai kehendak Allah dan Rasul-Nya.”
Abu Thalhah sering berpuasa dan berperang sepanjang hidupnya. Bahkan, dia meninggal ketika sedang berpuasa dan berperang fisabilillah.
Pada zaman khalifah Utsman bin Affan, kaum muslimin bertekad hendak berperang di lautan. Abu Thalhah bersiap-siap untuk turut dalam peperangan itu bersama-sama dengan tentara muslimin.
Kata anak-anaknya, “Wahai Bapak kami!” Bapak sudah tua. Bapak sudah turut berperang bersama-sama Rasulullah , Abu Bakar, dan Umar bin Khattab. Kini Bapak harus beristirahat. Biarlah kami berperang untuk Bapak.”
Jawab Abu Thalhah, “Bukankah Allah Azza wa Jalla telah berfirman, yang artinya, ”Berangkatlah kamu dalam keadaan senang dan susah, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu menyadari.” (At-Taubah: 41). Firman Allah itu memerintahkan kita semua, baik tua maupun muda. Allah tidak membatasi usia kita untuk berperang.”
Abu Thalhah menolak permintaan anak-anaknya untuk tinggal di rumah, dan bersikeras untuk ikut berperang.
Ketika Abu Talhah yang sudah lanjut usia itu berada di atas kapal bersama-sama dengan tentara muslimin di tengah lautan, dia jatuh sakit, lalu meninggal di kapal. Kaum muslimin melihat-lihat daratan, mencari tempat memakamkan Abu Thalhah. Tetapi, enam hari setelah wafatnya, barulah mereka bertemu dengan daratan. Selama itu jenazah Abu Thalhah disemayamkan di tengah-tengah mereka di atas kapal tanpa berubah sedikit pun jua. Bahkan, dia layaknya seperti orang yang tidur nyenyak saja.

Sumber: Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya

Abu Bakar bin Abi Syaibah (Wafat 235H)

Namanya sebenarnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al Kufy, seorang hafidh yang terkenal. Ia menerima hadist dari al-Ah...

Total Tayangan

Translate