Dia
adalah putra sulung Ali bin Abu Talib dengan Fatimah Postur dan paras
mukanya mirip dengan Rasulullah. Dia diangkat sebagai khalifah
sepeninggal ayahnya. Dia lebih mengutamakan tidak berperang, menghindari
pertumpahan darah sesama muslim, untuk itu dia menyerahkan kursi ke
khalifahan kepada Muawiah sampai dia meninggal dunia di Madinah.
Riwayat Hidup Al-Hasan dan Wafatnya
Oleh: Ustadz Muhammad Umar Sewed
Beliau
dilahirkan pada bulan Ramadlan tahun ke-3 Hijriyah menurut kebanyakan
para ulama sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar. (lihat Fathul Bari juz VII, hal. 464)
Setelah ayah beliau Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu terbunuh, sebagian kaum muslimin membai’at beliau, tetapi bukan karena wasiat dari Ali. Berkata Syaikh Muhibbudin al-Khatib bahwa diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya juz
ke-1 hal. 130 -setelah disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib akan
terbunuh- mereka berkata kepadanya: “Tentukanlah penggantimu bagi kami.”
Maka beliau menjawab: “Tidak, tetapi aku tinggalkan kalian pada apa
yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam….” Dan disebutkan oleh beliau (Muhibuddin Al-Khatib) beberapa hadits dalam masalah ini. (Lihat Ta’liq kitab Al-’Awashim Minal Qawashim, Ibnul Arabi, hal. 198-199).
Tetapi setelah itu Al-Hasan menyerahkan ketaatannya kepada Mu’awiyah
untuk mencegah pertumpahan darah di kalangan kaum muslimin.
Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab As-Shulh dari
Imam Al-Hasan Al-Bashri, dia berkata: -Demi Allah- Al-Hasan bin Ali
telah menghadap Mu’awiyah beserta beberapa kelompok pasukan berkuda
ibarat gunung, maka berkatalah ‘Amr bin ‘Ash: “Sungguh aku berpendapat
bahwa pasukan-pasukan tersebut tidak akan berpaling melainkan setelah
membunuh pasukan yang sebanding dengannya”. Berkata kepadanya Mu’awiyah
-dan dia demi Allah yang terbaik di antara dua orang-: “Wahai ‘Amr! Jika
mereka saling membunuh, maka siapa yang akan memegang urusan manusia?
Siapa yang akan menjaga wanita-wanita mereka? Dan siapa yang akan
menguasai tanah mereka?” Maka ia mengutus kepadanya (Al-Hasan) dua
orang utusan dari Quraisy dari Bani ‘Abdi Syams Abdullah bin Samurah dan
Abdullah bin Amir bin Kuraiz, ia berkata: “Pergilah kalian berdua
kepada orang tersebut! Bujuklah dan ucapkan kepadanya serta mintalah
kepadanya (perdamaian -peny.)” Maka keduanya mendatanginya, berbicara
dengannya dan memohon padanya…) kemudian di akhir hadits Al-Hasan bin
Ali meriwayatkan dari Abi Bakrah bahwa dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di
atas mimbar dan Hasan bin Ali di sampingnya beliau sesaat menghadap
kepada manusia dan sesaat melihat kepadanya seraya berkata:
إِنَّ
ابْنِى هَذَا سَيِّدٌ، وَلَعَلَّ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ
فِئَتَيْنِ عَظِيْمَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ. (رواه البخارى مع الفتح
۷/٦٤۷ رقم ٢۷٠٤)
Sesungguhnya
anakku ini adalah sayyid, semoga Allah akan mendamaikan dengannya
antara dua kelompok besar dari kalangan kaum muslimin. (HR. Bukhari dengan Fathul Bari, juz V, hal. 647, hadits no. 2704)
Berkata Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah: “….Al-Husein
menyalahkan saudaranya Al-Hasan atas pendapat ini, tetapi beliau tidak
mau menerimanya. Dan kebenaran ada pada Al-Hasan sebagaimana dalil yang
akan datang….” (lihat AlBidayah wan Nihayah, juz VIII hal. 17). Yang dimaksud oleh beliau adalah dalil yang sudah kita sebutkan di atas yang diriwayatkan dari Abi Bakrah radhiyallahu ‘anhu.
Itulah keutamaan Al-Hasan yang paling besar yang dipuji oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka bersatulah kaum muslimin hingga tahun tersebut terkenal dengan tahun jama’ah.
Yang mengherankan justru kaum Syi’ah Rafidlah menyesali kejadian ini dan menjuluki Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu sebagai ‘pencoreng wajah-wajah kaum mukminin’. Sebagian
mereka menganggapnya fasik sedangkan sebagian lagi bahkan
mengkafirkannya karena hal itu. Berkata Syaikh Muhibbudin Al-Khatib
mengomentari ucapan Rafidlah ini sebagai berikut: “Padahal termasuk dari
dasar-dasar keimanan Rafidlah -bahkan dasar keimanan yang paling utama-
adalah keyakinan mereka bahwa Al-Hasan, ayah, saudara dan sembilan
keturunannya adalah maksum. Dan dari konsekwensi kemaksuman mereka,
bahwa mereka tidak akan berbuat kesalahan. Dan setiap apa yang
bersumber dari mereka berarti hak yang tidak akan terbatalkan.
Sedangkan apa yang bersumber dari Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma yang paling besar adalah pembai’atan terhadap amiril mukminin Mu’awiyah,
maka mestinya mereka pun masuk dalam bai’at ini dan beriman bahwa ini
adalah hak karena ini adalah amalan seorang yang maksum menurut mereka. (Lihat catatan kaki kitab Al-Awashim minal Qawashim hal. 197-198).
Tetapi
kenyataannya mereka menyelisihi imam mereka sendiri yang maksum bahkan
menyalahkannya, menfasikkannya, atau mengkafirkannya. Sehingga terdapat dua kemungkinan:
Pertama, mereka berdusta atas ucapan mereka tentang kemaksuman dua belas imam, maka hancurlah agama mereka (agama Itsna ‘Asyariyyah).
Kedua, mereka
meyakini kemaksuman Al-Hasan, maka mereka adalah para pengkhianat yang
menyelisihi imam yang maksum dengan permusuhan dan kesombongan serta
kekufuran. Dan tidak ada kemungkinan yang ketiga.
Adapun Ahlus Sunnah yang beriman dengan kenabian “kakek Al-Hasan” shallallahu ‘alaihi wa sallam berpendapat bahwa perdamaian dan bai’at beliau kepada Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu adalah salah satu bukti kenabian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan amal terbesar Al-Hasan serta mereka bergembira dengannya kemudian menganggap AlHasan yang memutihkan wajah kaum mukminin.
Demikianlah khilafah Mu’awiyah berlangsung dengan persatuan kaum muslimin karena Allah Subhanahu wa Ta ‘ala dengan sebab pengorbanan Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu yang besar yang dia -demi Allah- lebih berhak terhadap khilafah daripada Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakar Ibnul Arabi dan para ulama. Semoga Allah meridlai seluruh para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada tahun ke 10 masa khilafah Mu’awiyah meninggallah Al-Hasan radhiyallahu `anhu pada umur 47 tahun. Dan ini yang dianggap shahih oleh Ibnu Katsir, sedangkan yang masyhur adalah 49 tahun. Wallahu A’lam bish-Shawab. Ketika beliau diperiksa oleh dokter, maka dia mengatakan bahwa Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu meninggal
karena racun yang memutuskan ususnya. Namun tidak diketahui dalam
sejarah siapa yang membunuhnya. Adapun ucapan Rafidlah yang menuduh
pihak Mu’awiyah sebagai pembunuhnya sama sekali tidak dapat diterima
sebagaimana dikatakan oleh Ibnul ‘Arabi dengan ucapannya: “Kami
mengatakan bahwa hal ini tidak mungkin karena dua hal: pertama, bahwa
dia (Mu’awiyah) sama sekali tidak mengkhawatirkan kejelekan apapun dari
Al-Hasan karena beliau telah menyerahkan urusannya kepada Mu’awiyah.
Yang kedua, hal ini adalah perkara ghaib yang tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Allah, maka bagaimana mungkin menuduhkannya kepada
salah seorang makhluk-Nya tanpa bukti pada zaman yang berjauhan yang
kita tidak dapat mudah percaya dengan nukilan seorang penukil dari
kalangan pengikut hawa nafsu (Syi’ ah). Dalam keadaan fitnah dan
Ashabiyyah, setiap orang akan menuduh lawannya dengan tuduhan yang tidak
semestinya, maka tidak mungkin diterima kecuali dari seorang yang
bersih dan tidak didengar darinya kecuali keadilan.” (Lihat Al-Awashim minal Qawashim hal. 213-214)
Demikian
pula dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahwa tuduhan Syi’ah
tersebut tidak benar dan tidak didatangkan dengan bukti syar’i serta
tidak pula ada persaksian yang dapat diterima dan tidak ada pula
penukilan yang tegas tentangnya. (Lihat Minhajus Sunnah juz 2 hal. 225)
Semoga
Allah merahmati Al-Hasan bin Ali dan meridlainya dan melipatgandakan
pahala amal dan jasa-jasanya. Dan semoga Allah menerimanya sebagai
syahid. Amiin.