TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA JANGAN LUPA LIKE, FOLLOW KOMENTAR DAN SHARE

Nafi’ bin Hurmuz (wafat 117 H)


Nafi’ lengkapnya bernama Nafi’ bin Hurmuz (ada yang mengatakan bin Kawus), seorang ahli fiqh. Nama julukannya adalah “Abu Abdillah al-Madini”. Abdullah bin Umar menemukannya dalam suatu peperangan ia senang akan kegemaran Nafi’ terhadap ilmu dan selalu menyiapkan diri dengan baik untuk meriwayatkan hadits. Ia berkata :“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada kita dengan Nafi”.
Nafi’ benar benar ikhlas dalam berkhidmat kepada Ibnu Umar majikannya selama 30 tahun. Sebagian ulama berpendapat bahwa Nafi’ berasal dari Naisabur, sedangkan ulama lain mengatakan ia dari Kabul. Adapun menurut Yahya bin Ma’in:” Nafi adalah seorang Dalam yang gagap bicara”.
Imam Malik bin Anas termasuk murid Nafi’ bahkan muridnya yang paling tetap, menurut an-Nasa’I, mengenai gurunya ini. Imam Malik berkata:”Apabila aku mendengan hadits dari Nafi’, dari Ibnu Umar, aku tidak perduli lagi, sekalipun aku tidak mendengarnya dari orang lain. Dari sini Imam Bukhari menetapkan bahwa sanad paling shahih adalah Malik dari Nafi’, dari Ibnu Umar.
Nafi’ tidak hanya meriwayatkan hadits dari Ibnu Umar tetapi juga mempunyai riwayat-riwayat yang bersumber dari Abu Sa’id al-Khudri, Sayyidah Aisyah dan Sayyidah Hafshah secara Mursal.
Yang meriwayatkan hadits dari dia ialah : Abdullah bin Dinnar, Az-Zuhri, al-Auza’I, Ibnu Ishaq, Shalin bin Kaisan, dan Ibnu Juraij.
Ibnu Umar sangat menyukainya, ada orang yang berani membayar 30.000 dinar untuk mendapatkan Nafi’ kemudian dimerdekakannya.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengirimnya ke Mesir dengan tugas mengajarkan hadits dan pengetahuan agama kepada penduduk negeri itu.
Ia wafat pada tahun 117 H.

Disalin dari Biografi Nafi’ dalam Tahdzib al-Asma’ karya an-Nawawi.

‘Umar bin ‘Abdul Aziz (wafat 101 H)


Nama sebenarnya adalah Abu Hafzah bin Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam bin Abil ash bin Umayyah al-Quraisy, seorang tabi’in besar dan salah seorang dari Khalifah yang Rasyidin, Ia sebagai kepala Negara yang adil dan seorang ulama yang kamil.
Ia dilahirkan di Mesir di negeri Halwan pada waktu ayahnya menjadi Amir disitu pada tahun 61 H.
Semasa kecil ia telah hapal al-Qura’an, kemudian ia dikirim ke Madinah oleh ayahnya untuk belajar. Ia belajar al-Qur’an dari Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Ibnu Mas’ud. Setelah ayahnya meninggal, paman Abdul Malik bin Marwan memintanya dating ke Damaskus, lalu dikawinkan dengan seorang putrinya yang bernama Fatimah. Kemudian beliau diangkat menjadi gubernur di Madinah dimasa pemerintahan Khalifah al-Walid. Pada tahun 93 H lalu beliau kembali ke Syam dan kemudian pada tahun 99 H beliau diangkat menjadi Khalifah.
Umar bin Abdul Aziz menerima hadist dari anas, as Sa’ib bin Yasid, Yusuf bin Abdullah bin Salam. Khalulah binti Hakim dan dari sahabat lainnya.
Ia juga menerima hadits dari tokoh tokoh Tabi’in seperti Ibnul Musayyab, ‘Urwah, Abu Bakar bin Abdurahman dan yang lainnya.
Hadits-hadits beliau di terima oleh para Tabi’in diantaranya adalah Abu Salamah bin Abdurahman, Abu Bakar Muhammad bin Amr bin HAzm, az-Zuhry, Muhammad bin al-Munkadir, Humaid ar-Thawil dan lain lain.
Seluruh Ulama berpendirian menetapkan bahwa Umar bin Abdul Aziz ini adalah seorang yang banyak Ilmu, Shalih, Zuhud dan Adil. Ia banyak memberikan perkembangan hadits , baik secara hapalan maupun secara pendewanan, maka takala ia menjadi Khalifah, ia memerintahkan kepada ulama ulama daerah supaya menulis hadits hadits yang ada didaerah mereka masing masing, lalu meriwayatkan hadist agar tidak hilang dengan meninggalnya para ulama tabi’in tersebut.
Umar bin Abdul Aziz ini merupakan permulaan Khalifah yang memberikan perhatian kepada hal hal yang demikian itu. Beliau disamakan dengan az-Zuhry tentang ke ‘Alimannya.
Mujahid berkata,”Kami mendatanginya, dan kami tidak meninggalkannya sebelum kami beljar dari padanya”.
Ia wafat pada tahun 101 H

Disalin dari Biografi Umar bin ‘Abdul “Aziz dalam Tarikh al-khulafa no.153, Tahdzibul Asma An Nawawi no.11/17 Tahdzib at Tahdzib Ibn Hajar no VII/475

Al Hasan Al Bashri (30-110 H)


Suatu hari ummahatul mu’minin, Ummu Salamah, menerima khabar bahwa mantan “maula” (pembantu wanita)-nya telah melahirkan seo¬rang putera mungil yang sehat. Bukan main gembiranya hati Ummu Salamah mendengar berita tersebut. Diutusnya seseorang untuk mengundang bekas pembantunya itu untuk menghabiskan masa nifas di rumahnya.
Ibu muda yang baru melahirkan tersebut bernama Khairoh, orang yang amat disayangi oleh Ummu Salamah. Rasa cinta ummahatul mu’minin kepada bekas maulanya itu, membuat ia begitu rindu untuk segera melihat puteranya. Ketika Khairoh dan puteranya tiba, Ummu Salamah memandang bayi yang masih merah itu dengan penuh sukacita dan cinta. Sungguh bayi mungil itu sangat menawan. “Sudahkah kau beri nama bayi ini, ya Khairoh?” tanya Ummu Salamah. “Belum ya ibunda. Kami serahkan kepada ibunda untuk menamainya” jawab Khai¬roh. Mendengar jawaban ini, ummahatul mu’minin berseri-seri, seraya berujar “Dengan berkah Allah, kita beri nama Al-Hasan.” Maka do’apun mengalir pada si kecil, begitu selesai acara pembe¬rian nama.
Al-Hasan bin Yasar – atau yang kelak lebih dikenal sebagai Hasan Al-Basri, ulama generasi salaf terkemuka – hidup di bawah asuhan dan didikan salah seorang isteri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam: Hind binti Suhail yang lebih terkenal sebagai Ummu Salamah. Beliau adalah seorang puteri Arab yang paling sempurna akhlaqnya dan paling kuat pendiriannya, ia juga dikenal – sebelum Islam – sebagai penulis yang produktif. Para ahli sejarah mencatat beliau sebagai yang paling luas ilmunya di antara para isteri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.
Waktu terus berjalan. Seiring dengan semakin akrabnya hubun¬gan antara Al-Hasan dengan keluarga Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, semakin terbentang luas kesempatan baginya untuk ber”uswah” (berteladan) pada ke¬luarga Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Pemuda cilik ini mereguk ilmu dari rumah-rumah ummahatul mu’minin serta mendapat kesempatan menimba ilmu bersama sahabat yang berada di masjid Nabawiy.
Ditempa oleh orang-orang sholeh, dalam waktu singkat Al-Hasan mampu meriwayatkan hadist dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik dan sahabat-sahabat RasuluLlah lainnya. Al-Hasan sangat mengagumi Ali bin Abi Thalib, karena keluasan ilmunya serta kezuhudannya. Penguasan ilmu sastra Ali bin Abi Thalib yang demikian tinggi, kata-katanya yang penuh nasihat dan hikmah, membuat Al-Hasan begitu terpesona.
Pada usia 14 tahun, Al-Hasan pindah bersama orang tuanya ke kota Basrah, Iraq, dan menetap di sana. Dari sinilah Al-Hasan mulai dikenal dengan sebutan Hasan Al-Basri. Basrah kala itu terkenal sebagai kota ilmu dalam Daulah Islamiyyah. Masjid-masjid yang luas dan cantik dipenuhi halaqah-halaqah ilmu. Para sahabat dan tabi’in banyak yang sering singgah ke kotaini.Di Basrah, Hasan Al-Basri lebih banyak tinggal di masjid, mengikuti halaqah-nya Ibnu Abbas. Dari beliau, Hasan Al-Basri banyak belajar ilmu tafsir, hadist dan qiro’at. Sedangkan ilmu fiqih, bahasa dan sastra dipelajarinya dari sahabat-sahabat yang lain. Ketekunannya mengejar dan menggali ilmu menjadikan Hasan Al-Basri sangat ‘alim dalam berbagai ilmu. Ia terkenal sebagai seorang faqih yang terpercaya.
Keluasan dan kedalaman ilmunya membuat Hasan Al-Basri banyak didatangi orang yang ingin belajar langsung kepadanya. Nasihat Hasan Al-Basri mampu menggugah hati seseorang, bahkan membuat para pendengarnya mencucurkan air mata. Nama Hasan Al-Basri makin harum dan terkenal, menyebar ke seluruh negeri dan sampai pula ke telinga penguasa.
Ketika Al-Hajaj ats-Tsaqofi memegang kekuasan gubernur Iraq, ia terkenal akan kediktatorannya. Perlakuannya terhadap rakyat¬ terkadang sangat melampaui batas. Nyaris tak ada seorang pun penduduk Basrah yang berani mengajukan kritik atasnya atau menen¬tangnya. Hasan Al-Basri adalah salah satu di antara sedikit penduduk Basrah yang berani mengutarakan kritik pada Al-Hajaj. Bahkan di depan Al-Hajaj sendiri, Hasan Al-Basri pernah menguta¬rakan kritiknya yang amat pedas.
Saat itu tengah diadakan peresmian istana Al-Hajaj di tepian kota Basrah. Istana itu dibangun dari hasil keringat rakyat, dan kini rakyat diundang untuk menyaksikan peresmiannya. Saat itu tampillah Hasan Al-Basri menyuarakan kritiknya terhadap Al-Hajaj: “Kita telah melihat apa-apa yang telah dibangun oleh Al-Hajaj. Kita juga telah mengetahui bahwa Fir’au membangun istana yang lebih indah dan lebih megah dari istana ini. Tetapi Allah menghancurkan istana itu … karena kedurhakaan dan kesombongannya …”
Kritik itu berlangsung cukup lama. Beberapa orang mulai cemas dan berbisik kepada Hasan Al-Basri, “Ya Abu Sa’id, cukupkanlah kritikmu, cukuplah!” Namun beliau menjawab, “Sungguh Allah telah mengambil janji dari orang-orang yang berilmu, supaya menerangkan kebenaran kepada manusia dan tidak menyembunyikannya.”
Begitu mendengar kritik tajam tersebut, Al-Hajaj menghardik para ajudannya, “Celakalah kalian! Mengapa kalian biarkan budak dari Basrah itu mencaci maki dan bicara seenaknya? Dan tak seo¬rangpun dari kalian mencegahnya? Tangkap dia, hadapkan kepadaku!” .
Semua mata tertuju kepada sang Imam dengan hati berge¬tar. Hasan Al-Basri berdiri tegak dan tenang menghadapi Al-Hajaj bersama puluhan polisi dan algojonya. Sungguh luar biasa ketenan¬gan beliau. Dengan keagungan seorang mu’min, izzah seorang muslim dan ketenangan seorang da’i, beliau hadapi sang tiran.
Melihat ketenangan Hasan Al-Basri, seketika kecongkakan Al-Hajaj sirna. Kesombongan dan kebengisannya hilang. Ia langsung menyambut Hasan Al-Basri dan berkata lembut, “Kemarilah ya Abu Sa’id …” Al-Hasan mendekatinya dan duduk berdampingan. Semua mata memandang dengan kagum.
Mulailah Al-Hajaj menanyakan berba¬gai masalah agama kepada sang Imam, dan dijawab oleh Hasan Al-Basri dengan bahasa yang lembut dan mempesona. Semua pertanyaan¬nya dijawab dengan tuntas. Hasan Al-Basri dipersilakan untuk pulang. Usai pertemuan itu, seorang pengawal Al-Hajaj bertanya, “Wahai Abu Sa’id, sungguh aku melihat anda mengucapkan sesuatu ketika hendak berhadapan dengan Al-Hajaj. Apakah sesungguhnya kalimat yang anda baca itu?” Hasan Al-Basri menjawab, “Saat itu kubaca: Ya Wali dan PelindungKu dalam kesusahan. Jadikanlah hukuman Hajaj sejuk dan keselamatan buatku, sebagaimana Engkau telah jadikan api sejuk dan menyelamatkan Ibrahim.”
Nasihatnya yang terkenal diucapkannya ketika beliau diundang oleh penguasa Iraq, Ibnu Hubairoh, yang diangkat oleh Yazid bin Abdul Malik. Ibnu Hubairoh adalah seorang yang jujur dan sholeh, namun hatinya selalu gundah menghadapi perintah-perintah Yazid yang bertentangan dengan nuraninya. Ia berkata, “Allah telah memberi kekuasan kepada Yazid atas hambanya dan mewajibkan kita untuk mentaatinya. Ia sekarang menugaskan saya untuk memerintah Iraq dan Parsi, namun kadang-kadang perintahnya bertentangan dengan kebenaran. Ya, Abu Sa’id apa pendapatmu? Nasihatilah aku …”
Berkata Hasan Al-Basri, “Wahai Ibnu Hurairoh, takutlah kepada Allah ketika engkau mentaati Yazid dan jangan takut kepada Yazid¬ketika engkau mentaati Allah. Ketahuilah, Allah membelamu dari Yazid, dan Yazid tidak mampu membelamu dari siksa Allah. Wahai Ibnu Hubairoh, jika engkau mentaati Allah, Allah akan memelihara¬mu dari siksaan Yazid di dunia, akan tetapi jika engkau mentaati Yazid, ia tidak akan memeliharamu dari siksa Allah di dunia dan akhirat. Ketahuilah, tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam ma’siat kepada Allah, siapapun orangnya.” Berderai air mata Ibnu Hubairoh mendengar nasihat Hasan Al-Basri yang sangat dalam itu.
Pada malam Jum’at, di awal Rajab tahun 110H, Hasan Al-Basri memenuhi panggilan Robb-nya. Ia wafat dalam usia 80 tahun. Pendu¬duk Basrah bersedih, hampir seluruhnya mengantarkan jenazah Hasan Al-Basri ke pemakaman. Hari itu di Basrah tidak diselenggarakan sholat Ashar berjamaah, karena kota itu kosong tak berpenghuni.
–ooOoo–

Al Qosim bin Muhammad (Tabi’in)


Al-Qasim yang banyak meriwayatkan hadits dari ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Aslam -bekas budak Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma-, merupakan seorang tabi’in yang tsiqah (amanah). Wajar jika kemudian ‘Umar bin Abdul ‘Aziz yang dikenal sebagai khalifah kelima yang adil, tertarik akan keamanahannya. Ia berkata, “Seandainya aku punya sedikit kekuasaan, aku akan jadikan Al-Qasim sebagai khalifah.” Al-Qasim kecil sabar menjalani takdir Allah sebagai anak yatim dalam tarbiyah istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha.
Al-Qasim, yang menurut Abdullah bin Az-Zubair radhiallahu ‘anhuma adalah cucu Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu yang paling mirip dengan kakeknya ini, mengatakan: “‘Aisyah adalah seorang mufti wanita dari jaman Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan seterusnya sampai ia meninggal. Aku senantiasa bersimpuh menimba ilmu darinya dan juga duduk belajar kepada Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar”. Ini adalah ungkapan yang mengisyaratkan antusiasnya terhadap ilmu din (agama) meskipun menanggung beban hidup berat sebagai anak yatim.
Ayyub, salah seorang ulama hadits, berkata, “Aku tidak melihat seorang pun yang lebih utama darinya. Ia tidak mau mengambil uang yang halal untuknya senilai seratus ribu dinar”. Ini adalah ungkapan seorang alim yang menunjukkan sifat wara’ dan keutamaan Al-Qasim. Bahkan kehati-hatiannya dalam berfatwa, ia katakan sendiri, “Seseorang hidup dengan kebodohan setelah mengetahui hak Allah, lebih baik baginya daripada ia mengatakan apa-apa yang ia tidak mengetahuinya.”
Adapun ketinggian ilmunya dinyatakan oleh beberapa ulama, di antaranya:
Anaknya, Abdurrahman bin Al-Qasim, berkata, “Ia adalah manusia paling utama di jamannya.” Abdurrahman bin Abiz-Zinad berkata, “Aku tidak melihat seorang yang lebih tahu tentang As Sunnah daripada Al-Qasim bin Muhammad, dan seseorang tidak dianggap lelaki hingga ia mengetahui As Sunnah, tak seorang pun yang lebih jenius akalnya darinya.” Khalid bin Nazar (menceritakan, red) dari Ibnu ‘Uyainah, katanya: “Orang yang paling mengetahui hadits ‘Aisyah ada tiga: Al-Qasim bin Muhammad, ‘Urwah bin Az-Zubair, dan ‘Amrah binti ‘Abdirrahman.”
Ia pun memiliki banyak hikmah yang ia ucapkan. Al-Imam Malik berkata, “Al-Qasim didatangi seorang penguasa Madinah yang akan menanyakan sesuatu, lalu Al-Qasim berkata, ‘Berkata dengan ilmu termasuk memuliakan diri sendiri’.” Al-Qasim juga berkata, “Allah menjadikan (bagi) kejujuran, (dengan) kebaikan yang akan datang sebagai ganti dari-Nya”.
Sebelum meninggal, Al-Qasim berwasiat kepada salah seorang anaknya, “Ratakanlah kuburku dan taburilah dengan tanah serta janganlah kamu menyebut-nyebut keadaanku demikian dan demikian.”
Al-Qasim, seorang tokoh tabi’in besar yang buta matanya di akhir kehidupannya, wafat pada masa kekhalifahan Yazid bin Abdil Malik bin Marwan, dalam usia 71 tahun. Tepatnya pada tahun 107 H, sewaktu menunaikan ibadah ‘umrah bersama Hisyam bin Abdil Malik di perbatasan antara kota Madinah dan Makkah.Walllahu a’lam.

http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=203

Salim bin Abdullah bin Umar (wafat106 H)


Nama sebenarnya adalah Abu Abdullah Salim bin Abdullah bin Umar bin Khaththab al Quraisy al Aday al Madany. Ia seorang ulama tabi’in dan seorang pemuka ilmu.
Ia menerima hadits dari ayahnya, dari Ayyub al-Anshary, Rafi’ bin Khadij, Abu Hurairah dan Aisyah dan juga menerima hadits dari para tabi’in.
Haditsnya diriwayatkan oleh ‘Amr bin Dinnar, Nafi, Az=Zuhry, Musa bin Uqbah, Humaidath thawil, Shalih bin Kaisan dan juga hadits haditsnya diriwayatkan oleh tabi’in lainnya.
Para ulama menetapkan bahwa ia Tsiqah dan imam dalam bidang hadist. Ishaq bin Ruhawaih berkata,” Hadits yang palih Shahih sanadnya bersumber dari az-Zuhry dari Salim dari Ayahnya”.
Muhammad Sa’id berkata “ Salim adalah seorang ulama yang banyak hadits, seorang yang tinggi ilmunya” dan seorang yang wara’”.
Ia wafat pada tahun 106 H. menurut al-Bhukhary dan Abu Nu’aim.

Disalin dari Biografi Salim bin Abdullah dalam dalam Tahdzibul Asma an Nawawi, Tahdzib at Tahdzib Ibn Hajar asqalanii

Ubaidullah bin Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud (wafat 94 H)


Nama sebenarnya adalah Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud al-Hudzaly, seorang ulama ta’biin yang terkenal, Ubaidullah menerima ilmunya dari beberapa tabi’in yang terkenal dan juga menerima ilmunya dari beberapa orang sahabat seperti Ibnu Umar,Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa’id al-Khudlry, Abu Waqid al-Laitsy, Zaid ibn Khalid, an Nu’man bin Basyir, Aisyah, Fatimah binti Qais, dan lainnya.
Hadist hadistnya diriwayatkan dari Irak bin Malik, az-Zuhry, Abu Zinad, Shalih bin Kaisan dan lain lain.
Para ulama sepakat ia orang yang tsiqah, kuat hapalannya hingga Ibnu Abbas menghormatinya sebagai orang yang tinggi ilmunya dalam bidang hadist dan fiqh.
Az-Zuhry berkata,” Saya tidak duduk dengan seorang alim melainkan saya merasakan bahwa saya mengetahui ilmunya, selain dari Ubaidullah yang setiap saya dating kepadanya, saya memperoleh ilmu yang baru”.
Ibnu Sa’ad berkata.” Ubaidullah,adalah seorang yang alim dan tsiqah, ahli dalam bidang fiqh dan banyak hadistnya”.
Karena tinggi kedudukannya dan banyak ilmunya maka ia dipilih menjadi guru untuk Umar bin Abdul Aziz.
Ia wafat pada tahun 94 H.
Disalin dari Biografi ‘Ubaidullah bin Abdullah dalam dalam Tahdzibul Asma an Nawawi, Tahdzib at Tahdzib Ibn Hajar asqalanii

Muhammad bin al-Hanafiyyah (wafat 181 H)


Namanya adalah Muhammad Ibn al-Hanafiah, ia  banyak menimba ilmu dari ‘Ali bin Abi thalib.”  pada saat Telah terjadi percekcokan antara Muhammad ibn al-Hanafiyyah dan saudaranya al-Hasan ibn Ali, maka Ibn al-Hanafiah mengirim surat kepada saudaranya itu, isinya, “Sesungguhnya Allah telah memberikan kelebihan kepadamu atas diriku…Ibumu Fathimah binti Muhammad ibn Abdullah, sedangkan ibuku seorang wanita dari Bani “Haniifah.” Kakekmu dari garis ibu adalah utusan Allah dan makhluk pilihannya, sedangkan kakekku dari garis ibu adalah Ja’far ibn Qais. Apabila suratku ini sampai kepadamu, kemarilah dan berdamailah denganku, sehingga engkau memiliki keutamaan atas diriku dalam segala hal.”
Begitu surat itu sampai ke tangan al-Hasan…ia segera ke rumahnya dan berdamai dengannya. Siapakah Muhammad ibn al-Hanafiyyah, seorang adib (ahli adab/pujangga), seorang yang pandai dan berakhlak lembut ini? Marilah, kita membuka lembaran hidupnya dari awal.
Kisah ini bermula sejak akhir kehidupan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Pada suatu hari, Ali ibn Abi Thalib duduk bersama Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, maka ia berkata, “Wahai Rasulullah…apa pendapatmu apabila aku dikaruniani seorang anak setelah engkau meninggal, (bolehkah) aku menamainya dengan namamu dan memberikan kun-yah (sapaan yang biasanya diungkapkan dengan ‘Abu fulan…’) dengan kunyah-mu?.” “Ya” jawab beliau.
Kemudian hari-hari pun berjalan terus. Dan Nabi yang mulia Shallallahu Alaihi Wassalam bertemu dengan ar-Rafiiqul al-A’laa (berpulang ke sisi Allah)…dan setelah hitungan beberapa bulan Fathimah yang suci, Ibunda al-Hasan dan al-Husain menyusul beliau (wafat).
Ali lalu menikahi seorang wanita Bani Haniifah. Ia menikahi Khaulah binti Ja’far ibn Qais al-Hanafiyyah, yang kemudian melahirkan seorang anak laki-laki untuknya. Ali menamainya “Muhammad” dan memanggilnya dengan kun-yah “Abu al-Qaasim” atas izin Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Hanya saja orang-orang terlanjur memanggilnya Muhammad ibn al-Hanafiyyah, untuk membedakannya dengan kedua saudaranya al-Hasan dan al-Husain, dua putra Fathimah az-Zahra. Kemudian iapun dikenal dalam sejarah dengan nama tersebut.
Muhammad ibn al-Hanafiyyah lahir di akhir masa khilafah ash-Shiddiq (Abu Bakar) RA. Ia tumbuh dan terdidik di bawah perawatan ayahnya, Ali bin Abi Thalib, ia lulus di bawah didikannya.
Ia belajar ibadah dan kezuhudan dari ayahnya…mewarisi kekuatan dan keberaniannya…menerima kefasihan dan balaghoh darinya. Hingga ia menjadi pahlawan perang di medan pertempuran…singa mimbar di perkumpulan manusia…seorang ahli ibadah malam (Ruhbaanullail) apabila kegelapan telah menutup tirainya ke atas alam dan saat mata-mata tertidur lelap.
Ayahnya telah mengutusnya ke dalam pertempuran-pertempuran yang ia ikuti.
Dan ia (Ali) telah memikulkan di pudaknya beban-beban pertempuran yang tidak ia pikulkan kepada kedua saudaranya yang lain; al-Hasan dan al-Husain. Ia pun tidak terkalahkan dan tidak pernah melemah keteguhannya.
Pada suatu ketika pernah dikatakan kepadanya, “Mengapakah ayahmu menjerumuskanmu ke dalam kebinasaan dan membebankanmu apa yang kamu tidak mampu memikulnya dalam tempat-tempat yang sempit tanpa kedua saudaramu al-Hasan dan al-Husain?”
Ia menjawab, “Yang demikian itu karena kedua saudaraku menempati kedudukan dua mata ayahku…sedangkan aku menempati kedudukan dua tangannya…sehingga ia (Ali) menjaga kedua matanya dengan kedua tangannya.”
Dalam perang “Shiffin” yang berkecamuk antara Ali ibn Abi Thalib dan Muawiyah ibn Abi Sufyan RA. Adalah Muhammad ibn al-Hanafiyyah membawa panji ayahnya.
Dan di saat roda peperangan berputar menggilas pasukan dari dua kelompok, terjadilah sebuah kisah yang ia riwayatkan sendiri. Ia menuturkan, “Sungguh aku telah melihat kami dalam perang “Shiffin”, kami bertemu dengan para sahabat Muawiyah, kami saling membunuh hingga aku menyangka bahwa tidak akan tersisa seorang pun dari kami dan juga dari mereka. Aku menganggap ini adalah perbuatan keji dan besar.
Tidaklah berselang lama hingga aku mendengar seseorang yang berteriak di belakangku, “Wahai kaum Muslimin…(takutlah kepada) Allah, (takutlah kepada Allah)…wahai kaum Muslimin…
Siapakah yang akan (melindungi) para wanita dan anak-anak?…
Siapakah yang akan menjaga agama dan kehormatan?…
Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan ad-Dailami?*…
Wahai kaum Muslimin…takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah dan sisakan kaum muslimin, wahai ma’syarol muslimin.”
Maka sejak hari itu, aku berjanji kepada diriku untuk tidak mengangkat pedangku di wajah seorang Muslim.
Kemudian Ali mati syahid di tangan pendosa yang dzalim (di tangan Abdurrahman ibn Miljam )
Kekuasaan pun berpindah kepada Muawiyah ibn Abi Sufyan. Maka, Muhammad ibn al-Hanafiyyah membaiatnya untuk selalu taat dan patuh dalam keadaan suka maupun benci karena keinginannya hanya untuk menyatukan suara dan mengumpulkan kekuatan serta untuk menggapai izzah bagi Islam dan Muslimin.
Muawiyah merasakan ketulusan baiat ini dan kesuciannya. Ia merasa benar-benar tentram kepada sahabatnya, hal mana menjadikannya mengundang Muhammad ibn al-Hanafiyyah untuk mengunjunginya.
Maka, ia pun mengunjunginya di Damaskus lebih dari sekali…dan lebih dari satu sebab.
Di antaranya, bahwa kaisar Romawi menulis surat kepada Muawiyah. Ia mengatakan, “Sesungguhnya raja-raja di sini saling berkoresponden dengan raja-raja yang lain. Sebagian mereka bersenang-senang dengan yang lainnya dengan hal-hal aneh yang mereka miliki…sebagin mereka saling berlomba dengan sebagian yang lain dengan keajaiban-keajaiban yang ada di kerajaan-kerajaan mereka. Maka, apakah kamu mengizinkan aku untuk mengadakan (perlombaan) antara aku dan kamu seperti apa yang terjadi di antara mereka?”
Maka, Muawiyah mengiyakannya dan mengizinkannya.
Kaisar Romawi mengirim dua orang pilih-tandingnya. Salah seorang darinya berbadan tinggi dan besar sekali sehingga seakan-akan ia ibarat pohon besar yang menjulang tinggi di hutan atau gedung tinggi nan kokoh. Adapun orang yang satu lagi adalah seorang yang begitu kuat, keras dan kokoh seakan-akan ia ibarat binatang liar yang buas. Sang kaisar menitipkan surat bersama keduanya, ia berkata dalam suratnya, “Apakah di kerajaanmu ada yang menandingi kedua orang ini, tingginya dan kuatnya?.”
Muawiyah lalu berkata kepada ‘Amr ibn al-‘Aash, “Adapun orang yang berbadan tinggi, aku telah menemukan orang yang sepertinya bahkan lebih darinya…ia Qais ibn Sa’d ibn ‘Ubadah. Adapun orang yang kuat, maka aku membutuhkan pendapatmu.”
‘Amr berkata, “Di sana ada dua orang untuk urusan ini, hanya saja keduanya jauh darimu. Mereka adalah Muhammad ibn al-Hanafiyyah dan Abdullah ibn az-Zubair.”
“Sesungguhnya Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidaklah jauh dari kita,” kata Muawiyyah.
“Akan tetapi apakah engkau mengira ia akan ridla bersama kebesaran kemuliaannya dan ketinggian kedudukannya untuk mengalahkan kekuatan orang dari Romawi ini dengan ditonton manusia,?” tanya ‘Amr.
Muawiyah berkata, “Sesungguhnya ia akan melakukan hal itu dan lebih banyak dari itu, apabila ia menemukan izzah bagi Islam padanya.”
Kemudian Muawiyah memanggil keduanya, Qais ibn Sa’d dan Muhammad ibn al-Hanafiyyah.
Ketika majelis telah dimulai, Qais ibn Sa’d berdiri dan melepaskan sirwal-sirwal-nya (celana yang lebar) lalu melemparkannya kepada al-‘Ilj** dari Romawi dan menyuruhnya untuk memakainya. Ia pun memakainya…maka, sirwalnya menutupi sampai di atas kedua dadanya sehingga orang-orang ketawa dibuatnya.
Adapun Muhammad ibn al-Hanafiyyah, ia berkata kepada penterjemahnya, “Katakan kepada orang Romawi ini…apabila ia mau, ia duduk dan aku berdiri, lalu ia memberikan tangannya kepadaku. Entah aku yang akan mendirikannya atau dia yang mendudukkanku…Dan bila ia mau, dia yang berdiri dan aku yang duduk…”
Orang Romawi tadi memilih duduk.
Maka Muhammad memegang tangannya, dan (menariknya) berdiri…dan orang Romawi tersebut tidak mampu (menariknya) duduk…
Kesombongan pun merayap dalam dada orang Romawi, ia memilih berdiri dan Muhammad duduk. Muhammad lalu memegang tangannya dan menariknya dengan satu hentakan hampir-hampir melepaskan lengannya dari pundaknya…dan mendudukkannya di tanah.
Kedua orang kafir Romawi tersebut kembali kepada rajanya dalam keadaan kalah dan terhina.
Hari-hari berputar lagi…
Muawiyah dan putranya Yazid serta Marwan ibn al-Hakam telah berpindah ke rahmatullah…Kepemimpinan Bani Umayyah berpindah kepada Abdul Malik ibn Marwan, ia mengumumkan dirinya sebagai khalifah muslimin dan penduduk Syam membaiatnya.
Sementara penduduk Hijaz dan Irak telah membaiat Abdullah ibn az-Zubair***.
Setiap dari keduanya mulai menyeru orang yang belum membaiatnya untuk membaiatnya…dan mendakwakan kepada manusia bahwa ia yang paling berhak dengan kekhalifahan daripada sahabatnya. Barisan kaum muslimin pun terpecah lagi…
Di sinilah Abdullah ibn az-Zubair meminta kepada Muhammad ibn al-Hanafiyyah untuk membaiatnya sebagaimana penduduk Hijaz telah membaiatnya.
Hanya saja Ibn al-Hanafiyyah memahami betul bahwa baiat akan menjadikan hak-hak yang banyak di lehernya bagi orang yang ia baiat. Di antaranya adalah menghunus pedang untuk menolongnya dan memerangi orang-orang yang menyelisihinya. Dan para penyelisihnya hanyalah orang-orang muslim yang telah berijtihad, lalu membaiat orang yang tidak ia bai’at.
Tidaklah orang yang berakal sempurna lupa akan kejadian di hari “Shiffin.”
Tahun yang panjang belum mampu menghapus suara yang menggelegar dari kedua pendengarannya, kuat dan penuh kesedihan, dan suara itu memanggil dari belakangnya, “Wahai kaum Muslimin…(takutlah kepada) Allah, (takutlah kepada) Allah…wahai kaum Muslimin…
Siapakah yang akan (melindungi) para wanita dan anak-anak?…
Siapakah yang akan menjaga agama dan kehormatan?… Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan ad-Dailami.”..
Ya, ia belum lupa sedikitpun dari itu semua.
Maka, ia berkata kepada Abdullah ibn az-Zubair, “Sesungguhnya engkau mengetahui dengan sebenar-benarnya, bahwa dalam perkara ini aku tidak memiliki tujuan dan tidak pula permintaan…hanyalah aku ini seseorang dari kaum muslimin. Apabila kalimat (suara) mereka berkumpul kepadamu atau kepada Abdul Malik, maka aku akan membaiat orang yang suara mereka berkumpul padanya. Adapun sekarang, aku tidak membaiatmu…juga tidak membaiatnya.”
Mulailah Abdullah mempergaulinya dan berlemah lembut kepadanya dalam satu kesempatan. Dan dalam kesempatan yang lain ia berpaling darinya dan bersikap keras kepadanya.
Hanya saja, Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidak berselang lama hingga banyak orang yang bergabung dengannya ketika mereka mengikuti pendapatnya. Dan mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepadanya, hingga jumlah mereka sampai tujuh ribu orang dari orang-orang yang memilih untuk memisahkan diri dari fitnah. Dan mereka enggan untuk menjadikan diri mereka kayu bakar bagi apinya yang menyala.
Setiap kalii pengikut Ibn al-Hanafiyyah bertambah jumlahnya, bertambahlah kemarahan Ibn az-Zubair kepadanya dan ia terus mendesaknya untuk membaiatnya.
Ketika Ibn az-Zubair telah putus asa, ia memerintahkannya dan orang-orang yang bersamanya dari Bani Hasyim dan yang lainnya untuk menetap di Syi’b (celah di antara dua bukit) mereka di Mekkah, dan ia menempatkan mata-mata untuk mengawasi mereka.
Kemudian ia berkata kepada mereka, “Demi Allah, sungguh-sungguh kalian harus membaiatku atau benar-benar aku akan membakar kalian dengan api…
Kemudian ia menahan mereka di rumah-rumahnya dan mengumpulkan kayu bakar untuk mereka, lalu mengelilingi rumah-rumah dengannya hingga sampai ujung tembok. Sehingga seandainya ada satu kayu bakar menyala niscaya akan membakar semuanya.
Di saat itulah, sekelompok dari para pengikut Ibn al-Hanafiyyah berdiri kepadanya dan berkata, “Biarkan kami membunuh Ibn az-Zubair dan menenangkan manusia dari (perbuatan)nya.”
Ia berkata, “Apakah kita akan menyalakan api fitnah dengan tangan-tangan kita yang karenanya kita telah menyepi (memisahkan diri)…dan kita membunuh seorang sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam dan anak-anak dari sahabatnya?! Tidak, demi Allah kita tidak akan melakukan sedikitpun apa yang manjadikan Allah dan Rasul-Nya murka.”
Berita tentang apa yang diderita oleh Muhammad ibn al-Hanafiyah dan para pengikutnya dari kekerasan Abdullah ibn az-Zubair sampai ke telinga Abdul Malik ibn Marwan. Ia melihat kesempatan emas untuk menjadikan mereka condong kepadanya.
Ia lantas mengirim surat bersama seorang utusannya, yang seandainya ia menulisnya untuk salah seorang anaknya tentunya ‘dialek’nya tidak akan sehalus itu dan redaksinya tidak selembut itu.
Dan di antara isi suratnya adalah, “Telah sampai berita kepadaku bahwa Ibn az-Zubair telah mempersempit gerakmu dan orang-orang yang bersamamu…ia memutus tali persaudaraanmu…dan merendahkan hakmu. Ini negeri Syam terbuka di depanmu, siap menjemputmu dan orang-orang yang bersamamu dengan penuh kelapangan dan keluasan…singgahlah di sana dimana engkau mau, niscaya engkau akan menemukan penduduknya mengucapkan selamat kepadamu dan para tetangga yang mencintaimu…dan engkau akan mendapatkan kami orang-orang yang memahami hakmu…menghormati keutamaanmu…dan menyambung tali persaudaraanmu Insya Allah…
Muhammad ibn al-Hanafiyah dan orang-orang yang bersamanya berjalan menuju negeri Syam…sesampainya di “Ublah”, mereka menetap di sana.
Penduduknya menempatkan mereka di tempat yang paling mulia dan menjamu mereka dengan baik sebaga tetangga.
Mereka mencitai Muhammad ibn al-Hanafiyah dan mengagungkannya, karena apa yang mereka lihat dari kedalaman (ketekunan) ibadahnya dan kejujuran zuhudnya.
Ia mulai menyuruh mereka kepada yang ma’ruf dan mencegah mereka dari yang munkar. Ia mendirikan syi’ar-syi’ar di antara mereka dan mengadakan ishlah dalam perselisihan mereka. Ia tidak membiarkan seorang pun dari manusia mendzalimi orang lain.
Di saat berita itu sampai ke telinga Abdul Malik ibn Marwan, hal tersebut memberatkan hatinya. Ia kemudian bermusyawarah dengan orang-orang terdekatnya. Mereka berkata kepadanya, “Kami tidak berpendapat agar engkau memperbolehkannya tinggal di kerajaanmu. Sedangkan sirahnya sebagaimana yang engkau ketahui…entah ia membaiatmu…atau ia kembali ke tempatnya semula.”
Maka, Abdul Malik menulis surat untuknya dan berkata, “Sesungguhnya engkau telah mendatangi negeriku dan engkau singgah di salah satu ujungnya. Dan ini peperangan yang terjadi antara diriku dan Abdullah ibn az-Zubair. Dan engkau adalah seseorang yang memiliki tempat dan nama di antara kaum Muslimin. Dan aku melihat agar engkau tidak tinggal di negeriku kecuali bila engkau membaiatku. Bila engkau membaiatku, aku akan memberimu seratus kapal yang datang kepadaku dari “al-Qalzom” kemarin, ambillah beserta apa yang ada padanya. Bersama itu engkau berhak atas satu juta dirham ditambah dengan jumlah yang kamu tentukan sendiri untuk dirimu, anak-anakmu, kerabatmu, budak-budakmu dan orang-orang yang bersamamu. Bila engkau menolaknya maka pergilah dariku ke tempat yang aku tidak memiliki kekuasaan atasnya.”
Muhammad ibn al-Hanafiyah kemudian menulis balasan, “Dari Muhammad ibn Ali, kepada Abdul Malik ibn Marwan. Assalamu ‘alaika…Sesungguhnya aku memuji kepada Allah yang tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Dia, (aku berterima kasih) kepadamu. Amma ba’du…Barangkali engkau menjadi ketakutan terhadapku. Dan aku mengira engkau adalah orang yang paham terhadap hakikat sikapku dalam perkara ini. Aku telah singgah di Mekkah, maka Abdullah ibn az-Zubair menginginkan aku untuk membaiatnya, dan tatkala aku menolaknya ia pun berbuat jahat terhadap pertentanganku. Kemudian engkau menulis surat kepadaku, memanggilku untuk tinggal di negeri Syam, lalu aku singgah di sebuah tempat di ujung tanahmu di karenakan harganya murah dan jauh dari markaz (pusat) pemerintahanmu. Kemudian engkau menulis kepadaku apa yang telah engkau tuliskan. Dan kami Insya Allah akan meninggalkanmu.”
Muhammad ibn al-Hanafiyyah beserta orang-orangnya dan kelurganya meninggalkan negeri Syam, dan setiap kali ia singgah di suatu tempat ia pun di usir darinya dan diperintahkan agar pergi darinya.
Dan seakan-akan kesusahan belum cukup atasnya, hingga Allah berkehendak mengujinya dengan kesusahan lain yang lebih besar pengaruhnya dan lebih berat tekanannya…
Yang demikian itu, bahwa sekelompok dari pengikutnya dari kalangan orang-orang yang hatinya sakit dan yang lainnya dari kalangan orang-orang lalai. Mereka mulai berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam telah menitipkan di hati Ali dan keluarganya banyak sekali rahasia-rahasia ilmu, qaidah-qaidah agama dan perbendaharaan syariat. Beliau telah mengkhususkan Ahlul Bait dengan apa yang orang lain tidak mengetahuinya.”
Orang yang ‘alim, beramal dan mahir ini memahami betul apa yang diusung oleh ucapan ini dari penyimpangan, serta bahaya-bahaya yang mungkin diseretnya atas Islam dan Muslimin. Ia pun mengumpulkan manusia dan berdiri mengkhutbahi mereka…ia memuji Allah AWJ dan menyanjungnya dan bershalawat atas Nabi-Nya Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam…kemudian berkata, “Sebagian orang beranggapan bahwa kami segenap Ahlul Bait mempunyai ilmu yang Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam mengkhususkan kami dengannya, dan tidak memberitahukan kepada siapapun selain kami. Dan kami –demi Allah- tidaklah mewarisi dari Rasulullah melainkan apa yang ada di antara dua lembaran ini, (dan ia menunjuk ke arah mushaf). Dan sesungguhnya barangsiapa yang beranggapan bahwa kami mempunyai sesuatu yang kami baca selain kitab Allah, sungguh ia telah berdusta.”
Adalah sebagian pengikutnya mengucapkan salam kepadanya, mereka berkata, “Assalamu’alaika wahai Mahdi.”
Ia menjawab, “Ya, aku adalah Mahdi (yang mendapat petunjuk) kepada kebaikan…dan kalian adalah para Mahdi kepada kebaikan Insya Allah…akan tetapi apabila salah seorang dari kalian mengucapkan salam kepadaku, maka hendaklah menyalamiku dengan namaku. Hendaklah ia berkata, “Assalamu’alaika ya Muhammad.”
Tidak berlangsung lama kebingungan Muhammad ibn al-Hanafiyyah tentang tempat yang akan ia tinggali beserta orang-orang yang bersamanya…Allah telah berkehendak agar al-Hajjaj ibn Yusuf ats-Tsaqofi menumpas Abdullah ibn az-Zubair…dan agar manusia seluruhnya membaiat Abdul Malik ibn Marwan.
Maka, tidaklah yang ia lakukan kecuali menulis surat kepada Abdul Malik, ia berkata, “Kepada Abdul Malik ibn Marwan, Amirul Mukminin, dari Muhammad ibn Ali. Amma ba’du…Sesungguhnya setelah aku melihat perkara ini kembali kepadamu, dan manusia membaiatmu. Maka, aku seperti orang dari mereka. Aku membaiatmu untuk walimu di Hijaz. Aku mengirimkan baiatku ini secara tertulis. Wassalamu’alaika.”
Ketika Abdul Malik membacakan surat tersebut kepada para sahabatnya, mereka berkata, “Seandainya ia ingin memecah tongkat ketaatan (baca: keluar dari ketaatan) dan membikin perpecahan dalam perkara ini, niscaya ia mampu melakukannya, dan niscaya engkau tidak memiliki jalan atasnya…Maka tulislah kepadanya dengan perjanjian dan keamanan serta perjanjian Allah dan Rasul-Nya agar ia tidak diusir dan diusik, ia dan para sahabatnya.”
Abdul Malik kemudian menulis hal tersebut kepadanya. Hanya saja Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidak hidup lama setelah itu. Allah telah memilihnya untuk berada di sisi-Nya dalam keadaan ridla dan diridlai.
Semoga Allah memberikan cahaya kepada Muhammad ibn al-Hanafiyah di kuburnya, dan semoga Allah mengindahkan ruhnya di surga…ia termasuk orang yang tidak menginginkan kerusakan di bumi tidak pula ketinggian di antara manusia.
Sumber: – Hilyah al-Auliyaa oleh Abu Nu’aim, III: 174, – Tahdziib at-Tahdziib, IX:354, – Shifah ash-Shafwah oleh Ibnul Jauzi (cet. Halab), II: 77-79, – Ath-Thabaqat al-Kubra oleh Ibnu Sa’d, V:91, – Al-Waafi bi al-Wafayaat (terjemah): 1583, – Wafayaat al-A’yaan oleh Ibnu Kholaqan, IV:169, – Al-Kamil, III:391 dan IV:250 pada kejadian-kejadian tahun 66 H, – Syadzarat adz-Dzahab, I:89,- Tahdziib al-Asma Wa al-Lughaat, I:88-89, – Al-Bad’u Wa at-Tarikh, V:75-76, – Al-Ma’arif oleh Ibnu Qutaibah: 123, – Al-‘Iqd al-Farid oleh Ibnu Abdi Rabbih, tahqiq al-‘Urayyan, Juz II,III,V dan VII
–ooOoo–

Abu Bakar bin Abi Syaibah (Wafat 235H)

Namanya sebenarnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al Kufy, seorang hafidh yang terkenal. Ia menerima hadist dari al-Ah...

Total Tayangan

Translate