Tafsir Sufi lebih identik dengan tafsir
Isyari, yaitu
takwil
al-Qur’an yang berbeda dengan lahirnya lafaz atau ayat, karena untuk
isyarah-isyarah yang sangat rahasia, yang hanya diketahui oleh sebagian
ulūl ‘ilm atau ‘Ārifīn (orang yang makrifat kepada Allah) dari orang
yang telah diterangi mata hatinya oleh Allah, sehingga mereka mampu
menemukan rahasia yang tersembunyi di balik ayat-ayat al-Qur’an.
Sebagian
ulama ada yang menolak penerapan tafsīr Isyārī dan sebagian yang lain
menerimanya dengan syarat-syarat, antara lain tidak mengabaikan
syari’at, tidak bertolak belakang dengan makna lahir, dan makna yang
dipahami harus diperkuat dengan dalil berupa nash atau ditopang oleh
makna lahir yang ada pada ayat lain yang menunjukkan kebenarannya, dan
bukan makna yang berlawanan.
Abstrak; Salah satu aspek yang sering terlupakan dan
terabaikan dalam metode dan teknik penafsiran al-Qur’an adalah aspek
batin yang terkandung dalam setiap firman Allah dalam al-Qur’an. Bahkan
kehadiran aspek ini ke dalam ranah penafsirkan mengundang segudang
kontrofersi. Polemik pun dihembuskan oleh pihak-pihak yang saling
berhadapan, yakni kalangan pembela dan pengingkarnya. Dengan demikian,
eksistensi dari tafsīr isyārī masih berada dalam timbangan dan patut
untuk diperbincangkan. Justru karena itulah, tulisan ini akan menimbang
kembali keberadaan tafsir ini dengan mengemukakan pendapat-pendapat para
ulama yang kompeten di bidangnya, dengan harapan semoga setelah melalui
pertimbangan ulang, kehadiran tafsir ini akan lebih bisa di terima di
kalangan mufassirīn kontemporer.
Kata Kunci ; Metodologi, tafsir, isyārī, dan lahir-batin.
Dalam pembahasan
ilmu tafsir dikenal metode penafsiran al-Qur’an. Yang
dimaksud metode penafsiran al-Qur’an adalah
seperangkat kaidah atau
aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
Pembahasan secara ilmiah mengenai metode-metode penefsiran al-Qur’an ini
dibahas dalam metodologi tafsir.1
Secara garis besar, terdapat empat
macam metodologi tafsir yang disepakati:
(konvensional),yaituijmālī(global),2 tahlīlī (analitis)3 muqāran (perbandingan)4 dan maudhū’ī (tematik).5
Dalam
dunia tafsir, setidaknya dikenal tiga mazhab tafsir (yang populer dan
disepakati) – walaupun masih ada beberapa mazhab lagi yang tidak
disepakati -- , yaitu
Sunni, Mu’tazili dan Syi’i.6
Agak sulit bagi
kita untuk menentukan apakah sebuah karya tafsir itu tergolong ke dalam
jenis tafsīr bi
al-ma’tsūr ataukah tafsīr
bi al-ra’y,
7 disebabkan belum adanya standar yang paten mengenai hal tersebut. Demikian pula
hal-hal yang terkait dengan pendekatan yang digunakan dalam sebuah
penafsiran. Pada dasarnya, pendekatan yang digunakan dalam sebuah karya
tafsir dapat diketahui dari disiplin ilmu yang dipakai sebagai pisau
analisis untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Maka sebagian ulama ada
yang menggolongkannya ke dalam tafsir
Kalāmī, karena terdapat nuansa
kalam di dalamnya, atau boleh jadi digolongkan tafsir
Adabī Ijtimā’ī,
kalau mau mempertahankan term konvensional, karena tafsir ini merespon
kehidupan bermasyarakat. Bahkan juga, sebuah karya tafsir bisa
digolongkan pada tafsir
Sufi, atau sering diidentikkan oleh sebagian
ulama dengan tafsir
Isyārī, walaupun masih ada juga jenisnya yang lain,
yaitu
Nażarī. Oleh karena keberadaan tafsir Isyārī yang masih
dirasa asing di kalangan kita, maka dalam makalah ini penulis akan
berupaya memaparkan aspek-aspek penafsiran dari tafsir Isyari berikut
karakteristik dari tafsir tersebut.
Pengertian Tafsir Isyārī
Secara
leksikal, kata tafsīr (Bahasa Arab) merupakan bentuk masdar dari
fassara (fi’il mādhī), yang akar katanya terdiri dari
fa’, sin, dan ra’.
Pada dasarnya, kata yang tersusun dari akar kata semacam itu memiliki
makna menerangkan sesuatu atau menjelaskannya.
8 Sedangkan bentuk
masdar-nya berarti keterangan atau penjelasan.
9
Adapun kata
isyārī
(B. Arab), jika ditinjau dari bentuknya merupakan verbal noun (masdar)
yang kemudian mendapat tambahan
ya’ al-nisbah di akhir kata. Secara
leksikal kata tersebut berasal dari
asyara –
yasyiru – isyāratan, yang
bermakna al-dalīl (tanda, indikasi, dan petunjuk), juga bisa bermakna
menunjukkan dengan tangan atau dengan akal, mengeluarkan sesuatu dari lubang, mengambil sesuatu, dan menampakkan sesuatu.
10
Berdasarkan
telaah makna-makna lafaz di atas, maka sederetan makna tersebut
berimplikasi pada pengertian lafaz isyārī yang memiliki kecenderungan
upaya untuk untuk menunjukkan sesuatu yang tersembunyi agar bisa
diketahui secara jelas, atau lebih menonjolkan makna yang tersirat
daripada makna tersurat. Kata tersebut bisa dijumpai dalam al-Qur’an
hanya sekali,
11 yaitu dalam Surah Maryam ayat 29.
فَأَشَارَتْ إِلَيْهِ قَالُوا آَيْفَ نُكَلِّمُ مَنْ آَانَ فِي الْمَهْدِ صَبِيا()
Artinya:
“maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: "Bagaimana kami
akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?"
Telaah
kebahasaan sebagaimana di atas juga mengindikasikan adanya pemahaman
tentang sesuatu yang menunjukkan untuk memperoleh kejelasan, yakni dari
asalnya tidak tahu bisa menjadi tahu, dari yang tidak tampak menjadi
tampak, dari yang tersembunyi atau samar bisa menjadi terlihat, dari
yang abstrak menjadi konkret, dan dari yang terpendam menjadi di luar
(berada pada permukaan). Dengan demikian,
Secara etimologi, tafsir
Isyāri memiliki makna
tafsir yang mengungkapkan makna atau maksud yang
terpendam atau tersembunyi dalam lafaz atau ayat al-Qur’an dengan
kedalaman berpikir bahkan dengan zauq (perasaan hati) yang extravagansa.
Secara
terminologi, tafsir Isyāri, menurut
al-Shābūnī, adalah
takwil al-Qur’an
yang berbeda dengan lahirnya lafaz atau ayat, karena untuk
isyarah-isyarah yang sangat rahasia, yang hanya diketahui oleh sebagian
ulū al-‘ilm atau ‘ārifīn (orang yang makrifat kepada Allah) dari orang
yang telah diterangi mata hatinya oleh Allah, sehingga mereka mampu
menemukan rahasia-rahasia yang tersembunyi dibalik ayat-ayat al-Qur’an.
Atau bahkan bagian makna-makna yang detail itu tertuang dalam hati mereka lantaran ilham ilahi, yang mana hal itu memungkinkan mereka untuk mempertemukan makna tersebut dengan makna lahirnya. 12
Menurut
sebagian ulama, ilmu sebagaimana dimaksudkan di atas bukanlah seperti “
‘ilm al-kasbī” yang bisa didapat dengan cara membaca, mengingat dan
menghafal, akan tetapi hal itu lebih merupakan “ilmu laduni”, yakni ilmu
pemberian yang boleh dikata sebagai pancaran dari ketajaman takwa,
istiqomah dan kebajikan.
13 Menurut al-Zahabī,
tafsir isyārī adalah hasil riyādhah rūhiyah seorang sufi sehingga bisa
menyingkap rahasia-rahasia dan i’tibar dalam wujud isyarat yang suci
yang muncul dengan sendirinya di dalam hatinya sebagai ungkapan dari
terkuaknya rahasia ayat-ayat karena makrifat kepada Allah.
14
Latar Belakang Lahirnya Tafsir Isyari
Telah
diketahui bahwa
Nabi Muhammad saw. dapat memahami al-Qur’an itu secara
global
(ijmālī) maupun secara terperinci (
tafshīlī) karena terdapat
jaminan dari Allah sendiri. Para ulama berbeda pendapat tentang
kuantitas tafsir dari Nabi. Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa seluruh
al-Qur’an termasuk semua kata-kata oleh Nabi telah dijelaskan kepada
para sahabat,
15 sedang yang lainnya berpendapat bahwa Nabi hanya
menjelaskan sedikit saja dari makna al-Qur’an itu kepada para sahabat.
Pendukung pendapat kedua ini adalah Khuwaibī dan al-Suyūthī.
16
Selanjutnya
berkembang periode tafsīr bi al-ma’tsūr atau tafsīr bi al-riwāyah yang
berakhir dengan dihapuskannya isnad-isnad dan orang yang mengutip tanpa
menyebutkan urutan sanad-sanad tersebut. Di samping itu juga
berakhirnya tafsir rasional (bi al-aqlī / bi al-ra’y) yang karena
dominasi kecenderungan perorangan dan mazhab-mazhab teologi atau
lainnya.
17 Di antaranya termasuk pula tafsir golongan “mutashawwifah”
yang dipengaruhi oleh “syathahat-syathahat sufiyah”. Tafsir yang paling
terkenal dalam hal ini ialah yang disandarkan kepada Ibnu ‘Arabī (w. 638
H).
Dengan membaca tafsir mutashawwifah dekat kiranya tafsir yang
dinamakan “tafsīr Isyārī” yaitu tafsir yang mentakwilkan ayat-ayat
al-Qur’an dengan jalan berusaha mengumpulkan antara yang “żahir” dengan
“khafi”. Di antara tafsir yang demikian itu ialah Tafsīr al-Alūsī (w.
1270 H) yang dinamakan dengan Ruh al-Ma’ānī. Pengarangnya mengemukakan
tafsir yang żahir bagi suatu ayat, kemudian yang diistimbathkan dengan
jalan isyarat, tetapi ada yang menyebutkan semata-mata tafsir bi
al-ra’y.
18
Para sufi dalam mengamalkan ajaran-ajarannya itu
mengikuti dua macam orientasi :
(1) Orientasi teoritis (ittijah
al-Nażarī) yang didasarkan atas hasil pembahasan dan studi, dan
(2)
Orientasi praktis (ittijah al-‘Amalī) yang didasarkan atas kegiatan
zuhud (asketisime), takāsyuf (mengungkap isi hati) dan hanyut dalam
kegiatan ibadat kepada Allah.19
Dalam hal ini tampak jelas
pengaruh-pengaruh tasawuf teoritis yang didasarkan atas
pemikiran-pemikiran ilmiah para tokoh sufi dan kemudian dicarikan
justifikasinya dari dalam al-Qur’an. Selain itu juga tampak
pengaruh-pengaruh tasawuf praktis yang dipusatkan pada latihan ruhani
oleh para pengikutnya sampai mencapai suatu tingkat yang dikenal sebagai
“kasyaf”, di mana isyarat-isyarat suci dari alam gaib konon tampak dan
memberikan pengetahuan-pengetahuan “Rabbanī”
ke dalam hati mereka, dan pengetahuan itulah yang mereka gunakan untuk mengungkapkan makna al-Qur’an.
20
Kalau
kita kembali kepada sejarah tasawuf yang mula-mula timbul memanglah
zahid-zahid. Di zaman Nabi telah ada juga sahabat-sahabat yang
menjauhkan diri dari hidup duniawi, banyak berpuasa di siang hari dan
bershalat serta membaca al-Qur’an di malam hari, seperti ‘Abdullah bin
‘Umar. Selain dia, disebut pula nama-nama Abū al-Darda’, Abū Zār
al-Ghifārī, Bahlul Ibnu Zu’aib dan Kahmas al-Hilālī. Zahid pertama dan
termasyhur dalam sejarah tasawuf adalah al-Hasan al-Bashrī. Ia lahir di
Madinah pada tahun 642 M, dan meninggal di Basrah pada tahun 728 M.
21
Karakteristik Tafsīr Isyārī dan Pandangan Ulama terhadapnya.
Penafsiran
ayat-ayat al-Qur’an dimaksudkan untuk memberikan pemahaman terhadap
kandungan ayat tersebut untuk selanjutnya bisa dihayati dan diamalkan
serta berujung pada kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya.
Langkah-langkah tersebut mengisyaratkan betapa luas dan dalamnya
ilmu-ilmu Allah, sehingga sebagian kecil saja yang bisa disingkap dan
dikuasai oleh hamba-hamba-Nya. Dengan menguasai ilmu-ilmu Allah, maka
seseorang akan sampai pada kesempurnaan iman dan makrifat kepada-Nya.
Kalangan
ulama berbeda pendapat mengenai tafsīr Isyārī. Sebagian mereka ada yang
mengakuinya dan sebagian yang lain menolaknya. Pada satu sisi, mereka
memandang bahwa menguasai tafsīr Isyārī merupakan bagian dari irfan, dan
pada sisi yang lain mereka memandangnya sebagai kesesatan dan
penyimpangan dari syari’at.
22
Kebanyakan
ayat-ayat al-Qur’an bersifat interpretable. Berangkat dari tesis
tersebut, bermunculanlah ragam penafsiran dan takwil terhadap ayat-ayat
al-Qur’an. Sebagian mereka meninjaunya dari aspek żahir, sedangkan
sebagian yang lain meninjaunya dari aspek batin dengan ketajaman mata
hatinya setelah terlebih dahulu melalui pemaknaan pada tataran
żahirnya.
23
Berkenaan dengan makna lahir dan batin, al-Suyūthī
memberikan beberapa hal yang seharusnya diperpegangi; pertama, bahwa
yang dimaksud żahir adalah lafaznya dan yang batin adalah takwilnya.
Kedua, żahir ayat adalah makna-makna ayat yang tampak bagi mufassir,
sedangkan batinnya adalah rahasia-rahasia yang terkandung serta berhasil
disingkap oleh mereka dengan ketajaman sinar keimanan meraka. Ketiga,
di antara yang termasuk żahirnya adalah kisah-kisah dalam al-Qur’an,
sedangkan batinnya adalah nasehat-masehat, hikmah, dan mau’iżah yang
dapat dipetik dari hal tersebut.
24
Dengan demikian, makna żahir
bukanlah satu-satunya makna yang dikehendaki, demikian pula sebaliknya.
Antara makna lahir dan batin seharusnya saling melengkapi, tidak ada
yang diunggulkan dan apalagi direndahkan antara satu dengan lainnya.
Menurut al-Qusyairī, kata hati merupakan penentu, sedangkan proses
penalaran akal merupakan kinerjanya. Hati seorang mukmin ibarat medan
magnit yang dipenuhi dengan berbagai rahasia. Pikiran kita memproses
aspek lafaz dan hati kita yang bisa merasakannya. Bahasa hati dan akal ,
menurutnya, ibarat buah apel. Manisnya buah apel cuma akan bisa
dirasakan oleh mereka yang pernah memakannya. Memakannya itu kinerja
akal dan merasakannya adalah hasil
Kebanyakan ayat-ayat al-Qur’an bersifat interpretable. Berangkat dari
tesis tersebut, bermunculanlah ragam penafsiran dan takwil terhadap
ayat-ayat al-Qur’an. Sebagian mereka meninjaunya dari aspek żahir,
sedangkan sebagian yang lain meninjaunya dari aspek batin dengan
ketajaman mata hatinya setelah terlebih dahulu melalui pemaknaan pada
tataran żahirnya
.23
Berkenaan dengan makna lahir dan batin,
al-Suyūthī memberikan beberapa hal yang seharusnya diperpegangi;
pertama, bahwa yang dimaksud żahir adalah lafaznya dan yang batin adalah
takwilnya. Kedua, żahir ayat adalah makna-makna ayat yang tampak bagi
mufassir, sedangkan batinnya adalah rahasia-rahasia yang terkandung
serta berhasil disingkap oleh mereka dengan ketajaman sinar keimanan
meraka. Ketiga, di antara yang termasuk żahirnya adalah kisah-kisah
dalam al-Qur’an, sedangkan batinnya adalah nasehat-masehat, hikmah, dan
mau’iżah yang dapat dipetik dari hal tersebut.
24
Dengan demikian,
makna żahir bukanlah satu-satunya makna yang dikehendaki, demikian pula
sebaliknya. Antara makna lahir dan batin seharusnya saling melengkapi,
tidak ada yang diunggulkan dan apalagi direndahkan antara satu dengan
lainnya. Menurut al-Qusyairī, kata hati merupakan penentu, sedangkan
proses penalaran akal merupakan kinerjanya. Hati seorang mukmin ibarat
medan magnit yang dipenuhi dengan berbagai rahasia. Pikiran kita
memproses aspek lafaz dan hati kita yang bisa merasakannya. Bahasa hati
dan akal , menurutnya, ibarat buah apel. Manisnya buah apel cuma akan
bisa dirasakan oleh mereka yang pernah memakannya. Memakannya itu
kinerja akal dan merasakannya adalah hasil
penangkapan hati. Oleh karena itu, kedalaman makna ayat-ayat
al-Qur’an hanya bisa dijangkau dengan kebersihan dan kesucian hati.
25
Ibn
al-Shalah, sebagaimana dikutip oleh al-Suyūthī, memberikan komentar
bahwa dia pernah mendengar dari
Abū al-Hasan al-Wahidī yang mengatakan
bahwa
Abū ‘Abd al-Rahman al-Silmī telah menyusun beberapa hakekat
tentang tafsir. Menurut Ibn al-Salah, beriktikad bahwa apa yang telah
disusunnya itu adalah tafsir merupakan sebuah kesalahan, apalagi jika
hal itu dikatakan sebagai syarah dari kalimat al-Qur’an. Tindakan
semacam itu sudah mengarah pada jalan yang ditempuh kalangan Bathiniyah
yang sesat. Sedangkan menurut al-Nasafī, memalingkan al-Qur’an dari yang
żahir kepada makna-makna batin merupakan tindakan batil, dan bisa jadi
mulhid (orang yang lahirnya tampak Islam tapi batinnya kufur). Penilaian
semacam itu juga dilontarkan oleh
al-Taftazanī, bahwa kalangan
Bathiniyah sudah menjelma menjadi golongan
Mulahidah.
26
Menurut
al-Suyūthī sendiri bahwa sesungguhnya penerapan tafsīr Isyārī bukanlah
merupakan penghindaran dari atau lari dari makna lahir. Justru mereka
menetapkan makna lahir sesuai dengan yang dikehendaki lahirnya, kemudian
bersamaan dengan itu mereka juga memahaminya dengan ketajaman mata
hatinya, setelah memperoleh limpahan sinar makrifat dari Allah
.27
Allah,
dengan iradah-Nya, bisa saja memberikan setumpuk hikmah dan pemahaman
kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Hal tersebut sebagaimana telah
terbukti diberikan kepada para nabi, seperti nabi Daud dan Sulaiman
a.s., sebagaimana telah disebutkan dalam al-Qur’an, surah al-Anbiya’: 79
:
فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَآُلا ءَاتَيْنَا حُكْمًا
وَعِلْمًا وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُدَ الْجِبَالَ یُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ
وَآُنَّا
( فَاعِلِينَ( 79
Artinya:
“maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman
tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah
Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan
burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan Kamilah yang
melakukannya”.
Demikian juga, penerapan tafsīr Isyārī diperagakan
sejak zaman Rasulullah dan para sahabatnya. Dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhārī dikisahkan, bahwa pada waktu setelah
beberapa saat turun surat al-Nashr, ‘Umar bin Khaththab berkumpul dengan
para sahabat, yang di dalamnya juga terdapat Ibn ‘Abbas yang ketika itu
masih bocah (belia). Di antara yang kumpul tadi tidak ada yang menaruh
hormat kepadanya, karena dia masih bocah, kecuali ‘Umar. Kemudian ‘Umar
minta pendapat kepada seluruh yang hadir perihal firman Allah dalam
surah al-Nashr :
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ( 1)وَرَأَیْتَ النَّاسَ یَدْخُلُونَ فِي دِینِ اللَّهِ أَفْوَاجًا( 2)فَسَبِّحْ بِحَمْدِ
( رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ آَانَ تَوَّابًا( 3
Artinya:”
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat
manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah
dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia
adalah Maha Penerima taubat”.
Sebagian dari mereka ada yang
memberikan komentar bahwa dengan turunnya surah tadi kita diperintahkan
untuk selalu memuji (tasbih) dan mohon ampun (istighfar) kepada-Nya.
Sedang sebagian lainnya cuma diam pertanda setuju. Setelah itu mereka
disentakkan oleh sikap ‘Umar yang dengan penuh hormat juga meminta
pendapat pada Ibn ‘Abbas. Ketika dia ditanya apakah sependapat dengan
mereka, spontanitas dia menjawab, “tidak”. Kemudian dia mengemukakan
pandangannya bahwa turunnya surah itu pertanda ajal Rasulullah telah
dekat. Lantas ‘Umar memberikan tanggapan bahwa dia sebenarnya
menangkap isyarah seperti itu. Tidak lama berselang dari turunnya surah
al-Nashr, Rasulullah dipanggil ke hadirat Ilahi.
28
Menurut
Syaikh
‘Abd al-‘Ażīm al-Zarqanī, dalam menerapkan tafsīr Isyārī tidak
dibenarkan mengabaikan keterikatan kita dengan syari’at, demikian juga
dengan kaidah-kaidah kebahasaan dalam memahami nash-nash.
29
Sebagian
ulama mengemukakan syarat-syarat tertentu bagi diterimanya penafsiran
tafsīr Isyārī. Di antaranya adalah; pertama, makna yang dikemukakan
benar menurut pengertian lahir yang diakui secara kebahasaan. Kedua,
makna yang dipahami harus diperkuat dengan dalil berupa nash atau
ditopang oleh makna lahir yang ada pada ayat lain yang menunjukkan
kebenarannya, dan bukan makna yang berlawanan.
30
Penerapan tafsīr
Isyārī juga bisa dicontohkan dengan penafsiran al-Tastarī dalam
menafsirkan firman Allah dalam surah al-Baqarah : 22;
( فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ( 22
Artinya:” …
karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui”.
Menurutnya,
lafaz “andādan” bermakna “adhdadan” (lawan-lawan), sedang lawan yang
paling besar adalah nafsu ammarah yang sering menjerumuskan manusia,
karena hanya memandang keinginan-keinginan nafsu tanpa mengindahkan
petunjuk dari Allah. Jadi, jika segala keinginan nafsu diperturutkan,
maka kapasitasnya menyamai sesembahan, walaupun tidak secara konkret
menganggapnya demikian.
31
Dalam hal ini, al-Tastarī setidaknya mendasarkan tafsirannya terhadap
dua alasan. Pertama, pada satu segi, lafaz andādan bisa dimaknakan
secara i’tibārī dengan nafsu ammarah, sedangkan kedua, pada segi yang
lainnya, meskipun ayat tersebut ditujukan kepada kaum musyrikin, namun
di dalamnya terdapat pelajaran dan i’tibar (hikmah) bagi kita. Alasan
pertama diperkuat oleh firman Allah, surah al-Taubah: 31;
اتَّخَذُوا
أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْیَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا
( إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا یُشْرِآُونَ( 31
Artinya:
”
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai
tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera
Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa;
tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari
apa yang mereka persekutukan”.
Menurut sebagian
mufassir, ayat tersebut secara tersirat maupun tersurat menunjukkan
keadaan orang yang memperturutkan hawa nafsunya.
32
Alasan kedua
diperkuat dengan komentar ‘Umar sewaktu menegur orang-orang yang
bermewah-mewahan seraya mengemukakan firman Allah, surah al-Ahqaf: 20;
وَیَوْمَ
یُعْرَضُ الَّذِینَ آَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ
فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا
فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا آُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا آُنْتُ مْ
( تَفْسُقُونَ( 20
Artinya:
”
Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka
(kepada mereka dikatakan): "Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik
dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang
dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah
menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik".
Ternyata,
‘Umar mampu mengambil hikmah dan pelajaran dari ayat itu, walaupun
sebenarnya dia mengerti bahwa ayat itu diturunkan berkenaan dengan
perilaku orang-orang kafir. Menurutnya, segala kemewahan dan
bersenang-senang di dunia akan menghilangkan kenikmatan yang ada di
akhirat.
33
Mengenai tafsīr Isyārī yang fasid (rusak) dapat dicontohkan dengan penafsiran lafaz Fir’aun dalam surah Thāhā: 24;
( اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى( 24
Artinya:”
Pergilah kepada Fir`aun; sesungguhnya ia telah melampaui batas".
Menurut mereka, kata “Fir’aun” itu mengisyaratkan kata hatinya, maksudnya yang durhaka itu kata hati, bukan Fir’aun (orang).
34
________________________________________
1Penjelasan selengkapnya mengenai hal tersebut dapat
dilihat dalam Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Cet.
I; Jakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 1-3.
2Yang dimaksud dengan
metode ijmālī (global) adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara
ringkas tapi mencakup, menggunakan bahasa populer, mudah dimengerti dan
enak dibaca. Sistematika pembahasannya menurut susunan ayat-ayat dalam
mush-haf. Lihat penjelasan selanjutnya dalam ‘Abd al-Hayy al-Farmawī,
al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawdhū’ī, (Cet. II; Mesir: Mathba’ah
al-Hadharah al-‘Arabiyyah, 1977), h. 43-44; dan Zahīr bin ‘Awwadh
al-‘Almā’ī, Dirāsāt fī al-Tafsīr al-Mawdhū’ī, (t.t: t.p., 1405 H.), h.
17-18.3 Metode penafsiran tahlīlī adalah menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam
ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang
tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan penafsir.
M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Qur’an dengan Metode Maudhu’i”, dalam
Bustami A. Gani (ed.), Beberapa Aspek Ilmiah tentang Al-Qur’an, (Cet. I;
Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an, 1986), h. 37.
4 Metode
penafsiran muqaran adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara
membandingkan teks ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki kesamaan atau
kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau memiliki redaksi
berbeda dalam satu kasus yang sama; atau membandingkan ayat dengan hadis
atau pula membandingkan berbagai pendapat ulama dalam menafsirkan
Al-Qur’an. Al-Farmawī, al-Bidāyah , h. 45.
5 Metode tafsir tematik
adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tema yang sudah
ditetapkan. Penjelasan secara rinci mengenai hal tersebut dapat dilihat
dalam ‘Ali Hasan Al-‘Aridh, Tarīkh ‘Ilm al-Tafsīr wa Manāhij
al-Mufassirīn, diindoneesiakan oleh Ahmad Akrom dengan judul Sejarah dan
Metodologi Tafsir, (Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 1992), h. 78-95;
dan M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, (Cet. II; Bandung: Mizan, 1992), h. 111-116.
6
Corak penafsiran dari sebuah kitab tafsir yang berafiliasi ke mazhab
sunni biasanya menitikberatkan kepada penggunaan nash , baik berupa ayat
Al-Qur’an maupun hadis nabi, sebagai sumber utama dari penafsirannya,
atau masih berada dalam konteks nash, walaupun di dalamnya peran akal
masih bisa dijumpai, dengan kata lain tidak sampai menafikan akal. Jika
ditemukan suatu pertentangan atau kontradiksi antara nash dengan akal
dalam suatu kasus tertentu, maka dalam hal ini dimenangkan nash.
Corak
penafsiran suatu kitab tafsir yang berafiliasi ke aliran Mu’tazilah
pada dasarnya tafsiran-tafsirannya lebih menitikberatkan kepada
pemakaian akal dalam menafsirkan suatu ayat Al-Qur’an, dan hanya sedikit
memasukkan peran wahyu di dalamnya. Ketergantungan mereka kepada akal
cukup tinggi. Jika mereka menemukan pertentangan antara pemahaman wahyu
dan akal dalam satu kasus tertentu, maka dalam hal ini mereka memilih
memenangkan akal. Inilah perbedaan penafsiran yang paling kentara --
walaupun masih terdapat juga perbedaan-perbedaan lainnya, seperti dalam
penafsiran ayat-ayat tentang nama-nama dan sifat-sifat Tuhan -- antara
kaum Sunni dan Mu’tazilah.
Sebuah kitab tafsir yang memiliki
kecondongan ke aliran Syi’ah, pada umumnya mempunyai corak penafsiran ke
arah eksoterik (inner meaning) atau makna batin dari sebuah ayat atau
ayat-ayat Al-Qur’an. Oleh karena itu, mereka juga disebut kaum batini.
Dalam penafsirannya, mereka selalu mencari makna-makna batin dari suatu
ayat dan sering mengabaikan makna lahir, dengan harapan mendapatkan
isyarah-isyarah yang terkandung di dalamnya. Ciri lainnya dari corak
penafsiran ini adalah pemilihan riwayat yang mereka terima. Mereka hanya
memilih riwayat dari jalur Ahl al-Bait , atau yang dianggap tsiqah oleh
mereka dan tidak bertentangan dengan Ahl al-Bait. Husain Al-Żahabī,
al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid I, (Kairo: Dār al-Kutub al-Hadīts,
1976), h. 36.
7 Penjelasan secara konprehensif mengenai hal tersebut
dapat dilihat dalam Husain Al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, h.
16-50.8 Lihat penjelasan selengkapnya dalam Ibn Fāris Abī
al-Husain Ahmad bin Zakariyyā,Mu’jām Maqāyis al-Lugah, juz IV, (Cet. I;
Bairut: Dār al-Jail, 1991), h. 504.
9 Ahmad al-Syirbasyī, Qish-sh at al-Tafsīr, (Kairo: Dār al-Qalam, 196210 Penjelasan lebih lanjut tentang hal itu dapat dilihat
dalam Ibn Manzūr Jamāl ad-Dīn Muhammad bin Mukarram al-Anshārī, Lisān
al-Arab, juz VI, (Mesir: Dār al-Misriyyah, t.th.), h. 106.
11 Muhammad Fuad ‘Abd al-Bāqi, Mu’jam al-Mufahras li Alfāz al-Qur’an al-Karīm, (Bairut: Dār al-Fikr, 1987), h. 496.12 Penjelasan selanjutnya mengenai hal itu dapat dilihat
dalam Syekh Muhammad ‘Alī al-Sābūnī, al-Tibyān fi Ulūm al al-Qur’an,
diterjemahkan oleh Muhammad Qadirun Nur, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis
(Jakarta : Pustaka Amani, 1988), hal. 237.
13 Hal tersebut sebagai tafsiran dari Q.S. al-Baqarah: 282 dan al-Kahfi: 65.
14 Lihat Al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, juz III, h. 18.
15
Lihat Muhammad Husein al-Zhahabi, Penyimpangan-penyimpangan dalam
Penafsiran Al-Qur’an, terjemahan Hamim Ilyas dan Mahnun Husein, (Cet. I;
Jakarta: CV. Rajawali, 1986), h.3.
16 Jalāl al-Dīn al-Suyūthī, al-Itqan fi ‘Ulūm al-Qur’an, juz II, (Bairut: Dār al-Fikr, t.t), h. 179.17 Lihat penafsiran Ibn ‘Arabī dalam menafsirkan ayat 55,
surat al-Nisa’, dalam Tafsīr al-Syaikh al-akbar, juz I, (t.d.), h. 152.
Lihat puLa M. Hasbi ash-shidieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (cet. III;
Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h.200 dan 225.
18 Abī al-Fadhl Syihāb
al-Dīn al-Sayyid Mahmūd al-Baghdādī, Rūh al-Ma’ānī fī al-Tafsīr
al-Qur’an al-‘Ażīm wa al-Sab’u al-Matsānī, juz I, (Bairut: Dār al-Fikr
li al-aba’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzī’, 1994 M/1414 H.), h. 8.
19 Lihat Al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, h. 5.
20 Ibid., h. 18.
21 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II, (Cet. IV; Jakarta: UI-Press, 1986), h. 74.
22 Lihat al-Sābūnī, al-Tibyān, h. 18.23 Penjelasan selengkapnya mengenai hal tersebut dapat
dilihat dalam al-Imām al-Qusyairī, Lathāif al-Isyārāt Tafsīr Sūfī Kāmil
li al-Qur’an al-Karīm, juz I, (Kairo: Mushthafā al-Babī al-Halabī,
1951), h. 4.
24 Lihat al-Suyūthī, al-Itqān, juz II, h. 184.25 Al-Qusyairī, Lathāif, h. 4-5.
26 Al-Suyūthī, al-Itqan, h. 184.
27 Ibid., h. 185.28 Lihat Abī ‘Abdillah Muhammad bin Ismā’il al-Bukhārī,
Matn al-Bukhāri Masykūl bi Hasyiyah al-Sindī, juz I (Indonesia: Syirkah
Nur Asia, t.th.), h. 222.
29 Muhammad ‘Abd al-‘Ażīm al-Zarqanī, Manāhil al-‘Irfan fī ‘Ulūm al-Qur’an, juz II, (Bairut: Dār al-Fikr, t.th.), h. 81
30
Abū Ishāq asy-Syāthibī Ibrāhim bin Mūsā al-Khasmī al-Gharnati
al-Māliki, Al-Muwāfaqāt fi Ushūl asy-Syarī’ah, jilid II, juz III, diedit
oleh Abdullah Darraz (Bairut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.), h. 295.
31
Lihat tafsiran selengkapnya dalam al-Tastarī, Tafsīr al-Qur’an
al-‘Ażīm, juz I, (t.dt.), h. 14.. Lihat pula ‘Abd ar-Rahman bin al-Kamāl
Jalāl ad-Dīn as-Suyūti, Tafsīr Durr al-Manshūr fi Tafsīr al-Ma’tsūr,
juz I (Cet. I; Bairut: Dār al-Fikr, 1983), h. 87-88, juga ‘Alā’ ad-Dīn
‘Alī bin Muhammad bin ibrāhim al-Bagdādī, Tafsīr al-Khāzin: Lubāb
al-Ta’wīll fī Ma’ānī al-Tanzīl, jilid I, (Cet. I; Bairut: Dār al-kutub
al-‘Ilmiyyah, 1995), h. 32.
32 Lihat misalnya Wahbah al-Zuhailī,
al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-Manhāj, jilid
XXVI, (Cet. I; Bairut: Dār al-Fikr al-Mu’āshir, 1991), h. 48. Juga
Hamdan Ghassan, tahqīq: Jamīl Ghazī, ‘Abdullah ‘Ulwan, dan Wahbi
Sulaiman al-Ghawan, Tafsīr min Nasmat al-Qur’an Kalimatan wa Bayān,
(Damsyik: Dār al-Salām li al-Thaba’ah wa al-Tauzī’ wa al-Tarjamah,
t.th.), h. 536.
Karya tafsir yang bernuansa Isyārī cukup banyak, antara
lain 1) Karya Abī al-Fadhl Syihāb al-Dīn al-Sayyid Mahmūd al-Baghdādī,
Rūh al-Ma’ānī fī al-Tafsīr al-Qur’an al-‘Ażīm wa al-Sab’u al-Matsānī, 2)
‘Abdullah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdillah Muhyi al-Dīn
Ibn ‘Arabī, Tafsīr al-Syaikh al-akbar, 3) Abū Muhammad Sahl ibn
‘Abdillah al-Tastarī, Tafsīr al-Qur’an al-‘Ażīm, 4) al-Imam al-Qusyairī,
Lathāif al-Isyārat Tafsīr Sūfī Kāmil li al-Qur’an al-Karīm, 5) Abū ‘Abd
al-Rahman Muhammad bin al-Husain bin Mūsā al-Azdī al-Silmī, Haqāiq
al-Tafsīr, dan 6) Abū Muhammad Ruzihan bin Abī al-Nashr al-Baqilī
al-Syirazī, ‘Arāis al-Bayān fi Haqāiq al-Tafsīr.
33 Simak komentar
mengenai tafsiran ayat tersebut dalam as-Sayyid Muhammad bin Husain
at-Tabātabā’i, al-Mizān fī Tafsīr al-Qur’an, jilid IX, (Cet. I; Bairut:
Muassasah al-‘Ilm li al-Matbū’ah, 1991), h. 245.
34 Lihat tafsiran selengkapnya dalam al-Shabuni, al-Tibyan, h. 249.
14
____________________________________
Sumber:
"MENIMBANG TAFSĪR ISYĀRĪ "
M. Zayin Chudlori (Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya)