Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam tiba di pinggir kota Madinah sesudah lama
menanggung luka. Penduduk Madinah berdesak-desakan di jalan-jalan dan di
loteng-loteng rumah, menyambut kedatangan beliau, sambil mengucapkan
tahlil dan takbir, menunjukkan kegembiraan mereka bertemu dengan
Rasulullah dan sahabatnya, Abu Bakar Shiddiq. Gadis-gadis remaja keluar
membawa rebana, dengan pandangan mata penuh kerinduan sambil menyanyikan
lagu merdu:
Telah muncul purnama raya di tengah-tengah kita,
Telah muncul purnama raya di tengah-tengah kita,
Dari celah-celah gunung terlewati,
Kami wajib bersyukur,
Atas da’wahnya menyembah Allah.
Kami wajib bersyukur,
Atas da’wahnya menyembah Allah.
Arak-arakan
mengiringi Rasulullah yang berjalan perlahan-lahan di antara barisan
orang-orang banyak, dikelilingi hati dan penuh rindu serta curahan air
mata bahagia.
Tetapi
sayang, ‘Uqbah bin ‘Amir Al Juhani tidak menyaksikan pawai bahagia
menyambut kedatangan Rasulullah tersebut. Dia tidak beruntung datang
bersama orang banyak, karena ketika itu dia pergi ke gurun pasir
mengembalakan domba-dombanya. Dia takut domba-domba itu akan mati
kehausan dan kelaparan, karena hanya domba-domba itulah yang
dimilikinya, sebagai harta kekayaan dunia baginya.
Tetapi
suasana gembira-ria itu cepat menyusup ke segenap pelosok Madinah Al
Munawwarah, memenuhi lembah dan bukit, jauh maupun dekat. Dan berita
suka-cita itu sampai pula kepada ‘Uqbah bin ‘Amir Al Juhani yang sedang
menggembalakan domba-dombanya jauh di gurun pasir. Marilah kita
dengarkan ‘Uqbah bin ‘Amir Al Juhani mengisahkan pertemuannya dengan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam.:
Ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. tiba di Madinah, aku sedang
menggembalakan domba-dombaku. Setelah mendengar kedatangan beliau,
kutinggalkan domba-domba itu, dan segera berangkat menemuinya tanpa
menunggu. Setelah bertemu beliau, aku berkata padanya, “Berkenankan Tuan
membai’at saya, ya Rasulullah?”
“Siapakah Anda?” tanya beliau.
Jawabku, “Saya ‘Uqbah bin ‘Amir Al Juhani!”
Tanya Rasulullah, “Bai’at bagaimana yang anda kehendaki. Bai’at Arabi atau bai’at Hijrah?”
Jawabku, “Saya ingin dibai’at secara Hijrah.”
Jawabku, “Saya ‘Uqbah bin ‘Amir Al Juhani!”
Tanya Rasulullah, “Bai’at bagaimana yang anda kehendaki. Bai’at Arabi atau bai’at Hijrah?”
Jawabku, “Saya ingin dibai’at secara Hijrah.”
Lalu
Rasulullah membai’atku seperti bai’at kaum muhajirin. Sesudah itu aku
bermalam di tempat beliau. Kemudian aku kembali menggembalakan domba.
Kami
berjumlah dua belas penggembala yang telah masuk Islam. Kami bermukim
jauh dari keramaian kota Madinah, menggembalakan domba di gurun-gurun
dan lembah. Teman-teman berkata sesamanya, “Tidak baik bila kita tidak
mendatangi Rasulullah setiap hari, untuk belajar agama dan mendengarkan
wahyu Allah dari padanya. Setiap hari seorang diantara kita harus pergi
ke kota menemui beliau, dan kita yang tinggal harus bertanggung jawab
menggembalakan dombanya.”
“Baiklah!”
jawabku. “Pergilah kalian mendatangi beliau bergantian satu demi satu.
Siapa yang mendapat giliran pergi, biarlah aku yang menggembalakan
dombanya. Aku sangat kuatir meninggalkan anak-anak dombaku kepada
siapapun.”
Kawan-kawan
pergi satu demi satu secara bergantian mendatangi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam. Domba yang ditinggalkannya,
dipercayakannya kepadaku untuk kugembalakan. Bila dia pulang, aku
belajar kepadanya pelajaran yang diperolehnya dari Rasulullah. Tetapi
tidak lama kemudian aku menyadari kerugianku, dan berkata dalam hati,
“Persetan! Aku tidak peduli domba-domba ini makan atau tidak. Dengan
menggembalakan aku terasa sangat merugi, karena tidak dapat berdampingan
dengan Rasulullah, menyimak pelajaran langsung dari mulut beliau tanpa
perantara. Lalau kutinggalkan domba-dombaku, dan kau berangkat ke
Madinah, untuk tinggal dan menetap di masjid, disamping Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam.
Ketika mengambil
keputusan yang menentukan itu, tidak pernah terlintas dalam pikiran
‘Uqbah, bahwa pada suatu waktu dia akan menjadi seorang ‘alim besar di
antara para sahabat yang ulama-ulama besar; dia akan menjadi salah
seorang Qari (ahli baca Al Qur’an) di antara para qari terkemuka; dia
akan menjadi seorang panglima perang di antara para panglima dan
penakluk yang terpandang; dia akan menjadi seorang pemimpin di antara
para pemimpin di antara para pemimpin yang pantas diperhitungkan. Semua
itu tidak pernah terbayang baginya walau agak secuil pun. Bahkan dia
hanya membayangkan domba-domba gembalaannya, apakah domba-domba itu
cukup terpelihara atau tidak sepeninggalnya. Dia berangkat ke pusat
da’wah agamaAllah, untuk berdampingan dengan Rasulullah, guna
mempelajari agama kepada Rasul yang mulia. Dia tidak pernah menyadari
akan menjadi tentara pelopor yang bakal membebaskan ibu kota dunia waktu
itu, yaitu Damaskus, dan bakal mendiami istana di sebuah taman nan
indah menghijau dekat Bab Tuma.
Dia
juga tidak pernah membayangkan sedikit juapun akan menjadi seorang
panglima, penakluk permata dunia yang indah subur, yaitu Mesir; akan
menjadi penguasa negeri itu, dan akan membangun sebuah istana untuknya.
Semua itu hanya tersimpan di alam gaib; tidak ada yang mengetahuinya
kecuali Allah Subhanahu wa ta’ala.
‘Uqbah
bin ‘Amir Al Juhani berdampingan dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam. bagaikan bayang-bayang dengan orangnya. Dia memegang tali
kendali bighal Rasulullah dan menuntunnya kemana beliau pergi. Dia
berjalan di hadapan setiap beliau bepergian. Terkadang-kadang Rasulullah
memboncengnya di belakang, sehingga ‘Uqbah digelari para sahabat “Radif
Rasulullah” (boncengan Rasulullah). bahkan pernah juga Rasulullah turun
dari bighal, dan menyilakan ‘Uqbah mengendarai bighal. Sedangkan
Rasulullah berjalan kaki di sampingnya.
‘Uqbah
bercerita: Pada suatu ketika aku menuntun bighal Rasulullah di hutan
semak Madinah. Beliau bertanya kepadaku, “Hai ‘Uqbah! Mengapa engkau
tidak mau naik kendaraan?!”
Aku sebenarnya hendak menjawab, tidak. Tetapi aku takut durhaka kepada Rasulullah. Lalu aku menjawab, “Baiklah, ya Rasulullah!”
Aku sebenarnya hendak menjawab, tidak. Tetapi aku takut durhaka kepada Rasulullah. Lalu aku menjawab, “Baiklah, ya Rasulullah!”
Rasulullah
turun dari kendaraan, dan aku naik menggantikan, untuk memenuhi
keinginan beliau. Sedangkan beliau berjalan kaki. Tidak lama kemudian
aku turun, dan Rasulullah naik kendaraan. Beliau bertanya kepadaku,
“Hai, ‘Uqbah! Sukakah engkau aku ajarkan kepadamu dua buah surat yang
tidak ada bandingannya?”
“Tentu suka, ya Rasulullah!” jawabku.
Lalu beliau membacakan kepadaku surat “Al Falaq” dan “An Naas”.
Setelah waktu shalat tiba, beliau membaca kedua surat tersebut dalam shalat. Kata beliau, “Bacalah kedua surat itu setiap engkau hendak tidur, dan ketika bagun dari tidur.”
Lalu beliau membacakan kepadaku surat “Al Falaq” dan “An Naas”.
Setelah waktu shalat tiba, beliau membaca kedua surat tersebut dalam shalat. Kata beliau, “Bacalah kedua surat itu setiap engkau hendak tidur, dan ketika bagun dari tidur.”
Kata
‘Uqbah melanjutkan ceritanya, “Sejak itu, aku senantiasa membaca kedua
surat itu sepanjang hidupku, sesuai dengan petunjuk Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam.”
‘Uqbah
bin ‘Amir Al Juhani memusatkan perhatiannya kepada keda bidang
terpenting, yaitu bidang ilmu dan jihad. Diterjuninya kedua bidang itu
dengan seluruh jiwa dan raganya. Bahkan dia tidak segan-segan
mengorbankan segalanya dan tanpa mengenal lelah untuk memperoleh
keduanya.
Dalam
bidang ilmu dia langsung mereguknya dari sumber yang murni dan suci,
yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. sehingga ia berhasil
menjadi ahli baca Al Qur’an (pandai membaca dengan benar dan fashih,
hafal, faham makna dan tujuannya), menjadi ahli hadits, ahli fiqh, ahli
fara-idh, di samping dia menjadi seorang pujangga/sastrawan, fashih, dan
penyair. Dia memiliki suara terindah di antara para ahli baca Al
Qur’an. Bila hari sudah jauh larut malam, suasana sudah tenang, sunyi
dan sepi, maka diambillah Kitabullah, lalu dibacanya ayat-ayat suci yang
maknanya jelas dan gamblang. Hati para sahabat tergugah dan tunduk bila
mendengarkan bacaannya yang merdu menggetarkan. Sehingga air mata
mereka bercucuran karena takut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
‘Umar bun Khaththab pernah memanggil ‘Uqbah, lalu katanya, “Hai, ‘Uqbah! Tolong bacakan kepadaku ayat-ayat Al Qur’an!”
“Baik, ya Amiral Mu’minin!” jawab ‘Uqbah patuh.
Maka dibacanyalah Al Qur’an. ‘Umar menangis bercucuran air mata, sehingga membasahi jenggotnya.
Maka dibacanyalah Al Qur’an. ‘Umar menangis bercucuran air mata, sehingga membasahi jenggotnya.
‘Uqbah
meninggalkan sebuah mushaf hasil karya tangannya sendiri. Mushhaf
tersebut belum lama ini masih terdapat di Mesir, pada sebuah Universitas
(Jami’ah) yang terkenal dengan nama “Jami’ah ‘Uqbah Ibnu ‘Amir”
(Universitas ‘Uqbah Ibnu ‘Amir). Di akhir mushhaf tersebut tercantum
kalimat, “Katabahu ‘Uqbah bin ‘Amir Al Juhani” (Ditulis oleh ‘Uqbah bin
‘Amir Al Juhani). Mushhaf tersebut adalah yang terkuno di antara segala
mushhaf yang dapat ditemukan, tetapi kita lalai memeliharanya.
Dalam
bidang jihad, dia turut berperang bersama-sama Rasulullah dalam
peperangan Uhud dan peperangan-peperangan sesudah itu. Dia seorang ahli
strategi militer terkemuka yang sanggup mengacaukan pertahanan musuh
dalam banyak peperangan. Dalam peperangan menaklukan Damsyiq dia
mendapat cedera, luka parah. Maka Panglima Abu ‘Ubaidah mengirimnya ke
Madinah sebagai kurir istimewa, untuk menyampikan laporan kepada
Khalifah ‘Umar. Delapan hari delapan malam (Jum’at ke Jum’at) dia
berpacu tanpa henti, sehingga Khalifah ‘Umar beroleh berita gembira atas
kemenangan-kemenangan yang dicapai kaum muslimin.
Kemudian
dia diangkat menjadi perwira dalam ketentaraan kaum muslimin untuk
menaklukkan Mesir. Lalu Amirul Mukminin – ketika itu Mu’awiyah bin Abu
Sufyan – mengangkatnya menjadi Gubernur di negeri itu. Setelah memegang
jabatan itu selama tiga tahun, Mu’awiyah menugaskannya dalam peperangan
menaklukkan Rodhes di Laut Tengah. Karena seringnya ‘Uqbah bin ‘Amir
turut berperang, menyebabkan dia banyak menyimpan kisah-kisah nyata
pengalamannya berperang, yang diceritakannya kepada kaum muslimin. Dia
adalah seorang pemanah jitu. Bila dia ingin bermain-main atau berolah
raga, maka dia melakukan olah raga memanah sambil berlatih.
Tatkala
‘Uqbah sakit mendekati ajal, dia berada di Mesir. Dikumpulkannya
anak-anaknya lalu dia berwasiat: “Hai anak-anakku! Aku larang kalian
melakukan tiga perkara. Maka jauhilah ketiga-tiganya. Pertama: Jangan
menerima hadits Rasulullah kecuali dari orang-orang yang tsiqqah
(dipercaya). Kedua: Jangan berhutang, sekalipun pakaian kalian
compang-camping. Ketiga: Jangan menulis sya’ir (sajak) sehingga
menyebabkan hati kalian lalai terhadap Al Qur’an.”
Dia
dimakamkan di kaki bukit Al Muqaththam. Setelah mereka periksa
peninggalannya, antara lain terdapat tujuh puluh tujuh busur panah.
Setiap busur mempunyai sebuah tanduk (sebagai tempat anak panah). ‘Uqbah
berwasiat, supaya busur-busur panah tersebut dimanfaatkan oleh kaum
muslimin dalam jihad fi sabilillah.
Semoga
Allah melimpahkan cahaya ke wajah ‘Uqbah, seorang qari. ‘alim, dan
panglima perang. Dan semoga Allah memberinya pahala dengan pahala yang
sangat baik. Amin!!!
Sumber: Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya
No comments:
Post a Comment