Abdullah
bin Riab bin Yakmur adalah seorang sahabat asal dari suku Bani Asad,
saudara kandung Zainab binti Jahsy, ummul mukminin. Ipar Rasulullah
Shalalahu ‘alaihi Wassalam ini meninggal dalam perang Uhud.
Mereka
bertanya tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:”Berperang dalam
bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan
Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan
mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi
Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) dari pada membunuh.
Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat)
mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka
sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia
mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia
dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di
dalamnya”. (QS. 2:217).
Menurut beberapa ahli tafsir, ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan Abdullah bin Jahsy.
Abdullah bin Jahsy radhiallâhu ‘anhu
Dalam
Perang Uhud, kaum Quraisy laki-laki dan perempuan melakukan belas dendam
terhadap kaum Muslimin atas kekalahan mereka dalam Perang Badar. Mereka
bertindak seperti srigala buas, merobek-robek perut Hamzah bin Abdul
Muththalib, paman Rasulullah, dan memakan hatinya. Abdullah bin Jahsy
radhiallâhu ‘anhu ; mereka potong hidung dan daun telinganya.
Abdullah
bin Jahsy radhiallâhu ‘anhu bangga sekali karena ia merupakan kepala
pasukan pertama yang dilantik Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dan komandan pasukan pertama yang menetapkan kemenangan perang 1/5
(seperlima) bagian untuk Rasulullah sebelum Allah mengukuhkannya.
Ayahnya
adalah Jahsy bin Riab bin Khuzaimah al-Asadi, ibunya adalah Aminah binti
Abdul Muththalib bin Hasyim, dan saudarinya adalah Zainab binti Jahsy,
istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam . Jadi, dia adalah saudara
misan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan ibunya, sekaligus
iparnya.
Dia
dilahirkan di Mekkah, dekat Baitullah al-Haram. Sesudah ia dewasa
barulah tahu jalan ke Ka’bah. Ia berdiri lama di depan Ka’bah, mengamati
jamaah haji yang datang berbondong-bondong dari seluruh pelosok dunia.
Ia melihat
dengan mata kepalanya sendiri isak tangis mereka, air mata sedih dan
keharuan mereka, dan keluh kesah serta doa mereka di depan Ka’bah yang
megah itu.
Berapa kali
telinganya mendengarkan rintihan dan bisikan mereka dengan berbagai
bahasa yang tidak dipahami maksud dan tujuannya. Pada saat itu, ia
merebahkan dirinya di pangkuan ibunya menanyakan dengan penuh harap
apa-apa yang dilihatnya.
Ibunya
menjawabnya dengan penuh rasa kasih sayang sambil mengusap-usap
kepalanya dan pundaknya hingga ia tertidur. Putranya itu lalu diselimuti
dan didoakannya supaya Tuhan Ka’bah itu melindungi dan memeliharanya.
Pada suatu
hari, ia datang kepada ibunya sambil menangis sedih. Ia menceritakan
bahwa sekelompok orang telah meruntuhkan bangunan Ka’bah itu.
Ibunya
menenangkan hatinya, menceritakan kepadanya bahwa mereka sedang memugar
bangunan itu supaya emas perak dan permata mutumanikam yang ada di
dalamnya tidak dicuri orang akibat kerusakan yang ditimbulkan banjir.
Pada waktu
itu, Abdullah melihat bagaimana persaingan keras antara para kabilah
Arab yang berebutan ingin meletakkan Hajar Aswad di tempatnya, hingga
hampir terjadi pertengkaran dan peperangan antara mereka.
Untunglah,
akhirnya, mereka menerima gagasan sesepuh mereka untuk menyerahkan hal
itu kepada orang yang pertama kali masuk ke Baitullah esok paginya,
untuk menetapkan kabilah mana yang mendapat kehormatan meletakkannya.
Ternyata,
orang yang masuk pertama itu Muhammad al-Amin, yang kemudian ia
menggelarkan mantelnya dan meletakkan Hajar Aswad itu di tengahnya, lalu
ia perintahkan kepada semua wakil kabilah yang hadir untuk memegang
ujung mantel itu dan mengangkatnya ke dekat tempatnya, lalu ia
mengangkat dengan tangannya dan menaruh di tempatnya.
Sesudah Hajar al-Aswad diletakkan di tempatnya, para pekerja meneruskan pekerjaannya memperbaiki Ka’bah.
Sejak saat
itulah, Abdullah mencintai Muhammad al-Amin dengan sepenuh hati dan
mengagumi kebijaksanaannya memecahkan masalah yang hampir menimbulkan
pertumpahan darah diantara kabilah Arab, dan caranya yang cerdik
menyertakan semua kabilah ikut merasa mendapat kehormatan mengangkat
Hajar al-Aswad ke tempatnya. Sejak itulah, ia menjadikan Muhammad
sebagai tokoh favorit dan panutannya.
Setiap
hari, Abdullah berusaha menyertai dan duduk-duduk dengan Muhammad untuk
belajar lebih banyak tentang berbagai hal, baik melalui tutur katanya
maupun melalui tingkah lakunya.
Pada suatu
hari, Abdullah tidak melihat Muhammad al-Amin seperti biasanya. Ia tidak
sabar menantinya, ia pergi mengetuk pintu rumahnya. Istri beliau
memberitahukan bahwa beliau ada di Gua Hira.
Ia pulang
ke rumahnya dengan kecewa dan sedih karena rasa rindunya kepada
laki-laki pujaannya itu. Kapan gerangan ia kembali duduk-duduk
bersamanya lagi?.
Pada suatu
pagi yang membahagiakan, menjelang fajar menyingsing, dimana embusan
angin membawa titik-titik embun yang membangkitkan kehidupan dan
kesegaran, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang sujud di
tempat shalatnya, memuja dan memuji Tuhannya, tiba-tiba ia mendengar
seperti gemerincing suara bel, kemudian malaikat Jibril menyampaikan
wahyu dan perintah Tuhan, “Dan, berilah peringatan kepada
kerabat-kerabatmu yang terdekat”. (Q,.s.asy-Syu’ara: 214)
Sang surya
sudah menampakkan wajahnya yang perkasa dan memancarkan cahayanya,
menghalau sisa titik-titik embun yang masih ada diatas daun. Sementara
itu, Muhammad al-Amin melangkahkan kakinya menuju Bukit Shafa, tidak
jauh dari Ka’bah, lalu teriaknya, “selamat pagi, selamat pagi”.
Abdullah
masih telentang diatas tempat tidurnya, matanya terbuka lebar, sambil
berpikir untuk menemui Muhammad al-Amin di Gua Hira, seperti yang
dikabarkan isteri beliau, Khadijah. Tiba-tiba, ia mendengar kumandang
suara Muhammad, “selamat pagi, selamat pagi” dari atas bukit Shafa,
tidak jauh dari rumahnya. Ia lalu melemparkan selimutnya dan pergi ke
sana.
Tampaknya, suara itu berhasil mengumpulkan kaum Quraisy; semuanya berdatangan ingin tahu ada apa sepagi itu mereka diundang.
Sesudah
mereka berkumpul, mulailah beliau menyeru mereka, “Hai keluarga Ghalib,
keluarga Luai, keluarga Murrah, keluarga Kilab, keluarga Qushai, dan
keluarga Abdu Manaf! Kalau aku memberitahukan kepada kalian bahwa di
balik gunung itu ada musuh yang hendak menyerang kalian, apakah kalian
akan mempercayaiku?”.
Mereka menjawab serentak, “Ya, karena kau tidak pernah berbohong kepada kami”.
Rasulullah
melanjutkan, “Maka, janganlah kamu menyeru (menyembah) tuhan yang lain
disamping Allah, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang diazab.
Dan, berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan
rendahkan dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu
orang-orang yang beriman”. (Q,.s. asy-Syu’araa’: 213-215).
Kerumunan orang itu lalu bubar. Ada yang percaya dan ada yang tidak, masing-masing membela argumentasi dan kebenarannya.
Sementara
itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pulang kembali ke rumahnya.
Abdullah pun kembali juga dengan membawa kata-kata baru yang
dilontarkan Muhammad al-Amin itu. Ternyata, kata-katanya meyakinkan
kalbunya, lalu ia pergi menyusul Muhammad ke rumahnya dan meyatakan
keislamannya di sana.
Sesudah ia
mengucapkan kalimat syahadat, lalu ia mengajak kedua saudara
perempuannya masuk Islam juga dan ternyata mereka mengikuti jejaknya,
malah ia menjadikan salah sebuah ruangan dalam rumahnya sebagai mushalla
untuk beribadah dengan tekun dan khusyu’ kepada Allah Ta’ala.
Akan
tetapi, Quraisy telah menunggangi kepalanya sendiri. Ia memaklumatkan
perang tanpa ampun terhadap dakwah itu dan bertindak kejam dan keji
terhadap para mustadh’afin yang berani mengikuti ajaran Muhammad
termasuk juga Abdullah.
Beberapa
orang mustadh’afin datang menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam dan meminta supaya Allah meringankan beban yang mereka derita.
Dengan agak gusar, Rasulullah bersabda: “Demi Allah, orang-orang sebelum
kalian ditangkap dan tubuhnya dibelah dua, namun mereka tidak bergeser
dari agamanya sedikitpun. Ada lagi yang tubuhnya disisir dengan sisir
besi diantara tulang dan dagingnya, tetapi hal itu tidak memaksa mereka
beralih agama. Hal ini akan berjalan terus hingga para musafir dari
Shan’a’ ke Hadramaut tidak merasa gentar lagi selain kepada Allah atau
para gembala tidak takut lagi kepada ternaknya dari terkaman srigala,
tetapi memanglah kalian suatu kaum yang terburu nafsu”.
Penyiksaan
Quraisy makin ganas dan kejam. Abu Jahal menyiksa dan menganiaya
Sumayyah, ibu Ammar radhiallâhu ‘anhu hingga tewas, begitu pula
suaminya, Yasir dan puteranya, Ammar.
Sudah tentu
berita itu menimbulkan rasa ngeri dan gelisah pada kaum mustadh’afin
karena mereka tidak diperkenankan memaklumatkan perang terhadap kaum
mustakbirin itu. Apa yang harus mereka lakukan sedangkan kaum kafir
Quraisy tidak henti- hentinya melakukan tindakan penindasan dan perang
permusuhan?.
Mereka
berkumpul dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta
dicarikan jalan pemecahan dari ancaman dan terkaman orang-orang ganas
dan buas yang tidak berprikemanusiaan itu.
Pada saat
itulah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengemukakan gagasannya:
“Kalau kalian mau hijrah ke negeri Habasyah, disana terdapat seorang
raja yang tidak berlaku zhalim kepada siapapun, dialah negeri kejujuran
hingga Allah membukakan kelapangan dari keadaan kalian dewasa ini”.
Kini,
mereka diperkenankan melakukan hijrah, menyelamatkan diri dan agamanya
ke negeri yang lebih aman agar bisa menunaikan ibadahnya dengan bebas
dan tenang.
Pada waktu
itu, Abdullah dan kedua saudara laki-lakinya serta kedua saudara
perempuannya, bahkan dengan semua anggota keluarganya, pergi hijrah ke
negeri yang dimaksudkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai
negeri kejujuran, yang rajanya tidak pernah berlaku zhalim itu.
Amr ibnul
Ash radhiallâhu ‘anhu berkisah, “pada suatu hari, aku duduk di Majelis
an-Najasyi, Raja Habasyah, lalu masuklah Amr bin Umayyah adh-Dhamari.
Pada waktu itu, ia sedang membawa surat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam untuk Raja Habasyah itu. Sesudah ia keluar, aku berkata kepada
Najasyi, ‘orang itu perutusan musuh kami. Ia yang telah menegangkan
situasi dan membuat tokoh-tokoh kami setengah mati. Serahkanlah dia
kepada kami, kami akan membunuhnya’.
Ia gusar
sekali atas omongan itu, lalu ia memukul mukaku dengan keras hingga
terasa hidungku seakan-akan copot dan mengucurkan darah banyak sekali ke
bajuku. Aku merasa terhina sekali di tengah-tengah majelis itu.
Rasanya, aku lebih rela mati terkubur dalam tanah daripada menderita
malu serupa itu.
Untuk
melunakkan amarahnya, aku berkata lagi, ‘kalau aku tahu baginda akan
murka seperti ini, aku tidak akan mengajukan permintaan seperti itu’.
‘Ya Amr,
kau meminta kepadaku supaya aku menyerahkan perutusan orang yang
mendapatkan Namus yang maha besar, yang pernah datang kepada Musa
‘alaihissalam dan ‘Isa ‘alaihissalam. Kau meminta aku menyerahkan
perutusannya untuk dibunuh?’ “.
“Sejak saat
itu,”kata Amr selanjutnya, “dalam hati kecilku terjadi perubahan sikap,
lalu kataku dalam hati, ‘Bangsa Arab dan ‘Ajam/asing mengenal kebenaran
ini sedangkan kau akan melawannya’. Aku kemudian bertannya kepadanya,
‘Apakah yang mulia percaya atas hal itu?’.
‘Ya, Aku
bersaksi di hadapan Allah, wahai Amr! Percayalah kepadaku, dia adalah
benar, dia akan dimenangkan atas orang yang melawannya, seperti halnya
Musa ‘alaihissalam dimenangkan melawan Fir’aun dan pasukannya’.
‘Apakah yang mulia mau menerima bai’atku masuk Islam atas namanya?’.
‘Ya!, ia lalu mengulurkan tangannya membai’atku masuk Islam”.
Abdullah
dan keluarganya hidup di negeri Habasyah dalam perlindungan raja yang
murah hati itu hingga datang berita yang mengatakan bahwa kaum Quraisy
sudah sadar dan masuk Islam, lalu Abdullah dan beberapa orang Muhajirin
lainnya kembali ke Mekkah.
Ternyata,
berita Islamnya kaum Quraisy itu hanyalah isapan jempol yang
disebarluaskan Quraisy supaya para Muhajirin itu kembali untuk
menghadapi siksaan dan penganiayaan yang baru lagi.
Abdullah
dan keluarganya tinggal beberapa saat lamanya di Mekkah hingga
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan melakukan hijrah
kembali sehingga rumah mereka di Mekkah kosong melompong, tidak ada yang
menghuninya. Sesudah Abu Sufyan melihat hal ini, lalu ia menawarkan dan
menjualnya. Sesudah berita itu terdengar oleh keluarga Jahsy, Abdullah
memberitahukan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam, Rasulullah lalu menjawab, “wahai Abdullah! Apakah kau tidak
mau Allah menggantimu dengan sebuah rumah yang lebih baik di surga?”.
“Sudah tentu mau,” sahut Abdullah bin Jahsy.Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan, “Nah, itu untukmu kelak”.
Sesudah
kota Mekkah ditaklukkan, Abu Ahmad, saudara Abdullah bin Jahsy, datang
membicarakan lagi soal rumah-rumah keluarga Jahsy yang dijual oleh Abu
Sufyan itu, tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengulur-ulur
masalah itu. Beberapa orang lalu memberi keterangan,”wahai Abu Ahmad,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak suka membahas kembali
kekayaan yang dirampas dari kalian demi karena Allah”.
Sejak
itulah, ia tidak mau lagi mengungkit-ungkit soal tersebut.Abdullah bin
Jahsy merupakan komandan pasukan pertama yang dikirimkan ke perbatasan
kota Mekkah sehingga menimbulkan kontak senjata dan meninggalnya Amru
al-Hadhrami serta tertawannya Utsman bin Abdullah bin al-Mughirah dan
al-Hakam bin Kisan, yang menimbulkan kegusaran kaum Quraisy. Mereka
berkata: “Muhammad dan kawan-kawannya menghalalkan bulan haram”.
Abdullah
mengikuti Perang Badar dan semua peristiwa sesudahnya bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam hingga Perang Uhud yang rupanya Allah
Ta’ala ingin menguji kaum muslimin. Abdullah bin Ubay, kepala kaum
munafiqin di Madinah, kembali ke Madinah di tengah perjalanan dengan 1/3
pasukan, tetapi kaum Muslimin mendesak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam untuk tetap keluar dari Madinah.
Sebelum perang dimulai, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam duduk di sebuah pondok yang dibikin khusus baginya.
Ummu
Salamah datang memberikan daging panggang kepada Rasulullah, lalu
dimakannya. Ia lalu memberikan air anggur, lalu diminumnya. Salah
seorang yang hadir lalu meminumnya dan sisanya diminum oleh Abdullah bin
Jahsy. Salah seorang bertanya kepadanya, “Tahukah kau, kemana perginya
minumanmu itu esok?”.
“Ya, aku
lebih suka menemui Allah dalam keadaan puas daripada dalam keadaan
dahaga,” jawabnya seraya berdoa, “Ya Allah, aku mohon supaya aku
memperoleh syahadah dalam jalanMu”.
Menurut
putera Sa’ad bin Abi Waqqash, ayahnya berkata,”pada waktu itu, sebelum
Perang Uhud berkobar, Abdullah bin Jahsy bertanya, ‘apakah tidak
sebaiknya kami berdoa kepada Allah?”.
Mereka
masing-masing berdoa. Sa’ad berdoa,”Ya Allah, kalau kami bertemu musuh
esok hari, pertemukanlah aku dengan seorang yang bertenaga kuat dan
beremosi tinggi. Saya akan membunuhnya dan merampas miliknya”.
Abdullah
bin Jahsy berdoa,”Ya Allah, pertemukanlah aku esok dengan seorang yang
kuat tenaganya dan tinggi emosinya. Aku akan membunuhnya karenaMu, lalu
orang itu membunuhku, kemudian ia memotong hidung dan kedua telingaku.
Apabila engkau bertanya kepadaku kelak, ‘Ya Abdullah, mengapa hidung dan
telingamu itu?’. Aku akan menjawab, ‘Ia dipotong oleh orang karenaMu
dan karena RasulMu semata-mata, Ya Allah’. Engkau lalu berfirman,’benar
kau, Abdullah’ “.
Selanjutnya,
Sa’ad bin Abi waqqash berkata, “ternyata doa Abdullah bin Jahsy lebih
baiik dari doaku. Pada keesokan harinya, menjelang hari berakhir, aku
melihat kedua daun telinganya dan ujung hidungnya bergantung dengan
seutas tali”.
Begitulah
cita-cita dan dambaan pengikut Muhammad berebut maju dalam medan perang,
ingin mendapatkan salah satu diantara dua kebaikan; meninggikan kalimat
Allah dan memenangkan agamaNya atau mati syahid.
Ternyata,
doa mereka dikabulkan Allah Ta’ala, cita-citanya dipenuhi sesuai dengan
firmanNya, “Berdoalah kepadaKu niscaya Aku akan memperkenankan bagimu”.
(Q,.s. al-Mukmin:60)
Allah
Ta’ala sudah mengabulkan doa Abdullah bin Jahsy radhiallâhu ‘anhu dan
sudah berkenan menerimanya di sisiNya karena ia sudah menunaikan tugas
kewajibannya dengan baik terhadap Tuhan, agama dan Rasulnya. Jadi,
fungsinya dinyatakan selesai dan takdirNya sudah jatuh tempo. Akan
tetapi, misi Sa’ad bin Abi Waqqash belum selesai, tugas kewajiban yang
menantinya masih banyak dan panjang, menunggu penanganannya.
Seusai
Perang Uhud, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk
menguburkan jenazah pamannya, Hamzah dan Abdullah dalam satu kubur dan
memerintahkan Amru ibnul Jumuh dan Abdullah bin Umar bin Haram juga
dalam satu kubur karena keduanya kawan karib di dunia.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku menjadi saksi mereka bahwa
tidak terdapat luka di jalan Allah melainkan Allah akan melahirkan
kembali lukanya itu berdarah di hari kiamat; warnanya seperti warna
darah dan baunya seperti bau misk (kesturi)”.
Sebab Turunnya Ayat
Menurut
keterangan Ahli Tafsir (mufassirin), pada bulan Jumadil Akhir dua bulan
sebelum Perang Badar berkobar, kira-kira tujuh belas bulan sesudah
hijrah ke Madinah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengirimkan
delapan orang Muhajirin dibawah pimpinan Abdullah bin Jahsy dengan
pesan,
“Pergilah
kau dengan Asma Allah dan janganlah kau buka suratku ini hingga engkau
berjalan selama dua hari. Sesudah menempuh jarak itu barulah kau buka
suratku itu dan bacakan kepada kawan-kawanmu. Setelah itu, teruskan
perjalananmu sesuai perintahku. Janganlah ada diantara kawan-kawanmu itu
yang pergi mengikuti karena dipaksa (terpaksa)”.
Abdullah bin Jahsy berjalan selama dua hari, kemudian ia berhenti dan membuka surat Rasulullah itu.
“Bismillaahr-ahmaanirahiim. Amma ba’du, pergilah kau dengan kawan-kawan
yang menyertaimu disertai keberkahan dari Allah hingga kau mencapai
sebuah kebun kurma. Dari sana, kau bisa mengintai kegiatan kafilah
Quraisy, lalu kau kembali membawa berita mereka”.
Sesudah
membaca isi surat itu, Abdullah berkata:”Sam’an wa thaa ‘atan, aku
mendengar dan patuh kepada perintahmu”, lalu berkata kepada para
pengikutnya, “Rasulullah melarang saya memaksa kalian ikut dalam misi
ini”.
Rombongan
ini berjalan atas perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan
dengan perlindungan Allah Ta’ala. Di suatu tempat bernama Bahran, Sa’ad
bin Abi Waqqash dan Utbah bin Ghazwan kehilangan ontanya. Keduanya pergi
mencari ontanya itu hingga tertinggal oleh rombongannya. Abdullah bin
Jahsy meneruskan perjalanannya sesuai petunjuk Rasulullah hingga
mencapai sebuah perkebunan kurma. Tiba-tiba, mereka melihat kafilah
Quraisy dikawal oleh Amru ibnul Hadhrami, Utsman ibnul Mughirah, dan
saudaranya; Naufal dan al-Hakam bin Kisan.
Para
shahabat itu bermusyawarah tentang mereka. Salah seorang berkata, “kalau
kalian membiarkan mereka pergi malam ini, mereka akan memasuki Tanah
Haram dan kalian tidak bisa berbuat apa-apa. Akan tetapi, kalau kalian
memerangi mereka, kita ada dalam bulan haram?”. Pada waktu itu, mereka
ada di akhir bulan Rajab.
Mereka
ragu-ragu dan takut menindaknya. Tapi akhirnya, mereka memberanikan dan
memutuskan untuk memeranginya dengan sekuat-kuatnya. Salah seorang dari
shahabat itu lalu melepaskan anak panah kepada Amru ibnul Hadhrami dan
tewaslah ia seketika. Mereka berhasil menawan Utsman ibnul Mughirah dan
al-Hakam bin Kisan, sedangkan Naufal dan saudaranya Utsman, berhasil
melarikan diri.
Menurut
keterangan sebagian keluarga Abdullah bin Jahsy, pada waktu itu,
Abdullah mengatakan kepada para shahabatnya itu, “Dua puluh persen dari
kemenangan yang kita peroleh ini untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam dan sisanya dibagi diantara kita”. Ini terjadi sebelum
ketetapan 20% itu dikukuhkan oleh al-Qur’an.
Sesampainya
rombongan di Madinah, Rasulullah bersabda kepada mereka, “Aku tidak
memerintahkan kalian mengadakan peperangan di bulan haram”, seraya
menolak untuk mengambil bagiannya dari hasil kemenangan itu.
Abdullah
bin Jahsy dan para shahabatnya bersedih hati karena telah bertindak di
luar perintah. Lebih-lebih, setelah semua shahabat Rasulullah
menyesalkan tindakannya itu. Belum lagi kampanye Quraisy yang
diembus-embuskan dengan gencar, “Muhammad dan shahabatnya menghalalkan
pertumpahan darah, perampasan hak milik dan penawanan orang di bulan
haram”.
Sesudah
bicara orang dipusatkan pada soal itu, keputusan langit turun untuk
mengesahkan dan sekaligus mengukuhkan tindakan Abdullah bin Jahsy dan
kawan-kawannya itu,
“Mereka
bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah,
‘berperang dalam bulan itu adalah dosa besar, tetapi menghalangi
(manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk)
Masjid Haram, dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar
(dosanya) di sisi Allah . Dan, berbuat fitnah itu lebih besar (dosanya)
daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai
mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran),
seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari
agamanya, lalu ia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia
amalannya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya”.
Ibnu Ishaq
berkata, “sesudah ayat tersebut turun, legalah Abdullah dan
kawan-kawannya, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mau menerima
tawanan dan hasil rampasan perang itu. Setelah itu, datang perutusan
dari kaum Quraisy untuk menebus Utsman dan al-Hakam bin Kisan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada perutusan itu,
“Kami tidak akan menerima tebusan keduanya hingga shahabat kami datang,
yakni: Sa’ad bin Abi Waqqash dan Utbah bin Ghazwan. Kami khawatir,
kalian telah menangkap keduanya. Kalau kalian membunuh keduanya, kami
juga akan membunuh shahabat kalian”.
Tak lama, Sa’ad dan Utbah datang, lalu Rasulullah menyerahkan kedua tawanan itu kepada perutusan Quraisy itu”.
Al-Hakam
bin Kisan kemudian masuk Islam dengan baik dan tinggal bersama
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hingga syahid pada peristiwa
Bi’ir Ma’unah. Utsman pulang kembali ke Mekkah dan mati dalam keadaan
kafir. Adapun Naufal terjatuh bersama kudanya ke dalam lubang parit
(khandaq ) sehingga tewas tertumbuk batu. Kaum Musyrikin meminta
mayatnya dengan imbalan uang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
berkata: “Bawalah, karena mayatnya buruk dan tebusannya buruk”.
Renungan
Di sebelah
Baitullah al-Haram, rumah yang Allah jadikan daerah aman dan damai bagi
hamba-hambaNya, menyambut doa bapak para nabi, Ibrahim ‘alaihissalam ,
“Ya Tuhan, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa”. (Q,.s.
al-Baqarah: 126). Di sana, Asma’, ibu Ammar dan Yasir, ayahnya, dibunuh
dengan keji dan kejam, bukan karena berdosa tapi semata-mata karena
keduanya menyatakan “Tuhan kami hanya Allah”.
Di daerah
yang Allah tetapkan sebagai daerah aman dan damai secara mutlak dari
semua sengketa, peperangan dan pertengkaran, supaya mereka kembali sadar
dan menginsafi apa yang tepat dan benar, hidup bersaudara dan
berdampingan di dalam daerah itu, oleh kaum Quraisy dijadikan ajang
pembunuhan sekelompok orang yang tiada berdaya dan berdosa.
Mereka
dipaksa keluar dan menyimpang dari agamanya. Mereka dilarang mengikuti
pelajaran yang diberikan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah sudah
menetapkan bahwa daerah Masjid al-Haram dan sekitarnya itu semacam
daerah margasatwa, dimana burung-burung bebas beterbangan tanpa rasa
takut, dimana hewan, manusia dan bahkan serangga bisa hidup berdampingan
secara aman dan damai tanpa rasa takut satu dengan yang lainnya.
Mengapa negeri yang telah ditetapkan menjadi daerah aman dan damai
berubah menjadi daerah yang menakutkan dan penuh kengerian. Daerah bebas
merdeka itu berganti menjadi daerah perbudakan, dimana kebebasan orang
memilih agama dan hak mengamalkan keyakinannya dibatasi dan
dihalang-halangi.
Menyambut
seruan agama tauhid yang dikumandangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam dicap sebagai kafir dan murtad karena keluar dari agama nenek
moyang yang percaya kepada berhala-berhala ; Latta, ‘Uzza dan Manat yang
dideretkan di sekitar Ka’bah.
Allah telah
menetapkan haram (suci)nya rumah itu sejak Ibrahim dan putranya Ismail
‘alaihissalam membangunnya. Sejak saat itulah, Allah telah menetapkan
daerah itu aman bagi semua orang dan sekalgus daerah haram mengadakan
peperangan dan pembunuhan.
“(Dan)
ingatlah ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul
bagi manusia dan tempat yang aman…”. (Q,.s. al-Baqarah: 125)
Rahmat dan
nikmat yang dikaruniakan Alah kepada hambaNya itu oleh kaum Quraisy
disulap bagi kaum mustadh’afin di daerah aman dan damai itu. Mereka
dikejar dan disiksa, agamanya diejek dan dihina, keluarganya diganggu
dan dianiaya.
Alasan palsu mereka diungkapkan oleh al-Qur’an,
“…jika kami mengikuti petunjuk bersama kamu niscaya kami akan diusir dari negeri kami…”. (Q,.s. al-Qashash:57)
Siapa selain mereka yang mampu melakukan tindak kejahatan di daerah itu?
Siapa yang berani melanggar haram Allah seperti mereka?.
Memang
pernah terjadi, Abrahah dengan pasukan gajahnya hendak menghancurkan
Baitullah al-Haram itu. Ia dengan sombonnya datang sampai di pinggiran
kota Mekkah. Semua nasehat dan peringatan orang tidak diindahkan. Kaum
Quraisy tahu apa yang dikehendaki Abrahah. Mereka juga tahu kekeuatan
pasukan Abrahah. Maka dari itu, mereka tidak berpikir hendak melindungi
Ka’bah dari serangannya. Mereka melarikan diri ke luar kota Mekkah.
Abrahah
kaget melihat sikap kaum Quraisy yang membiarkan kotanya terbuka, tidak
dipertahankan sedikitpun. Malah, ia merasa heran ketika Abdul
Muththalib, sesepuh kota Mekkah, datang menghadapnya untuk meminta
ontanya dikembalikan dan tidak berbicara soal Baitullah sama sekali,
hanya menjawab dengan jawaban yang tersohor itu, “onta itu milik saya
sedangkan al-Bait itu ada Pemiliknya yang nanti akan melindunginya!”.
Tak salah
lagi dugaan Abdul Muthathlib, Tuhan al-Bait itu telah melindunginya dari
serangan Abrahah dan pasukannya. Mereka yang hendak berbuat onar,
hendak mengeruhkan suasana aman dan damai di daerah haram itu, dihukum.
“Dan, Dia
mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari
mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia
menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat)”. (Q,.s.
al-Fiil: 3-5).
Kepandaian
mereka bersilat lidah, “Jika kami mengikuti petunjuk bersama kamu
niscaya kami akan diusir dari negeri kami”, langsung dipatahkan dengan
firmanNya, “Dan, apakah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam
daerah haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu
buah-buahan dari segala macam (tumbuh-tumbuhan) untuk menjadi rezeki
(bagimu) dari sisi Kami? Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”.
(Q,.s. al-Qashash:57).
Disamping
menjadikan Mekkah sebagai daerah damai, Allah Ta’ala juga menjadikannya
bulan-bulan haram sebagai masa-masa damai, tetapi bangsa Arab
mempermainkan bulan-bulan itu sesuai dengan selera dan nafsu mereka.
Adakalanya dipercepat dengan fatwa pimpinan agama atau kabilahnya yang
kuat dari tahun ke tahun.
Sesudah
Islam datang, ia menetapkan dengan tegas bahwa penundaan percepatan, dan
perubahan dari ketetapan Allah itu hukumnya kafir, batil dan sesat,
“Sesungguhnya
mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran,
disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka
menghalalkan pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain,
agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang Allah
mengharamkannya maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah.
(Setan) menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka yang buruk
itu. Dan, Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (Q,.s.
at-Taubah:37) .
Jelaslah
bahwa kaum Quraisy yang pertama merusak kelestarian daerah damai itu.
Mereka mempermainkan pantangan pada bulan-bulan itu. Kaum Muslimin
dijadikan bulan-bulanan karena agamanya; mereka dikejar-kejar, disiksa,
diananiaya, dipecuti, dijemur diterik padang pasir, dan bahkan ada yang
dibunuh karena tidak mau murtad dari Islamnya. Mereka lebih suka pergi
berhijrah sesudah izin dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
meninggalkan tanah air tercintanya, meninggalkan semua harta milik yang
diperoleh dari hasil jerih payah seumur hidup, demi mempertahankan iman
dan tauhidnya.
Sudah tentu
kaum Muslimin akan menuntut balas kapan pun dan dimana pun terhadap
gerombolan penjahat yang sesat itu. Tidak heran kalau luapan itu
diledakkan oleh pasukan yang dipimpin Abdullah bin Jahsy sehingga
menimbulkan korban tewas dan beberapa orang tertawan di kalangan
Quraisy, seperti diutarakan di awal pembahasan.
Oleh kaum
Quraisy, kejadian itu dimanfaatkan menarik simpati kabilah Arab dan
sekaligus untuk memecah-belah barisan kaum Muslimin. Mereka menghasut
bahwa pengikut Muhammad telah merobek-robek kehormatan bulan-bulan
haram. Kampanye lihai mereka hampir berhasil memecah-belah barisan kaum
Muslimin. Untunglah keputusan langit cepat turun, mengingatkan kaum
Muslimin supaya tetap memelihara persatuan dan kesatuannya, dan supaya
tidak menganggap remeh tindak-tanduk dan fitnah lawan-lawannya itu.
“Mereka
bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah,
‘berperang dalam bulan itu adalah dosa besar, tetapi menghalangi
(manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (mengahalangi masuk ke)
Masjid al-Haram, dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar
(dosanya) di sisi Allah. Dan, berbuat fitnah lebih besar (dosanya)
daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai
mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran),
seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari
agamanya, lalu ia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia
amalnya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya”. (al-Baqarah: 217) .
Demikianlah
berita wahyu itu mengungkapkan tampang kaum Quraisy yang sebenarnya,
bagaimana taktik dan strategi mereka menghadapi kaum Muslimin, mereka
akan berusaha sekuat-kuatnya dengan segala cara, legal atau ilegal,
halal atau haram, memaksa mereka menjadi kafir kembali.
Akan
tetapi, kehendak Allah sudah menetapkan umat Muhammad Shallallahu
‘alaihi wasallam yang konsekuen menjalankan ajaran agamanya akan
dijadikan pemimpin dunia seluruhnya.
“Dan,
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil
dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasulullah (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu..”. (Q,.s.
al-Baqarah: 143).
Memang
secara keseluruhan, mental dan moral jamaah Islam dapat menahan diri dan
menghindarkan diri dari godaan duniawi, menyambut dengan patuh titah
peritah Allah Ta’ala, tidak melakukan penyerangan terhadap mereka yang
telah mengusir keluar dari tanah airnya, yang merampas harta bendanya,
dan yang tidak memperkenankan menunaikan manasik haji di Baitullah
al-Haram. Mereka merasa gusar dan marah dalam hati atas sikap
lawan-lawannya itu, namun mereka harus mampu menahan diri sesuai dengan
petunjuk agamanya.
“…Dan,
janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat aniaya
(kepada mereka). Dan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Dan bertakwalah kamu kepada Allah sesungguhnya Allah amat berat
siksaNya”. (Q,.s. al-Maidah: 2).
Kaum
Muslimin menyambut dengan lapang dada dan sukacita ajaran yang
digariskan langit itu. Mereka memelihara persatuannya, memadu
kegiatannya, menaburkan bibit kebaikan dan ketakwaan dan menumpas
kuman-kuman dan permusuhan. Dalam sekejap saja, dunai menyambut mereka
bagai pemimpin dan guru dunia. Akan tetapi, mengapa cucu-cucu mereka
kini berpaling hanya menjadi pengekor?. Bagaimana mereka telah
menghilangkan landasan hidup yang mereka rintiskan? Allahumma ihdi
qaumi. Wallâhu a’lam .
Sumber: Sirah Shahabiah Nabi, karya Mahmud Mahdi al-Istanbuly