TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA JANGAN LUPA LIKE, FOLLOW KOMENTAR DAN SHARE

Wali Alah dalam Pandangan Maulana Rumi



Matsnawi-e Ma`nawi adalah sebuah kitab tentang para wali dan jalan hidup mereka. Segala seluk beluk tentang wali dijelaskan dalam kitab ini. Di antara kitab-kitab mistik (‘irfan), jarang ditemukan kitab seperti Matsnawi-e Ma`nawi yang mampu menerangkan ihwal dan rahasia para wali dengan penjabaran mendetil dan memukau.
Bisa dikatakan bahwa kitab ini jarang, kalau tak bisa dikatakan tidak, memiliki padanan di antara kitab-kitab irfan atau warisan-warisan mistis di dunia. Kitab agung ini ibarat samudera yang bergolak dan penuh dengan mutiara-mutiara hakikat ketuhanan. Semuanya dilantunkan dalam bingkai syair-syair indah Persia. Kami hanya akan membahas salah satu masalah irfan terpenting Rumi, yaitu ihwal wali Allah.
Dalam pandangan Rumi, kewalian (wilayah) adalah sebuah kehidupan kedua; mati dan keluar dari kehidupan materi, lalu hidup dengan kehidupan spiritual. Alquran juga menerangkan makna ini, Apakah orang yang mati, kemudian Kami hidupkan dan memberinya cahaya, yang dengannya ia berjalan di tengah manusia, sama seperti orang berada dalam kegelapan dan tak akan keluar darinya. (Al-An`am:122)

Para wali Allah seumpama Isrofil yang meniupkan nyawa kepada orang mati dan memberinya kehidupan kembali.

Dari mulut manusia yang harum

Kudengar pesan ilahi, juga salam

Sqlam ini tercium oleh semua

Kuteguk dengan hati yang lebih lezat darinya

Dari salam itu terdengar salam Tuhan

Yang telah nyalakan api dalam dirinya

Ia sudah mati, tapi hidup bersama Tuhan

Karena itulah bibirnya ucapkan rahasia Tuhan

Matinya tubuh adalah kehidupan

Derita tubuh kan lestarikan jiwa

Para wali adalah Isrofil masa ini

Mereka hidupkan orang mati

Jiwa-jiwa mati dalam kuburan badan

Suara mereka teredam dalam kafan

Mereka kata, suara ini berbeda dari yang lain

Yang beri kehidupan adalah suara Tuhan

Kita mati dan habis sudah

Kita bangun saat suara Tuhan berkumandang


Bahwa para wali ibarat Isrofil yang memberikan jiwa kepada orang mati, Rumi menjelaskan bahwa mereka sudah mati meninggalkan diri sendiri dan hidup kembali dengan (cahaya) Allah. Mereka telah melebur dalam cinta ilahi sedemikian rupa, sehingga mereka mendengar dan melihat dengan Allah. Semua sifat mereka adalah sifat rabbani. Rumi berargumen dengan hadis qurb nawafil, qurb faraidh, dan riwayat man kana Allah lahuMeski hakikat-hakikat yang didengar dari lisan wali Allah berasal dari lidah mereka, namun sesungguhnya itu adalah suara Sang Penguasa Wujud.
Rahasianya adalah bahwa Allah telah mengajarkan rahasia-rahasia asma ilahi kepada manusia serta menyingkap rahasia asmaul husna melalui manusia atau wali-Nya kepada makhluk-makhluk lain. Lantaran manusia adalah manifestasi asma ilahi, maka cahayanya adalah cahaya Allah dan cahaya-Nya menyinari orang-orang beriman melalui wali-Nya.

Dia yang ajarkan asma-Nya kepada Adam

Dan Adam singkap asma-Nya kepada selainnya

Para wali menguasai alam wujud berkat kuasa Allah. Dengan kuasa-Nya pula mereka mampu menarik anak panah yang telah melesat, kembali ke busurnya.
Jika kita menyerupakan alam wujud sebagai samudera, maka para wali adalah paus-paus penjaga samudera ini dan ikan-ikan di dasarnya. Karena mereka berada dalam naungan kubah keagungan Allah, hingga membuat mereka tak bisa dikenali selain mereka. Para wali berada dalam kubah la ya`rifunahum ghoiri (tak ada yang mengenal mereka selain-Ku).


Mereka adalah ikan-ikan lihai di bawah samudera

Ular jadi ikan dengan sihir mereka

Mereka adalah ikan-ikan di dasar samudera Tuhan

Semua mereka kuasai sihir yang diijinkan Tuhan

Maka mustahil kenali mereka

Kesialan menyelam di sana dan keluar menjadi keberuntungan

Jika aku bicara tentang mereka hingga kiamat

Bicaraku tak akan rampung meski terjadi seratus kiamat


Para wali adalah ‘bayangan’ Allah di dunia. Sebagian urafa menyebut wujud mutlak sebagai bayangan Allah. Mereka berdalil dengan ayat, Tidakkah kaulihat Tuhanmu yang telah memanjangkan bayangan. Dan andai Ia menghendaki, niscaya Ia akan membuatnya tenang. (Al-Furqan:48). Menurut Rumi, bayangan yang dihamparkan Allah adalah para wali. Oleh karena itu, manusia harus berpegang dengan mereka agar terlindung dari bencana akhir zaman.

Hamba Tuhan adalah bayangan-Nya

Mati di dunia ini, tapi hidup di sisi-Nya

Segera pegang tangan mereka

Agar selamat dari bencana

Jangan pergi ke lembah tanpa pemandu

Seperti Ibrahim, katakan “la uhibbul afilin”


Para wali adalah alkemis sejati. Mereka merubah wujud manusia dari tembaga menjadi emas. Jika kisah tentang berubahnya tembaga menjadi emas adalah benar dan bukan sekedar mitos, lalu apa gunanya bagi manusia? Andai dunia ini dipenuhi emas sekalipun, bukankah itu tak akan berguna bagi manusia saat ia mati, dan bahkan hanya membawa penyesalan? Kimia yang sesungguhnya adalah kimia kewalian, yang mengantarkan manusia kepada Allah. Kewalian tak akan berakhir dengan kematian, bahkan turut menyertai manusia ke akhirat. Bisa dikatakan bahwa dalam wujud manusia, hanya kewalian yang tetap tersisa. Dengan satu pandangan, para wali bisa mengubah orang kafir menjadi orang beriman, orang musyrik menjadi muwahhid, orang bodoh menjadi berilmu, dan jauh dari Allah menjadi dekat dengan-Nya.
Dalam Buku Ketiga, Rumi menyebut para wali sebagai tabib-tabib ilahi. Ia membandingkan mereka dengan para tabib biasa, yang disebutnya sebagai ‘tabib-tabib dunia.’ Para wali adalah tabib-tabib jiwa. Mereka belajar dari Allah, mengendalikan alam dengan ijin-Nya, melihat langsung ke hati manusia, mendeteksi penyakitnya, dan mengobatinya. Mereka tahu apa manfaat dan bahaya setiap perbuatan dan tindakan. Ilmu mereka adalah ilham dari Allah yang tak mungkin dinodai oleh waswas dari setan.
Berbeda dengan tabib jasmani yang mengetahui kondisi manusia melalui nadinya, para wali mengetahuinya dari ilham ilahi. Tak seperti tabib biasa yang mengambil upah dari pasien, para nabi dan wali tak menuntut imbalan atas amanat kenabian dan kewalian mereka.


Kami adalah murid-murid Tuhan

Samudera terbelah saat tatap kami

Tabib-tabib jasmani itu berbeda

Mereka tahu batin manusia lewat nadi

Kami tahu batin manusia tanpa perantara

Karena kami miliki pandangan tajam

Tak ada upah yang kami kehendaki

Imbalan kami datang dari Yang Mahasuci


Dalam Buku Keempat, Rumi menegaskan bahwa para wali adalah ‘mata-mata’ hati. Mereka tahu penyakit agama dan hati pengikut mereka melalui tatapan mata. Mereka tahu isi hati manusia lewat nada bicara dan warna mata, bahkan meski tak satu pun kata terucap. Dengan mendengar nama seseorang dari jauh, mereka bisa menyelami batinnya hingga dasarnya. Sebagaimana dikatakan bahwa Yazid Basthami telah memberitahukan sifat dan kedudukan spiritual Abul Hasan Kharqani jauh sebelum ia dilahirkan.
Para nabi dan wali adalah wakil-wakil Allah. Memang Allah tak bisa dilihat dengan mata, tapi wakil-Nya bisa dilihat dengan mata. Melihat mereka sama saja dengan melihat Allah, seperti yang ditegaskan dalam riwayat dari Nabi saw,”Sesiapa yang melihatku, berarti ia telah melihat Allah.” Ini dikarenakan wali mutlak adalah manifestasi asmaul husna ilahi. Mereka telah melebur sedemikian rupa dalam cinta ilahi sehingga tak ada perpisahan antara mereka dan Allah.
Ketika masa kenabian telah berlalu dan wanginya telah berakhir, maka kita harus mencari wangi bunga kenabian dalam sari bunga kewalian, yang merupaka perasan dari kenabian.
Secara lahiriah, para wali nampak biasa-biasa saja. Tapi dalam diri mereka terpendam banyak hal; semua dunia, surga dan neraka, serta segala bagian dari wujud tunduk kepada wali mutlak. Pada prinsipnya, kedudukan wali mutlak tak bisa dilukiskan dalam bingkai kata-kata. Apapun yang kita lihat pada diri mereka, sebenarnya kita hanya melihat rumahnya saja dan lalai dari tuan rumah. Kita tidak tahu bahwa ada mutiara yang sedemikian berharga. Sebagian orang gemar memuliakan masjid-masjid, tapi mengusik manusia-manusia pilihan yang merupakan rahasia masjid. Para wali adalah hakikat masjid dan mihrab, bahkan mereka adalah masjid dan tempat sujud sejati semua makhluk. Bangunan masjid tak lebih dari sebuah kiasan di hadapan para wali.
Karena para wali telah melebur dalam cinta ilahi dan menyingkirkan hawa nafsu, maka tak ada perselisihan di antara mereka. Berbeda dengan ilmu-ilmu biasa, yang disebut Rumi sebagai “ilmu-ilmu prasangka,” yang dipenuhi perbedaan dan perselisihan. Pada hakikatnya, wujud para wali ini telah disinari cahaya ilmu.
Lantaran orang-orang beriman telah menaklukkan hawa nafsu, maka kendati secara lahiriah mereka berjumlah banyak, namun hakikat iman adalah satu. Meski tubuh mereka berbeda, tapi seolah satu jiwa ditiupkan kepada tubuh-tubuh ini. Sebaliknya, karena orang-orang biasa masih dikuasai nafsu hewani, maka mereka saling bertarung seperti anjing dan serigala. Tapi jiwa-jiwa para wali Allah bersatu ibarat singa-singa.
Rumi menggunakan perumpamaan cahaya. Ketika cahaya matahari menyinari pekarangan rumah-rumah, cahaya itu menjadi banyak mengikuti banyaknya pekarangan. Tapi jika pekarangan-pekarangan itu diambil, maka pasti cahaya itu menjadi satu. Rumi mengulang perumpamaan indah dan penyerupaannya dengan cahaya kewalian di beberapa tempat dalam Matsnawi-nya. Ia menyerupakan para wali dengan cahaya dua mata yang tak memiliki perbedaan. Atau seperti seratus pelita dalam sebuah rumah yang saling berbagi cahaya.
Para wali adalah anonim di tengah masyarakat. Keberadaan mereka selalu dipungkiri. Jarang ada orang yang mengetahui rahasia mereka. Inilah yang menyebabkan kesesatan orang awam, sebab orang biasa menghukumi secara lahiriah dan melalaikan sisi batiniah. Mereka menganggap wali seperti mereka, bahkan menganggap diri mereka lebih unggul darinya. Seperti yang dilakukan orang-orang kafir ketika melihat Rasulullah seperti mereka. Mereka berkata,”Nabi macam apa ini? Dia makan, tidur, dan berjalan seperti kita.” Para wali adalah manusia dari jenis lain. Perbedaan mereka dengan manusia biasa seperti perbedaan antara lebah madu dan lebah penyengat, atau kijang penghasil kotoran dan kijang penghasil kesturi. Manusia biasa tak bisa melihat perbedaan antara mereka, sebab ia menghakimi dengan mata kepala, bukan mata hati.


Jangan bandingkan orang suci dengan dirimu

Meski satu singa sama dengan yang lain dalam memangsa

Semua dunia tersesat karena ini

Jarang orang tahu rahasia wakil ilahi

Mereka anggap wali seperti mereka

Kata mereka, kami sama-sama manusia

Kami sama-sama tidur dan makan

Orang awam ini tidak ketahui

Perbedaan tanpa ujung antara mereka

Dua lebah sama-sama makan dari satu tempat

Tapi yang ini keluarkan sengat, yang itu madu

Dua rusa sama-sama makan rumput

Tapi yang ini keluarkan kotoran, yang itu kesturi

Dua tebu sama-sama minum air

Tapi yang ini kosong, yang itu berisi gula

Lihatlah ribuan yang mirip semacam ini

Tapi masing-masing berbeda jauh

Yang ini makan, kotoran keluar darinya

Yang itu makan, cahaya memancar darinya


Kecintaan terhadap para wali adalah kecintaan kepada Allah, dan permusuhan dengan mereka adalah permusuhan dengan-Nya. Bergabung bersama mereka adalah bergabung dengan Allah, dan berpisah dari mereka adalah berpisah dari-Nya. Jika Allah hendak menghinakan suatu kaum, maka Ia akan membuat mereka menyakiti hati wali-Nya. Rumi memperingatkan manusia agar jangan memusuhi para wali dan menghimbaunya untuk mencintai mereka. Ia selalu mengatakan jangan sampai manusia meniru para pendahulunya yang memusuhi wali-wali Allah. Ia harus tetap waspada dan tidak membiarkan tanda-tanda permusuhan kepada wali Allah muncul dalam dirinya.
Salah satu pembahasan penting tentang wali yang dikemukakan Rumi adalah ilmu mereka. Karena para wali telah melebur dalam cinta ilahi, maka Allah menjadi telinga, mata, dan lisan mereka saat mendengar, melihat, dan berbicara.

Sumber

Tauhid dan Pembebasan



Banyak di antara kita yang akan memiliki kesulitan besar dalam memahami bagaimana tauhid terkait dengan pembebasan. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena kita telah dikondisikan untuk memiliki tingkat keimanan yang terbatas hanya pada perkumpulan peribadatan seperti maulud dan hajatan, hukum fiqh (yurisprudensi Islam), ibadah keagamaan dan dogma teologis. Iman (keyakinan) kita seperti jubah di dalam masjid. Penggunaannya terbatas pada jam-jam tertentu dan hanya di dalam masjid sehingga keyakinan diceraikan dari kenyataan dan dipisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Jadi banyak di antara kita yang memiliki mata dan telinga keimanan yang hanya mampu melihat dan mendengar di dalam masjid atau di daerah-daerah yang dirujuk oleh keyakinan atau dogma. Ketika membaca surat kabar atau menemukan permasalahan sosial atau politik, mata keimanan kita menjadi buta dan telinga keimanan kita menjadi tuli.

Kita melihat kenyataan tetapi kita tidak benar-benar melihatnya dan kita mendengar banyak hal tetapi tidak memahaminya. Berapa banyak di antara kita yang dapat mengingat wajah penjaja surat kabar yang kita lihat setiap hari; apalagi memahami kenyataan di balik wajah tersebut? Kami bukan membuat pembelaan dengan menekankan bahwa tauhid memiliki dimensi pribadi, sosial, dan politik. Meskipun demikian, para aktivis Muslim harus menjaga diri mereka dari ketidakseimbangan Islam mereka. Islam tidak hanya merupakan sebuah sistem politik atau memberikan solusi-solusi politik. Ketika kita mendukung Islam yang holistik maka kita juga merujuk kepada misalnya hubungan kita dengan bumi; kepada kerukunan semua makhluk sebagai bagian dari ekosistem; perlindungan laut, gunung, hutan, dan hewan-hewan liar. Kita berbicara tentang bagaimana kita berurusan dengan teman, hubungan antarpribadi kita. Kita merefleksikan kualitas dan frekuensi shalat kita serta sikap kita terhadap azan. Itu baru merupakan beberapa pokok persoalan yang terkait dengan Islam yang komprehensif. Kita harus melakukan semuanya dan tidak hanya beberapa yang kita anggap bisa dilakukan. Kita tidak boleh masuk ke dalam jebakan yang sama seperti mereka yang mengatakan atau bertindak seolah-olah Islam itu murni bersifat spiritual. Apabila kita mengatakan atau bertindak seakan-akan Islam itu murni bersifat politis, maka kita juga telah bersalah karena berpegang kepada sebagian dari Kitab Suci dan menolak sebagian yang lain.

Kamu percayai sebagian Kitab dan menolak yang sebagian lagi? Ganjaran orang yang berbuat demikian di antara kamu tak lain hanyalah kehinaan dalam kehidupan dunia ini dan pada hari kiamat mereka dikembalikan ke dalam azab yang berat. Dan Allah tiada lengah akan segala yang kamu lakukan.
Jadi sekarang kita telah berkumpul untuk merefleksikan hubungan antara tauhid dan pembebasan. Apa makna tauhid dalam konteks penindasan? Masyarakat seperti apakah yang Allah inginkan kita untuk mewujudkannya, dalam kaitannya dengan filsafat dan realitas tauhid? Orang seperti apakah yang memiliki kepribadian tauhid? Apakah tauhid bermakna lebih daripada apa yang selama ini kita pahami?
Keesaan Allah begitu pentingnya sehingga Dia mengutus sekitar 124.000 Nabi ‘alaihim al-salam untuk memproklamirkannya. Tidak hanya itu, tetapi mereka juga terkena ujian, penyiksaan dan bahkan kematian yang mengerikan untuk menegakkan kesatuan ini. Mengapa Allah mengutus begitu banyak orang pilihan-Nya dan mengapa mereka mengalami begitu banyak penderitaan? Apakah hal itu hanya karena Ketunggalan-Nya secara matematis? Apa dampak dari Ketunggalan ini sehingga menimbulkan antagonisme yang sengit dan berlarut-larut dari kaum yang berkuasa terhadap para nabi? Apakah tauhid ada dengan sendirinya, dengan nilai-nilai intrinsik yang hanya memerlukan sebuah pengakuan verbal, tanpa adanya keharusan untuk mewujudkan atau mengaktualisasikannya di sini dan sekarang? Apakah menjadi persoalan Allah itu satu atau tiga atau seribu apabila hal itu hanya meminta sebuah pengakuan verbal dan hubungan budaya yang luas dengan orang lain yang juga telah melakukan hal tersebut? Perkataan berikut akan terdengar seperti sebuah sindiran: Apakah buah pohon ek yang jatuh di hutan akan menimbulkan bunyi apabila tidak ada orang yang mendengar kejatuhannya? Bukankah mendengar adalah prasyarat dari keberadaan suatu bunyi? Analogi matahari mungkin akan lebih dekat dengan tauhid. Matahari ada dengan semua cahaya terangnya, tetapi apa artinya buat saya ketika saya mengalami dingin atau panas sebagai akibat dari keberadaannya? Allah ada di sana, selalu ada di sana dan akan terus ada di sana, tetapi bagaimana saya merasakan Kesatuan-Nya.

Sampai akhir-akhir ini, perdebatan filosofis mengenai tauhid hanya dibatasi kepada Kesatuan Allah secara matematis; apakah Tangan-Nya adalah tangan yang riil; Apakah Singgasana-Nya bersifat fisik, dsb. Dengan demikian, perdebatan itu dibatasi hanya kepada ‘dunia yang lain’ atau murni bersifat ortodoks-yang berlawanan dengan ortopraxis. Keyakinan Anda harus baik dan keyakinan adalah sesuatu yang tertinggi dan sederhana, dengan sebuah pengakuan verbal. Selalu terdapat elemen-elemen penting, terutama para pengikut Abdul Wahab Najdi dan Ibnu Taimiyyah, yang menyamakan ortodoksi – keyakinan yang benar – dengan ortopraksis – tindakan yang benar. Mereka juga beranggapan bahwa yang pertama akan hampa tanpa yang terakhir. Meskipun demikian, para cendekiawan pada masa kemudian, seperti Fazlur Rahman Anshari, Muhammad Iqbal, Khalifah Abdul Hakim dan Ali Syari’ati menjelaskan bahwa tauhid terdapat dalam keseluruhan kosmos, dan umat manusia, sebagai bagian dari kosmos tersebut, harus mengatur kehidupan pribadi dan sosialnya sesuai dengan tauhid. Jadi kami menyatakan bahwa keesaan Allah hanya akan berarti untuk saya apabila saya menjadi seorang prajurit di dalam perjuangan untuk mengaktualisasikan sebuah tata tertib tauhid dalam kehidupan pribadi dan kehidupan sosial-ekonomi saya.

Adakah manusia mengira, bahwa mereka akan dibiarkan berkata, “Kami beriman,” padahal mereka tidak diuji? Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, dan Allah pasti tahu siapa yang benar dan pasti tahu siapa yang berdusta.
Kami kemudian diberitahu bahwa sebuah pernyataan verbal tidaklah cukup dan harus diikuti oleh sebuah perjuangan untuk membenarkannya. Hal ini direfleksikan lebih lanjut dalam hadis berikut:

Barangsiapa melihat kemunkaran, hendaklah dia mencegah dengan tangannya, bila tidak mampu hendaklah dia mencegah dengan lisannya dan bila tidak mampu juga hendaknya dia mencegah dengan hatinya, dan itu (hatinya) adalah selemah-lemahnya iman.

Versi lain dari hadis yang sama menambahkan: “dan setelah itu tidak akan ada sebiji keimanan yang tertinggal.” Kita belajar dari hadis ini bahwa keadaan keimanan kita terkait langsung dengan tingkat di mana kita siap untuk menentang kemunkaran, dan ketika Nabi saw menyatakan bahwa “setelah itu tidak akan ada sebiji keimanan yang tertinggal,” maka itu berarti bahwa hati yang kosong dari perlawanan terhadap kemunkaran dan penindasan adalah hati yang kosong dari keimanan.

Hadis berikut - “barang siapa meninggal dunia tanpa pernah berjuang untuk Islam atau memiliki niat berjuang untuknya, maka ia meninggal dunia dalam keadaan jahilliyyah (kebodohan atau keadaan tidak beriman pra-Islam)” - menekankan hal ini lebih lanjut.
Lalu apa hubungan antara tauhid dengan pembebasan pribadi dan antara tauhid dengan pembebasan politik? Apa maksudnya ketika kita diminta untuk membentuk sifat-sifat kita sesuai dengan Allah?

Tauhid dan Pembebasan Pribadi Sebuah kepribadian tauhid adalah sebuah makhluk yang terintegrasi dan harmonis, yang menjadi satu dengan dirinya, lingkungan alamnya dan dengan Allah. Ia tidak dapat dan tidak akan membagi hidup ke dalam kehidupan yang religius dan sekuler, privat dan publik, spiritual dan politik, karena hal itu melanggar filsafat integrasionis yang melekat dalam tauhid. Sebuah kepribadian tauhid tidak akan menundukkan kepalanya kepada Allah di masjid dan kepada kapital di pasar bursa di luar masjid. Ia tidak akan mengucapkan Allah-Allah di rumah dan menjadi seorang Freudian di kampus. Ia tidak bisa tetap berpuasa di bulan Ramadhan dan kemudian mendukung sistem sosial-ekonomi yang menindas, baik secara aktif ataupun diam-diam. Ia tidak hanya mengamati dan menentang sistem yang menciptakan dan mengekalkan kelaparan atau kekuatan sosiologis-cum-industrial yang memunculkan sikap permisif yang tak bermoral, tetapi juga mengamati dan menentang perannya di dalam sistem atau kekuatan tersebut. Kepribadian tauhid tidak akan sibuk dengan tari kupu-kupu eskapisme yang sia-sia dan penyimpangan dari pencapaian kesatuan dengan diri. Perjuangan untuk mempribadikan tauhid juga mengimplikasikan perjuangan untuk mengaktualisasikannya secara sosial. Nabi saw telah menyatakan bahwa kufur merupakan sebuah sistem tunggal. Jadi kufur bukan hanya merupakan seperangkat keyakinan tetapi juga sebuah pola perilaku. Anda tidak bisa bersikap lemah lembut di masjid dan terjebak dalam watak kasar di luar masjid. Anda tidak bisa memperhatikan aturan-aturan shalat dan tidak peduli dengan aturan-aturan muamalat (berurusan dengan orang). Sistem nilai dan standar perilaku kita yang valid untuk masjid juga valid untuk toko. Inilah yang dimaksud oleh Nabi saw ketika ia menyatakan bahwa ia tidak khawatir para pengikutnya akan melakukan syirik (pemberhalaan) yang nyata, tetapi khawatir bahwa mereka akan melakukan syirik yang tersembunyi, yaitu bahwa kita akan menganggap Allah sebagai tuhan kita di masjid tetapi membiarkan diri rendah kita berkuasa sebagai bos di diskotik. Ini adalah syirik. Itu tidak hanya syirik, tetapi juga sakit. Pertama-tama, hal itu akan mengarah kepada kepribadian yang terbelah dan kemudian kepada disintegrasi kepribadian.

Tauhid dan Pembebasan Sosial-Ekonomi Sebuah masyarakat tauhid bermakna kesatuan semua makhluk karena kesatuan Penciptanya. Umat manusia tidak bisa mengeksploitasi semua sumber daya bumi dan beranggapan bahwa sumber daya itu tidak terbatas. Kita tidak boleh memperkosa dan menjarah bumi dengan memandang rendah lingkungan kita sepenuhnya, memburu, memakan, dan mengeksploitasi seolah-olah tidak akan ada hari esok. Kita tidak bisa terlibat dalam industrialisasi yang tak terkontrol tanpa memperhitungkan biaya-biaya yang terkait dengan limbah industrial dan kerusakan ekosistem. Umat manusia adalah bagian dari lingkungan alam dan kita tidak boleh menganggap diri kita sebagai lawan darinya.

Sebuah masyarakat tauhid tidak hanya berarti bahwa umat manusia menjadi satu dengan alam, tetapi yang paling penting adalah bahwa kita menjadi satu dengan umat manusia lainnya. Dengan demikian, kita tidak hanya berjuang melawan semua model pembangunan yang berupaya membuat kita menjadi penguasa asing di bumi, tetapi kita harus mencapai kesatuan dengan umat manusia lainnya, karena Hai umat manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu!”

Dr. Ali Syari’ati sebagai seorang syahid berpendapat bahwa masyarakat tanpa kelas adalah sebuah konsekuensi dari tauhid. Maulana Fazlur Rahman Anshari juga berpendapat bahwa sebuah masyarakat tauhid bersifat “non-rasial, non-kesukuan, tanpa kasta dan tanpa kelas.” Masyarakat tauhid adalah sebuah masyarakat egalitarian yang melampaui kekakuan egalitarianisme menuju masyarakat persaudaraan. Nilai dari masyarakat itu diwakili dalam al-Quran dan konsep “falâh,” yaitu kesejahteraan, yang dalam kaitannya dengan tauhid haruslah bersifat kolektif dan integralistik, yaitu secara politik, ekonomi, moral, fisik, spiritual, dsb.

Jadi anggota masyarakat yang seperti itu tidak hanya disebut sebagai orang yang setara secara ekonomi, tetapi juga sebagai saudara dan saudari, yang serba-mencakup. Hal ini biasanya dengan senang diakui oleh semua Islamis dan ini agak mengganggu. Hal itu mengganggu, karena cukup banyak Islamis yang berasal dari sebuah kelas yang akan kehilangan banyak apabila masyarakat yang seperti itu benar-benar terwujud. Bisa saja komitmen mereka terhadap perwujudannya bersifat total, sehingga mereka melupakan implikasi ekonominya atau mereka menganggap bahwa sebuah Afrika Selatan yang baru akan dibangun dengan pemilik yang sekarang tetap menjadi penjaga, yang akan menjangkau kaum tak berpunya dengan ramah, sebuah kedermawanan yang paternalistik. Apa yang perlu kita tanyakan adalah bisakah kita berbicara tentang kemauan untuk bergerak menuju sebuah masyarakat tauhid yang fraternalistik, apabila kapitalisme dan konsumerisme seumur hidup serta dua ratus tahun industrialisasi telah mengeraskan hati orang-orang beriman yang tak sadar dalam “tauhid yang melangit.” Kemudian kita merasa bahwa kita harus memberontak dan menghancurkan semua sistem yang membelah rakyat atas dasar apapun kecuali takwa (kesalehan) karena “tidak ada keutamaan orang Arab atas orang non-Arab atau orang non-Arab atas orang Arab kecuali dengan takwa.”

Inilah makna tauhid dalam kehidupan kita. Tauhid bukanlah persaudaraan yang lemah dan emosional, yang ditunjukkan oleh para apologis Muslim kepada dunia non-Muslim. Lihatlah dalam masjid kita, di mana kaum miskin dan kaya shalat bersama! Lihatlah dalam haji, di mana kaum kulit hitam dan kulit putih menjalankan thawaf Kabah bersama-sama, kita semua dalam pakaian ihram yang sama! Itu hanyalah tauhid simbolik yang harus kita lampaui. Apa gunanya kesatuan Arafah ketika Anda kembali ke rumah dan kulit hitam dipisahkan lagi dari kulit putih? Juga beberapa di antara kita mati karena tidak cukup makan sementara yang lain mati karena kekenyangan? Apa gunanya kita berdiri bersama-sama sebagai saudara dalam masjid apabila setelah shalat Anda pulang ke rumah megah Anda sementara sang muazzin harus merangkak masuk ke dalam kamarnya yang kecil? Maulana Yusuf, amir kedua dari Tablighi Jama’at berpendapat bahwa adalah suatu penindasan apabila beberapa di antara kita tinggal di istana sementara yang lainnya tinggal dalam gubuk. Bekerja untuk menghilangkan rintangan-rintangan ini adalah bekerja untuk membangun tauhid di bumi.

Ketika Sayyidina ‘Ali mengatakan bahwa tidak mungkin beberapa orang mendapatkan sejumlah besar kekayaan kecuali yang lain mati kelaparan; ketika Sayyidina Abu Dzar al-Ghiffari mengatakan:

“Seandainya aku berkuasa, maka aku akan pergi ke semua orang kaya dan mengambil dengan paksa kelebihan harta mereka serta membagikannya kepada orang-orang miskin.” Ketika Sayyidina ‘Umar mengatakan: “Seandainya sebelumnya aku tahu apa yang kuketahui sekarang, maka aku tidak akan ragu-ragu untuk mengambil kelebihan harta kaum Anshar dan membagikannya kepada kaum Muhajirin yang miskin.”

Semua ini menunjukkan perjuangan para pendahulu kita untuk mewujudkan tauhid dalam bidang sosial-ekonomi. Tetapi bagaimana dengan Nabi Sulaiman dan Hazrat Utsman? Bukankah mereka itu kaya? Kekayaan mereka pada hakikatnya tidak pernah terkait dengan keseluruhan sistem penindasan dan eksploitasi. Lagipula, mereka adalah raksasa-raksasa spiritual. Kekayaan mereka ada di tangan mereka dan keimanan mereka dengan kuat melekat di hati mereka. Ketika muncul kebutuhan terhadap kekayaan mereka, maka mereka akan mengeluarkannya dengan sukarela. Dan ketika cinta kepada isi tangan mereka mengancam isi hati mereka, maka mereka melepaskan isi tangan mereka untuk melindungi keimanan mereka. Mereka diasingkan oleh masyarakat apabila mereka memperlihatkan keengganan untuk melakukan hal itu. Nabi saw tidak menjawab ucapan salam mereka dan bahkan istri mereka diperintahkan untuk dipisahkan dari mereka. Contoh khusus adalah Murarah bin Rabi, Hilal bin Ummayah dan Ka’ab bin Malik.
Mereka menunda keikutsertaan mereka ketika panggilan jihad datang. Kebun kurma mereka sedang berkembang penuh dan karena pada saat itu adalah musim panen, maka mereka takut kehilangan hasil panen yang sangat besar, yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Mereka tinggal dan beranggapan bahwa mereka akan mengikuti ekspedisi setelah selesai memanen. Tetapi ekspedisi tersebut pulang lebih awal dari yang diperkirakan. Mereka semua mendatangi Nabi saw untuk menyatakan alasan mereka. Nabi saw mengabaikan mereka, tidak menjawab ucapan salam mereka, memerintahkan masyarakat untuk mengasingkan mereka dan memerintahkan istri mereka untuk dipisahkan dari mereka selama empat puluh hari. Manusia modern – dan juga termasuk umat “Muslim” - duduk dengan kekayaan di hatinya dan keimanan di tangannya – ketika isi hati mereka terancam, mereka akan melepaskan apa yang ada dalam tangan mereka.
Manusia modern, yang merupakan tikus spiritual, tidak dapat membandingkan diri mereka dengan Nabi Sulaiman as atau Hazrat Utsman karena mereka tidak bisa dipercaya dengan keimanan mereka sendiri.

Selanjutnya, tidak bisa dipercaya, bahwa mereka berpegang pada kekayaan mereka di hadapan kemiskinan di sekitar mereka. Jadi kita, tanpa merasa malu, memilih kaum miskin dan tertindas. Kita mengambil pilihan ini karena Allah sendiri dan semua nabinya as mengambil pilihan ini.
Dan Kami hendak memberi karunia kepada mereka yang tertindas di bumi; dan akan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin dan Kami jadikan mereka para ahli waris; (Lebih jauh lagi, hendak) Kami kukuhkan mereka di bumi ini, dan hendak Kami perlihatkan kepada Firaun dan Haman, serta pasukannya, apa yang mereka khawatirkan.10
Apabila kita harus memilih antara perspektif Abu Dzarr dan Utsman maka kita harus memilih satu yang dekat dengan pembebasan. Di sebuah negara di mana 10 anak meninggal tiap jam karena kekurangan gizi, maka kita dipaksa untuk mengikuti perspektif Abu Dzarr. Islam, sebagai agama yang dinamis, memang mengakui perubahan dalam urusan manusia dan menjawab tuntutan sah masyarakat yang muncul dari waktu ke waktu. Pembatalan Umar ra terhadap aturan memberikan zakat kepada mereka yang hatinya condong kepada Islam adalah sebuah contoh. Beberapa orang di antara kita meminta untuk membatalkan instruksi tegas Nabi saw bahwa perempuan tidak boleh dihalangi untuk sering mengunjungi masjid, karena menurut mereka, waktu telah berubah. Perubahan-perubahan ini semuanya dapat diterima karena tidak menyentuh apa yang paling menyakitkan – rekening bank kita.
Nabi saw telah mengidentifikasi dirinya dengan kaum tertindas dengan konsisten. Marilah kita jujur. Kita sama sekali tidak bisa percaya bahwa dalam etos Makkah atau Madinah terdapat lemari es yang penuh di tengah-tengah kelaparan. Bahkan ketika orang tidak sekarat karena kelaparan, maka masih tidak bisa dipahami bahwa Nabi saw akan mengizinkan penimbunan makanan untuk enam bulan berikutnya, karena takut Allah sendiri akan mengetahuinya. Kita harus percaya kepada Allah ketika kita mengikat unta kita. Tetapi mengikat unta kita di Makkah atau Madinah tidak pernah berarti terserang panik karena bayangan kelaparan di masa depan. Tauhid bermakna pembebasan rakyat dari ketidakamanan ini dengan lenyapnya ketamakan.

Pilihan yang kita ambil sekarang ini, untuk kaum miskin, harus berarti bahwa kita mempertanyakan cara yang kita coba untuk melindungi masa depan kita. Terdapat beberapa orang yang membangun rumah-rumah besar sehingga anak-anak mereka, yang beberapa di antaranya masih merangkak sementara yang lainnya belum lahir, akan memiliki kamar atau tempat tinggal mereka sendiri lima belas tahun kemudian, sementara para pekerja mereka, yang cukup tua untuk menjadi ibu saya dan Anda, hidup dengan seluruh keluarga mereka di satu bagian dari garasi kita. Asuransi jiwa telah menjamin masa depan keluarga kita setelah kita meninggal, sementara kita mengabaikan kehadiran mereka yang bekerja untuk kita ketika kita masih hidup. Seolah-olah Allah Swt akan bertanya kepada kita tentang berbagai peristiwa yang terjadi setelah kita meninggal.
Karena kita diciptakan tidak hanya untuk bertahan hidup, kita adalah sebuah umat “yang dilahirkan untuk segenap manusia” sehingga kita mesti menjawab tangisan umat manusia. Tanggapan terhadap kebutuhan rakyat jelas merupakan jawaban terhadap undangan Allah untuk membangun sebuah masyarakat yang adil, damai, setara, mencintai dan benar.

Dinyatakan dalam salah satu hadis qudsi Nabi saw bahwa pada Hari Kiamat Allah akan mengatakan kepada hamba-Nya, “Aku sakit, tetapi kamu tidak menjenguk-Ku.” Si hamba akan bertanya, “Bagaimana aku harus menjenguk-Mu sedangkan Engkau adalah Tuhan bagi alam semesta.” Setelah itu Allah akan menjawab, “Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si fulan sedang sakit, tetapi kamu tidak menjenguknya? Seandainya kamu menjenguknya (untuk menghibur dan membantu) pasti kamu dapati Aku di sisinya.” Ia akan bertanya lagi, “Hai anak Adam, Aku minta makan kepadamu, tetapi tidak kamu beri Aku makan.” Si hamba akan menjawab, “Bagaimana aku memberi makan Engkau, sedangkan Engkau adalah Tuhan bagi alam semesta?” Allah kemudian akan mengatakan, “Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si fulan meminta makan kepadamu, tetapi tidak kauberi makan? Seandainya kamu beri makan dia niscaya kamu dapati Aku di sisinya.” Allah akan bertanya lagi, “Wahai anak Adam, Aku minta minum kepadamu, tetapi tidak kamu beri minum.” Si hamba akan menjawab, “Bagaimana aku memberi-Mu minum sedangkan Engkau Tuhan bagi alam semesta?”, Allah akan mengatakan, “Hamba-Ku si fulan meminta minum kepadamu, tetapi tidak kamu beri minum. Seandainya kamu memberinya minum niscaya akan kamu dapati Aku di sisinya.”
Tanggapan terhadap tangisan kaum tertindas adalah jawaban terhadap panggilan Allah. Mengabaikan tangisan kaum tertindas sama dengan mengabaikan panggilan Allah.[]


Catatan Kaki:

1 Ceramah ini disampaikan di Roshnee pada bulan November 1984.
2 QS 2:85.
3 QS 29:2-3.
4 Bukhari dan Muslim.
5 QS 4:1.
6 Lihat lebih lanjut Qur’anic Foundation and structure of Society oleh Fazlur Rahman Anshari, Karachi 1976, jilid 1, hlm. 157-198.
7 Muslim, Bukhari dan Tarmidzi.
8 Ibn Hazur, Vol. IV, hlm. 158.
9 Kisah ini diceritakan dengan sangat terperinci dalam “Stories of Sahabah” oleh M.M. Zakariyyah.
10 QS. 28: 5-6.

Sumber: http://maulanusantara.wordpress.com/2012/01/12/tauhid-dan-pembebasan-2/

Keindahan Sang kekasih di Kalbu Pencinta



Awalnya aku melakukan empat kesalahan. Aku menyuntukkan diri untuk selalu mengingat Tuhan, untuk mengenal-Nya, untuk mencintai-Nya dan mencari-Nya. Ketika aku telah sampai di ujung perjalanan aku menyaksikan bahwa Dia telah mengingatku sebelum aku mengingat-Nya. Pengetahuan-Nya tentang aku telah mendahului pengetahuanku tentang Dia. Cinta-Nya terhadapku telah lama sebelum cintaku kepada-Nya dan Dia telah mencari aku sebelum aku mencari-Nya.
Aku berpikir bahwa aku telah sampai di Tahta Tuhan dan berkata kepadanya: “Wahai Sang Tahta, mereka memberitahuku bahwa Tuhan bersemayam di atasmu.” “Oh Bayazid,” jawab Tahta, “kami diberitahu bahwa Dia bersemayam dalam jiwa yang sederhana.”

(Abu Yazid Thaifur al Bisthami)

__________________________

Hal terbaik bagi hamba, yang ingin berdekatan dengan Tuhannya, adalah untuk tidak memiliki apapun di dunia ini atau di dunia esok kecuali Dia semata. Aku tidak mengabdi kepada Allah karena ketakutan akan Neraka, karena aku akan menjadi seorang hamba yang buruk, jika aku melakukannya karena rasa takut. Tidak juga karena Surga, karena aku akan menjadi hamba yang buruk jika aku mengabdi demi apa yang diberikan. Tetapi aku telah beribadah kepada-Nya hanya semata karena kecintaanku kepada-Nya dan karena hasratku hanya kepada-Nya.
Oh Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut akan neraka, bakarlah aku di Neraka. Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan Surga, buanglah aku dari sana, tutup pintunya untukku. Tetapi jika aku menyembah-Mu karena Engkau semata, maka jangan palingkan wajah-Mu, jangan tampik aku dari Kecantikan Abadi-Mu.
Aku telah menjadikan-Mu Sahabat kalbuku,
Tetapi tubuhku siap sedia bagi mereka yang menginginkan persahabatan
Dan tubuhku akrab dengan tamu-tamunya,
Tetapi Sang Kekasih hatiku adalah Tamu jiwaku.

(Rabi’ah al ‘Adawiyah)

____________________________


Tahap pertama bagi hamba yang telah menemukan pengetahuan tentang kemenyatuan dan kebenaran, adalah bahwa di sana telah hilang dari kalbunya semua ingatan kepada benda-benda dan dia menyendiri bersama Tuhan Yang Maha Tinggi. Karena tahap pertama kemenyatuan adalah bahwa sang hamba menyerahkan segalanya dan mengembalikan semua benda kepada-Nya dan kepada Siapa milik semua itu dan bahwa Dia-lah yang mengendalikannya dan membuatnya kembali kepada Diri-Nya. Jadi demikianlah, ingatan terhadap semua benda lepas dari kalbu sang hamba dan ingatan kepada Tuhan Yang Maha Tinggi menggelayuti kalbunya dan ingatan terhadap benda-benda lepas dari kalbunya ketika mengingat Tuhan Yang Maha Mulia.
Terberkahilah manusia yang telah minum dari cangkir cinta-Nya dan mengecap kesenangan bercakap dengan Tuhan Maha Mulia dan telah mendekati-Nya dengan suka dalam kecintaan kepada-Nya. Kalbunya penuh dengan cinta dan, penuh suka, dia telah mendekati Tuhan dan datang kepada-Nya, dengan penuh kerinduan kepada-Nya. Betapa besar jeritan cinta dan sendu kerinduan untuk Tuannya! Dia tidak memiliki tempat tinggal kecuali dalam Dia, tiada pula teman akrab baginya kecuali Dia.

(Abu Sa’id Ahmad bin Isa al Kharraz)

_________________________________

Jika Engkau menempatkan di depanku api Neraka, dengan semua kandungan sikssa, aku akan memikirkan sedikit tentangnya disbanding keadaanku ketika Engkau sembunyi dariku. Ampunilah orang-orang itu dan jangan ampuni aku, dan berkahilah mereka dan jangan berkahi aku. Aku tidak meminta ampunan kepada-Mu untuk diriku sendiri maupun memohon kepada-Mu untuk kebutuhanku sendiri. Lakukan apapun yang Engkau kehendaki terhadapku.
Aku adalah Dia Yang aku cintai dan
Dia Yang aku cintai adalah Aku,
Kami adalah dua ruh yang berkelindan dalam satu jasad.
Ketika kau melihatku, kau melihat-Nya,
Dan ketika kau melihat-Nya,
Maka sesungguhnya kau melihat Kamu berdua.

(Husain bin Manshur al Hallaj)

________________________________

Doa sejati yang paling tinggi adalah perenungan Tuhan dengan kalbu yang murni, yang terlepas dari semua hasrat jkeduniawian, tidak terpaku dengan sikap-sikap jasmaniah, melainkan dengan gerak-gerik jiwa. Jiwa semacam ini memohon pada Dzat Yang Maha Tinggi, untuk kesempurnaannya sendiri, melalui perenungan kepada-Nya, dan untuk kebahagiaannya yang tertinggi, melalui pengetahuan segera tentang Dia. Di atas jiwa ini kemuliaan Illahi terpancar, ketika hamba sedang berdoa.

(Ibnu Sina)

________________________________

Dari dunia ini, tepatnya dalam Rumah-Mu,
Tuan, dengan riang aku melangkah ke sana,
Tak peduli kekalahan atau kemenangan yang
Aku peroleh, jika Engkau perintahkan demikian,
Tidak, demi Engkau semata,
Jika Engkau menawanku, akan aku lemparkan diriku ke dalam Api,
Dan aku tawarkan jiwaku jika Kau mau.
Jalan-Mu, ke mana pun kami melangkah,
Dalam setiap jengkal, begitu indah
Pertemuan dengan-Mu,
Apapun yang akan terjadi, pun begitu indah.
Setiap kali mata menatap Wajah-Mu,
Aku temukan Keindahan di sana,
Pujian-Mu, apapun yang diberikan lidah kepada-Mu, begitu indah.
Ketika weangian-Mu, oleh angin sepoi-sepoi,
Dari nun jauh sana turun kepadaku,
Kemudian kalbuku melambai selamat tinggal dan berangkat mencari-Mu;
Telah lama aku lupa jasadku,
Yang pernah menjadi tempat berdiam,
Karena wewangian-Mu yang kuambil,
Bersama Dzat-Mu.

(Abu Sa’id bin Abu al Khair)

_________________________________

Ketika aku menjadi seorang budak: Nista adalah tuanku,
Tatkala Nista menjadi hambaku, aku bebas:
Kutinggalkan bayang-bayang manusia untuk mencari Kehadiran-Mu,
Kesepian, kutemukan Engkau dalam kelompokku,
Bukan di dunia ini tempat harta karun berada,
Bukan oleh orang yang jumud,
Yang tidak mengenal Engkau,
Yang mencelaku, menganggap bahwa pencarianku adalah bodoh,
Tetapi yakinku, Engkau akan senantiasa bersamaku.

(Abu Hamid al Ghazali)

___________________________

Kemanapun kau mendaki, biarkan ia menuruti Ruh Illahi di dalam dirimu: jangan mendaki melawannya, tetapi dakilah di atas perangkap-perangkap bumi, untuk mencapai tempat-kediaman Yang Maha Tinggi, melintasi perbatasan-perbatasan dunia ruh dengan mata jasad Illahiah-mu. Lepaskan kecongkakan yang sombong agar kau temukan pintu masuk menuju Kerajaan Tuhan, karena rumah besar keabadian itu dipersiapkan untukmu dan dunia yang sementara inibukanlah rumah sejatimu – lepaskan hari ini dan korbankan kehidupanmu demi hari esok…
Terjagalah dan tinggalkan dunia ini dalam rangka menemukan Dia Sang Tuhan. Tinggalkan jasadmu dan kehidupanmu serta akalmu juga keyakinanmu, dan di Jalan-Nya kau temukan untuk dirimu sendiri sebuah jiwa. Jika kau berharap untuk memiliki sebuah batu intan, wahai manusia, tinggalkan gurun ini dan berjalanlah di pinggir laut. Berjuanglah di jalan Tuhan. Wahai tentara: jika kau tak memiliki ambisi, kau tidak akan memiliki kehormatan tetapi manusia yang memandang rendah jasadnya sendiri akan berjalan di atas udara seperti apai. Dia yang menjelajah cintamenuju Tuhan, seperti sebuah lilin di Jalan-Nya, seperti sebuah lilin yang bermahkota api.

(Abul Majdud bin Adam Sana’i)

__________________________________

Pujilah Dia yang tak bisa disaksikan oleh pandangan, dan yang pikiran tidak mampu mencari kesamaan-Nya: kepada-Nya segala syukur dan pujian. Engkau yang member dan Engkau pulan yang mengambil: Engkau adalah Semua Rahmat dan Semua Yang Kekal. Terpujilah Dia, karena milik-Nya kekuasaan atas semua dan kepada-Nya semua akan kembali.
Dari tahap “aku” sang pencari melangkah menuju tahap “aku bukan” dan “Kau adalah”, dan kemudian ke tahap “aku bukan dan Engkau bukan”, karena dia sekarang telah menyatu dengan Dia. Penglihatan Tuhan dan penerimaan Cahaya-Nya berarti penyatuan dan kemanunggalan dengan Dzat-Nya, Yang adalah Cahaya dari Segala Cahaya.

(Syihabuddin Suhrawardi Halabi al Maqtul)

____________________________________

Pecinta tidak mencemaskan kehidupannya sendiri, karena dia yang menjadi seorang pecinta, apakah dia asketis atau awam, siap mengorbankan hidupnya demi cinta. Jika ruhmuberada dalam kebencian dengan jiwamu, korbankan jiwamu dank au akan mempu melanjutkan perjalanan tanpa halangan. Jika jiwamu adalah sebuah halangan bagimu di jalan itu, singkirkan ia, kemudian lihatlah lurus ke depanmudan pasrahkan dirimu kepada perenungan.
Jika kau diperintah untuk melepaskan keyakinan atau untuk menyerahkan kehidupanmu, singkirkanlah keduanya: lepaskan keyakinan dan korbankan hidupmu. Jika seseorang yang jumud terhadap hal-hal yang spiritual mengatakan bahwa tidaklah benar bahwa Cinta hendaknya lebih disukai daripada kekafiran dan keyakinan, katakan kepadanya: “Apa kaitannya Cinta dengan kakafiran atau keyakinan?” Apakah para pecinta mencemaskan jiwa-jiwa mereka? Seorang pecinta membakar seluruh hasil panen: dia meletakkan sebilah pisau di lehernya sendiri dan menusuk badannya sendiri. Penyiksaan dan kesengsaraanadalah tentang Cinta itu sendiri. Barangsiapa menancapkan kakinya kuat-kuat di rumah Cinta seketika itu melepaskan kekafiran dan keyakinan.
Seluruh dunia adalah wadah untuk Cinta,
Karena sia-sialah ia, yang menjauh dari Cinta.
Kebajikan Abadi membuat semua dalam Cinta:
Pada Cinta mereka bergantung, kepada Cinta mereka kembali.
Bumi, langit-langit, matahari, bulan, bintang –gemintang
Pusat orbit mereka bertemu dalam Cinta.
Dengan Cinta semua terkagum dan terpesona,
Teracuni mereka dengan Anggur Cinta.
Dari setiap, Cinta menuntut diamnya seorang mistikus,
Apa yang mereka cari dengan penuh harap? Cinta ini.
Cinta adalah pokok pemikiran terdalam mereka,
Dalam Cinta tak ada lagi “Kau” dan “Aku”
Karena diri telah melebur dalam Sang Kekasih,
Dan di kuil jiwaku yang terdalam
Memandang Sahabat, Cinta Yang Tak Terperi,
Siapa yang akan mengenal rahasia dua dunia
Akan menemukan rahasia keduanya, yakni Cinta.

(Fariduddin ‘Aththar)

_________________________________

Dalam kalbuku, segala bentuk tercipta,
Pelataran-pelataran biara, kuil-kuil bagi berhala,
Sebuah padang rumput untuk sekawanan rusa,
Rumah Suci Tuhan, bagi semua Muslim yang memalingkan wajah kepadanya
Lembaran-lembaran Taurat Yahudi,
Al Qur’an yang terwahyukan   kepada Nabi sejati-Nya.
Cinta adalah keyakinan yang aku genggam,
Dan kemanapun
Unta-unta-Nya berlarian, inilah satu keyakinanku.
Tak ada keberadaan kecuali keberadaan-Nya. Untuk ini Nabi menegaskan seraya berkata: “Jangan caci-maki dunia, karena Tuhan adalah dunia,” menunjuk pada kenyataan bahwa keberadaan dunia adalah keberadaan Tuhan tanpa sandingan atau keserupaan atau persamaan.
Terkisahlah bahwa Nabi menyatakan bahwa Tuhan berkata kepada Musa: “Wahai hamba-Ku, Aku sakit dan kau tidak mengunjungi-Ku. Aku meminta bantuanmu dank au tidak memberikannya pada-Ku,” dan ungkapan-ungkapan lainnya yang serupa. Ini berarti bahwa keberadaan peminta adalah keberadaan-Nya dan keberadaan orang yang sakit adalah keberadaan-Nya.

(Muhyiddin ibnu al ‘Arabi)

________________________________

Source: Mistikus Islam karya Margaret Smith


Nasihat Ibrahim bin Adham




Biografi Singkat

Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Adham bin Manshur al ‘Ijli. Ia lahir di Balkh, sebelah Timur Khurasan, karenanya ia dikenal pula dengan nama Abu Ishaq al-Balkhi. Menurut catatan para ahli, seperti al-Bukhari (w. 870 M), ia merupakan keturunan kedua dari Umar bin Khattab, karenanya ia dikenal juga sebagai al-Tamimy. Ia meninggal tahun 162 H (777/8 M) dan dimakamkan di Jabala, Suriah. Ia adalah murid dari Fudhail bin Iyad, yang merupakan murid dari Abdul Wahid bin Zaid (murid dari Hasan al-Bashri). Salah satu murid Ibrahim bin Adham adalah Hudzaifah al-Mar'ashi.
Mungkin tidak ada yang banyak mengenal bahwa beliau adalah seorang pangeran dari Balakh. Seorang pangeran kaya raya dengan istananya yang megah gemilang. Kemegahannya saat itu belum ada
yang menandinginya. Meskipun hidup bergelimang harta dan kekuasaan tidak membuat hati beliau lalai. Bahkan beliau terkenal sebagai orang yang taat beribadah dan sangat penyantun terhadap sesama terlebih kepada orang-orang miskin di negerinya. Setiap Jum’at dikumpulkan para fakir miskin di depan istananya dan ditaburkannya uang dirham ke halaman istana. Ia juga gemar memberi hadiah bagi orang-orang yang dianggap berjasa serta memberi zakat dan shadaqah jariyah pada hari-hari tertentu.
Ibrahim bin Adham, dikenal orang tak pernah duduk dengan menumpangkan kakinya. Seorang muridnya kehairanan dan bertanya, “Wahai Guru, mengapa kau tak pernah duduk dengan bertumpang kaki?” “Aku pernah melakukan itu satu kali,” jawab Ibrahim, “Tapi kemudian aku dengar sebuah suara dari langit: Hai Anak Adham, apakah seorang hamba duduk seperti itu di hadapan tuannya?” Aku segera duduk tegak dan memohon ampun.”

Perihal Kematian Hati Manusia

Ibrahim bin Adham, seorang ulama yang zuhud dan wara', ditanya tentang firman Allah ta'ala yang artinya, "Berdoa'alah kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkan do'a kalian." (QS. Ghafir: 60). Mereka mengatakan, "kami telah berdoa kepada-Nya namun belum juga dikabulkan". Lalu beliau menjawab, "Karena hatimu telah mati dengan sebab sepuluh perkara...

  1. Kamu telah mengenal Allah tetapi kamu tidak menunaikan hak-hak-Nya.
  2. Kamu telah membaca kitab Allah tetapi kamu tidak mengamalkannya.
  3. Kamu mengatakan bermusuhan dengan syaitan, tetapi kenyataannya kamu setia dengannya.
  4. Kamu mengaku cinta Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam tetapi kamu meninggalkan sunnah-sunnah-Nya.
  5. Kamu mengaku cinta surga, namun kamu tidak melakukan amalan-amalan ahli surga.
  6. Kamu mengaku takut neraka, tetapi kamu tidak mau meninggalkan perbuatan dosa.
  7. Kamu mengatakan bahwa kematian itu adalah benar adanya, tetapi kamu tidak bersiap-siap untuk kematian itu.
  8. Kamu sibuk mencari aib orang lain sedang aibmu sendiri tidak kamu perhatikan.
  9. Kamu telah makan dari rizki-Nya namun kamu tidak pernah bersyukur kepada-Nya.
  10. Kamu sering mengubur orang mati, tetapi kamu tidak pernah mengambil pelajaran darinya.
Ada seorang yang datang kepada Ibrahim bin Adham rahimahullah lalu berkata kepadanya, "Wahai Abu Ishak! Sesungguhnya aku telah berbuat zhalim kepada diriku, maka tunjukkanlah kepadaku sesuatu yang dapat menahan dan menyelamatkanku". Lalu Ibrahim berkata, "Jika Anda menerima lima hal dan mampu untuk melakukannya, maka tidak apa-apa Anda berbuat maksiat." Ia berkata,"Tunjukkanlah, wahai Abu Ishak!" Beliau menjawab,"Yang pertama, jika Anda ingin berbuat maksiat kepada Allah, maka jangalah makan (dari) rizki-Nya." Ia berkata,"Darimana aku makan? Sementara semua yang ada di bumi adalah rizki-Nya?."
Ibrahim berkata, "Wahai fulan, pantaskah Anda memakan rizki-Nya sedang Anda berbuat maksiat kepada-Nya?." Ia menjawab, "Tidak (pantas), lalu tunjukkanlah yang kedua." Ibrahim berkata, "Jika Anda ingin berbuat maksiat kepada-Nya, maka janganlah tinggal di daerah mana saja dari bumi-Nya." Ia berkata, "ini lebih besar lagi, lalu dimana aku akan tinggal?." Ibrahim berkata, "Wahai fulan, pantaskah bagi Anda untuk makan dari rizki-Nya menempati bagian dari bumi-Nya sedang Anda berbuat maksiat kepada-Nya?" Dia menjawab, "Tidak! tunjukkan yang ketiga."
Ibrahim berkata, "Jika Anda ingin berbuat maksiat kepada-Nya, makan dari rizki-Nya, dan bertempat di bumi-Nya, maka carilah sebuah tempat yang tidak dilihat oleh Dia, lalu berbuatlah maksiat disitu." Dia menjawab, "Wahai Ibrahim, bagaimana hal itu terjadi sedang Dia mengetahui segala apa yang tersembunyi dalam hati?." Ibrahim berkata, "Wahai fulan, pantaskah bagi Anda untuk makan dari rizki-Nya, tinggal di bumi-Nya, dan berbuat maksiat kepada-Nya, sedang Dia melihatmu dan mengetahui kemaksiatan yang kamu tampakkan?." Ia menjawab, "Tidak! lalu tunjukkan yang keempat."
Ibrahim berkata, "Jika malaikat maut datang untuk mencabut nyawamu maka katakanlah kepadanya, 'tundalah dahulu sampai aku bertaubat dengan sebenarnya dan beramal shalih'." Ia menjawab, "Dia tidak akan mau menerima hal itu dariku." Ibrahim berkata, "Wahai fulan, jika Anda tidak mampu menolak kematian Anda agar dapat bertaubat lebih dulu dan Andapun mengetahui bahwasanya jika kematian itu datang Anda tidak bisa mengundurkannya, lalu bagaimana Anda menginginkan kebebasan?" Ia berkata, "Tunjukkan yang kelima."
Ibrahim berkata, "Apabila pada hari kiamat malaikat Zabaniyah datang kepada Anda untuk melemparkan Anda kedalam neraka, janganlah pergi bersamanya." Ia menjawab, "mereka tidak akan meninggalkanku, tidak akan mau menerima permintaanku." Ibrahim berkata, "kalau demikian, bagaimana Anda mengharap selamat?". Ia berkata, "wahai Ibrahim, cukup! cukup! Aku akan beristighfar kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya. Dia lalu benar-benar bertaubat kepada Allah dan akhirnya dia beristiqomah dalam beribadah dan menjauhi segala kemaksiatan sampai ia meninggal dunia.

Sumber: 44 Renungan Makna Hidup, Karya Ahmad al-Utsman, Pustaka Elba 

Syaqiiq al-Balkhi adalah teman Ibrahim bin Adham yang dikenal ahli ibadah, zuhud dan tinggi tawakalnya kepada Allah. Hingga pernah sampai pada tataran enggan untuk bekerja. Penasaran dengan keadaan temannya, Ibrahim bin Adham bertanya, “Apa sebenamya yang menyebabkan Anda bisa seperti ini?”
Syaqiiq menjawab, “Ketika saya sedang dalam perjalanan di padang yang tandus, saya melihat seekor burung yang patah kedua sayapnya.
Lalu saya berkata dalam hati, aku ingin tahu, dari mana burung itu mendapatkan rizki. Maka aku duduk memperhatikannya dari jarak yang dekat. Tiba-tiba datanglah seekor burung yang membawa makanan di paruhnya. Burung itu mendekatkan makanan ke paruh burung yang patah kedua sayapnya untuk menyuapinya. Maka saya berkata dalam hati, “Dzat yang mengilhami burung sehat untuk menyantuni burung yang patah kedua sayapnya di tempat yang sepi ini pastilah berkuasa untuk memberiku rejeki di manapun aku berada.”
Maka sejak itu, aku putuskan untuk berhenti bekerja dan aku menyibukkan diriku dengan ibadah kepada Allah. Mendengar penuturan Syaqiiq tersebut Ibrahim berkata, “Wahai Syaqiiq, mengapa kamu serupakan dirimu dengan burung yang cacat itu? Mengapa Anda tidak berusaha menjadi burung sehat yang memberi makan burung yang sakit itu? Bukankah itu lebih utama? Bukankah Nabi bersabda, “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah?”
Sudah selayaknya bagi seorang mukmin memilih derajat yang paling tinggi dalam segala urusannya, sehingga dia bisa mencapai derajat orang yang berbakti?
Syaqiiq tersentak dengan pernyataan Ibrahim dan ia menyadari kekeliruannya dalam mengambil pelajaran. Serta merta diraihnya tangan Ibrahim dan dia cium tangan itu sambil berkata, “Sungguh. Anda adalah ustadzku, wahai Abu Ishaq (Ibrahim).” (Tarikh Dimasyqi, Ibnu Asakir)
Sumber : Al-Risalah No. 112 / Vol. X / 04 Syawal – Dzhulqa’dah 1431 H / Oktober 2010

Hanya Karena Sebutir Kurma

Selesai menunaikan ibadah haji, Ibrahim bin Adham berniat ziarah ke mesjidil Aqsa. Untuk bekal di perjalanan, ia membeli 1 kg kurma dari pedagang tua di dekat mesjidil Haram. Setelah kurma ditimbang dan dibungkus, Ibrahim melihat sebutir kurma tergeletak di dekat timbangan. Menyangka kurma itu bagian dari yang ia beli, Ibrahim memungut dan memakannya. Setelah itu ia langsung berangkat menuju Al Aqsa. 4 Bulan kemudian, Ibrahim tiba di Al Aqsa. Seperti biasa, ia suka memilih sebuah tempat beribadah pada sebuah ruangan dibawah kubah Sakhra. Ia shalat dan berdoa khusuk sekali. Tiba tiba ia mendengar percakapan dua Malaikat tentang dirinya.
“Itu, Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang zuhud dan wara yang doanya selalu dikabulkan Allah swt,” kata malaikat yang satu. “Tetapi sekarang tidak lagi. doanya ditolak karena 4 bulan yang lalu ia memakan sebutir kurma yang jatuh dari meja seorang pedagang tua di dekat mesjidil haram,” jawab malaikat yang satu lagi..
Ibrahim bin adham terkejut sekali, ia terhenyak, jadi selama 4 bulan ini ibadahnya, shalatnya, doanya dan mungkin amalan-amalan lainnya tidak diterima oleh Allah swt. gara-gara memakan sebutir kurma yang bukan haknya. “Astaghfirullahal adzhim” Ibrahim beristighfar. Ia langsung berkemas untuk berangkat lagi ke Mekkah menemui pedagang tua penjual kurma. Untuk meminta dihalalkan sebutir kurma yang telah ditelannya.
Begitu sampai di Mekkah ia langsung menuju tempat penjual kurma itu, tetapi ia tidak menemukan pedagang tua itu melainkan seorang anak muda. “4 bulan yang lalu saya membeli kurma disini dari seorang pedagang tua. kemana ia sekarang ?” tanya Ibrahim. “Sudah meninggal sebulan yang lalu, saya sekarang meneruskan pekerjaannya berdagang kurma” jawab anak muda itu. “Innalillahi wa innailaihi roji’un, kalau begitu kepada siapa saya meminta penghalalan ?”. Lantas ibrahim menceritakan peristiwa yg dialaminya, anak muda itu mendengarkan penuh minat. “Nah, begitulah” kata ibrahim setelah bercerita,
“Engkau sebagai ahli waris orangtua itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur ku makan tanpa izinnya?”. “Bagi saya tidak masalah. Insya Allah saya halalkan. Tapi entah dengan saudara-saudara saya yang jumlahnya 11 orang. Saya tidak berani mengatas nama kan mereka karena mereka mempunyai hak waris sama dengan saya.” “Dimana alamat saudara-saudaramu ? biar saya temui mereka satu persatu.” Setelah menerima alamat, ibrahim bin adham pergi menemui. Biar berjauhan, akhirnya selesai juga. Semua setuju menghalakan sebutir kurma milik ayah mereka yang termakan oleh ibrahim.
4 bulan kemudian, Ibrahim bin adham sudah berada dibawah kubah Sakhra. Tiba tiba ia mendengar dua malaikat yang dulu terdengar lagi bercakap cakap. “Itulah ibrahim bin adham yang doanya tertolak gara gara makan sebutir kurma milik orang lain.” “O, tidak.., sekarang doanya sudah makbul lagi, ia telah mendapat penghalalan dari ahli waris pemilik kurma itu.. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia sudah bebas.”

10 Nasihat Ibrahim bin Adham

Suatu ketika Ibrahim bin Adham, seorang alim yang terkenal zuhud dan wara’nya, melewati pasar yang ramai. Selang beberapa saat beliau pun dikerumuni banyak orang yang ingin minta nasehat. Salah seorang di antara mereka bertanya, “Wahai Guru! Allah telah berjanji dalam kitab-Nya bahwa Dia akan mengabulkan doa hamba-Nya. Kami telah berdoa setiap hari, siang dan malam, tapi mengapa sampai saat ini doa kami tidak dikabulkan?”
Ibrahim bin Adham diam sejenak lalu berkata, “Saudara sekalian. Ada sepuluh hal yang menyebabkan doa kalian tidak dijawab oleh Allah.

Pertama, kalian mengenal Allah, namun tidak menunaikan hak-hak-Nya.

Kedua, kalian membaca al-Quran, tapi kalian tidak mau mengamalkan isinya.


Ketiga, kalian mengakui bahwa iblis adalah musuh yang sangat nyata, namun dengan suka hati kalian mengikuti jejak dan perintahnya.

Keempat, kalian mengaku mencintai Rasulullah, tetapi kalian suka meninggalkan ajaran dan sunnahnya.

Kelima, kalian sangat menginginkan surga, tapi kalian tak pernah melakukan amalan ahli surga.

Keenam, kalian takut dimasukkan ke dalam neraka, namun kalian dengan senangnya sibuk dengan perbuatan ahli neraka.

Ketujuh, kalian mengaku bahwa kematian pasti datang, namun tidak pernah mempersiapkan bekal untuk menghadapinya.

Kedelapan, kalian sibuk mencari aib orang lain dan melupakan cacat dan kekurangan kalian sendiri.

Kesembilan, kalian setiap hari memakan rezeki Allah, tapi kalian lupa mensyukuri nikmat-Nya.

Kesepuluh, kalian sering mengantar jenazah ke kubur, tapi tidak pernah menyadari bahwa kalian akan mengalami hal yang serupa.”

Setelah mendengar nasehat itu, orang-orang itu menangis.
Dalam kesempatan lain Ibrahim kelihatan murung lalu menangis, padahal tidak terjadi apa-apa. Seseorang bertanya kepadanya. Ibrahim menjawab, “Saya melihat kubur yang akan saya tempati kelak sangat mengerikan, sedangkan saya belum mendapatkan penangkalnya. Saya melihat perjalanan di akhirat yang begitu jauh, sementara saya belum punya bekal apa-apa. Serta saya melihat Allah mengadili semua makhluk di Padang Mahsyar, sementara saya belum mempunyai alasan yang kuat untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan saya selama hidup di dunia.”

Duduk Bertumpang Kaki

Ketika Ibrahim Bin Adham Menangis

Suatu hari, seorang tokoh sufi besar, Ibrahim bin Adham, mencoba untuk memasuki sebuah tempat pemandian umum. Penjaganya meminta wang untuk membayar karcis masuk. Ibrahim menggeleng dan mengaku bahwa ia tak punya wang untuk membeli karcis masuk.
Penjaga pemandian lalu berkata, “Jika engkau tidak punya wang, engkau tak boleh masuk.”
Ibrahim seketika menjerit dan tersungkur ke atas tanah. Dari mulutnya terdengar ratapan-ratapan kesedihan. Para pejalan yang lewat berhenti dan berusaha menghiburnya. Seseorang bahkan menawarinya wang agar ia dapat masuk ke tempat pemandian.
Ibrahim menjawab, “Aku menangis bukan karena ditolak masuk ke tempat pemandian ini. Ketika si penjaga meminta ongkos untuk membayar karcis masuk, aku langsung teringat pada sesuatu yang membuatku menangis. Jika aku tak diizinkan masuk ke pemandian dunia ini kecuali jika aku membayar tiket masuknya, harapan apa yang boleh kumiliki agar diizinkan memasuki surga? Apa yang akan terjadi padaku jika mereka menuntut: Amal salih apa yang telah kau bawa? Apa yang telah kau kerjakan yang cukup berharga untuk boleh dimasukkan ke surga? Sama ketika aku diusir dari pemandian karena tak mampu membayar, aku tentu tak akan diperbolehkan memasuki surga jika aku tak mempunyai amal salih apa pun. Itulah sebabnya aku menangis dan meratap.”
Dan orang-orang di sekitarnya yang mendengar ucapan itu langsung terjatuh dan menangis bersama Ibrahim.


Sumber: http://sastra-muslim.blogspot.com/2011/11/mutu-manikam-nasihat-ibraham-bin-adham.html

Nur al-Din 'Abd al-Rahman al-Jami



Musim panas, musim dingin, dan musim semi akan berlalu.
Kita pasti akan jadi tanah dan debu


Biografi Singkat


       'Abd al-Rahaman Jami adalah salah seorang intelektual-Muslim yang pandai dari Persia yang hidup pada masa pertengahan Islam. Ia di lahirkan di Kharjad atau Jam (sebuah kota kecil di Afghanistan) pada tahun 1414 M / 817 H. Nama lengkapnya Nur al-Din 'Abd al-Rahman al-Jami. Anak dari Nizam al-Din ini, sebelum terkenal dengan sebutan al-Jami, ia akrab dengan dipanggil al-Dasty. Gelar terakhir ini diambil dari penisbatannya terhadap sebuah daerah dekat Kota Isfahan, tempat asal ayahnya.
        Ia adalah orang yang cerdas dan pandai, hal ini terbukti dari sejak kecil ia telah menunjukan sifatnya yang luar biasa itu. Ia sangat mudah dan tanggap menguasai pelajaran yang di berikan kepadanya. Ia adalah seorang yang pandai berorasi dan berargumentasi. Salah satu diantara para ulama  yang pernah menjadi gurunya ialah Syeikh Sa’u al-Din al-Kasygari, murid sekaligus khalifah Syeh Baharuddin Naqsibandiah. Dalam karyanya, Alexandrian Book of Wisdom, Jami’ menunjukkan bahwa mata rantai penyebaran
esoteris Sufi Asia Khajagan (para ‘Guru’), sama dengan yang digunakan oleh penulis-penulis mistik Barat. Dalam penyebaran Sufi, ia menempatkan beberapa nama sebagai guru, seperti Plato, Hippocrates, Pythagoras dan Hermes Trismegistos. Jami’ merupakan murid Sadedin Kasygari, pimpinan aliran Naqsyabandiyah, yang berhasil memimpin di wilayah Herat, Afghanistan. Kesetiaannya yang tertinggi kepada Khaja Obaidullah Ahrar, Pemimpin Aliran (madzhab).
        Keuletan dan potensinya itu mengantarkannya menjadi sosok yang dihormati dan dikagumi oleh semua lapisan masyarakat. Ia adalah tokoh yang sangat terkenal di kawasan Persia, sehinggga kemashurannya pun mencapai kawasan Turki Usmani. Disebutkan pada suatu waktu ia berada di Damaskus, ia dicari utusan Sultan Turki Usmani yang bermaksud mengundangnya ke Istana dan telah menyiapakan hadiah baginya. Karena tidak tertarik pada undangan itu, Al-Jami segera meninggalkan Kota Damaskus.     
      Beberapa tahun sebelum kematianya, ia berkunjung ke desa-desa tetangganya yang tidak di perhatikan secara khusus. Tiga hari sebelum meninggal, ia mengumpulkan beberapa murid dekatnya dan berkata, “Jadilah saksiku bahwa aku tidak punya ikatan dengan apapun  dan dengan siapa pun”. Ketika fajar mulai menyingsing di Kota Heart, Pada hari jum’at tahun 1492 M / 898 H, ia merasa bahwa kematiannya akan tiba. Ia merlakukan shalat dan kemudian duduk untuk melakukan dzikir, dan siang harinya ia pun wafat.
       Ada sebuah kisah jenaka dituturkan mengenai saat kematian Al-Jami’.
“Para sufi yang sangat sedih mengetahui bahwa ia akan segera wafat, berkumpul di rumahnya, sebagian menangis pelan-pelan, sementara sebagian yang lain sibuk melantunkan dzikir, tetapi ada salah seorang yang membaca al-Qur’an dengan suara keras dan mengganggu yang lain, akhirnya al-Jami’ mengangkat kepala dan berkata, “Demi Allah aku akan mati jika engkau tidak menghentikan keributanmu!”

Karya-karyanya

     Kita masih bisa melihat kebesarannya dalam karya-karya dan tulisannya yang berhasil ia telurkan. Tidak kurang dari 90 buku dan tulisannya yang dihasilkan, namun menurut sumber lain hanya berjumlah 46 karya dengan berbagai topik dan gaya. Dalam tulisannya, kebanyakan berbicara dalam bidang tasawuf, akan tetapi bidang-bidang lain pun tidak luput dari pehatiannya. Misalnya, menulis komentar tafsir sejumlah surah dalam al-Qu’an, memberikan komentar hadis-hadis yang di riwayatkan oleh Abu Dzar al- Ghifari.
     Di antara karya prosanya adalah Nafahat ul-Uns (Nafas dari Bayu Persahabatan),  Beharistan (Kota Musim Semi) dan koleksi Biography Para Wali Sufi. Karya puisinya yang terkenal adalah Haft Awrang (Tujuh Tahta Rahmat), yang terdiri dari 25 ribu bait. Buku Yusuf & Zulaikha merupakan puncak buah karyanya. Selain itu ia juga menulis tentang biografi Nabi Muhammad, bukti-bukti tentang kenabiannya, tentang biografi para sufi dan pengajaran mereka tentang para penyair, raja-raja, puisi, musik dan taat bahasa Arab.
     Meskipun demikian al-Jami lebih terkenal kehadirannya sebagai penyair dan sebagai juru bicara tasawuf aliran Wahdat al-Wujud. Menurutnya, Nafs atau jiwa manusia, sebagai unsur atau prinsip yang menghidupkan manusia, memiliki potensi untuk mencapai sejumlah tahap kesempurnaan yang berbeda. Dengan melewati tahap demi tahap, jiwa itu akan semakin dekat dan menyatu dengan Tuhan. Al-Jami membaginya dalam tiga fase. Pertama, fase paling rendah yang di sebut Nafs Amarat, yaitu nafs yang terus menerus mendorong kepada hal-hal yang buruk dan rendah. Setelah fase ini terlewati dengan mlalui latihan spiritual, jiwa ini akan meningkat pada fase yang ke-dua  yaitu Nafs Lawamat, yang berarti jiwa ini mampu mencela kekurangan-kekurangan dirinya sendiri. Bila di tingkatkan kembali maka akan mencapai pada fese yang ke-tiga yaitu Nafs Mutmainnat, pada fase ini jiwa akan sampai pada puncak kesempurnaannya, di sini jiwa akan merasa tentram, damai, dan bahagia.

       Dari banyak munajatnya yang indah kepada Allah, dia berkata,

“Ya Rabbi, ya Tuhanku, jauhkanlah kami dari perbuatan menghabiskan waktu untuk perkara-perkara kecil yang tidak berguna. Tunjukkanlah kepada kami segala perkara menurut hakekatnya. Angkatlah dari batin kami selubung ketidaksadaran. Janganlah diperlihatkan kepada kami barang yang tidak nyata sebagai barang yang ada. Janganlah Kau biarkan bayang-bayang menutup batin kami, sehingga kami tidak dapat melihat keindahan-Mu. Jadikanlah bayang-bayang ini sebagai kaca yang melalui batin kami untuk menyaksikan-Mu.”
     
Pada bagian lain dia berkata,

“Sang kekasih menyeru dari kedai minuman,
datanglah lalu berilah aku anggur cinta,
cawan demi cawan.
Kubebaskan diriku dari belenggu logika dan nalar.
Lalu kumulai meratap dan menangis untuk bersatu.”
  
Dalam tahun terakhirnya ia melihat visi tentang kematiannya, dan sering melantunkan bait syair berikut:

Adalah memalukan
Bahwa hari-hari berlalu tanpa kita
Bunga-bunga ‘ akan mekar dan musim semi akan tiba
Musim panas, musim dingin, dan musim semi
Akan berlalu
Dan kita pasti akan menjadi tanah dan debu.

Tulisan dan ajaran Jami’, pada akhirnya membuat dirinya begitu popular, sehingga para Sultan Turki dan para pemimpin lokal, secara terus menerus menawarkan sejumlah besar emas dan hadiah lain agar Jami mau menjadi bagian dari aristocrat Istana mereka.
Di bawah ini dituliskan beberapa ucapan Jami, yang meawakili ekspresi jiwa dan keilmuannya.
Tumbuh Subur
Jika gunting tidak digunakan setiap hari untuk menggunting jenggot, maka tidak akan melebihi panjang janggut itu sendiri karena pertumbuhannya yang subur, seolah-olah menjadi kepala.
 
Kesatuan
Cinta menjadi sempurna jika melebihi cinta itu sendiri Menjadi Satu dengan maksudnya; Menghasilkan Kesatuan Dzat.
 
Sholat dan Hidung
Aku melihat orang tengah sujud dalam shalatnya, dan berseru:
“Engkau menempatkan beban hidungmu di lantai dengan alasan bahwa hal itu syarat orang shalat.”
 
Guru
Penguasa adalah pelindung dan pengikutnya adalah rakyat. Ia harus menolong dan menyelamatkan mereka, tidak mengeksploitasi dan merusak mereka. Apakah pelindung untuk rakyat, atau rakyat untuk pelindung?
 
CINTA
Cinta manusia kebanyakan mampu meningkatkan manusia pada pengalaman cinta sejati.

AWAN KERING
Awan kering, tidak berair, tidak dapat memberi hujan yang berkualitas.
 
Penyair dan Tabib
Seorang penyair mengunjungi tabib. Ia berkata, “Aku mengalami berbagai gejala mengerikan. Aku tidak bahagia dan tidak nyaman, rambut, tangan dan kakiku seolah disiksa.”
Tabib menjawab, “Apakah benar bahwa engkau belum mengeluarkan komposisi puisimu yang terbaru?”
“Benar,” jawab penyair.
“Bagus sekali,” jawab si tabib, “Bawakanlah dengan bagus!”
Ia melakukannya, dan atas perintah tabib, ia bersyair baris demi baris berulang-ulang.
Kemudian tabib mengatakan, “Berdirilah, karena engkau sekarang sudah sembuh. Apa yang engkau rasakan dalam tubuhmu adalah pengaruh dari fisikmu. Sekarang sudah bebas, engkau sehat lagi.”
 
Pengemis
Seorang pengemis menuju sebuah pintu, menanyakan sesuatu yang dapat diberikan kepadanya. Si pemilik (pintu) menjawab:
“Maaf, tidak ada seorang pun di dalam.”
“Aku tidak menginginkan siapa pun,” jawab pengemis, “Aku ingin makanan.”
 
KEMUNAFIKAN
Tercatat dalam Tradisi dari Guru bahwa suatu ketika Jami’ berkata, ketika ditanya tentang kemunafikan dan kejujuran:
“Apa hebatnya kejujuran dan apa anehnya kemunafikan!”
“Aku berkelana ke Mekkah dan ke Baghdad, dan aku membuat percobaan tentang perilaku manusia. Ketika aku meminta mereka untuk jujur, mereka selalu memperlakukanku dengan hormat, karena mereka berpikir bahwa orang baik selalu berkata demikian, dan mereka telah belajar bahwa mereka harus bermimik sedih pada saat orang berbicara kejujuran. Ketika aku meminta mereka menghindari kemunafikan, mereka semua setuju.
Tetapi mereka tidak tahu ketika aku berkata ‘kebenaran’, aku tahu kalau mereka tidak tahu apa kebenaran itu, dan kemudian mereka atau aku menjadi munafik.
Mereka pun tidak tahu bahwa ketika aku mengatakan agar tidak munafik, mereka menjadi munafik karena tidak menanyakan caranya. Mereka tidak tahu pula kalau aku menjadi munafik, ketika mengatakan ‘jangan munafik’, sebab kata-kata tidak menyampaikan pesan dengan sendirinya.
Mereka menghargaiku, ketika aku berlagak munafik. Mereka sudah diajari untuk bertingkah demikian. Mereka menghormati diri sendiri sementara mereka berpikir secara munafik; karena merupakan kemunafikan berpikir, bahwa seseorang secara sederhana bertambah baik dengan berpikir bahwa menjadi munafik itu jelek.
Intinya, Jalan yang membawa ke (derajat) atas adalah: mempraktekkan dan memahami untuk tidak dapat (menjadi) munafik, di mana terdapat kejujuran dan tidak ada sesuatu yang menjadi tujuan manusia.”
 
HARGA DIRI
Jangan membual kalau engkau tidak memiliki harga diri, karena hal itu lebih terlihat daripada kaki semut di atas batu hitam dalam kegelapan malam. Dan jangan berpikir bahwa mengeluarkannya hal mudah, karena lebih mudah menarik gunung dari muka bumi dengan sebuah jarum.
 
AKAL
Berhentilah membual tentang akal dan belajar; karena di sini akal menghambat, dan belajar adalah kebodohan.
 
APA YANG AKAN KITA LAKUKAN?
Mawar telah hilang dari taman; apa yang akan kita lakukan dengan duri-durinya?
Syah tidak ada di kota; apa yang kita lakukan dengan istananya?
Pasar malam adalah sangkar, kecantikan dan keindahan adalah burung; Jika burung telah terbang, apa yang akan kita lakukan dengan sangkar?
 
NEGARA
Keadilan dan kejujuran, bukan agama atau ateisme,
Dibutuhkan untuk perlindungan terhadap Negara.
 
GELOMBANG BESAR
Di hadapan Nusyirwan yang adil, para guru bijak mendiskusikan tentang gelombang berat dalam penderitaan.
Salah seorang mengatakan bahwa hal itu adalah
penyakit dan nestapa;
Lainnya, bahwa hal itu usia lanjut dan kemiskinan;
Ketiga, bahwa hal itu mendekati kematian dengan
sedikit karya (amal).
Dan akhirnya, yang satu ini diterima.




Sumber

http://sastra-muslim.blogspot.com/2011/10/nur-al-din-abd-al-rahman-al-jami.html#more


Jalan Sufi: Reportase Dunia Ma’rifat oleh Idries Shah
Judul asli: The Way of the Sufi, Penterjemah Joko S. Kahhar dan Ita Masyitha
Penerbit Risalah Gusti, Cetakan Pertama Sya’ban 1420H, November 1999
Jln. Ikan Mungging XIII/1, Surabaya 60177
Telp.(031) 3539440 Fax.(031) 3529800

Abu Bakar bin Abi Syaibah (Wafat 235H)

Namanya sebenarnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al Kufy, seorang hafidh yang terkenal. Ia menerima hadist dari al-Ah...

Total Tayangan

Translate