Showing posts with label Tokoh Tokoh Sufi. Show all posts
Showing posts with label Tokoh Tokoh Sufi. Show all posts

al-Junaid al-Baghdadi

Beliau adalah al-Junaid ibn Muhammad al-Khazzaz al-Qawariri al-Baghdadi. Memiliki kunyah Abu al-Qasim. Ayah beliau adalah seorang penjual kaca, karenanya gelar beliau “al-Qawariri” adalah disandarkan kepada profesi ayahnya tersebut. Keluarga al-Junaid berasal dari Nahawand, namun beliau dilahirkan dan tumbuh di Irak.
Al-Junaid adalah salah seorang sufi terkemuka di samping seorang ahli fiqih. Dalam fiqih beliau bermadzhab kepada Imam Abu Tsaur. Al-Junaid sudah memberikan fatwa-fatwa hukum dalam madzhab tersebut dalam umurnya yang baru 20 tahun. Beliau lama bergaul dan belajar kepada pamannya sendiri, yaitu Imam Sirri as-Saqthi, lalu kepada al-Harits al-Muhasibi, Muhammad ibn al-Qashshab al-Baghdadi, dan sufi terkemuka lainnya. Di kalangan sufi al-Junaid dikenal sebagai pemuka dan pimpinan mereka dengan gelar Sayyid ath-Tha-ifah ash-Shûfiyyah.
Al-Junaid salah seorang sufi yang memiliki jasa besar dalam menjaga kemurnian tasawuf. Faham-faham dan akidah-akidah menyesatkan yang hendak masuk dalam ajaran tasawuf habis dibersihkan oleh beliau. Karena itu banyak ungkapan-ungkapan beliau yang di kemudian hari menjadi landasan utama dalam usaha menjaga kebenaran tasawuf dan kemurnian ajaran Islam.
Abu Ali ar-Raudzabari berkata: “Saya mendengar al-Junaid berkata kepada orang yang mengatakan bahwa ahli ma’rifat dapat sampai kepada suatu keadaan yang tidak lagi baginya untuk berbuat apapun, –Artinya menurutnya orang tersebut boleh meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang telah diwajibkan–, al-Junaid berkata kepadanya: “Ini adalah perkataan kaum yang berpendapat segala perbuatan-perbuatan akan gugur. Dan ini bagiku adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Seorang pelaku zina dan seorang yang mencuri jauh lebih baik dari pada orang memiliki pendapat seperti itu. Sesungguhnya, orang-orang yang ‘Ârif Billâh adalah mereka yang mengerjakan seluruh pekerjaan sesuai perintah Allah, karena hanya kepada-Nya pekerjaan-pekerjaan itu kembali. Andaikan aku hidup dengan umur 1000 tahun, dan aku tidak meninggalkan kebaikan sedikitpun selama umur tersebut, maka kebaikan itu tidak akan dianggap oleh Allah kecuali bila sesuai dengan apa yang telah diperintahkannya. Inilah keyakinan yang terus memperkuat ma’rifat-ku dan memperkokoh keadaanku” .
Muhammad Ibn Abdullah ar-Razi berkata: Saya mendengar Abu Muhammad al-Jariri berkata: Saya mendengar al-Junaid berkata: “Kita tidak mengambil tasawuf dengan banyak bicara saja (al-Qîl Wa al-Qâl). Tapi kita mengambilnya dengan lapar (puasa), meninggalkan kelezatan dunia dan melepaskan segala hal-hal yang menyenangkan dan yang indah. Karena tasawuf adalah kemurnian hubungan dengan Allah yang dasarnya menghindari kesenangan dunia, sebagai mana pernyataan Haritsah di hadapan Rasulullah: “Aku hindarkan diriku dari dunia, aku hidupkan malamku dan aku laparkan siang hariku…” .
Al-Junaid juga berkata: “Seluruh jalan menuju Allah tertutup bagi semua makhluk, kecuali bagi mereka yang benar-benar mengikuti Rasulullah dalam setiap keadaannya”.
Dalam kesempatan lain beliau berkata: “Jika seseorang dengan segala kejujurannya beribadah kepada Allah selama satu juta tahun, namun kemudian ia berpaling dari-Nya walau hanya sesaat, maka apa yang tertinggal darinya jauh lebih banyak dibanding dengan apa yang telah ia dapatkan”.
Juga berkata: “Siapa yang tidak hafal al-Qur’an dan tidak menulis hadits-hadits Rasulullah maka orang tersebut jangat diikuti, karena ilmu kita ini (tasawuf) diikat dengan al-Qur’an dan Sunnah” .
Sikap wara’, zuhud, takwa, tawadlu’ dan kuat dalam ibadah sudah barang tentu merupakan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa al-Junaid. Suatu ketika beliau ditanya tentang kemegahan dunia, beliau menjawab: “Keberhasilan atas segala kebutuhan dunia adalah dengan meninggalkannya”.
Diriwayatkan dari Ja’far ibn Muhammad bahwa al-Junaid berkata kepadanya: “Jika engkau sanggup untuk tidak memiliki peralatan apapun di rumahmu kecuali sehelai tikar maka lakukanlah…!”. Ja’far ibn Muhammad berkata: “Dan memang yang ada di rumah al-Junaid hanyalah sehelai tikar”.
Diriwayatkan dari al-Khuldy bahwa al-Junaid al-Baghdadi selama dua puluh tahun tidak pernah makan kecuali satu kali dalam seminggu. Dalam setiap malam beliau melaksanakan shalat sebanyak empat ratus raka’at. Sementara di siang hari, al-Junaid menghabiskan waktunya untuk shalat sebanyak tiga ratus raka’at dan tiga puluh ribu kali bacaan tasbîh.
Banyak sekali karamah yang dianugerahkan oleh Allah kepada al-Junaid sebagai bukti kebenaran keyakinan dan jalan yang ditempuhnya. Di antaranya, suatu ketika datang kepadanya seorang Yahudi kafir berkata: “Wahai Abu al-Qasim, apakah pengertian dari hadits:
اتّقُوْا فَرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ فَإنّهُ يَنْظُرُ بِنُوْرِ اللهِ
“Takutilah firasat seorang mukmin, karena ia melihat dengan cahaya dari Allah”. (Artinya panglihatan seorang mukmin yang saleh memiliki kekuatan).
Mendengar pertanyaan spontan dari orang Yahudi itu, al-Junaid sejenak menundukkan kepala. Tiba-tiba al-Junaid berkata: “Wahai orang Yahudi, masuk Islamlah engkau karena telah datang waktu bagimu untuk masuk agama Islam”. Mendapat jawaban demikian, orang Yahudi tersebut langsung masuk Islam.
Abu ‘Amr ibn ‘Ulwan berkata: “Suatu hari aku pergi ke pasar Rahbah untuk suatu keperluan. Setelah sampai di pasar tiba-tiba tanpa sengaja mataku tertuju kepada seorang perempuan cantik. Aku memalingkan muka sambil mengucap istighfâr. Namun lagi-lagi mataku tertuju kepadanya. Setibanya aku di rumah, seorang nenek berkata kepadaku: “Wahai tuan, apa yang menyebabkan wajahmu menjadi hitam?”. Aku mengambil cermin, dan benar ternyata wajahku berubah menjadi hitam. Lalu aku berdiam diri di rumahku selama empat puluh hari meminta ampun kepada Allah. Setelah empat puluh hari tiba-tiba hatiku berkata: “Kunjungilah gurumu; al-Junaid”. Maka aku bergegas menuju kota Baghdad. Setelah sampai di rumah al-Junaid aku mengetuk pintu, tiba-tiba al-Junaid datang membukakan pintu sambil berkata: “Masuklah wahai Abu ‘Amr, engkau berbuat dosa di Rahbah dan kita minta ampun kepada Allah di Baghdad” .
Ali ibn Muhammad al-Hulwani berkata: Berkata kepadaku Khair an-Nassaj: “Suatu hari aku sedang duduk di rumahku. Tiba-tiba hatiku memiliki prasangka bahwa al-Junaid sedang berada di depan pintu rumahku. Tapi aku berfikir mungkin ini hanya prakiraan saja. Namun dalam hatiku prasangka tersebut timbul kembali bahwa memang al-Junaid sedang berada di depan pintu rumahku. Sekali lagi aku berfikir mungkin itu hanya prakiraan saja. Lagi-lagi prasangka dalam hatiku tersebut datang kembali, ini berulang hingga tiga kali. Lalu aku berdiri menuju pintu untuk membukanya, dan ternyata benar al-Junaid sedang berdiri di sana, seraya berkata kepadaku: “Wahai Khair, semestinya engkau membukakan pintu dengan prasangkamu yang pertama” .
Al-Junaid wafat hari Jum’at tahun 297 Hijiriah atau 910 Masehi. Abu Bakr al-‘Aththar berkata: “Menjelang al-Junaid wafat kami dengan beberapa orang sahabat berada di sisinya. Beliau dalam keadaan melaksanakan shalat dengan posisi duduk. Setiap kali hendak sujud ia menekuk kedua kakinya. Beliau terus berulang-ulang melakukan shalat, hingga ruh dari kakinya mulai terangkat. Ketika kakinya sudah tidak bisa lagi digerakkan, Abu Muhammad al-Jariri berkata kepadanya: Wahai Abu al-Qasim sebaiknya engkau berbaring!. Kemudian al-Junaid mengucapkan takbir dan membaca 70 ayat dari surat al-Baqarah setelah sebelumnya telah mangkhatamkan bacaan al-Qur’an seluruhnya.
Amaddanâ Allâh Min Amdâdih.

Syaikh Abdurrahman As-Sulami


Namanya tidak mungkin terlupakan dalam perkembangan tasawuf, betapa tidak, ia rajin dan produktif menuliskan gagasan-gagasannya tentang Ketuhanan. Sampai kini pemikirannya masih relevan dan sering digunakan oleh kalangan sufi sebagai rujukan. Selain itu, As-Sulami juga berhasil menciptakan terobosan baru dalam mistisisme Islam.
Nama lengkapnya Abu Abdurrahman bin Al-Hussain bin Muhammad bin Musa As-Sulami Al-Azdi. Ia lahir di Khurasan, Iran, pada tahun 325 H / 937 M dalam sebuah keluarga yang sangat taat bergama. Bahkan kedua orang tuanya di kenal sebagai ulama dan Sufi yang masyhur di Khurasan. Suasana serba religius di dalam rumah inilah yang mempengaruhi As-Sulami di kemudian hari. Ketika ia berusia 15 tahun, ayahnya meninggal. Ia kemudian diasuh oleh nenek dari pihak ibunya.
Seperti lazimnya para ulama dan sufi masa itu, As-Sulami mengenal agama dari ayahnya sendiri dan kemudian berguru kepada sejumlah ulama. Sejak kecil ia sudah mendalami bahasa Arab dan Al-Qur’an sebagai basis untuk mempelajari berbagai hal mengenai Islam. Di antara guru-gurunya terdapat beberapa nama terkemuka, seperti Ad-Daruquthni, Al-Sarraj, Al-Nasrabazi, Al-Abzari, dan Al-Asfahami.
Dari merekalah As-Sulami memperlajari ilmu tafsir, hadis, fikih hingga tasawuf. Belakangan ia dikenal sebagai pakar Hadis dan sejarah serta guru para sufi. Dimanapun ia berada – di Naisabur, Merv, Irak, Hijaz, – As-Sulami selalu menulis.
Sejak usia delapan tahun ia sudah mendalami hadits bahkan kemudian meriwayatkannya. Ia mempelajari hadis dari beberapa guru seperti Syekh Abu Bakar As-Sibhghi dan Imam Abu Nua’im Al-Isbahani, pengarang kitab mengenai tasawuf,“Hilyatul Awliya”. Kepiawaiannya dalam ilmu hadis menjadikan As-Sulami sebagai rujukan banyak ulama.
Para ulama tersebut antara lain: Imam Al-Hakim, pengarang kitab Al-Mustadrak, Imam Al-Qusyairi, pengarang kitab Al-Risalah Qusyairiyah, Imam Al-Bayhaqi, Abu Said Abu Ramish, Abu Bakr Muhammad ibn Yahya ibn Ibrahim Al-Muzakk, Abu Saleh Al-Muadhdhin, Abu Abdillah Al-Qasim ibn Al-Fadl ibn Ahmad Al-Thaqafi Al-Jubari, Ahmad ibn Muhammad ibn Abd. Al-Wahid Al-Wakil Al-Munkadiri, Al-Qadi Ahmad ibn Ali ibn Al-Husyain Al-Tawwazi, Abu bakar Ahmad ibn Ali ibn Abdillah Al-Shirazi, Abu Hamid Ahmad ibn Muhammad Al-Ghazali Al-Thusi, dan Abu Muhammad al-Juwaini.
Panjangnya deretan nama ulama dan sufi yang sering merujuk kepadanya membuktikan betapa mereka mengagumi As-Sulami mempunyai kedudukan yang tinggi dalam ilmu, sementara Abdul Ghafir Al-Farisi berkata, “Beliau adalah seorang Syekh Thariqat (jalan menuju kebenran dalam tasawuf) yang telah dikaruniai penguasaan berbagai ilmu hakekat dan tasawuf. Beliau telah menulis sekitar 100 kitab tentang risalah tasawuf yang hebat.” Dalam hal tasawuf, As-Sulami mengaji kepada Ibnu Munazil, Abu Ali Al-Thaqafi (di Khurasan), Abu Uthman Al-Hiri, Abu Nasr As-Sarraj (penulis kitab Al-Luma fit Tasawuf) dan Abu Qasim Al-Nasrabadzi yang juga sahabatnya dalam berdiskusi.
Banyak kisah sufistik seputar As-Sulami, salah satunya diceritakan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi, ia meriwayatkan, Imam Abu Ali Ad-Daqqaq pernah berkata kepada muridnya Imam Al-Qusyairi, bahwaq ia mendengar As-Sulami mempunyai amalan unik.
Menari Berputar
Imam Abu Ali pun kemudian berkata kepada Qusyairi, “Bagi seorang sufi yang mempunyai maqam (kedudukan yang mulia atau tinggi) seperti As-Sulami, lebih baik jika ia berdiam diri, bertafakkur, daripada menari,” kemudian Ad-Daqqaq menyuruh Qusyairi mengunjungi As-Sulami dan berkata, “Engkau akan dapati bahwa dia sedang di perpustakaannya, engkau akan lihat sebuah buku berwarna merah berisi puisi karya Abu Mansur Al-Hallaj, bawa buku itu kepadaku.”
Maka Qusyairi pun pergilah, dan mendapati as-Sulami seperti yang diceritakan oleh Ad-Daqqaq. Imam Qusyairi pun duduk dan sejenak kemudian As-Sulami berkata, “Ada seorang hamba Allah yang biasa mengkritik perilaku para ulama, pada suatu hari pengkritik itu sendiri berputar menari di rumahnya.” Maka ketika As-Sulami di tanya mengapa ia menari, padahal ia selalu mengkritik perbuatan tersebut, As-Sulami menjawab, “Aku mempunyai persoalan yang sulit yang kemudian jadi jelas. Aku tidak dapat menahan kegembiraanku, lalu aku bangun dan berputar menari, begitulah keadaan orang yang menari berputar.”
Seolah-olah As-Sulami menjawab persoalan yang ditanyakan oleh Ad-Daqqaq. Selanjutnya Qusyairi menceritakan semua suruhan gurunya, “Aku takut menyalahimu, tapi aku tidak mengingkari suruhan guruku,” maka As-Sulami pun menjawab. “Ambillah buku itu dan katakan kepada gurumu bahwa kadangkala aku mengutip puisi Al-Hallaj dalam karangan-karanganku.”
Al-Qusyairi meriwayatkan, suatu ketika As-Sulami bertanya kepada Abu Ali Ad-Daqqaq, “Manakah yang lebih sempurna, dzikir atau pikir?” Ad-Daqqaq menjawab dengan ganti bertanya, “Apakah pembuka Rohani tuan Syekh?” jawab As-Sulami, “bagiku dzikir terlebih sempurna, karena Al-Haq itu diberitakan oleh dzikir, bukan oleh pikir.” Abu Ali Ad-Daqqaq setuju. As-Sulami juga pernah berkata, “Akar tasawuf adalah ketaatan kepada Al-Qur’an dan sunah, meninggalkan nafsu syahwat dan perkara Bid’ah, menghormati orang-orang suci, dan istiqamah dalam berdzikir.”
Selain dikenal luas sebagai sufi besar, As-Sulami juga sebagai seorang penulis kitab yang produktif. Ia sudah menulis ketika masih berusia 20 tahun. Karya-karyanya meliputi sejumlah besar kitab dan risalah tentang hadis dan tasawuf. Semua karyanya menjadi tumpuan rujukan para ulama di seluruh dunia hingga kini. Sebagian besar masa hidupnya ia habiskan di perpustakaan untuk membaca dan menulis. Sampai beberapa bulan menjelang wafatnya pada tahun 412 H / 1021 M (ketika berusa 87 tahun), ia masih berkarya. Hari-hari terakhirnya ia habiskan dengan bersunyi diri di sebuah pertapaan sufi di Naisabur, Iran. Di sana pula ia wafat dan dimakamkan.
Karya-karyanya: Adab As-Sufiyya, Adab Al-Suhba wa Husn al-Ushra, Amthal al-Qur’an, Al-Arbain fi al-Hadis, Bayan fi Al-Sufiyya, Darajat al-Muamalat, Darajat As-Shiddiqin, Al-Farq Bayn al-Syaria wal Haqiqa, Al-Futuwwa, Ghalatat al-Sufiyya, Al-Ikhwah wal Akhwa min al-Sufiyya, al-Istishadat, Juwami, Adab al-Sufiyya, al-Malamatiyya, Manahij al-Arifin, Maqamat al-Awliya, Masail  Waradat min Makkah, Mihan Al-Sufiyya, Al-Muqaddimah fi at-Tasawuf wa Haqiqatih al-Radd ‘ala ahl al-Kalam, Al-Sama, Al-Sualat Suluk al-Arifin, Sunnah al-Sufiyya, dan sebagainya.
Di antara sekian banyak karyanya, yang paling mendapat perhatian para ulama ialahThabaqat al-Sufiyya. Lebih dari 100 orang telah memberikan syarah dan komentar atas kitab tersebut. Bahkan pengaruh-pengaruh pikirannya dalam kitab itu tampak jelas dalam karya Abu Naim dalam kitab Hilyat al-Auliya, Kitab Al-Baghdadi dalam kitab Tarikh al-Baghdad, Al-Qusyairi dalam kitab Al-Risalah, Abdurrahman al-Jami, dalam kitab Nafkhat al-Uns dan Al-Sya’rani dalam Thabaqat al-Qubra. Dalam karya-karyanya As-Sulami selalu berusaha mempersatukan syariat dan hakikat, selalu berpegang pada Al-Qur’an dan As-Sunah.

Tuhfah ra.Sang Sufi Wanita

Begitu taatnya kepada Allah, akhirnya Tuhfah dianggap gila oleh majikannya. Sehingga, ia dimasukkan di RS jiwa. Tiba-tiba seorang sufi ingin menebusnya, tapi majikan Tuhfah yang semula menjual harga tinggi, akhirnya malah tidak menjual. Bahkan, mereka akhirnya menjalankan ibadah haji bersama-sama sampai meninggal dunia.

Budak Yang Sufi

SUFI wanita, Tuhfah, hidup sezaman dengan sufi Sari al-Saqati (sekitar tahun 250 H/853 M). Tuhfah seorang budak yang tidak mengenal tidur maupun makan, sepanjang hari menangis serta merintih dalam mengabdi kepada Allah. Akhirnya ketika keadaan sudah demikian gawat untuk ditangani keluarga majikannya. Mereka pun mengirim ke rumah sakit jiwa.
Sufi yang banyak bercerita tentang Tuhfah adalah Sari al-Saqati. Menurut al-Saqati, dia pergi ke rumah sakit karena kesumpekan hati nya. Di suatu kamar, ia mendapati seorang gadis hanya saja kedua kakinya dirantai Air matanya berlinangaan sepanjang hari ia selalu melantunkan syair.
Ketika ingin tahu identitas gadis itu, seorang perawat mengatakan ia seorang budak yang gila dan bernama Tuhfah. la dikirim oleh seseorang yang rupanya majikannya. Ketika perawat itu menerangkan kepada al-Saqati perihal dirinya. la pun berlinang matanya.
Tuhfah berkata, “Tangisanmu ini, lahir dari pengetahuanrnu tentang sifat-sifat Allah. Bagaimana jadinya jika engkau benar-benar mengenal-Nya sebagaimana dibutuhkan oleh makrifat hakiki?” Setelah berkata begitu Tuhfah pingsan satu jam. Sesudah itu ia bersyair kembali.
Saqati menganggap, Tuhfah sebagai saudara. Ketika Saqati bertanya siapa yang memenjarakan (maksudnya mengirim) ke rumah sakit ini?” Orang-orang yang iri dan dengki,” jawabnya. Mendengar jawaban itu, Saqati menganjurkan kepada petugas rumah sakit itu agar Tuhfah dilepas saja dan membiarkan ia pergi ke mana saja. Melihat gelagat itu Tuhfah bereaksi.

SAQATI BERDOA

Mendadak seseorang muncul di rumah sakit. Menurut seorang perawat, dia adalah majikan Tuhfah. Siapa yang memberi tahu, kalau budaknya yang gila itu sudah bersama al-Saqati, seorang syaikh. la sangat gembira dan mengatakan barangkali Sufi yang datang itu bisa menyembuhkan budaknya. la mengaku bahwa dirinya yang mengirim ke rurnah sakit. Seluruh hartanya sudah ludes untuk membiayai pengobatannya. Katanya budak itu dibeli dengan harga 20.000 dirham.
Saqati tertarik rnembeli karena ketrampilannya sebagai penyanyi, sementara alat musik yang sering ia pakai adalah harpa. la seorang sufi wanita yang begitu kuat cintanya kepada Allah.
Mendengar kisah itu Saqati kemudian dengan berani menawar berapa saja uang yang diminta jika sang majikan menjualnya. Sang majikan menukas, “Wahai Saqati, engkau benar seorang sufi, tetapi engkau sangat fakir, tidak bakalan bisa menebus harga Tuhfah,” tukasnya.
Benar apa yang dikatakan majikan Tuhfah. Kala menawar, Saqati tak memiliki uang sedirham pun. Saqati pulang dengan hati menangis. Tekadnya untuk membeli Tuhfah begitu besar dan menggebu-gebu, namun apa dikata, uang pun ia tak mengantungi. Kemudian ia berdoa, “Ya Allah, Engkau mengetahui keadaan lahiriah dan batiniahku. Hanya dalam rahmat dan anugerah-Mu aku percayakan diriku. Janganlah Engkau hinakan diriku kini!”
Selesai berdoa tiba-tiba pintu diketuk orang. Saqati pun membuka pintu. Didapati seseorang yang mengaku bernama Ahmad Musni dengan membawa empat orang budak yang memanggul pundi-pundi. Musni mendengar suara gaib, agar ia membawa lima pundi-pundi ke rumah Sari Al Saqati, supaya sufi fakir itu memperoleh kebahagiaan untuk membeli Tuhfah. Itulah salah satu karomah yang dimiliki al-Saqati.

HAJI BERSAMA

Mendengar cerita Musni itu, Saqati langsung sujud sukur, dilanjutkan dengan salat malam, dan bangun sampai pagi. Ketika matahari sepenggalah, Saqati mengajak Musni ke rumah sakit. Majikan Tuhfah yang mengejeknya itu sudah
berada di rumah sakit lebih dahulu. Ketika hendak dibayar berapa saja harga yang diminta, majikan itu malah mengelak, “Tidak Tuan, sekiranya Anda memberiku seluruh dunia ini untuk mernbelinya, aku tidak mau menerimanya. Aku telah membebaskan Tuhfah. la henar-benar bebas untuk mengikuti kehendak Allah,” tuturnya.
Mendengar kata-kata majikan itu, Ahmad Musni yang memberi Saqati lima pundi-pundi ikut menangis. Musni menangis karena terharu kepada majikan itu yang sudah meninggalkan duniawi, melepaskan hartanya seperti dirinya juga.” Betapa agung berkah yang diberikan Tuhfah, kepada kita bertiga ini” ujar Musni sambil menatap Sari Al Saqati dan majikan Tuhfah.
Ketiga orang itu pun kini berperilaku seperti sufi. Ketiganya pergi haji ke Makkah Dalam perjalanan Baghdad-Makkah Musni meninggal dunia Ketika sampai di Baitullah dan keduanya thawaf, Ketika saqati memberi tahu, bahwa Musni sudah meninggal Tuhfah berkomentar, “Di surga ia akan menjadi tetanggaku, Belum ada seorang pun yang melihat nikmat yang diberikan kepadanya”.
Ketika Saqati memberi tahu bahwa majikannya juga melaksanakan haji bersamanya, Tuhfah hanya berdoa sebentar, sesudah itu ia roboh di samping Kakbah. Ketika majikannya datang dan melihat Tuhfah sudah tak bernyawa, ia sangat sedih dan roboh di sampingnya. Saqati kemudian memandikan, mengkafani, menyalati dan menguburkan Tuhfah dan majikannya. Saqati selesai berhaji pulang sendirian ke Irak.

Syair-Syair Mahabbah Tuhfah kepada Allah
Aku bahagia berada dalam jubah Kesatuan
yang Engkau kenakan pada diriku
Engkaulah Tuhanku, dan Tuhan dalam kebenaran, seluruhnya
Hasrat-hasrat sekilas mengepung qalbuku
Namun, setiap dorongan berhimpun dalam diri-Mu
bersama-sama, saat kutatap diri-Mu
Segenap tenggorokan tercekik kehausan pun
terpuaskan air minuman
Tapi, apa yang terjadi atas orang orang yang kehausan oleh air?
Qalbuku pun merenungkan dan merasa sedih atas segenap dosa dan kesalahan di masa lalu
Sementara jiwa yang terikat raga ini pun menanggung derita kepedihan
Jiwa dan pikiranku pun kenyang dengan kerinduan
Ragaku pun sepenuhnya bergelora dan membara
Sementara dalam relung qalbuku, cinta-Mu pun tertutup rapat-rapat

Betapa sering aku kembali menghadap kepada-Mu
seraya memohon ampunan-Mu
Wahai junjunganku, wahai Tuhanku,
Engkau tahu apa yang ada dalam diriku
Kepada orang banyak telah kuserahkan dunia dan agamanya
Dan aku sibuk terus menerus mengingat-Mu
Engkau, yang  merupakan agama dan duniaku

Sesudah mencari-Mu dengan kecemburuan liar seperti ini,
kini akyu dibenci dan didengki
Karena Engkau adalah Tuhanku
kini akulah kekasih di atas segalanya

Ada lagi syair Tuhfah ra. lainnya
Qalbuku, yang mabuk oleh anggur lembut kasih sayang dan cinta,
kembali merindukan kekasihnya
Wahai, menangislah! Bebaslah dalam menangis di Hari Pengasingan
Air mata berlimpah yang jatuh berderai sesungguhnya baik semata
Betapa banyak mata yang dibuat Allah menangis ketakutan dan merasa risau kepada-Nya
kemudian merasa lega dan tentram
Sang budak yang tak sengaja berbuat dosa tapi menangis penuh penyesalan tetaplah seorang budak
Sekalipun ia kebingungan dan begitu ketakutan
Dalam qalbunya lampu terang pun bersinar cemerlang.

Pustaka :
1. Nurani 199, 6 – 12 Oktober 2004
2. Javad Nurbakh, Wanita-wanita Sufi, Penerbit Mizan, Bandung, 1983.
3. http://oryza.blogsome.com/2006/05/22/tuhfah-sufi-wanita-dari-irak/

Nur al-Din 'Abd al-Rahman al-Jami



Musim panas, musim dingin, dan musim semi akan berlalu.
Kita pasti akan jadi tanah dan debu


Biografi Singkat


       'Abd al-Rahaman Jami adalah salah seorang intelektual-Muslim yang pandai dari Persia yang hidup pada masa pertengahan Islam. Ia di lahirkan di Kharjad atau Jam (sebuah kota kecil di Afghanistan) pada tahun 1414 M / 817 H. Nama lengkapnya Nur al-Din 'Abd al-Rahman al-Jami. Anak dari Nizam al-Din ini, sebelum terkenal dengan sebutan al-Jami, ia akrab dengan dipanggil al-Dasty. Gelar terakhir ini diambil dari penisbatannya terhadap sebuah daerah dekat Kota Isfahan, tempat asal ayahnya.
        Ia adalah orang yang cerdas dan pandai, hal ini terbukti dari sejak kecil ia telah menunjukan sifatnya yang luar biasa itu. Ia sangat mudah dan tanggap menguasai pelajaran yang di berikan kepadanya. Ia adalah seorang yang pandai berorasi dan berargumentasi. Salah satu diantara para ulama  yang pernah menjadi gurunya ialah Syeikh Sa’u al-Din al-Kasygari, murid sekaligus khalifah Syeh Baharuddin Naqsibandiah. Dalam karyanya, Alexandrian Book of Wisdom, Jami’ menunjukkan bahwa mata rantai penyebaran
esoteris Sufi Asia Khajagan (para ‘Guru’), sama dengan yang digunakan oleh penulis-penulis mistik Barat. Dalam penyebaran Sufi, ia menempatkan beberapa nama sebagai guru, seperti Plato, Hippocrates, Pythagoras dan Hermes Trismegistos. Jami’ merupakan murid Sadedin Kasygari, pimpinan aliran Naqsyabandiyah, yang berhasil memimpin di wilayah Herat, Afghanistan. Kesetiaannya yang tertinggi kepada Khaja Obaidullah Ahrar, Pemimpin Aliran (madzhab).
        Keuletan dan potensinya itu mengantarkannya menjadi sosok yang dihormati dan dikagumi oleh semua lapisan masyarakat. Ia adalah tokoh yang sangat terkenal di kawasan Persia, sehinggga kemashurannya pun mencapai kawasan Turki Usmani. Disebutkan pada suatu waktu ia berada di Damaskus, ia dicari utusan Sultan Turki Usmani yang bermaksud mengundangnya ke Istana dan telah menyiapakan hadiah baginya. Karena tidak tertarik pada undangan itu, Al-Jami segera meninggalkan Kota Damaskus.     
      Beberapa tahun sebelum kematianya, ia berkunjung ke desa-desa tetangganya yang tidak di perhatikan secara khusus. Tiga hari sebelum meninggal, ia mengumpulkan beberapa murid dekatnya dan berkata, “Jadilah saksiku bahwa aku tidak punya ikatan dengan apapun  dan dengan siapa pun”. Ketika fajar mulai menyingsing di Kota Heart, Pada hari jum’at tahun 1492 M / 898 H, ia merasa bahwa kematiannya akan tiba. Ia merlakukan shalat dan kemudian duduk untuk melakukan dzikir, dan siang harinya ia pun wafat.
       Ada sebuah kisah jenaka dituturkan mengenai saat kematian Al-Jami’.
“Para sufi yang sangat sedih mengetahui bahwa ia akan segera wafat, berkumpul di rumahnya, sebagian menangis pelan-pelan, sementara sebagian yang lain sibuk melantunkan dzikir, tetapi ada salah seorang yang membaca al-Qur’an dengan suara keras dan mengganggu yang lain, akhirnya al-Jami’ mengangkat kepala dan berkata, “Demi Allah aku akan mati jika engkau tidak menghentikan keributanmu!”

Karya-karyanya

     Kita masih bisa melihat kebesarannya dalam karya-karya dan tulisannya yang berhasil ia telurkan. Tidak kurang dari 90 buku dan tulisannya yang dihasilkan, namun menurut sumber lain hanya berjumlah 46 karya dengan berbagai topik dan gaya. Dalam tulisannya, kebanyakan berbicara dalam bidang tasawuf, akan tetapi bidang-bidang lain pun tidak luput dari pehatiannya. Misalnya, menulis komentar tafsir sejumlah surah dalam al-Qu’an, memberikan komentar hadis-hadis yang di riwayatkan oleh Abu Dzar al- Ghifari.
     Di antara karya prosanya adalah Nafahat ul-Uns (Nafas dari Bayu Persahabatan),  Beharistan (Kota Musim Semi) dan koleksi Biography Para Wali Sufi. Karya puisinya yang terkenal adalah Haft Awrang (Tujuh Tahta Rahmat), yang terdiri dari 25 ribu bait. Buku Yusuf & Zulaikha merupakan puncak buah karyanya. Selain itu ia juga menulis tentang biografi Nabi Muhammad, bukti-bukti tentang kenabiannya, tentang biografi para sufi dan pengajaran mereka tentang para penyair, raja-raja, puisi, musik dan taat bahasa Arab.
     Meskipun demikian al-Jami lebih terkenal kehadirannya sebagai penyair dan sebagai juru bicara tasawuf aliran Wahdat al-Wujud. Menurutnya, Nafs atau jiwa manusia, sebagai unsur atau prinsip yang menghidupkan manusia, memiliki potensi untuk mencapai sejumlah tahap kesempurnaan yang berbeda. Dengan melewati tahap demi tahap, jiwa itu akan semakin dekat dan menyatu dengan Tuhan. Al-Jami membaginya dalam tiga fase. Pertama, fase paling rendah yang di sebut Nafs Amarat, yaitu nafs yang terus menerus mendorong kepada hal-hal yang buruk dan rendah. Setelah fase ini terlewati dengan mlalui latihan spiritual, jiwa ini akan meningkat pada fase yang ke-dua  yaitu Nafs Lawamat, yang berarti jiwa ini mampu mencela kekurangan-kekurangan dirinya sendiri. Bila di tingkatkan kembali maka akan mencapai pada fese yang ke-tiga yaitu Nafs Mutmainnat, pada fase ini jiwa akan sampai pada puncak kesempurnaannya, di sini jiwa akan merasa tentram, damai, dan bahagia.

       Dari banyak munajatnya yang indah kepada Allah, dia berkata,

“Ya Rabbi, ya Tuhanku, jauhkanlah kami dari perbuatan menghabiskan waktu untuk perkara-perkara kecil yang tidak berguna. Tunjukkanlah kepada kami segala perkara menurut hakekatnya. Angkatlah dari batin kami selubung ketidaksadaran. Janganlah diperlihatkan kepada kami barang yang tidak nyata sebagai barang yang ada. Janganlah Kau biarkan bayang-bayang menutup batin kami, sehingga kami tidak dapat melihat keindahan-Mu. Jadikanlah bayang-bayang ini sebagai kaca yang melalui batin kami untuk menyaksikan-Mu.”
     
Pada bagian lain dia berkata,

“Sang kekasih menyeru dari kedai minuman,
datanglah lalu berilah aku anggur cinta,
cawan demi cawan.
Kubebaskan diriku dari belenggu logika dan nalar.
Lalu kumulai meratap dan menangis untuk bersatu.”
  
Dalam tahun terakhirnya ia melihat visi tentang kematiannya, dan sering melantunkan bait syair berikut:

Adalah memalukan
Bahwa hari-hari berlalu tanpa kita
Bunga-bunga ‘ akan mekar dan musim semi akan tiba
Musim panas, musim dingin, dan musim semi
Akan berlalu
Dan kita pasti akan menjadi tanah dan debu.

Tulisan dan ajaran Jami’, pada akhirnya membuat dirinya begitu popular, sehingga para Sultan Turki dan para pemimpin lokal, secara terus menerus menawarkan sejumlah besar emas dan hadiah lain agar Jami mau menjadi bagian dari aristocrat Istana mereka.
Di bawah ini dituliskan beberapa ucapan Jami, yang meawakili ekspresi jiwa dan keilmuannya.
Tumbuh Subur
Jika gunting tidak digunakan setiap hari untuk menggunting jenggot, maka tidak akan melebihi panjang janggut itu sendiri karena pertumbuhannya yang subur, seolah-olah menjadi kepala.
 
Kesatuan
Cinta menjadi sempurna jika melebihi cinta itu sendiri Menjadi Satu dengan maksudnya; Menghasilkan Kesatuan Dzat.
 
Sholat dan Hidung
Aku melihat orang tengah sujud dalam shalatnya, dan berseru:
“Engkau menempatkan beban hidungmu di lantai dengan alasan bahwa hal itu syarat orang shalat.”
 
Guru
Penguasa adalah pelindung dan pengikutnya adalah rakyat. Ia harus menolong dan menyelamatkan mereka, tidak mengeksploitasi dan merusak mereka. Apakah pelindung untuk rakyat, atau rakyat untuk pelindung?
 
CINTA
Cinta manusia kebanyakan mampu meningkatkan manusia pada pengalaman cinta sejati.

AWAN KERING
Awan kering, tidak berair, tidak dapat memberi hujan yang berkualitas.
 
Penyair dan Tabib
Seorang penyair mengunjungi tabib. Ia berkata, “Aku mengalami berbagai gejala mengerikan. Aku tidak bahagia dan tidak nyaman, rambut, tangan dan kakiku seolah disiksa.”
Tabib menjawab, “Apakah benar bahwa engkau belum mengeluarkan komposisi puisimu yang terbaru?”
“Benar,” jawab penyair.
“Bagus sekali,” jawab si tabib, “Bawakanlah dengan bagus!”
Ia melakukannya, dan atas perintah tabib, ia bersyair baris demi baris berulang-ulang.
Kemudian tabib mengatakan, “Berdirilah, karena engkau sekarang sudah sembuh. Apa yang engkau rasakan dalam tubuhmu adalah pengaruh dari fisikmu. Sekarang sudah bebas, engkau sehat lagi.”
 
Pengemis
Seorang pengemis menuju sebuah pintu, menanyakan sesuatu yang dapat diberikan kepadanya. Si pemilik (pintu) menjawab:
“Maaf, tidak ada seorang pun di dalam.”
“Aku tidak menginginkan siapa pun,” jawab pengemis, “Aku ingin makanan.”
 
KEMUNAFIKAN
Tercatat dalam Tradisi dari Guru bahwa suatu ketika Jami’ berkata, ketika ditanya tentang kemunafikan dan kejujuran:
“Apa hebatnya kejujuran dan apa anehnya kemunafikan!”
“Aku berkelana ke Mekkah dan ke Baghdad, dan aku membuat percobaan tentang perilaku manusia. Ketika aku meminta mereka untuk jujur, mereka selalu memperlakukanku dengan hormat, karena mereka berpikir bahwa orang baik selalu berkata demikian, dan mereka telah belajar bahwa mereka harus bermimik sedih pada saat orang berbicara kejujuran. Ketika aku meminta mereka menghindari kemunafikan, mereka semua setuju.
Tetapi mereka tidak tahu ketika aku berkata ‘kebenaran’, aku tahu kalau mereka tidak tahu apa kebenaran itu, dan kemudian mereka atau aku menjadi munafik.
Mereka pun tidak tahu bahwa ketika aku mengatakan agar tidak munafik, mereka menjadi munafik karena tidak menanyakan caranya. Mereka tidak tahu pula kalau aku menjadi munafik, ketika mengatakan ‘jangan munafik’, sebab kata-kata tidak menyampaikan pesan dengan sendirinya.
Mereka menghargaiku, ketika aku berlagak munafik. Mereka sudah diajari untuk bertingkah demikian. Mereka menghormati diri sendiri sementara mereka berpikir secara munafik; karena merupakan kemunafikan berpikir, bahwa seseorang secara sederhana bertambah baik dengan berpikir bahwa menjadi munafik itu jelek.
Intinya, Jalan yang membawa ke (derajat) atas adalah: mempraktekkan dan memahami untuk tidak dapat (menjadi) munafik, di mana terdapat kejujuran dan tidak ada sesuatu yang menjadi tujuan manusia.”
 
HARGA DIRI
Jangan membual kalau engkau tidak memiliki harga diri, karena hal itu lebih terlihat daripada kaki semut di atas batu hitam dalam kegelapan malam. Dan jangan berpikir bahwa mengeluarkannya hal mudah, karena lebih mudah menarik gunung dari muka bumi dengan sebuah jarum.
 
AKAL
Berhentilah membual tentang akal dan belajar; karena di sini akal menghambat, dan belajar adalah kebodohan.
 
APA YANG AKAN KITA LAKUKAN?
Mawar telah hilang dari taman; apa yang akan kita lakukan dengan duri-durinya?
Syah tidak ada di kota; apa yang kita lakukan dengan istananya?
Pasar malam adalah sangkar, kecantikan dan keindahan adalah burung; Jika burung telah terbang, apa yang akan kita lakukan dengan sangkar?
 
NEGARA
Keadilan dan kejujuran, bukan agama atau ateisme,
Dibutuhkan untuk perlindungan terhadap Negara.
 
GELOMBANG BESAR
Di hadapan Nusyirwan yang adil, para guru bijak mendiskusikan tentang gelombang berat dalam penderitaan.
Salah seorang mengatakan bahwa hal itu adalah
penyakit dan nestapa;
Lainnya, bahwa hal itu usia lanjut dan kemiskinan;
Ketiga, bahwa hal itu mendekati kematian dengan
sedikit karya (amal).
Dan akhirnya, yang satu ini diterima.




Sumber

http://sastra-muslim.blogspot.com/2011/10/nur-al-din-abd-al-rahman-al-jami.html#more


Jalan Sufi: Reportase Dunia Ma’rifat oleh Idries Shah
Judul asli: The Way of the Sufi, Penterjemah Joko S. Kahhar dan Ita Masyitha
Penerbit Risalah Gusti, Cetakan Pertama Sya’ban 1420H, November 1999
Jln. Ikan Mungging XIII/1, Surabaya 60177
Telp.(031) 3539440 Fax.(031) 3529800

AL HALLAJ, Sang Martir Cinta




Malam ini menyenangkan. Pertemuan dalam ruang di mana ekspresi pikiran dan spiritual bisa berkelana ke mana ia suka, membuat hidup jadi bergairah dalam pendar-pendar cahaya. Tetapi ini mungkin sejenak saja. Sebab di ruang lain setelah ini kita masih menyaksikan, pedang-pedang masih berkeliaran. Pedang-pedang itu siap ditebaskan ke leher siapa saja yang dianggap menghujat Tuhan, sambil berteriak : Tuhan Maha Besar”. Al Hallaj, bilang kepada mereka: “Kalian bohong. Kalian ingin menyaingi Tuhan”. Dan Hallaj ditangkap ramai-ramai.

Al Hallaj adalah ikon mistikus paling melegenda di jagat raya sufisme. Namanya tak pernah berhenti disebut orang sepanjang masa, dalam nada puja-puji yang memabukkan maupun sumpah serapah dan dendam kesumat yang tak pernah selesai. Cerita tentang orang besar ini sarat dengan beragam mitos dan dongeng-dongeng yang memesona sekaligus merobek-robek nurani.


Siapa al Hallaj


Namanya Husain Manshur al Hallaj, lahir di perkampungan Tur, wilayah Baidha, Fars, Persia, 244 H/858. Dia anak tukang pemilah benang yang miskin. Kelahirannya amat di dambakan bertahun dua orang tua yang saleh itu. Hallaj kecil dititipkan keduanya kepada Syekh Sahl al Tustari (w.238 H), sufi besar pada zamannya, untuk mengaji kepadanya dan mengabdi kepada Tuhan di masjidnya, memenuhi janji mereka ketika mendamba bertahun kelahirannya. Ketika Hallaj menyapu di mihrab, dia menemukan secarik kertas kewalian gurunya, yang konon, turun dari langit. Diam-diam Hallaj menelannya, mengambil keberkatan.  Tak lama, dia menjadi aneh, ia sering bergumam sendiri.
Dalam usia 12 tahun dia hafal al-Qur’an seluruh, dia juga mengaji beragam keilmuan tradisional Islam kepada sejumlah guru di Wasit, sebuah kota dekat Ahwaz. Usai ngaji di kampungnya, dia pergi ke Bagdad, untuk meneruskan mengaji pada sufi otoritatif: Abu al Qasim Al Junaed (w.298 H), Amir al Makki (w. 291) dan guru yang lain. Ketika Hallaj 20 tahun, dia ditahbiskan sebagai guru dalam Tasawuf. Tak lama ke kemudian dia ke Makkah untuk haji. Di kota suci ini, pergulatannya dengan dunia sufisme semakin intens. Otoritasnya di bidang ini semakin menonjol. Pada saat berada Arafat, dia mendaki sendiri sampai puncak gunung itu, lalu berdo’a :

يا دليل المتحيرين زدنى تحيرا. وإذا كنت كافرا فزدنى كفرا.

“Oh, Tuhanku, Pembimbing Orang-orang bingung. Tambahi kebingunganku. Jika aku kafir, maka tambahi kekafiranku”. (Louis Massignon, Alaam al Hallaj, hlm. 213).
Kelak di kemudian hari di suatu tempat dia bilang lagi untuk menegaskan bahwa keinginan tersebut dikabulkan Tuhan:

كفرت بدين الله والكفر واجب    علي وعند المسلمين قبيح

Aku mengkafiri agama Tuhan
Kekufuran bagiku adalah wajib
Meski bagi banyak muslim amatlah buruk
(Diwan, Yatama 2)

Hallaj kembali ke Baghdad, mendiskusikan berbagai problem dan isu krusial sufisme, dengan Syeikh Junaed,  Abu Bakar al Syibli dan sejumlah sufi besar lainnya. Dia selalu tak puas. Pikiran-pikirannya semakin radikal, melawan mainstream, tapi semakin matang. Dia lalu kembali ke kampungnya untuk tak berhenti mencari Tuhan dan dia menemukan-Nya di dalam rumah hatinya sendiri. Baju sufi ditanggalkannya dan menggantinya dengan baju tentara, kadang baju robek-lusuh, biar lebih bebas dan tak dikenal saleh. Sesudah itu namanya disebut secara popular sebagai Hallaj al Asrar (Hallaj, sang pemilik rahasia-rahasia). Hallaj kembali ke Makkah, di samping untuk haji lagi juga terus mencari mengerti tentang eksistensi diri di bumi Nabi, tempat beliau mengajarkan Tauhid (Kemahaesaan Tuhan). Al Hallaj lagi-lagi tak puas. Ia lantas berkelana ke berbagai negeri di Timur Tengah dan sampai ke India dan Cina. Di berbagai tempat itu, yang dijalaninya selama lima tahun, dia memperoleh banyak sekali pengetahuan eksoterik, terutama esoterik. Entah sesudah atau di antara pengembaraan itu, dia ke Makkah lagi.
Dari perjalanan ini dia mulai tampil dengan gagasan-gagasan sufismenya yang menggemparkan. Dia sebarkan gagasan itu secara terbuka dan segera mengundang resistensi dan reaksi kebingungan dan kemarahan publik. Ucapan-ucapan Cintanya kepada Tuhan semakin tak dimengerti halayak. Dia semakin “gila”. Tetapi dalam waktu yang sama nyawanya terancam oleh pikiran publik yang tak paham. Dia dicacimaki sebagai tukang sihir dan orang gila. Tetapi sebagian lain melihatnya sebagai pribadi memesona, nyentrik, yang menebarkan keramat  dan keberkatan. Dialah Waliyullah, kekasih Tuhan. Al Hallaj tak peduli dengan semuanya. Dia menuliskan dan menggumamkan seluruh kegelisahan dan keriangan batinnya yang meluap-luap itu kapan saja. Setiap malam, ketika senyap, dia mendesahkan elegi yang mengiris nurani.

ألا يا ليل محبوبى تجلى   ألا يا ليل للغفران هلا
الا يا ليل ما ابهى واحلى   ألا يا ليل اكرمنى وجلى
ألا يا ليل فى الحضرة سقانى  ألا يا ليل من خمر الدنان

O, malam, Kekasihku datang
O, malam, pengampunan telah datang
O, malam, aduhai Keindahan, aduhai Manisku
O, malam, Kekasih memuliakanku, Dia datang
O, malam, Kekasih menuangkan minuman
Pada gelas besar dari anggur yang memabukkan

Gagasan-Gagasan Hallaj: Hulul

Al Hallaj terus menyimpan rindu-dendam dan berhari-hari mabuk kasmaran. Kekasihnya datang berkunjung, lalu menyeruak, merasuk ke dalam dan menempati hatinya. Orang menyebut proses merasuk dari atas ke bawah sebagai “Hulul”. Sejak itu hari-harinya disibukkan dengan pertemuan-pertemuan manis, mesra dan menghanyutkan dengan Tuhan di ruang yang tak bertempat. Katanya, suatu saat, masih dalam sunyi-menyergap:

رأيت ربى بعين قلبى   فقلت من أنت قال أنت
فليس للاين منك أين   وليس أين بحيث انت

Aku melihat Tuhanku dengan mata hati
Aku bertanya; Siapa Engkau. Dia katakan : Kamu
Tak ada dari-Mu dimana
Dan tak ada di mana bagimu
(Diwan, Qashidah 10)

انا من اهوى ومن اهوى انا    نحن روحان حللنا بدنا
فإذا ابصرتنى ابصرته   فإذا أبصرته ابصرتنا

Aku orang yang mencinta dan Dia yang mencinta adalah Aku
Kami dua ruh yang melebur dalam satu tubuh
Bila kau memandangku, kau memandang-Nya
Bila kau memandang-Nya, kau memandang Kami.
(Diwan 57)

مزجت روحك فى روحى كما   تمزج الخمرة  بالماء الزلال
فإذا مسك شيئ مسنى   فإذا انت انا فى كل حال

Ruh-Mu menyerap dalam ruhku
Bagai anggur larut pada air bening
Bila suatu menyentuh-Mu, ia menyentuhku
Engkau adalah aku dalam seluruh
(Diwan 47)

Ittihad : Akulah Kebenaran

Ketika Sang Kekasih pergi, Al Hallaj menulis berbaris-baris puisi Kerinduan (al ‘Isyq) yang mencengkeram amat kuat dalam dirinya dan dalam ekstase-aktase yang sering. Dia senandungkan puisi-puisi Rindu Kekasih itu di pasar-pasar, di warung-warung, di surau-surau dan di kerumunan-kerumunan. Hari-hari kemarin Hallaj merasa Tuhan berkunjung ke rumahnya dan menempati seluruh ruang eksistensinya. Dan kini dia ingin menyambutnya dengan riang lalu menjemput-Nya di Langit dan manapun Dia Berada. Hallaj ingin selalu bersama-Nya, menyatu dalam “Tubuh-Nya”. Sufi menyebut proses merasuk dan menubuh dari bawah ke atas sebagai Ittihad. Dalam puncak ekstase yang melayang-layang dia berteriak keras: “Ana al Haq” (Akulah Kebenaran). Kata-kata ini mengguncang dan menggetarkan jagat raya manusia. Sahl al Tustari, Junaed dan Syibli sahabatnya, terpana dan shock berat. Oh, Hallaj, seharusnya kau tak sebarkan rahasia Tuhan itu kepada publik semacam itu. Biarlah kata-kata itu menjadi milik hati kita?.

Gagasan Pluralisme

Pikiran dan pengalaman Hulul, Ittihad atau Wahdah al Wujud tak pelak melahirkan gagasan Pluralisme agama-agama. Itu keniscayaan. Baginya semua agama adalah sama. Para pemeluk agama tak pernah berhenti mencari Sang Realitas, melalui beragam jalan, berbagai nama. Abd Allah bin Thahir al Uzdi menceritakan: “Aku bertengkar dengan seorang Yahudi di sebuah pasar di Baghdad. Kepada si Yahudi itu aku sempat bilang: Hai anjing!. Tak dinyana Husain bin Manshur lewat dan memandangku dengan wajah marah. Katanya ; “hentikan anjingmu menyalak”, lalu pergi. Begitu kami usai bertengkar, aku menemuinya dan minta maaf. Husain mengatakan: “Anakku, semua agama adalah milik Allah. Setiap golongan memeluknya bukan karena pilihannya, tetapi dipilihkan Tuhan. Orang yang mencaci orang lain dengan menyalahkan agamanya, dia telah memaksakan kehendaknya sendiri. Ingatlah, bahwa Yahudi, Nasrani, Islam dan lain-lain adalah sebutan-sebutan dan nama-nama yang berbeda. Tetapi tujuannya tidak berbeda dan tidak berubah”. “Dia kemudian berceloteh bait-bait puisi ini”:

تفكرت فى الاديان جد تحقق    فألفيتها اصلا له شعبا جما
فلا تطلبن للمرء دينا فإنه    يصد عن الاصل الوثيق وانما
يطالبه اصل يعبر عنده    جميع المعالى والمعانى فيفهما

Sungguh, aku tlah merenung panjang agama-agama
Aku temukan satu akar dengan begitu banyak cabang
Jangan kau paksa orang memeluk satu saja
Karena akan memalingkannya dari akar yang menghunjam
Seyogyanya biar dia mencari akar itu sendiri
Akar itu akan menyingkap seluruh keanggunan dan sejuta makna
Lalu dia akan mengerti
(Diwan, 50)

Pandangan Pluralisme Agama, diucapkan oleh siapa saja, Husain Manshur Hallaj atau yang lain, menggambarkan manifesto kebebasan beragama, dan tentu saja merupakan ekspresi Islami yang essensial yang melampaui perbedaan-perbedaan sektarian antara Sunny-Syi’ah dan antara sekte-sekte yang lain. Keanekaragaman individu dengan sifat kualitatif dan kepercayaan yang berbeda-beda akan senantiasa eksis di manapun dan kapanpun, dan tak bisa dilepaskan, dengan cara apapun dan oleh siapapun, dari bingkai raksasa semesta ciptaan Tuhan.

Eksekusi; Tragedi

Para penguasa pengetahuan keagamaan eksoterik, literal, konservatif dan ortodoks: para ahli fiqh dari segala aliran, para ahli hadits, terutama kelompok Hanbalian dan para teolog, meradang dan marah luar biasa. Demonstrasi besar-besaran berlangsung di mana-mana, di seluruh negeri. Puluhan  otoritas agama eksoterik itu menghimpun tandatangan dan berebut membubuhkannya, menuntut kematiannya. Mereka mengeluarkan fatwa: “Bunuh dia, Darahnya Halal ditumpahkan”. Hallaj, keluarga dan para pengikutnya ditangkap dan dijebloskan di penjara. Peradilan terhadapnya kemudian digelar. Para jaksa menuduhnya dengan “telah melakukan kejahatan berlapis”. Secara politik dia dia dianggap agen gerakan Qaramit, salah satu sekte Syi’ah Ismaili, sayap garis keras dan brutal. Gerakan Politik di bawah pimpinan Hamdan al Qarmathi ini telah lama menentang kekuasaan dinasti Abbasiah dan berusaha menggulingkannya. Mereka acap melakukan pemberontakan di mana-mana. Secara agama al Hallaj dituduh tukang sihir dan zindiq (Atheis). Pembelaan yang cerdas dan jujur tak mampu melawan tekanan masa emosional dan represi politik pencitraan. Pengadilan  akhirnya menjatuhkan vonis: Husain Manshur al Hallaj dihukum mati. Kekuasaan politik mendukung putusan ini. Khalifah Al Muqtadir Billah menandatangi vonis itu. Al Hallaj tak gentar dengan putusan ini. Dia sudah mengetahui dan sudah lama menginginkan kematian seperti ini. Meski gurunya Syeikh al Junaed memberi nasehat, dia tak surut, tak bergeming. Dia dengan lugas mengatakan :

وان قتلت او صلبت او قطعت يداى ورجلاى لما رجعت عن دعواى

“Biar pun aku dibunuh atau disalib atau dua tangan dan kakiku dipenggal, aku tak surut untuk mendakwahkan kebenaranku”.

Tanggal 27 Maret 922, eksekusi mati dilaksanakan di hadapan ribuan pasang mata merah yang terus meradang dan tak henti berteriak histeris. Yel-yel Allah Akbar, Allah Akbar menggelegar. Sejumlah ulama Fiqh, Hadits dan Kalam menjadi saksi. Faqih literalis ekstrim sekaligus orang yang paling bertanggungjawab atas fatwa mati dan pengadilan Hallaj: Muhammad bin Daud  (w. 297 H), pendiri mazhab fiqh Zhahiri, berdiri paling depan. Sejumlah sufi besar juga hadir, meski memperlihatkan sikap dan suasana batin yang berbeda, menyaksikan peristiwa paling dramatis ini. Mereka, untuk menyebut beberapa saja, adalah Abu al Qasim Al  Junaed, Abu Bakar al Syibli (w. 334), Ibrahim bin Fatik. Yang terakhir ini adalah sahabat setia yang selalu menemani Hallaj di penjara.
Tak jelas bentuk hukuman mati untuk Hallaj itu, apakah di tiang gantungan, dipenggal atau disalib di pelepah kayu keras. Mungkin tak penting betul untuk dijawab. Tetapi beberapa menit menjelang kematiannya, meski tubuhnya dililit rantai besi, Hallaj dengan riang, seperti akan bertemu kekasih, menengadahkan wajahnya ke langit biru yang bersih, seakan siap menyambut kedatangannya. Dia menyampaikan kata-kata monumental yang indah beberapa detik sebelum nafasnya pergi.

“Oh Tuhan, lihatlah, hamba-hamba-Mu telah berkumpul. Mereka menginginkan kematianku demi membela-Mu dan untuk lebih dekat dengan-Mu. O. Tuhan, ampuni dan kasihi mereka. Andai saja Engkau menyingkapkan kelambu wajah-Mu kepada mereka sebagaimana Engkau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tak akan melakukan ini kepadaku. Andai saja Engkau turunkan kelambu wajah-Mu dariku, sebagaimana Engkau menurunkannya dari mereka, niscaya aku tak akan diuji seperti ini. Hanya Engkaulah Pemilik segala Puji atas apa yang Engkau lakukan. Hanya engkaulah pemilik segala puji atas apa yang Engkau kehendaki”.
Setelah itu dia bergumam lirih:

اقتلونى يا ثقاتى   إن فى قتلى حياتى
ومماتى فى حياتى   وحياتى فى مماتى
إن عندى محو ذاتى   من أجل المكرمات
وبقائى فى صفاتى   من قبيح السيئات
فاقتلونى واحرقونى  بعظام الفانيات

Bunuhlah aku, O, Kasihku
Kematianku adalah hidupku
Kematianku ada dalam hidupku
Hidupku ada dalam kematianku.
Ketiadaanku adalah kehormatan terbesar
Hidupku seperti ini tak lagi berharga
Bunuhlah aku, bakarlah aku
Bersama tulang-tlang yang rapuh
(Diwan, Qasidah 10)

Suasana senyap. Hallaj diam. Abu al Harits al Sayyaf, sang algojo, melangkah gagah dengan wajah amat angkuh, mendekati Hallaj. Ia menampar pipinya dan memukul hidungnya begitu keras hingga darah mengaliri jubahnya. Hallaj, kata para saksi, sungkem kepada Tuhan:

Ilahi, Ashbahtu fi manzilah al Raghaib” (Tuhanku kini aku telah berada di Rumah Idaman).

Masih dalam sungkem, Hallaj, menyenandungkan puisi rindu:

Aku menangis kepada-Mu
Bukan hanya untuk diriku sendiri
Tetapi bagi jiwa yang merindukan-Mu
Akulah yang menjadi saksi
Sekarang pergi kepada-Mu
Akulah Saksi Keabadian

Begitu kepalanya terpenggal (atau terkulai) dan tubuhnya jatuh ke tanah atau diturunkan dari tiang salib, suara kegembiraan bergemuruh, membahana dan membelah langit: “Allah Akbar. Semua ini untuk kejayaan Islam dan kaum muslimin”. Tak cukup puas dengan itu, menurut satu cerita, potongan kepala disiram minyak lalu dibakar. Lidahnya dipotong dan matanya dicungkil. Takbir terus menggema, bertalu-talu. Esoknya, abu dari tubuh jenazahnya ditaburkan ke udara dari puncak menara sungai Dajlah (Tigris), sementara kepala dan dua tangannya digantung di tembok penjara.
Kisah tragedi kematian mistikus besar ini disampaikan berbagai sumber dengan beragam nuansa mitologis dan dongeng (Asthurah). Sebagian cerita yang berkembang kemudian: “al Hallaj tidak mati. Dia naik ke langit seperti Isa dan akan kembali ke bumi, seperti Isa”, “Sungai Tigris subur-makmur berkat abu al Hallaj”. Konon, pada hari ketiga kematian Hallaj, Tigris memuntahkan kemarahannya dengan menenggelamkan bumi Baghdad. Pesan Hallaj sebelum mati kepada adiknya agar menghentikan bah dahsyat itu.
Kuburannya di Bagdad sampai hari ini, menjadi tempat ziarah paling ramai dikunjungi beribu orang tiap hari dari berbagai penjuru bumi.

Karya Al Hallaj

Al Hallaj, konon, sesungguhnya telah menulis banyak karangan. Sebagian orang menyebut angka sekitar 40 an. Tetapi semuanya dibakar oleh penguasa Dinasti Abbasiyah. Buku-buku Hallaj dilarang keras. Mereka yang menyimpannya dihukum. Meski begitu sebagian orang menyimpannya secara diam-diam. Beberapa waktu kemudian sebuah manuskrip berjudul Al Thawasin ditemukan. Ini mungkin satu-satunya karya Al Hallaj yang selamat. Selain Al Thawasin, ada Diwan al Hallaj, berisi kumpulan cuplikan puisi-puisi atau kasidah-kasidahnya yang berhasil dihimpun dari berbagai orang, dan pengikutnya dari berbagai sumber. Diwan, kata Massignon, pertamakali ditemukan oleh Al Qusyairi, di perpusatakaan Sullami. Sebagian puisi terdapat pada Al Thawasin.
Sampai di sini saya dan seharusnya kaum muslimin merasa berhutang budi dan berterimakasih kepada Louis Massignon, orang yang dengan amat tekun dan tak kenal lelah mencari dan meneliti manskrip-manuskrip (makhthuthat) tulisan al Hallaj ini. Tanpa kerja keras intelektualnya yang luar biasa, orang besar ini : Husain Manshur al Hallaj, berikut tulisan-tulisan tangannya, terutama al Thawasin dan Diwan, mungkin tak dikenali sampai hari ini. Boleh jadi seluruh tulisan orang mengenai Hallaj, akan selalu mengacu pada karya Masignon ini.
Al Thawasin, karya utama al Hallaj, berisi kumpulan narasi pemikiran dan keyakinan-keyakinannya yang ditulis dalam bentangan waktu hidupnya yang berbeda. Thawasin berisi 11 teks: 1. Thasin al Siraj. Menurut Ruzbihan Baqli, Thasin al Siraj berarti Lampu Al Musthafa (Nabi Muhammad), berisi pandangan Hallaj tentang Hakikat Muhammadiyyah. Tha dan Sin kependekan dari Thaha dan Yasin, dua panggilan nabi Muhammad. 2. Thasin al Fahm (pemahaman).3. Thasin al Shafa (Kebeningan), 4. Thasin al Dairah (Sirkuit), 5. Thasin al Nuqthah (Titik), 6. Thasin al Azal wa al Iltibas (Kebahagiaan dan Derita Eterniti/Keabadian dan Kekeliruan pemahaman), 7. Thasin al Masyi-ah (Kehendak), 8. Thasin al Tauhid (Keesaan), 9. Thasin al Asrar fi al Tauhid (Rahasia-rahasia dalam Keesaan), 10. Thasin al Tanzih (Kesucian, keterbebasan), dan 11. Thasin Bustan al Ma’rifah (Taman Pengetahuan/Ma’rifat).

Memaknai gagasan Al Hallaj

Kehidupan al Hallaj, adalah perjalanan spiritualitas yang total. Sehari-hari dia menggumamkan kerinduannya yang mencekam, menggetarkan dan menenggelamkan eksistensinya ke dalam Tuhan, baik melalui Tuhan yang turun ke dalam hatinya (Hulul), maupun ruhnya yang naik menyatu dengan-Nya (Ittihad) dan kesaksian atas kesatuan semesta (Wihdah al Wujud). Al Hallaj menempuhnya melalui pengembaraan di belantara realitas, penjelajahan semesta dan pendakian yang tertatih-tatih dan terkantuk-kantuk. Tetapi juga keriangan, keindahan dan pesona-pesona. Lihat, ketika dia bicara ini :

سكوت ثم صمت ثم خرس    وعلم ثم وجد ثم رمس
وطين ثم نار ثم نور    وبرد ثم ظل ثم شمس
وحزن ثم سهل ثم فقر   ونهر ثم بحر ثم يبس
وسكر ثم صحو ثم شوق    وقرب ثم وفر ثم أنس
وقبض ثم بسط ثم محو    وفرق ثم جمع ثم طمس
وأخذ ثم رد ثم جذب    ووصف ثم كشف ثم لبس
(ديوان الحلاج 4)

Diam, hening, bisu, mengetahui, menemukan lalu tenggelam
Tanah lempung, api, cahaya, dingin, bayang-bayang lalu matahari
Duka, datar, terjal, sungai, lautan lalu kering
Mabuk, cerah, rindu, merapat, bergabung lalu keintiman
Tergenggam, terbuka, lepas, terpencar, terhimpun lalu lenyap-senyap
penerimaan, penolakan, ketertarikan, sebutan, tersingkap lalu mengenakan baju
(Diwan Qasidah 4: Perjalanan)

Deklarasi al Hallaj yang monumental, yang menggetarkan: “Ana al Haq”(Akulah Kebenaran/Tuhan), memperoleh response dan tafsir yang beragam. Jalal al Din al Rumi bilang: “Banyak orang menganggap ini ucapan amat berbahaya. Tetapi sejatinya ia adalah puncak kerendah-hatian (tawadhu’). Jika dia mengatakan :”Aku hamba Kebenaran (Ana Abd al Haq), dia telah menetapkan dua entitas, Dualitas; dirinya dan Tuhan. Jika dia mengatakan : “Ana al Haq”, dia telah meniadakan dirinya dan menyerahkannya kepada angin. Ucapan “Ana al Haq” sama dengan “Ana ‘adam” (aku tiada), Dialah Totalitas Absolut-Universal (Huwa al Kulliyyah). Tak ada Eksistensi kecuali Allah. Aku dengan seluruh eksistensiku adalah tiada. “Ana Lastu Syai-an”(Aku bukanlah apa-apa). Inilah kerendah-hatian yang paling tinggi (Hadza al Tawadhu’ A’zham)”. (Fihi ma Fihi, Pasal 11: “Perlihatkan kepadaku segala hal”, h. 84).
Sufi lain bilang : Ketika al Hallaj berteriak :”Akulah Kebenaran”, dia adalah terompet yang ditiup oleh nafas Tuhan”. Yang lain bilang : “Dia juru bicara jiwa ketuhanan melalui lidah kemanusiaan”. Yang lain lagi bilang ;”Aku di situ, bukan kehampaan murni, melainkan sebagai penyucian diri yang ditarik menuju bentuk-bentuk wujud yang lebih tinggi dan akhirnya melebur dalam Tuhan yang dalam ucapan Husain al Nuri (w.295 H/908 M):”terbentuk dalam sifat-sifat Tuhan”(al Takhalluq bi Akhlaq Allah). Nabi menganjurkan : “Takhallaqu bi Akhlaq Allah”(Berakhlak-lah dengan Akhlaq Tuhan/pakailah etika Tuhan). Dll.
Gagasan Kemanunggalan atau Kesatuan Eksistensi Semesta, bukan hanya milik al Hallaj. Hampir semua sufi besar yang tercerahkan bicara tentang gagasan ini. Abu Bakar al Syibli bilang: “Akulah Sang Waktu”, Abu Yazid al Bisthami berucap :”O, Betapa Maha Sucinya Aku”. Ibnu Arabi mengatakan : “Seorang sufi melihat Allah dalam Ka’bah, dalam Masjid, dalam Gereja dalam Kuil”. Syibli, sahabatnya yang hadir saat eksekusi Hallaj, membisikkan kepada temannya: “Hallaj dan Aku memiliki kepercayaan yang sama, tapi kegilaanku menyelamatkan diriku, sedangkan kecerdasan telah menghancurkan dirinya”
Para mistikus besar bicara tentang Kesatuan Eksistensi (Wahdah al Wujud) di atas. Bagi para bijakbestari itu,  di alam semesta ini hanya ada Dia, karena seluruhnya hancur dan tak bermakna. Ini digambarkan oleh Abd Wahab al Sya’rani (w. 973), sufi besar lain, dalam bait-bait puisi ini :

وكل ما سواه نجم آفل    بل فى شهود العارفين باطل
فليس إلا الله والمظاهر     لجملة الاسماء وهو الظاهر
فغيره فى الكون لا يقال    لانه فى ذاته محا ل

Seluruhnya, selain Dia adalah bintang yang lenyap
Dalam mata para bijakbestari ia adalah ketiadaan
Tak ada apapun, kecuali Allah
Sekumpulan nama dalam alamraya tak ada,
Yang tampak hanyalah Dia
Selain Dia, dalam semesta, tak berarti
Karena dirinya sendiri, tak mungkin mewujud
(Baca: Zaki Mubarak, al Tashawwuf al Islami, h.195).

Menggoncangkan Otoritas Mapan

Para sufi besar adalah pribadi-pribadi tulus dengan pikiran-pikiran yang mengundang daya tarik yang luar biasa bagi rakyat. Mereka adalah para reformer sejati. Pandangan-pandangan dan sikap-sikap mereka sangat kritis terhadap kehidupan glamor dan korup para penguasa atas nama rakyat. Para sufi menekankan pelayanan masyarakat, kebersahajaan, ketulusan, kebersihan hati, toleransi yang luas dan mencintai sesama. Cahaya yang mereka pancarkan dari jiwa dan pikiran yang bersih telah menyedot gairah rakyat yang tertindas di mana-mana. Dan kata-kata mereka pun sampai. Kehadiran mereka dengan dukungan besar rakyat jelata yang diam, telah menggoyahkan kemapanan status quo. Kekuasaan politik beralih ke arah mereka. Sementara itu, ketika banyak orang mengejar dan memuaskan diri dengan simbol-simbol dan baju-baju eksoteris yang mengecoh, kaum sufi mencari Essensi yang esoteris dan ingin bersembunyi di tanah tak dikenal. Ketika banyak orang manggut-manggut di depan kekuasaan atau hasrat puja-puji rakyat, kaum sufi tak menjunjung tinggi-besar apapun kecuali Sang Essensi. Tak pelak, seluruh pikiran dan gerak mereka seperti itu mengancam sekaligus meruntuhkan kewibawaan dua otoritas maha perkasa : otoritas politik (struktral) dan otoritas keagamaan (kultural).
Karuan saja, otoritas-otoritas tersebut lalu menggunakan tangan kekuasaannya untuk menyingkirkan, mengkerangkeng dan melenyapkan para mistikus itu, dengan berbagai cara. Sejumlah sufi yang sudah disebut, dan masih banyak lagi yang lain,  mengalami nestapa sebagaimana atau serupa al Hallaj. Murid dan pembela Al Hallaj paling gigih, ‘Ain Qudhat al Hamdani, misalnya, mengalami hal serupa dengan guru dan pujaannya itu. Dia, (w. 1130 M), dihukum mati tepat di pintu sekolah tempat dia mengajar. Tubuhnya dibungkus kain dan dibakar. Abunya ditaburkan ke udara.
Imam Jalal al Suyuti, salah satu pembela Ibnu Arabi yang gigih, mengatakan : “Ma Kana Kabirun fi ‘Ashr Illa Kana Lahu ‘Aduwn min al Safalah”(Orang besar dalam sejarah selalu punya musuh orang-orang bodoh).

وقلوب وددكم تشتاقكم     والى لذيذ لقائكم ترتاح

Hati dan jiwa pencintamu merinduimu
Kelezatan bertemu engkau
O, betapa damai

Semoga Tuhan memberkati dan membagi mereka kegembiraan di Manzilah al Raghaib (Tempat Istirah Idaman). Allahumma Ighfir Lahum wa Irhamhum wa ‘Aafihi wa’fu ‘Anhum wa Akrim Nuzlahum.