Showing posts with label Obrolan Sufi'. Show all posts
Showing posts with label Obrolan Sufi'. Show all posts

Mursyid, Salik, dan Thariqah.




Sebiji buncis meronta dan terus melompat
hingga hampir melampaui bibir kuali
di mana ia tengah direbus di atas api.
“Kenapa kau lakukan ini padaku?”

Dengan sendok kayunya,
Sang Juru Masak mementungnya jatuh kembali.

“Jangan coba-coba melompat keluar.
Kau kira aku sedang menyiksamu?
Aku memberimu cita rasa!
Sehingga kau layak bersanding dengan rempah dan nasi
untuk menjadi gelora kehidupan dalam diri seseorang.

Ingatlah saat-saat kau nikmati regukan air hujan di kebun.
Saat itu ada untuk saat ini!”

Pertama, keindahan. Lalu kenikmatan,
kemudian kehidupan baru yang mendidih akan muncul.
Setelah itu, Sang Sahabat akan punya sesuatu yang enak untuk dimakan.

Pada saatnya, buncis akan berkata pada Sang Juru Masak,
“Rebuslah aku lagi. Hajar aku dengan sendok adukan,
karena aku tak bisa melakukannya sendirian.

Aku seperti gajah yang melamun menerawang
tentang taman di Hindustan yang dulu kutinggalkan,
dan tidak memperhatikan pawang pengendali arah jalan.
Engkaulah pemasakku, pawangku, jalanku menuju cita rasa kesejatian.
Aku suka caramu membuat masakan.”

“Dulu aku pun seperti engkau,
masih hijau dari atas tanah. Lalu aku direbus matang dalam waktu,
direbus matang dalam jasad. Dua rebusan yang dahsyat.

Jiwa binatang dalam diriku tumbuh kuat.
Kukendalikan dia dengan latihan,
lalu aku direbus lagi, dan direbus lagi.
Pada satu titik aku melampaui itu semua,
dan menjadi gurumu.1”

Seorang Mursyid yang sejati, yang menerima perintah khusus dari Allah untuk menjadi guru bagi para pejalan sufi, bisa tampil dengan berbagai macam wajah. Ada kalanya ia tampak lembut dan sabar, begitu mudah dipahami. Ada kalanya pula ia tampil dengan galak dan keras, begitu membingungkan dan sulit dipahami.

Seorang mursyid akan mendidik murid-muridnya untuk belajar mengendalikan seluruh bala tentara hawa nafsu dan syahwatnya, untuk mengenal segala macam aspek yang ada dalam diri masing-masing, dan untuk memunculkan potensi dirinya yang sesungguhnya. Potensi yang diletakkan Allah dalam qalb masing-masing manusia ketika ia dijadikan.

Dalam tahap pembersihan diri ini, hampir semua murid biasanya meronta. Tentu saja, karena hawa nafsu dalam diri kita pasti meronta jika dipisahkan dari hal-hal yang disukainya. Tapi demi memunculkan diri muridnya yang asli, maka mau tak mau, Sang Mursyid harus melakukannya. Sang Mursyid harus memaksa murid-muridnya untuk belajar mengendalikan seluruh bala tentara hawa nafsu dan syahwat (Rumi menyebutnya sebagai ‘jiwa binatang’) dalam diri masing-masing.
Inilah yang dimaksud Rumi dalam puisinya di atas, bahwa sebenarnya tugas seorang mursyid adalah ‘merebus’ murid-muridnya di atas api, demi memunculkan cita rasanya yang asli dalam diri masing-masing. Pada awalnya, biasanya buncis akan meronta dan bisa jadi, ingin lari. Pada tahap ini, mau tak mau, mursyid kadang perlu ‘mementungnya’ supaya kembali tenggelam dalam rebusan air mendidih. Tapi sekali si murid sudah merasakan manfaat bimbingan Sang Mursyid dalam perkembangan jiwanya, maka ia akan terus-menerus meminta untuk ‘direbus’ kembali.
Apakah ini berarti bahwa seorang murid harus memposisikan dirinya di hadapan gurunya seperti mayat yang dibolak-balik oleh pemandinya?
Nah, ini juga pemahaman yang perlu dikoreksi. Ada beberapa hal yang biasanya diajukan kepada para pejalan sufi yang ber-thariqat maupun yang memiliki mursyid, yang belakangan ini sering mengemuka. Berikut dua contoh representatif ketidaktepatan penilaian yang digeneralisir tersebut.

Pertama, “Saya bukan pengikut tasawuf formal. Saya tidak pernah bersumpah setia di bawah telapak tangan seorang guru spiritual untuk hanya menaati dia seorang, karena saya tidak menyukainya. Saya pikir, tidak ada pemikiran dan kesadaran sehat yang bisa terbangun jika seseorang telah memutuskan untuk berhenti bertanya, dan bersikap kritis.” 2

Kedua, “…Sekurang-kurangnya ada tiga hal penting yang sering dipersoalkan orang mengenai tarekat ini. Pertama, soal otoritas guru yang mutlak tertutup dan cenderung bisa diwariskan. Kedua, soal bai’at yang menuntut kepatuhan mutlak seorang murid kepada sang guru, seperti mayat di depan pemandinya; dan ketiga, soal keabsahan (validitas) garis silsilah guru yang diklaim setiap tarekat sampai kepada Nabi Muhammad Saw…Salah satu ciri utama tasawuf positif adalah rasionalitas. Karena itu, tasawuf positif harus menolak segala bentuk kepatuhan buta kepada seorang manusia—yang bertentangan dengan semangat Islam.” 3
Sekilas, kedua penilaian ‘kritis’ atas mursyid dan thariqah tersebut terkesan memperjuangkan keotonoman individu beserta rasionalitasnya, namun sayangnya terlalu terburu-buru melakukan generalisasi. Terlebih, kedua penilaian ‘kritis’ tersebut lebih merefleksikan prasangka semata ketimbang pembuktian melalui pengalaman menggeluti thariqah.
Posisi seperti itu tak ubahnya seperti komentator sepakbola dengan pemain sepakbola. Seorang komentator sepakbola sangat mahir dalam menganalisis kesalahan pemain, strategi yang sedang dimainkan, kegemilangan permainan, dan lain sebagainya. Namun yang lebih mengetahui dan merasakan realitasnya, bersusah-payah, pontang-panting, senantiasa waspada terhadap setiap serangan lawan, hingga akhirnya menjadi pemilik sejati pengetahuannya adalah si pemain sepakbola itu sendiri.
Sahabat Ali bin Abi Thalib r.a pernah berkata,

“Bila kau merasa cemas dan gelisah akan sesuatu, masuklah ke dalamnya, sebab ketakutan menghadapinya lebih mengganggu daripada sesuatu yang kautakuti itu sendiri.” 4
Namun, di sisi lain, bisa dimaklumi juga bahwa generalisasi bermasalah—karena ketakutan memasuki dunia thariqah secara langsung—seperti terlihat pada kedua penilaian ‘kritis’ di atas, dilandaskan pada perkembangan mutakhir berbagai thariqahklasik. Maka lahirlah penilaian yang digeneralisasi sebagai karakter sejati seluruh tarekat, sehingga luput mengamati prinsip terdasar kemursyidan dan kethariqahan.
Deviasi adalah hal yang lazim terjadi dalam perjalanan sejarah kemanusiaan. Bahkan berbagai kitab suci pun sering mengemukakan bagaimana di setiap masa senantiasa terjadi deviasi ajaran agama sepeninggal sang pembawa risalah atau nubuwahnya. Ini tak ubahnya air yang semakin keruh ketika menjauhi sumber mata airnya, sehingga praktis di hilir hanya akan ditemui air kotor yang sudah tercampur sampah.
Begitu pula halnya dengan thariqah. Ketika sang pendiri atau mursyid sejatinya meninggal, maka hanya kehendak dan izin Allah Ta‘ala semata yang bisa menjamin kemurnian dan keberlanjutan thariqah tersebut, yaitu, dengan menghadirkan mursyid sejati pengganti. Apabila Allah Ta‘ala tidak menghadirkan mursyid sejati pengganti, berarti thariqah tersebut sudah berakhir. Kemursyidan itu adalah misi hidup, dan hanya boleh dipegang oleh mereka yang telah mencapai ma‘rifat dan misi hidupnya adalah mursyid. Tidak semua orang yang telah ma‘rifat boleh serta merta menjadi mursyid. Wali Quthb (pemimpin para wali di suatu zaman) seperti Ibn ‘Arabi pun tidak menjadi mursyid thariqah.
Oleh karena itu, sebagaimana puisi Rumi tadi, seseorang tidak bisa mengangkat dirinya sendiri menjadi seorang guru spiritual sebelum ia sendiri sudah pernah, dan berhasil, melalui semua ’rebusan’, dan kemudian memperoleh pengetahuan dari Allah ta’ala bahwa misi hidupnya memang sebagai seorang mursyid.
Kemursyidan adalah sebuah tugas langsung dari Allah ta’ala (misi hidup). Oleh karena itu, jabatan kemursyidan pun tidak dapat diwariskan, sekalipun dengan landasan senioritas, keluasan pengetahuan, atau bahkan garis keturunan. Lantas, bagaimana dengan para salik yang tersisa apabila Allah Ta‘ala tidak lagi menghadirkan mursyid sejati pengganti di sebuah thariqah? Tetaplah berpegang teguh pada dua hal paling berharga yang ditinggalkan Rasulullah Muhammad Saw, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Jangan mengada-adakan mekanisme regenerasi mursyid hanya karena ikatan emosional pada thariqah sebagai lembaga, sehingga akhirnya menyerahkan ‘amr (urusan) kepada orang yang bukan ahlinya.
Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra, katanya dia mendengar Rasulullah saw bersabda:

 “Allah tidak menarik kembali ilmu dengan jalan mencabutnya dari qalb manusia, tetapi dengan jalan mematikan ulama. Apabila ulama telah punah, maka masyarakat akan mengangkat orang-orang bodoh menjadi pemimpin yang akan dijadikan tempat bertanya. Orang-orang bodoh ini akan berfatwa tanpa ilmu; mereka itu sesat dan menyesatkan.” (Al-Hadits)
Mursyid sejati adalah pembimbing spiritual para salik thariqah untuk memurnikan dan menyucikan diri, sebagaimana Rasulullah Saw pun adalah mursyid bagi para sahabat utama yang terpanggil untuk menempuh suluk. Mursyid sejati bertugas membantu saliknya mengenal al-haqq secara bertahap sesuai perkembangan nafs-nya, serta mengembalikannya ke penyembahan yang murni kepada Allah Ta‘ala.
Namun, para salik pun akan dihadapkan pada dilema akan ketidakpercayaan kepada mursyid yang akan menjadi racun dan penyebab kegagalannya dalam bersuluk, tetapi dia pun tidak boleh taklid buta kepada mursyidnya. Kepercayaan tidak bisa dipaksakan. Kepercayaan harus muncul secara alami melalui proses yang alami pula, yang muncul sendirinya dari qalb, sehingga mutlak diperlukan penguatan dengan ‘ilm.
Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalahmuhtadun*. (QS Yâsîn [36]: 21)
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ‘ilmtentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan fu‘adsemuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS Al-Isrâ’ [17]: 36)
Muhtaduun: orang yang telah menerima petunjuk Allah atas segala aspek kehidupannya, dan semua tindakannya semata-mata hanya berdasarkan petunjuk Allah ta’ala kepada dirinya.
Dalam kedua penilaian ‘kritis’ terhadap thariqah dan mursyid di atas, hubungan antara mursyid dengan saliknya dipermasalahkan secara terlampau disederhanakan, karena dianggap menuntut ketaatan seperti mayat dengan pemandinya. Sikap seperti sangat potensial untuk menghambat terbentuknya individu modern otonom. Padahal, hakikatnya tidak pernah ada manusia yang otonom. Manusia hanya terbagi menjadi dua golongan, yaitu, mereka yang diperbudak oleh Allah Ta‘ala atau diperbudak oleh selain Allah Ta‘ala (syahwat dan hawa nafsu).
Benarkah dalam thariqah berlangsung ketaklidan buta tak bersyarat dari seorang salik kepada mursyidnya? Kepatuhan seperti jenazah di hadapan pemandinya? Permasalahannya, bagaimana seorang salik bisa taklid kepada sang Mursyid, sementara perkataan sang Mursyid sendiri ternyata seringkali salah ditafsirkan?
Sebagai contoh, dalam sebuah thariqah, ketika seorang mursyid memerintahkan seorang salik untuk bersiaga menghadapi sebuah serangan sebentar lagi, si salik menafsirkan bahwa ia tengah diajari untuk bersiaga terhadap “serangan” lahiriah seperti perkelahian, sementara sang Mursyid sebenarnya tengah mengajari kesiagaan batiniah terhadap “serangan” masalah kehidupan.
Bagaimana dengan berbagai pertanyaan dalam kepala kita yang muncul dan berlalu-lalang? Setiap pertanyaan yang muncul di benak manusia itu pasti ada hak jawabannya. Itu tak ubahnya seseorang yang tengah menunggu di ruang tamu. Kemudian dari arah dapur tercium olehnya bau masakan. Bersabarlah, karena tepat pada saatnya makanan tersebut akan dihidangkan ke hadapannya.
Tidak semua pertanyaan harus terjawab saat ini juga. Bersabarlah, karena jawaban atas berbagai pertanyaan yang muncul di benak ada hak jawabannya, hanya tinggal masalah waktu saja. Namun, tak jarang manusia begitu arogan sehingga merasa bahwa rasionalitasnya pasti bisa memahami segala hal saat ini juga, dan bisa menghakimi segala perkara dengan bermodalkan ilmu yang kini dimilikinya. Seakan rasionalitas itu tidak punya kelemahan dan batasan.
Biasanya terhadap salik tipe fundamentalis rasional seperti ini, mursyid sejati akan ‘menghajar’ habis-habisan keliaran berpikirnya agar bisa fokus demi kebaikan salik itu sendiri. Hal yang paling sulit adalah menjinakan keliaran pikiran untuk fokus kepada perkara fundamental: misi hidup yang Allah Ta‘ala amanahkan kepada dirinya. Pikiran yang liar memancar kesana-kemari itu seperti lampu pijar 10 watt, hanya cocok dipakai untuk lampu tidur. Namun, apabila cahaya 10 watt tersebut difokuskan menjadi laser, maka besi pun dapat ditembusnya.
Munculnya tawaran seperti tasawuf tanpa tarekat maupun tanpa guru saat ini juga berasalan, namun bukan berarti kritiknya terhadap dunia thariqah yang digeneralisir tersebut tepat sasaran. Semangat untuk mengedepankan akal sehat atau rasionalitas dalam mengkaji tashawwuf merupakan salah satu hal yang penting. Karena Allah Ta‘ala mengaruniakan otak di tubuh manusia, maka cara mensyukurinya adalah memanfaatkannya untuk berpikir maksimal di alam terendah dari seluruh alam ciptaan-Nya, yaitu dunia. Namun, Ad-Diin (Agama) adalah perkara yang baru akan terpahami apabila seluruh bola akal manusia—otak nalar, fu‘ad (bentuk primitif lubb) dan lubb (akal nafs, orang yang telah memiliki lubb disebut sebagai ulil albab)—terbuka keseluruhannya. Sayangnya, sangat sedikit di antara manusia yang telah Allah anugerahkan kemampuan akal paripurna lahir dan batinnya seperti ini.
Di atas semuanya, bukanlah otak yang cerdas dan banyaknya bacaan yang dapat menyelamatkan manusia dari berbagai jebakan syahwat dan hawa nafsu dalam beragama, tetapi niat tulus murni mencari Allah Ta‘ala. Seorang buta huruf pun bisa Allah rahmati menjadi ‘ulil albâb dan ‘arifin (orang yang telah mencapai ma‘rifat), seperti Muhammad Raheem Bawa Muhaiyaddeen, maupun banyak sufi buta huruf lainnya, semata karena adanya niat tulus murni untuk mencari dan berserah diri kepada Allah Ta‘ala. Niat itu pulalah yang membuat Allah Ta‘ala berkenan menganugrahkan cahaya iman ke dalam qalb.
Misalnya, seseorang menyatakan bahwa karena dia memiliki kecenderungan saintifik, maka dia memerlukan penjelasan ilmiah terlebih dahulu sebelum memutuskan bersuluk. Namun, kebanyakan manusia memiliki mentalitas untuk tergesa-gesa menyimpulkan sebelum tuntas menelaah. Kecenderungan sikap saintifik itu baik, terlebih karena setiap manusia itu unik serta memiliki kebutuhan dan jalan masuk berbeda-beda. Ibaratnya, ada seekor kucing (pertanyaan) yang selalu mengeong dalam rumah (pikiran) kita, karena lapar meminta makanan (jawaban). Apabila kucing(pertanyaan) tersebut tidak diberi makanan (jawaban), maka rumah (pikiran) kita akan berisik oleh suara mengeongnya. Akibatnya, kita pun tidak bisa belajar dengan tenang. Karena itu, berilah makanan (jawaban) yang tepat untuk mengenyangkan kucing (pertanyaan) dalam rumah (pikiran) kita. Penuhilah haknya, sehingga dia bisa diam dan kita pun bisa belajar dengan tenang. Apabila makanan (jawaban) belum ditemukan, bersabarlah, saatnya pasti akan tiba.
Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu penyebab munculnya sikap alergi thariqahadalah ekses dari berbagai praktik yang dilakukan thariqah yang telah kehilangan ulamanya (baca: mata airnya). Misalnya, dahulu kala muncul sebuah thariqah. Lazimnya mereka melakukan riyadhah berkala secara bersama-sama. Kebetulan mursyid thariqah tersebut selalu memelihara kucing yang sering mengeong di malam hari karena lapar. Agar suara mengeong kucing tersebut tidak mengganggu riyadhah, maka sang mursyid memerintahkan muridnya untuk memasukkan kucing tersebut ke dalam sebuah ruangan, memberinya makan dan menguncinya. Hal itu berjalan terus selama bertahun-tahun, hingga sang mursyid meninggal.
Sepeninggal sang mursyid, para salik generasi pertama thariqah tersebut tetap memasukkan kucing peliharaan sang mursyid ke dalam sebuah ruangan, memberinya makan dan menguncinya agar tidak mengganggu riyadhah. Namun, para salik generasi kedua dari thariqah tersebut—yang tidak tahu sebab akibat dari perbuatan tersebut—mulai mengira bahwa perbuatan itu adalah sesuatu yang harus dilakukan sebelum mereka riyadhah. Maka, ketika sampai di salik generasi ketiga, muncullah semacam kewajiban baru, yaitu adanya sebuah keharusan sebelum riyadhah untuk mencari kucing yang kemudian harus dimasukkan ke dalam sebuah ruangan, kemudian memberinya makan dan menguncinya. Ketika sampai di salik generasi keempat, muncullah buku tentang makna batin dan hakikat memasukkan kucing ke dalam sebuah ruangan, memberinya makan dan menguncinya sebelum melakukanriyadhah. Dan, di salik generasi kelima hingga seterusnya, perbuatan tadi sudah menebarkan citra ketidakrasionalan dan ketidaksejalanan thariqah tersebut dengan syariat.
Dalam sejarah tashawwuf ada juga tipe sufi yang dinamakan sebagai Uwaysiyyah. Nama ini merujuk kepada seorang tokoh sezaman Rasulullah Saw. yang mengetahui ihwal beliau Saw. tetapi tidak pernah bertemu secara langsung sepanjang hidupnya. Demikian pula Rasulullah Saw., mengetahui Uways Al-Qarni tanpa pernah bertemu dengannya. Hal itu disebabkan karena Uways setibanya di Mekkah tidak bisa menunggu untuk bertemu dengan Rasulullah Saw (yang ketika itu sedang pergi) sebab ia telah berjanji kepada ibunya di kota lain untuk tidak berlama-lama meninggalkannya. Kondisi Uways berbeda dengan Salman Al-Farisi yang Allah Ta‘ala bukakan jalan untuk bisa bertemu dengan Rasulullah Saw., meskipun berasal jauh dari Persia, dan harus dua kali pindah agama sebagai proses pencariannya.
Salah satu sufi yang tergolong Uwaysiyyah adalah seorang Iran, Abu al-Hasan Kharraqani, yang pernah menyatakan: “Aku kagum pada salik-salik yang menyatakan bahwa mereka membutuhkan Mursyid ini dan itu. Kalian tahu bahwa aku tidak pernah diajari manusia manapun. Allah Ta‘ala adalah pembimbingku, kendatipun demikian, Aku menaruh respek besar pada semua Mursyid.”
Dari pernyataan seorang Uwaysiyyah tersebut bisa terlihat bahwa yang menjadi pokok persoalan bukanlah apakah seorang Mursyid diperlukan ataukah tidak, apakah perlu ikut thariqah atau tidak. Tetapi, apakah kita adalah seorang pencari Allah Ta‘ala dan berazam untuk mencari jalan kepada-Nya? Apabila ya, maka biarlah Allah Ta‘ala yang mengalirkan dan membukakan jalan hidup kita, entah itu ikut thariqah atau tidak, apakah akan dipertemukan dengan mursyid sejati di zamannya ataukah Allah Ta‘ala sendiri yang akan mengajari. Bukan dengan menyatakan terlalu dini bahwa thariqahdan Mursyid itu tidaklah diperlukan.
Ketidakberanian mengambil resiko untuk mengarungi lautan (thariqah), terlebih terburu-buru melontarkan pernyataan seolah heroik yang mengisyaratkan keengganan mencari mursyid sejati zamannya, atau senantiasa memilih berjarak ala saintis serta mengandalkan kecerdasan otak untuk bertashawwuf secara wacana, bisa dipastikan mustahil mencapai tingkatan ma‘rifat.
Rumi menggambarkan hal itu sebagai berikut:

Ketika kauletakkan muatan di atas palka kapal, usahamu itu tanpa jaminan,
Karena engkau tak tahu apakah engkau bakal tenggelam atau selamat sampai tujuan.
Jika engkau berkata, “Aku takkan berlayar sampai aku yakin akan nasibku,” maka engkau takkan berniaga: lantas rahasia kedua nasib ini takkan pernah terungkap.
Saudagar yang penakut takkan meraih untung maupun rugi; bahkan sesungguhnya ia merugi: orang harus mengambil api agar mendapat cahaya.
Karena seluruh kejadian berjalan di atas harapan, maka hanya Imanlah tujuan terbaik harapan, karena dengan Iman memperoleh keselamatan.5
Amati kisah pencarian Salman Al-Farisi. Sebelum mengenal Tuhannya Muhammad Saw, dia adalah seorang Majusi. Kesadaran yang muncul atas kejanggalan perbuatannya sendiri untuk menjaga agar api yang disembahnya sebagai Tuhan tidak padam, membuat Salman Al-Farisi berani mengambil resiko berpindah ke agama Kristen. Setelah beberapa kali berpindah mengabdi pada beberapa pendeta, dia ditunjuki ihwal keberadaan Nabi akhir zaman. Dan pertemuannya dengan Rasullah Saw, membuat Salman Al-Farisi berani mengambil resiko kedua kalinya untuk berpindah ke agama Islam.
Thariqah adalah wadah pengajaran tashawwuf yang menuntun pemanifestasiannya melalui ujian-ujian kehidupan. Adapun yang dimaksud dengan syariat adalah Al-Islam, yaitu syariat lahir yang lebih dikenal sebagai rukun Islam. Antara syariat dantashawwuf (keihsanan) tidak boleh dipisahkan, sedangkan thariqah—sebagai manifestasi lahiriah tashawwuf—adalah perbuatan (af’al) Rasulullah Saw dalam kehidupan dunia, yang tiada lain merupakan syariat juga. Apabila syariat adalah permulaan thariqah, maka thariqah adalah permulaan haqiqat. Namun, bukan berarti yang sebelumnya sudah tidak berlaku lagi untuk tahap berikutnya, atau bahkan ditinggalkan begitu saja. Sebagaimana dikatakan oleh Hamzah Fansuri, awal dari thariqah itu adalah taubat.

Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: “Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku di malam hari, maka buatlah untuk mereka thariqah yang kering dalam laut itu, kamu tak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut.” (QS Thâhâ [20]: 77)

Thariqah adalah jalan kering dalam lautan, perjalanan seseorang menuju Tuhannya di muka bumi ini tanpa terbasahi oleh lautan duniawi. Tak ubahnya seperti ikan yang hidup di laut asin, tapi tidak menjadi asin karenanya. Thariqah bukanlah berarti seseorang itu harus hidup dengan mengabaikan dunia dan miskin. Manusia tidak mungkin bisa mencapai tingkatan ma‘rifat, yaitu mengenal Tuhannya, menemukan diri sejati serta misi hidupnya, dengan cara menjauhkan diri dan tidak bergaul dengan masyarakat serta tidak berikhtiar untuk penghidupannya dan menghargai syariat. Seseorang boleh saja kaya raya, seperti Nabi Sulaiman, tapi tidak boleh mengisi hatinya dengan kecintaan terhadap dunia. Inilah yang disebut dengan zuhud.
Apakah seseorang bisa menempuh jalan suluk dengan meninggalkan syariat? Nah, ini adalah hal yang mustahil. Jalan tasawuf adalah jalan seseorang untuk mulai belajar bersyariat secara batiniyah. Dan ini hanya bisa ditempuh setelah seseorang melakukan syariat lahiriah. Mustahil mencapai tujuan tasawuf jika seseorang meninggalkan syariat lahiriyah. Ada sebuah kisah nyata yang menarik untuk kita perhatikan berikut ini.
Suatu ketika, mursyid sebuah thariqah di Jawa Barat pernah didatangi beberapa orang lelaki yang ingin bersilaturahmi. Sang Mursyid bertanya, “Dari mana kalian tahu rumah saya?” Mereka menjawab, “Kami bertanya pada orang-orang di masjid agung kota ini, kira-kira siapa ulama yang bisa kami kunjungi untuk bersilaturahmi. Mereka menunjukkan kami ke rumah Bapak.”
Ternyata para lelaki itu telah sekian bulan selalu berpindah-pindah, tinggal dari satu masjid ke masjid lainnya. Sang Mursyid bertanya, “Apa yang kalian lakukan dengan tinggal di masjid-masjid seperti itu?” Mereka menjawab, “Kami mencari Allah, pak.” Sang Mursyid kembali bertanya, “Apakah kalian punya anak dan istri?” Mereka menjawab, “Punya pak?” Dengan keheranan sang Mursyid bertanya lagi, “Lantas bagaimana dengan anak istri kalian? Siapa yang merawat dan menafkahinya?” Mereka menjawab, “Kami telah tawakalkan kepada Allah, pak.”
Maka sang Mursyid berkata, “Bermimpi kalian ini. Bermimpi kalau kalian ingin mencari Allah sementara syariat lahir kalian abaikan. Secara syariat kalian diwajibkan untuk menafkahi istri, mendidik dan merawat anak, dan berbagai kewajiban lainnya sebagai ayah dan suami yang seharusnya ditunaikan. Kalian itu bermimpi kalau mencari Allah Ta‘ala, sementara syariat lahir diabaikan.”
Adapun thariqah itu sendiri mempunyai mempunyai tiga tujuan. Dua tujuan yang pertama adalah mendapatkan dua rahmat dari Allah.

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Hadid [57]: 28)
Tujuan pertama thariqah adalah mendapatkan rahmat pertama, yaitu cahaya iman dan kesucian bayi seperti pertama kali lahir. Suatu keadaan ketika manusia belum lagi menumpuk dosa. Keadaan ini dinamakan juga dengan al-muththaharûn.
Tujuan kedua dari thariqah adalah mendapatkan rahmat kedua, yaitu berupa Ruhul Quds yang akan mengingatkan manusia ihwal misi hidupnya, mengingatkan ihwal perjanjian primordial dengan Allah Ta‘ala (QS Al-A‘raf [7]: 172) dan membimbingnya dalam menjalankan misi hidup tersebut. Tahap inilah yang dinamakan sebagai ma‘rifat, tahap ketika seseorang setelah mengenal nafs-nya, maka akan mengenalRabb-nya (tingkatan syuhada).
Sedang tujuan ketiga dari thariqah adalah menjadi hamba-Nya yang didekatkan(qarib). Fungsi mursyid adalah membimbing saliknya hingga sampai pada tujuan kedua dari thariqah, yaitu menjadi syuhada. Setelah itu, yang akan berperan sebagai mursyid adalah Ruhul Quds-nya sendiri untuk ber-dharma sebagai shiddiqiin.
Thariqah merupakan perjalanan kembali kepada Allah untuk menemukan diri sejati dan misi hidup tiap-tiap individu. Namun, perjalanan kembali kepada Allah mewajibkan berbagai ujian berat yang harus dilalui, hingga nafs manusia ditempa menjadi kuat. Tak ubahnya, api yang membakar logam hingga merah membara agar dapat dibentuk menjadi sesuatu yang berguna. Dengan tempaan ujian tersebut, sang hamba akan siap menerima amanah berupa misi hidup dalam posisi percaya dan dipercaya.
Melalui jalan suluk, seorang murid juga akan belajar untuk memperoleh ketenangan. Berbeda dengan anggapan umum bahwa ketenangan adalah hidup menjadi tentram dan tenang, ketenangan dalam tashawwuf adalah tidak goyahnya hati dalam menghadapi setiap permasalahan yang datang, menyambut masalah dan ujian sebagai jubah keagungan. Ujian itu hukumnya wajib bagi para salik yang berjalan mencari Allah Ta‘ala.
Ketenangan hidup yang semu, sebagaimana yang diinginkan banyak orang awam dalam ber-tashawwuf, bagi para sufi lebih merupakan isyarat bahwa Allah Ta‘ala tidak lagi peduli. Ketenangan dan hidup adem ayem, lancar dan tenang tanpa masalah merupakan isyarat bahwa Allah membiarkan seseorang hanya mendapatkan bagian di dunia saja, namun tidak di akhirat nanti. Ketenangan hidup yang semu ini justru membuat seseorang menjadi tidak lagi memiliki stimulus untuk merenung, tidak merasa membutuhkan Allah, dan statis.
Sayangnya, saat ini banyak sekali ungkapan yang menyatakan bahwa kegunaan untuk mempelajari tashawwuf adalah untuk mendapatkan ketenangan dan terapi bagi berbagai masalah kehidupan sehari-hari. Padahal, sejak dulu tashawwuf adalah jalan yang mewajibkan adanya ujian dalam setiap detik kehidupan. Para pengikutnya akan disucikan dan dibersihkan.
Suatu ketika, saat sedang makan siang, seorang salik bertanya kepada mursyidnya, “Pak, apakah tetangga di sekitar ini tahu bahwa Bapak adalah mursyid?” Beliau menjawab, “Ya, mereka tahu. Bahkan banyak di antara mereka yang datang kepada saya.” Kemudian salik itu bertanya kembali, “Lalu mengapa mereka tidak berguru pada Bapak?” Beliau menjawab, “Karena saya mengatakan kepada mereka, bahwa apabila kalian mau menjadi murid-murid saya maka kalian harus siap-siap dibersihkan. Harta-harta yang kalian dapatkan dengan cara yang tidak halal akan dihilangkan dari kalian. Ternyata mereka pun kemudian malah ketakutan dan mundur dengan sendirinya.”
Setelah membaca pracetak buku ‘Guru Sejati dan Muridnya’, melalui pemaparannya dalam buku ini, pembaca bisa melihat bagaimana Allah Ta‘ala membuat seorang sufi buta huruf dari pedalaman Sri Lanka memiliki ilmu sedalam ini. Hal ini menunjukkan bahwa rasionalitas hanyalah salah satu jalan saja—dan bukan yang teristimewa—untuk langkah awal mempelajari dunia tashawwuf. Selain itu, ini yang paling menarik, bahwa setelah Bawa Muhaiyaddeen hijrah ke Amerika, kebanyakan muridnya justru adalah orang kulit putih, yang secara umum dicap sebagai masyarakat paling rasional di muka bumi ini.

Wallahu‘alam bishawwab.
Catatan Akhir:
1 Puisi Jalaluddin Rumi, “Chickpea to Cook, dalam Barks, Coleman (trans.) “The Essential Rumi”. Castle Books, 1997. Dalam tulisan ini, puisi ini diterjemahkan oleh Herry Mardian.
2 Miranda Risang Ayu, “Mencari Tuhan”, Basis, nomor 03-04, tahun ke-55, Maret-April 2006, hlm. 31, 34.
Haidar BagirBuku Saku Tasawuf, Bandung: Mizan, April 2005, hlm. 178, 183-184.
4 Muhammad Al-BagirMutiara Nahjul Balaghah: Wacana dan Surat-surat Imam Ali R.A., Bandung: Mizan, cetakan ketiga, 1994, hlm. 130.
5 Nicholson, Reynold A., Jalaluddin Rumi: Ajaran dan Pengalaman Sufi, Jakarta: Pustaka Firdaus,
cet. 2, 1996, hlm. 30.

Rahasia Malam Isra’ dan Mi’raj

Mawlana Shaykh Muhammad Hisham Kabbani ar-Rabbani
Rotterdam, Belanda 30 Oktober 2006


Bismillah hirrOhman nirRohim

Rahasia Malam Isra’ dan Mi’raj: Khamisul Quran dan
Awliya’ullah [Dari catatan Suhbat Grandsyaikh Abdullah
Daghestani almarhum]


A’uudhu billahi minash shaythanirrajiim
Bismillahirrahmanir rahiim Nawaytul Arba’in, nawaytul
I’tikaf, nawaytul khalwah, nawaytus suluk, nawyatul
uzlah, nawaytur riyadah, lillahi ta’ala l-‘azhiim fi
hadzal majlis Athi’ullaah wa athi’ur Rasul wa ulil
amri minkum!


Ini adalah catatan dari ceramah Grandsyaikh 40 tahun
yang lalu. Saat itu, Mawlana Syaikh Nazim
menerjemahkan suhbat beliau dari bahasa Turki ke
bahasa Arab di Damaskus.

Shaykh Sharif: “Apakah ini tulisan tangan Anda?”
Mawlana Shaykh Hisham: “Ya”. Saya punya kira-kira 40
buku catatan seperti ini.

Kita telah menjelaskan sebelum ini bagaimana Allah SWT
mengundang Nabi kita Muhammad sallalLahu ‘alayhi
wasallam. pada malam Laylatul Isra’ wal Mi’raj untuk
suatu tujuan tertentu. Allah berkehendak untuk
memberikan sesuatu sebagai hadiah bagi beliau.

Sebagaimana Allah SWT berdialog dengan Nabi sallalLahu
‘alayhi wasallam, maka saat itu terdapat tiga macam
tingkatan yang beliau lalui:

1. Tingkatan dari Jibril ‘alayhissalam ke bawah
2. Tingkatan Jibril ‘alayhissalam
3. Tingkatan dari Jibril ‘alayhissalam ke atas


Pada malam Mi’raj itu, Nabi sallalLahu ‘alayhi
wasallam mencapai suatu tingkatan di mana Jibril
alayhissalam pun berkata pada beliau, “Yaa Rasulallah,
aku tak dapat pergi lebih dari batas ini”. Kalian tahu
tentang ini ‘kan. Itu artinya ada tingkatan di bawah
tingkatan ini, dan ada pula tingkatan di atas
tingkatan ini. Jadi, ada tiga tingkatan yang berbeda.

Apa-apa yang berada dari tingkatan tersebut, yaitu
maqam Jibril ke bawah, apa-apa yang berada di bawah
Sayyidina Jibril, dikaruniakan kepada seluruh ummat
ini, Ummat Muslim, bagi setiap orang. Dan Nabi
sallalLahu ‘alayhi wasallam pun, membacakan Al Quran
dari tingkatan itu ke bawah. Karena (Al Quran) yang
kita dengar saat ini, kita tidaklah mendengarnya
langsung dari bacaan Nabi sallalLahu ‘alayhi wasallam.

Bacaan siapakah yang kita dengar? Bacaan Imam. Kita
tidak mendengar langsung dari Nabi sallalLahu ‘alayhi
wasallam. Siapakah yang mendengar Nabi sallalLahu
alayhi wasallam secara langsung? Hanya para Sahabat.
Artinya, bacaan Quran itu dibacakan oleh Nabi
sallalLahu ‘alayhi wasallam kepada para Sahabat,
kemudian para Sahabat membacakannya kepada para Imam,
dan para Imam membacakannya kepada [pengikutnya… ] dan
seterusnya.

Kita pun mendengarkan bacaan imam, setelah
bertahun-tahun kemudian. Apakah kemudian kalian
mengira bahwa apa yang dibacakan Nabi kepada para
Sahabat sama dengan apa yang dibacakan para Imam
kepada kita? Apa yang keluar dari mulut suci Sayyidina
Muhammad sallalLahu ‘alayhi wasallam dipenuhi dengan
cahaya berkilau, penuh dengan kekuatan, penuh dengan
mu’jizat, dengan segala penafsirannya, dengan segenap
rahasia-rahasianya dari tingkatan Jibril ke bawah.

Jadi apa yang para Sahabat dengar secara langsung dari
Nabi berbeda dengan apa yang kita dengar. Sekalipun
kata-kata atau susunan kalimatnya mungkin sama, tapi
penafsirannya berbeda. Karena itulah mengapa Ibn
‘Abbas, salah seorang sahabat yang juga adalah salah
satu mufassir (penafsir) Quran terbesar, dapat
menjelaskan bagaimana ayat-ayat tersebut diwahyukan.

Jadi Grandsyaikh, semoga Allah SWT memberkati ruhnya,
mengatakan bahwa apa yang diberikan Allah SWT kepada
Sayyidina Muhammad sallalLahu ‘alayhi wasallam, kita
tidak mendengarnya. Bahkan sebelum ini, para Imam pun
tidak mendengarnya. Kita (termasuk para Imam)
mendengar apa yang dibacakan oleh para Sahabat bagi
diri kita. Para Imam, seperti Imam Malik, Imam Abu
Hanifah (mendengarnya dari Sahabat). Imam Syafi’i dan
Imam Hambali datang kemudian. Mereka pun tidak
mendengar langsung dari sahabat, melainkan
mendengarnya dari para tabi’in yang datang setelah
para Sahabat. Dan saat ini, apa yang kita dengar di
masjid-masjid hanyalah tinggal kata-kata, bukan makna
sejatinya.

Jadi, inilah yang disampaikan oleh Nabi sallalLahu
alayhi wasallam bagi setiap orang. Pada tingkatan
Sayyidina Jibril ‘alayhissalam, tak seorang pun
mengetahuinya kecuali Nabi sallalLahu ‘alayhi
wasallam, dan beliau menyampaikannya pada Awliyaullah.
Beliau sallalLahu ‘alayhi wasallam memberikannya
kepada para pewarisnya. Sebagaimana beliau
memberikannya kepada para Sahabat, beliau
memberikannya pula kepada para pewaris beliau.

Karena itulah Nabi sallalLahu ‘alayhi wasallam
bersabda dalam suatu hadits terkenal, “Ashaabii kan
Nujuum, bi ayyika ihtadaytum, ihtadaytum” “Para
sahabatku adalah bagaikan bintang-gemintang. Pada
siapa pun dari mereka, kau berusaha untuk
mengikutinya, maka kau pun akan terbimbing”
Awliyaullah juga bagaikan bintang gemintang. Tidak
hanya ada satu orang wali.

Ada 124.000 Wali Allah yang Allah SWT tunjuk dan
karuniakan bagi Sayyidina Muhammad sallalLahu ‘alayhi
wasallam. Saat Nabi sallalLahu ‘alayhi wasallam
melakukan perjalanannya di Laylatul Isra’ wal Mi’raj,
Allah SWT menunjukkan pada beliau, seluruh ummat, dan
berfirman, “Yaa Rasuulallaah, Yaa Muhammad sallalLahu
‘alayhi wasallam, inilah ummatmu.” Dan saat Allah
menunjukkan pada Nabi sallalLahu ‘alayhi wasallam,
Ummah beliau, Ia SWT menunjukkan keadaan mereka yang
suci, sebagaimana keadaan saat Ia menciptakan mereka.

Karena itulah disebutkan dalam suatu hadits bahwa Nabi
sallalLahu ‘alayhi wasallam bersabda, “Yuuladul
insaanu ‘alal Fitrah” “Manusia dilahirkan dalam
keadaan suci dan murni”. Mereka tak memiliki dosa apa
pun. Saat seorang anak dilahirkan, ia dilahirkan
dengan Iimaan. Setiap anak dalam keadaan beriman, tak
peduli apa pun latar belakangnya. Latar belakangnya
baru muncul kemudian, ketika ia menjadi beragama ini,
atau beragama itu, dan ini bukan di saat permulaan.
Pada saat permulaan, ia dilahirkan dalam keadaan suci
dan murni.

Sebagaimana keadaan masa kini, saat mereka beranjak
berumur 12, 13 atau 14 tahun, mereka mulai tidak
menyukai orang tuanya. Mereka akan berkata padamu,
“Oh, kamu terbelakang!” . Mereka mengatakan seperti
itu pada setiap orang. Mereka tak mau mendengar siapa
pun. Mereka melakukan apa yang mereka lakukan. Mereka
melakukannya di jalanan. Tetapi, sebenarnya saat
mereka masih muda belia, mereka masih murni. Iya ‘kan?
Saat mereka mulai tumbuh dewasa, mereka melarikan
diri. Tetapi, setelah beberapa saat kemudian, mereka
menjadi makin matang, dan berkata, “Ooh, kami berbuat
kesalahan”, lalu mereka pun kembali.

Serupa dengan itu, saat kita diciptakan, kita
diciptakan dalam keadaan suci dan murni, di saat hari
Perjanjian, saat Allah SWT menciptakan arwah seluruh
manusia dari cahaya Sayyidina Muhammad sallalLahu
alayhi wasallam, yang muncul dari Cahaya Allah SWT.
Allah SWT menciptakan Nabi dari Cahaya Langit, Nur
Surgawi. Karenanya, semua orang adalah suci dan murni.
Tak seorang pun, melainkan ia dalam keadaan suci.

Karena itulah, ketika di Hari Perjanjian, Allah SWT
berfirman (kepada arwah seluruh manusia), “Bukankah
Aku adalah Tuhan kalian?” Setiap orang pun menjawab,
“Benar, Yaa Rabbii, Engkau adalah Tuhan kami!” Setiap
orang menerimanya.

Jadi, Ummah ini yang dikaruniakan Allah SWT bagi
Sayyidina Muhammad sallalLahu ‘alayhi wasallam adalah
suci bersih. “Inilah Ummatmu! Apakah kau menyukai
mereka?” “Yaa Rabbii, aku bahagia dengan mereka.”
Maka, kemudian setelah Nabi sallalLahu ‘alayhi
wasallam menerima mereka, Allah SWT pun menaruh mereka
dalam ‘perangkap’-Nya, dan berfirman, “Aku akan
memberikan mereka (padamu) setelah Aku mengambil
mereka (darinya)”. Dan Ia SWT pun memperlihatkan
betapa banyak dan betapa beragam dosa yang akan mereka
perbuat di dunia ini.

Tak seorang pun bersih, setelah ia melewati dunya.
Setiap orang mulai melakukan sesuatu yang Allah tak
menyukainya. Mereka tidak salat, mereka tidak
berpuasa, mereka tidak mengatakan yang benar, mereka
menipu, berbuat konspirasi di sana, dsb. Allah SWT
menunjukkan pada Nabi sallalLahu ‘alayhi wasallam, apa
yang akan mereka lakukan (di dunia). Nabi sallalLahu
‘alayhi wasallam pun memohon, “Yaa Rabbii, karuniakan
padaku penolong-penolong! Mereka yang akan membantuku
melakukan apa yang mesti kulakukan.” Dan Grandsyaikh
berkata bahwa Allah SWT pada malam Laylatul Mi’raj itu
memberikan bagi Nabi sallalLahu alayhi wasallam,
124.000 Wali.

Tidak hanya seorang Wali, tapi 124.000. Dan mereka
berada pada tingkatan yang berbeda-beda. Tetapi,
semuanya adalah Wali. Dan (Alhamdulillah) kita
mempunyai Wali pada tingkatannya yang tertinggi,
Sulthanul Awliya’, Grandsyaikh ‘Abdullah Faiz
Daghestani, semoga Allah memberkati ruh beliau, dan
saat ini, Sulthanul Awliya’ Sayyidina Syaikh Muhammad
Nazim ‘Adil Al-Haqqani, semoga Allah mengaruniakan
bagi beliau umur panjang.

Tetapi, ada banyak Awliya’, dan sesuai dengan
tingkatannya, Allah pun menempatkan mereka pada
tempat-tempat yang berlainan di segenap penjuru dunia
ini, agar mereka dapat menjaga Ummah ini tetap suci
dan bersih dalam 24 jam. Allah SWT membagi-bagi Ummat
ini pada mereka. Wali yang itu memiliki 100.000. Wali
yang lain punya 1 juta, wali yang satunya lagi…., dst.
Sekalipun kalian mungkin tidak mengenali mereka.
Mereka tidak hadir pada majelis ini, misalnya. Mereka
tidak berada di sini. Mereka tidak mengikuti majelis
ini. Tapi melalui ruh-ruh, ada orang yang
diperuntukkan bagi Wali yang dapat menghubungi mereka
lewat mimpi-mimpi, atau menjalin kontak dengan mereka
lewat penampakan atau wujud yang berbeda, lewat
bentuk-bentuk yang berlainan.

Sang wali dapat saja berada di sini, dan dapat pula
berada di Cina. Kalian tak tahu tentang itu.
Awliya’ullah dapat berada di beberapa tempat berbeda
pada waktu yang sama. Kalian pernah melihatnya?
Suatu waktu, Mawlana Syaikh Nazim tengah berada di
Lebanon. Perdana Menteri Lebanon saat itu mengunjungi
beliau, dan juga walikota Tripoli. Saat itu saya
berada di sana. Sang gubernur dan perdana menteri
hendak berangkat pergi Haji, dan mereka berkata,
“Wahai Syaikh Nazim, mari berangkat bersama kami.”
Beliau menjawab, “Tidak, mungkin saya tidak dapat
berangkat.” Saat itu mereka tiba di Tripoli, dan
berada di situ 2-3 hari untuk (persiapan) Haji.

Mawlana berkata, “Tidak, saya tidak pergi.” Mereka pun
berangkat menunaikan ibadah Haji mereka hingga pulang
kembali. Saat mereka pulang kembali ke Lebanon ,
mereka tahu bahwa Syaikh Nazim masih berada di
Tripoli. Mereka pun memutuskan untuk mengunjungi
beliau. Dan mereka berkata, “Wahai Syaikh, Anda datang
(ke Tanah Suci) sebelum kami datang.” Dan setiap
orang, yang tengah duduk di situ pun terkejut.

Kami semua terkejut. Mawlana Syaikh Nazim tak pernah
meninggalkan Tripoli. Dan mereka pun bercerita, bahwa
ketika mereka tiba di Tanah Suci, dan hendak
menunaikan Thawaf, mereka menjumpai Mawlana Syaikh
Nazim tengah melaksakanan Thawaf. Mereka pun
mendatangi Mawlana, dan menunaikan Thawaf mereka
bersama Mawlana. Kemudian mereka melanjutkan
menunaikan sa’i, yaitu Sa’i Qudum dengan beliau. Sa’i
di antara Safa dan Marwa. Lalu Mawlana berkata, “Aku
akan pergi dengan orang-orangku.” Beliau pun
meninggalkan mereka. Padahal Mawlana tak pernah
beranjak dari Tripoli saat itu.

Jadi, ada Awliyaullah yang seperti itu. Mereka dapat
bergerak menembus waktu dan mereka pun dapat muncul
dengan citra yang berbeda, dan masih ada pula citra
atau penampakan lain yang muncul di tempat yang
berbeda. Mereka harus membersihkan seluruh Ummah ini
dalam 24 jam. Dan ke-124.000 Wali ini, jika salah satu
di antaranya wafat, akan ada orang lain yang akan
menggantikannya. Jadi, sebenarnya tidak hanya terdapat
124.000 Wali. Pada kenyataannya, ada lebih daripada
jumlah itu. Tapi, dalam suatu waktu tertentu, ada
124.000 Wali yang hidup di masa itu.

Jadi, pada malam itu (malam Mi’raj), Allah SWT
mengaruniakan pada Sayyidina Muhammad sallalLahu
alayhi wasallam, para penolong ini. Kemudian Allah pun
berkata, “Yaa Muhammad sallalLahu ‘alayhi wasallam,….”

Ini terjadi di atas maqam Sayyidina Jibril alayhis
salam, saat Nabi sallalLahu ‘alayhi wasallam pergi
sendiri, ketika Jibril mengatakan pada beliau, “Aku
tak dapat menyertaimu lagi.” Nabi sallalLahu ‘alayhi
wasallam pun melaju terus, dan pada malam itu, malam
Mi’raj, setelah melewati maqam Sayyidina Jibril,
setelah Allah membukakan bagi beliau apa-apa yang
berasal dari tingkatan Jibril, dari rizqi / bagian
Sayyidina Jibril ke bawah, berupa Al Quran Suci;
setelah itu pun, Allah SWT mengaruniakan pada beliau
keseluruhan dari Al Quran Suci.

Saat beliau sallalLahu ‘alayhi wasallam mulai bergerak
dari maqam Sayyidina Jibril ‘alayhissalam dan
seterusnya, Allah SWT memberikan bagi beliau
sallalLahu ‘alayhi wasallam, apa yang Ia sebut bagi
beliau, “Khamisul Quran”. Khamisul Quran, apa itu
artinya? “Bagian kelima dari Quran.” Apa makna
Khamisul Quran? Bukan berarti suatu buku/kitab yang
diberikan Allah SWT. Ia SWT telah mewayukan pada
beliau Quran Suci, tapi... sebagaimana kita ketahui
ada empat kitab suci: Zabur (Psalms), Taurat, Injil
(Bible), dan Al Quran. Benar? Jadi, Khamisul Quran,
bagian kelima, adalah Rahasia dari Al Quran Suci.

Allah membukakan bagi Sayyidina Muhammad sallalLahu
alayhi wasallam, seluruh Samudera-Samudera dan
Rahasia-Rahasia dari Quran Suci. Karena tak seorang
pun mampu memahaminya selain Sayyidina Muhammad
sallalLahu alayhi wasallam.

Inilah yang cita rasanya para Awliya’ullah usahakan
untuk diberikan pada kita, ya dari Khamisul Quran
tadi. Sayyidina Muhammad sallalLahu ‘alayhi wasallam
mewariskan pada para Sahabat beliau, rahasia tersebut.
Beliau sallalLahu ‘alayhi wasallam mewariskan pula
rahasia tersebut pada Awliyaullah, tetapi tidak ada
izin untuk membukanya hingga masa munculnya Sayyidina
Mahdi ‘alayhissalam. Beliau (Sayyidina Mahdi) akan
muncul di Akhir Zaman nanti dengan sesuatu, bukan
makna baru, tetapi pemahaman-pemahaman baru, dengan
rahasia-rahasia yang berada di balik ayat-ayat Al
Quran yang suci.

Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Abu Yazid al-Bisthami, Sulayman
as-Saqathi, Sari As-Saqthi, Junayd al-Baghdadi, semua
Awliya’ ini, juga Sayyidina Shah Bahauddin
an-Naqshabandi, yang dapat kalian hitung semua…. Juga
para Sahabat Nabi sallalLahu ‘alayhi wasallam.
Keseluruhan dari mereka, berusaha memberikan cita rasa
ini, dan orang-orang pun tak dapat menerimanya.
Sayyidina Abu Hurayrah r.a. apa yang beliau pernah
katakan? Beliau adalah seorang Muhaddits [‘Aalim Ahli
Hadits, periwayat Hadits Nabi] terbesar. Beliau
meriwayatkan lebih dari 3000 hadits dari Nabi
sallalLahu ‘alayhi wasallam.

Apa yang pernah beliau katakan? Beliau pernah berkata,
“Hafiztu min Rasuulillaahi sallalLahu ‘alayhi wasallam
wi’a-ain. Fa-ammaa ahaduhumaa fabatstsatstuhuu bil
khalq, wa ammal aakhar, law batstsatstuhuu la-quthi’a
haadzal bul’uum.” “Aku mengingat dari Nabi sallalLahu
‘alayhi wasallam dua jenis pengetahuan. Yang satu
kusebarkan pada setiap orang. Yang lain kusimpan
sendiri, karena seandainya aku mengatakannya, tentulah
mereka akan memenggal leherku.”


Mengapa mereka akan memenggal lehernya? Siapakah yang
akan memenggal leher Abu Hurayrah? Para Sahabat
(lainnya)! Itu artinya, Nabi sallalLahu ‘alayhi
wasallam memberikan hal yang berbeda-beda bagi setiap
orang. Apa yang beliau sallalLahu ‘alayhi wasallam
berikan bagi Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq berbeda
dengan apa yang beliau berikan bagi Sayyidina ‘Ali,
dan berbeda lagi dengan apa yang beliau sallalLahu
alayhi wasallam berikan bagi Sayyidina ‘Umar. Kepada
setiap orang, Allah SWT mengaruniakan cita rasa yang
berbeda dari Rahasia itu.


Jadi Awliyaullah, kini, mereka membawa cita rasa itu.
Tapi, ini bergantung dari orang yang mendengarkan
merka, bergantung pada siapa yang menghadiri majelis
mereka. Jika orang-orang yang menghadiri majelis
mereka masih di bawah kendali ego mereka, rahasia atau
cita rasa semacam ini tak akan pernah dibukakan bagi
mereka. Sang Wali tak akan membuka rahasia itu. Karena
itulah,kita dapat melihat perbedaan antara Suhbat /
pengajaran Mawlana Syaikh Nazim yang diberikan sebelum
ini, dengan yang beliau berikan saat ini. Sebelum ini,
Mawlana Syaikh Nazim biasa memberikan kuliah-kuliah
yang amat dalam. Saat ini, kuliah Mawlana Syaikh Nazim
sebagian besar hanya berbicara masalah ego.

Beliau berusaha untuk meluruskan orang-orang, untuk
membimbing mereka menuju jalan yang benar, menuju
Shirathal Mustaqiim, ke Jembatan yang Lurus. Karena
beliau dapat melihat dan mengamati bahwa qalbu-qalbu
yang ada di depan beliau tidak siap untuk memikul
rahasia-rahasia ini. Sebelumnya, beliau biasa
berbicara dari tingkatan dan maqam yang tinggi.

Terkadang, saat beliau duduk dengan beberapa orang
tertentu, dan Allah membukakan untuk… adanya izin,
kalian dapat melihat pengetahuan macam apa yang beliau
ucapkan. Kalian akan tertegun mendengarnya. Karena,
Rahasia-rahasia tersebut, yang Allah karuniakan bagi
Sayyidina Muhammad sallalLahu ‘alayhi wasallam, pada
Laylatul Mi’raj, Grandsyaikh berkata bahwa Allah
membukakan pada beliau sallalLahu ‘alayhi wasallam,
Rahasia-Rahasia Al Quran, manifestasi- manifestasi,
dan tajalli (penampakan) dari 99 Nama (Asmaul Husna,
red.) yang tak seorang pun menyamai beliau dengan apa
yang Allah SWT bukakan bagi beliau, Sayyidina Muhammad
sallalLahu ‘alayhi wasallam. Hanya bagi Nabi
sallalLahu ‘alayhi wasallam. Tapi, apa yang telah Nabi
sedikit berikan, itu bukan berarti menyamai beliau,
melainkan itu berarti beliau mewariskannya.

Dari tajalli 99 Nama, itu berarti Allah SWT
mengaruniakan pada Sayyidina Muhammad sallalLahu
alayhi wasallam, Samudera-Samudera Nama-Nama ini, yang
tak seorang pun mengetahui awal maupun akhir dari
setiap Samudera Satu Nama!

Seluruh Alam Semesta ciptaan ini hanyalah berada di
bawah tajalli satu nama: Ar-Rahman! Seluruh alam
semesta ini, yang kita tengah hidup di dalamnya, sejak
penciptaannya hingga Hari Pembalasan berada di bawah
tajalli ar-Rahman! Bagaimana menurutmu dengan 98
Nama-Nama yang lainnya? Mereka bahkan belum terbuka,
belum termanifestasikan! Tidak hanya itu! Grandsyaikh
berkata pula bahwa Allah SWT mengaruniakan pula bagi
beliau sallalLahu ‘alayhi wasallam, Ismullah
al-A’dzam, Nama Teragung, yang meliputi seluruh
Nama-Nama itu. Itu dikaruniakan bagi Sayyidina
Muhammad sallalLahu ‘alayhi wasallam pada Laylatul
Mi’raj.

Para ilmuwan mengatakan bahwa keseluruhan alam ini
tercipta milliaran tahun yang lalu. Benar? Semua
galaksi yang kalian saksikan ini, 6 milliar galaksi,
yang mereka katakan ada sekarang. Dan setiap galaksi
memiliki 80 milliar bintang, minimal. Kalian melihat
Milky Way, Bima Sakti, juga galaksi-galaksi yang ada
di Alam Semesta ini, keseluruhannya bergerak dalam
satu arah di ruang angkasa ini. Kalian tak mengetahui
ke mana mereka bergerak.

Mereka bergerak dengan kecepatan 300.000 km/detik
(kecepatan cahaya, red.). Sangat cepat. Dan ruang
angkasa ini tanpa batas. Sejak mereka diciptakan,
mereka bergerak. Ke mana mereka bergerak? Semua
pengetahuan ini Allah SWT karuniakan bagi Sayyidina
Muhammad sallalLahu ‘alayhi wasallam pada malam
Laylatul Isra’ wal Mi’raj. Semua ini diberikan pada
Nabi sallalLahu ‘alayhi wasallam pada malam itu.
[Manifestasi] Satu Nama, ya, seluruh alam ini berada
di bawah Ismullahir Rahman, dan alam semesta ini tak
pernah berakhir meluas, dan melebar.

Bagaimana pula dengan 98 Nama-Nama lainnya? Yang belum
pernah dibukakan. Grandsyaikh berkata, bahwa saat
Mahdi ‘alayhissalam muncul, Allah SWT akan membukakan
cita rasa ini bagi Ummat. Dan karena itu pula pada
saat itu, ilmu pengetahuan akan ditransfer dan
dipindahkan dari orang satu ke orang lainnya lewat
mata. Kalian tak perlu lagi saat itu membaca atau
mempelajari pengetahuan dan mengingatnya. Itu semua
terbatas. Untuk berusaha membaca dan menghafal adalah
terbatas. Tapi, dengan menuangkannya melalui kedua
mata kalian ke qalbu kalian, dari orang yang satu ke
yang lain, melalui pantulan-pantulan (refleksi).

Dengan memantulkannya secara sempurna. Apa pun yang
dimiliki seseorang, ia akan memantulkannya, dan orang
yang lain akan menerimanya, dan memantulkannya
kembali, untuk diterima orang yang lain lagi, yang
juga akan memantulkannya. Demikian seterusnya,
layaknya suatu reaksi nuklir berantai, dari orang yang
satu ke yang lain, tanpa henti. Allah SWT akan
mengaruniakan seperti itu nanti. [yaitu, pada masa
Imam Mahdi ‘alayhissalam, red.].

Cita rasa itu, yang Allah karuniakan pada Sayyidina
Muhammad sallalLahu ‘alayhi wasallam tak dapat
dibayangkan sama sekali. Sebagaimana kalian tak dapat
membayangkan Keagungan Allah SWT. Bagaimana pun kalian
berusaha memikirkannya, maka Allah SWT tetap Lebih
Agung (daripada yang kalian pikirkan, red.). Artinya,
apa pun yang kalian pernah bayangkan atau renungkan
mengenai pengetahuan yang dimiliki Nabi sallalLahu
alayhi wasallam, maka apa yang diberikan Allah SWT
bagi beliau, jauh lebih besar dari itu. Setiap ‘saat’
Ia SWT memberikan (bagi beliau).

Allah SWT berfirman, “Kullu yawmin Huwa fii sya’nin”
“”Setiap saat ada suatu tajalli atau manifestasi /
penampakan yang baru”, dari manifestasi- manifestasi
Nama-Nama Indah itu [Al-Asmaul Husna]. Jadi, saat
penampakan-penampak an ini terjadi, lebih banyak lagi
yang berdatangan. Artinya, sesuai dengan Keagungan
Allah SWT, tak suatu apa pun dapat kalian batasi.
Selalu berkembang. Dan semua pengetahuan ini selalu
berkembang dalam diri Nabi sallalLahu ‘alayhi
wasallam, dan dari Nabi kepada Awliyaullah.

Di manakah pengetahuan ini? Mengapa Awliyaulah tidak
membicarakannya sekarang? Tak ada lagi bahasa
ruhaniah yang diajarkan kepada para murid. Sangat
dibatasi. Karena itulah Mawlana Syaikh Nazim, semoga
Allah mengaruniakan bagi beliau umur panjang, berkata
bahwa Allah SWT memerintahkan pada Nabi sallalLahu
alayhi wasallam untuk memerintahkan Mahdi
alayhissalam, untuk mengambil kekuatan dari setiap
Wali, dan mengambilnya ke tangan beliau, untuk menjaga
kekuatan itu berada pada tangan beliau. Karena tak ada
lagi para pengganti untuk Awliyaullah yang kini tengah
berwafatan.

Pada saat ini, Mawlana Syaikh Nazim berkata, bahwa
hampir sebagian besar Para Syuyukh Tariqah wafat, dan
Mahdi ‘alayhissalam mengambil kekuatan mereka. Hanya
pada Naqshbandi, kekuatan itu belum diambil, masih
berada di tangan seorang Wali Besar, Sulthanul
Awliya’, Sayyidii Syaikh Muhammad Nazim ‘Adil
Al-Haqqani. Grandsyaikh berkata, bahwa rahasia tariqah
itu [Naqshbandi] akan selalu hidup hingga Imam Mahdi
alayhissalam, tak pernah berhenti. Dan insya Allah,
kita berharap agar Mahdi ‘alayhissalam segera datang,
agar kita dapat melihat apa yang Allah SWT karuniakan
bagi diri kita.

Grandsyaikh Abdullah Faiz (alm) berkata, bahwa yang
paling penting adalah agar manusia mengetahui bahwa
Allah SWT telah memerintahkan pada Nabi sallalLahu
alayhi wasallam, “Yaa Muhammad, kau bertanggung jawab.
Aku tidak bertanggung jawab pada Ummah. Kau mengambil
mereka dalam keadaan bersih dan suci, maka kau pun
mesti mengembalikan mereka pada-Ku dalam keadaan
bersih dan suci. Maka, berbicaralah pada mereka
menurut apa yang dapat mereka terima.”

“Laa yukallifullahu nafsan illaa wus’ahaa”
“Allah tidak membebani seseorang lebih daripada apa
yang dapat ia pikul” “Hanya sesuai dengan apa yang
dapat mereka terima, berikanlah pada mereka. Lebih
dari itu, jangan kau tuntut dari mereka!”

Karena itulah kalian melihat saat ini, begitu banyak
orang lari. Bahkan ketika mereka melarikan diri,
Awliyaullah tetap melakukan amal mewakili diri mereka.
Setiap Wali bertanggung jawab atas kelompoknya. Ia
bertanggung jawab melakukan apa yang murid-murid
mereka tidak lakukan. Bahkan tidak hanya murid-murid
yang mengambil bay’ah secara fisik. Tapi, juga bagi
mereka yang tidak mengambil bay’ah secara fisik, yang
telah dibagikan bagi sang Wali itu di Hari Perjanjian,
hingga Sang Wali mengetahui siapa-siapa yang menjadi
pengikutnya. Ia pun mesti membersihkan mereka dan
mempersembahkan mereka dalam 24 jam, dalam keadaan
suci bersih, ke hadirat Sayyidina Muhammad sallalLahu
alayhi wasallam.

Berbahagialah! ! Dan berapa kali kami mengatakan,
Berbahagialah!” Kita akan melanjutkan tentang ini
insya Allah. Berbahagialah, dan jangan khawatir
tentang orang ini melakukan ini, orang itu melakukan
itu, ada fitnah di sini, fitnah di sana. Siapa yang
peduli? Tak usah pedulikan! Jangan berikan telingamu!
Di mana pun terjadi fitnah. Fitnah selalu terjadi.

Apakah syaitan pernah berhenti bekerja? Sebagaimana
Allah SWT sebutkan dalam Quran suci, bahwa syaitan
berkata, “… berikan bagiku, umur panjang. Aku ingin
agar Engkau, Yaa Rabbii, memberiku umur panjang agar
dapat kusesatkan mereka semua.” Allah pun menjawab,
“Ya, Aku memberimu umur panjang.” Allah SWT bahkan
menerima (du’a) dari Iblis. Kenapa? Apakah Allah tak
mampu mengatakan, “Tidak, Aku tak mau memberimu hal
itu, dan Kulempar ruhmu ke Neraka!”?

Mengapa Allah memberinya hal itu? Ia SWT menerima
darinya, saat ia (syetan) memohon pada-Nya. Allah
menerima dari ia yang berdosa? Allah menerimanya.
Karena Ia SWT ingin menaikkan derajat Ummah ini dan
mengaruniakan pahala bagi Ummah ini, saat mereka
membantah (bujukan) Iblis.

Jadi, Awliyaulah bertanggung jawab atas
pengikut-pengikut mereka untuk membersihkan diri
mereka. Jika tidak, tentu mereka akan menjadi tawanan
di tangan Syaitan, dan Syaitan akan menang. Di Hari
Perhitungan, ia akan berkata, “Yaa Rabbii, ooh, aku
menang, aku memiliki lebih banyak dari yang Kau mesti
miliki.” Grandsyaikh biasa berkata bahwa jika Iblis
dapat menawan satu saja ke sisinya, itu adalah tanda
kemenangannya. Karena seorang jenderal dalam suatu
pertempuran tak akan membiarkan seorang pun dari
pasukannya untuk jatuh ke tangan musuh. Jadi, Allah
tak akan pernah membiarkan Iblis untuk menang. Apa pun
yang diperbuat Iblis, akan dilemparkan Allah SWT ke
mukanya.

“Wa qadimnaa ilaa maa ‘amiluu faja’alnaahaa habaa-an
manthuuran” “Kami lemparkan apa yang mereka perbuat ke
muka mereka” Yang pertama-tama adalah Iblis. Allah
akan melemparkan seluruh perbuatannya, saat ia
mengejar-ngejar manusia untuk menghancurkan hirup
mereka, menyuruh mereka menghisap ini, atau menghisap
itu, mengambil hashish, atau apa lagi? Heroine…
[Ecstasy] Apa itu? [Obat gaya baru] Gaya baru? Kau
pernah mencobanya? Siapa pernah mencobanya?

Semoga Allah SWT melindungi diri kita. [Aamiiin. Insya
Allah] Karena kita adalah lemah. Kita memohon Allah
untuk melindungi diri kita. Dan Allah Ta’ala
melindungi orang-orang, baik laki-laki maupun
perempuan yang tulus. Lihatlah, masya Allah, seluruh
wanita di sini, mereka amat tulus, mereka memakai
hijab/jilbab dengan baik. Tapi, justru laki-lakinya
yang tidak tertutup kepalanya. Beberapa di antara
mereka tidak memakai peci atau tutup kepala. Saya
tidak tahu kenapa mereka hanya mengharuskan wanita,
dan tidak menekan laki-laki untuk memakai tutup
kepala. Haah? Aah, kau di sini [berbicara kepada
seorang saudara yang tidak mengenakan peci, red.].
Kau dengar tadi? "Ya, saya mendengarnya"
Apa yang saya baru katakan? "Mengapa hanya menekan
wanita untuk memakai jilbab" Iya ‘kan?

Mengapa hanya memberikan tekanan pada wanita dan tidak
pada pria? Pria pun mesti memakai turban. Tapi, kalian
tidak memakai turban supaya kalian bisa pergi ke
disco. [Hahaha] . Semoga Allah mengampuni diri kita.
Bihurmatil Fatihah!

Wa min Allah at Tawfiq
wasalam, arief hamdani
www.rabbani- sufi.blogspot. com