Showing posts with label Tokoh Tokoh Sufi. Show all posts
Showing posts with label Tokoh Tokoh Sufi. Show all posts

Sang Mistikus Cinta~ Jalaludin Rumi



Rumi adalah salah satu humanis terbesar sepanjang masa. Keagungan dan kejujuran keberagaman Rumi menjadi spirit tersendiri dalam upaya penghambaan yang terus menerus dan selalu diikuti oleh murid-muridnya hingga kini.

Dengan pengungkapan hakekat cinta dan kehidupan yang dipenuhi oleh cinta, Rumi selalu mengajak manusia untuk menyadari tujuan hidupnya, yakni penghambaan secara total terhadap Sang Pencipta dan benar-benar dapat mencintai secara utuh tanpa kepalsuan-kepalsuan.

Rumi menyampaikan tiga hal utama, pencapaian tingkat kemanuusiaan yang paling tinggi yaitu toleransi, saling pengertian dan akses ilmu pengetahuan melalui Cinta.

Telah 800 silam era Rumi terlewati, namun ajarannya masih mampu mendering lantang hingga kini. Membuktikan bahwa ajarannya merupakan keabadian yang tak pernah mati. Karena dilakukan dengan ketulusan dan kejujuran atas manusia yang tersandar cintanya pada Tuhan.

My sohib Iqbal. M Ambara


---------------------------------------------------------------------------------------------





Biografi Jalaludin Rumi

Mawlana Jalaludin Rumi
Oleh Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani
( Grandson of Mawlana Rumi )

“Dia adalah, orang yang tidak mempunyai ketiadaan,
Saya mencintainya dan Saya mengaguminya, Saya memilih
jalannya dan Saya memalingkan muka ke jalannya. Setiap
orang mempunyai kekasih, dialah kekasih saya, kekasih
yang abadi. Dia adalah orang yang Saya cintai, dia
begitu indah, oh dia adalah yang paling sempurna.
Orang-orang yang mencintainya adalah para pecinta yang
tidak pernah sekarat. Dia adalah dia dan dia dan
mereka adalah dia. Ini adalah sebuah rahasia, jika
kalian mempunyai cinta, kalian akan memahaminya.

( Sulthanul Awliya Mawlana Syaikh Nazhim Adil
al-Haqqani – Cucu dari Mawlana Rumi, Lefke, Cyprus
Turki, September 1998)

————————————–

Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi juga seorang tokoh sufi yang berpengaruh di zamannya. Rumi adalahguru nomor satu Thariqat Maulawiah, sebuah thariqat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Thariqat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman sekitar tahun l648.Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewaa nakal dan indera dalam menentukan kebenaran. Dizamannya, ummat Islam memang sedang dilanda penyakit itu. Bagi mereka kebenaran baru dianggap benar bila mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, dengancepat mereka ingkari dan tidak diakui.Padahal menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah yang dapat melemahkan Iman kepada sesuatu yang ghaib.Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula,kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat mata, yang diajarkan berbagai syariat dan beragam agama samawi, bisa menjadi goyah.Rumi mengatakan, “Orientasi kepada indera dalam menetapkan segala hakekat keagamaan adalah gagasan yang dipelopori kelompok Mu’tazilah. Mereka merupakan para budak yang tunduk patuh kepada panca indera.Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah.Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidakterikat kepada indera-indera, dan tidak mau pulamemanjakannya.”Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum pernah meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin akanselalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah penyembuhan yang terkandung dalam obat. “Padahal, yang lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yangtersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya. Bukankah Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah kegunaannya tersembunyi di dalamnya?” tegas Rumi.

PENGARUH TABRIZ
--------------------------------
Fariduddin Attar, salah seorang ulama dan tokoh sufi,ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak akan menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat, ramalan Fariduddin Attar itu tidak meleset.Rumi, Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30September 1207. Mawlana Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi.Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma).Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, iadigelari Sulthanul Ulama. Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan mereka pun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi baru berusia limatahun. Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari suatu negara ke negara lain.Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut).Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya(Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetapdi Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad,mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu.Beliau baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikutmengajar di perguruan tersebut.
Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya
yang luas, di samping sebagai guru, beliau juga menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu banyak
tokoh ulama yang berkumpul di Konya. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia.Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika beliau
sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama, beliau juga memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika beliau berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddinalias Syamsi dari kota Tabriz.
Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya.Tiba-tiba seorang lelaki asing–yakni Syamsi Tabriz–ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?” Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepatpada sasarannya. Beliau tidak mampu menjawab.Akhirnya Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelahbergaul beberapa saat, beliau mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi.Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilakuayahnya itu, “Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya.”Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya, sehingga beliau menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, beliau tulis syair-syair, yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan Syams Tabriz. Beliau bukukan pula wejangan-wejangan gurunya,dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat Syams Tabriz. Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syaikh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, selama 15 tahun terakhir masa
hidupnya beliau berhasil menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi. Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain. Bahkan Masnavi sering disebut Qur’an Persia. Karya tulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak empat baris dengan jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang metafisika), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya). Bersama Syaikh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan Thariqat Maulawiyah atau Jalaliyah. Thariqat ini di
Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (para Darwisy yang berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut thariqat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling,
dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.

WAFATNYA MAWLANA RUMI
---------------------------------------
Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya
tiba-tiba dilanda kecemasan, karena mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, tengah menderita sakit keras. Meskipun demikian, pikiran Rumi masih menampakkan kejernihannya.
Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo’akan,“Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan.” Rumi sempat menyahut, “Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga yang kafir dan
pahit.” Pada tanggal 5 Jumadil Akhir 672 H atau 17 Desember 1273 dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke
Rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desakan ingin mengantarkan kepulangannya. Malam wafatnya beliau dikenal sebagaiSebul Arus (Malam Penyatuan).  Sampai sekarang para pengikut Thariqat Maulawiyah masih memperingati tanggal itu sebagai hari wafatnya beliau.“SAMA”, Tarian Darwis yang Berputar Suatu saat Rumi tengah tenggelam dalam kemabukannya
dalam tarian “Sama” ketika itu seorang sahabatnya memainkan biola dan ney (seruling), beliau mengatakan,
“Seperti juga ketika salat kita berbicara dengan Tuhan, maka dalam keadaan extase para darwis juga
berdialog dengan Tuhannya melalui cinta. Musik Sama yang merupakan bagian salawat atas baginda Nabi
Sallallahu alaihi wasalam adalah merupakan wujud musik cinta demi cinta Nabi saw dan pengetahuanNya.
Rumi mengatakan bahwa ada sebuah rahasia tersembunyi dalam Musik dan Sama, dimana musik merupakan gerbang menuju keabadian dan Sama adalah seperti electron yang mengelilingi intinya bertawaf menuju sang Maha Pencipta. Semasa Rumi hidup tarian “Sama” sering dilakukan secara spontan disertai jamuan makanan dan minuman. Rumi bersama teman darwisnya selepas solat Isa sering melakukan tarian sama dijalan-jalan kota Konya.
Terdapat beberapa puisi dalam Matsnawi yang memuji Sama dan perasaan harmonis alami yang muncul dari
tarian suci ini. Dalam bab ketiga Matsnawi, Rumi menuliskan puisi tentang kefanaan dalam Sama, “ketika
gendang ditabuh seketika itu perasaan extase merasuk bagai buih-buih yang meleleh dari debur ombak laut”.
Tarian Sakral Sama dari tariqah Mevlevi Haqqani atau Tariqah Mawlawiyah ini masih dilakukan saat ini di
Lefke, Cyprus Turki dibawah bimbingan Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani. Ajaran Sufi Mawlana Syaikh Nazim dan mawlana Syaikh Hisyam juga merambah keberbagai kota di Amerika maupun Eropa, sehingga tarian Whirling Dervishes ini juga dilakukan di banyak kota-kota di Amerika, Eropa dan Asia di bawah bimbingan Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani ar-Rabbani. Tarian Sama ini sebagai tiruan dari keteraturan alam raya yang diungkap melalui perputaran planet-planet. Perayaan Sama dari tariqah Mevlevi dilakukan dalam situasi yang sangat sakral dan ditata dalam penataan khusus pada abad ke tujuh belas. Perayaan ini untuk menghormati wafatnya Rumi, suatu peristiwa yang Rumi dambakan dan ia lukisakna dalam istilah-istilah yang menyenangkan.
Para Anggota Tariqah Mevlevi sekarang belajar menarikan tarian ini dengan bimbingan Mursyidnya.
Tarian ini dalam bentuknya sekarang dimulai dengan seorang peniup suling yang memainkan Ney, seruling
kayu. Para penari masuk mengenakan pakaian putih yang sebagai simbol kain kafan, dan jubah hitam besar
sebagai symbol alam kubur dan topi panjang merah atau abu-abu yang menandakan batu nisan.
Akhirnya seorang Syaikh masuk paling akhir dan menghormat para Darwish lainnya. Mereka kemudian balas menghormati. Ketika Syaikh duduk dialas karpet merah menyala yang menyimbolkan matahari senja merah tua yang mengacu pada keindahan langit senja sewaktu Rumi wafat. Syaikh mulai bersalawat untuk Rasulullah saw yang ditulis oleh Rumi disertai iringan musik, gendang, marawis dan seruling ney. Peniup seruling dan penabuh gendang memulai musiknya maka para darwis memulai dengan tiga putaran secara
perlahan yang merupakaan simbolisasi bagi tiga tahapan yang membawa manusia menemui Tuhannya. Pada puatran ketiga Syaikh kembali duduk dan para penari melepas jubah hitamnya dengan gerakan yang menyimbulkan kuburan untuk mengalami ‘ mati sebelum mati”, kelahiran kedua. Ketika Syaikh mengijinkan para penari menari, mereka mulai dengan gerakan perlahan memutar seperti putaran tawaf dan putaran planet-planet mengelilingi matahari. Ketika tarian hamper usai maka syaikh berdiri dan alunan musik dipercepat. Proses ini diakhiri dengan musik penutup danpembacaan ayat suci Al-Quran. Rombongan Penari Darwis, secara teratur menampilkan Sama di auditorium umum di Eropa dan Amerika Serikat. Sekalipun beberapa gerakan tarian ini pelan dan terasa lambat tetapi para pemirsa mengatakan penampilan ini sangat magis dan menawan. Kedalaman konsentrasi, atau perasaan dzawq dan ketulusan para darwis menjadikan gerakan mereka begitu menghipnotis. Pada akhir penampilan para hadirin diminta untuk tidak bertepuk tangan karena “Sama” adalah sebuah ritual spiritual bukan sebuah pertunjukan seni. Pada abad ke 17, Tariqah Mevlevi atau Mawlawiyah dikendalikan oleh kerajaan Utsmaniyah. Meskipun Tariqah Mawlawiyah kehilangan sebagian besar kebebasannya ketika berada dibawah dominasi Ustmaniyah, tetapi perlindungan Sang Raja menungkinkan Tariqah Mawlawi menyebar luas keberbagai daerah dan memperkenalkan kepada banyak orang tentang tatanan musik dan tradisi puisi yang unik dan indah. Pada Abad ke 18, Salim III seorang Sultan Utsmaniyah menjadi anggota Tariqah Mawlawiyah dan kemudian dia
menciptakan musik untuk upacara-upacara Mawlawi. Selama abad ke 19 , Mawlawiyah merupakan salah satu dari sekitar Sembilan belas aliran sufi di Turtki dan sekitar tigapuluh lima kelompok semacam itu dikerajaan Utsmaniyah. Karena perlindungan dari raja mereka, Mawlawi menjadi kelompok yang paling berpengarh diseluruh kerajaan dan prestasi cultural mereka dianggap sangat murni. Kelompok itu menjadi terkenal di barat., Di Eropa dan Amerika pertunjukkan keliling mereka menyita perhatian public. Selama abad 19, sebuah panggung pertunjukkan yang didirikan di Turki menarik perhatian banyak kelompok wisatawan Eropa yang dating ke Turki. Pada tahun 1925, Tariqah Mawlawi dipaksa membubarkan diri ditanah kelahiran mereka Turki, setelah Kemal Ataturk pendiri modernisasi Turki melarang semua kelompok darwis lengkap dengan upacara serta pertunjukkan mereka. Pada saat itu makam Rumi di Konya diambil alih pemerintah dan diubah menjadi museum Negara.
Motivasi utama Atatutrk adalah memutuskan hubungan Turki dengan masa pertengahan guna mengintegrasikan Turki dengan dunia modern seperti demokrasi ala barat. Bagi Ataturk tariqah sufi menjadi ancaman bagi modernisasi Turki. Pada saat itulah Syaikh Nazim mulai menyebarkan bimbingan spiritual dan
mengajar agama Islam di Siprus, Turki. Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani Banyak murid yang mendatangi Mawlana Syaikh Nazim dan menerima Thariqat Naqsybandi Haqqani. Selain itu beliau adalah pemegang otoritas Mursyid tujuh Tariqah Sufi besar lainnya, termasuk Mevlevi Haqqani atau Mawlawiyah, Qodiriah, Syadziliyah, Chisty. Namun sayang, waktu itu semua agama dilarang di Turki dan karena beliau berada di dalam komunitas orang-orang Turki di Siprus, agama pun dilarang di sana. Bahkan mengumandangkan azan pun tak diperbolehkan. Langkah Syaikh Nazim yang pertama ketika itu adalah
menuju masjid di tempat kelahirannya dan mengumandangkan azan di sana, segera beliau dimasukkan
penjara selama seminggu. Begitu dibebaskan, Syaikh Nazim ق pergi menuju masjid besar di Nikosia dan
melakukan azan di menaranya. Hal itu membuat para pejabat marah dan beliau dituntut atas pelanggaran hukum. Sambil menunggu sidang, Syaikh Nazim ق terus mengumandangkan azan di menara-menara masjid di seluruh Nikosia. Sehingga tuntutannya pun terus bertambah, ada 114 kasus yang menunggu beliau. Pengacara menasihati beliau agar berhenti melakukan azan, namun Syaikh Nazim ق mengatakan, “ Tidak,
aku tidak bisa mengehntikannya. Orang-orang harus mendengar panggilan azan untuk shalat.” Ketika hari persidangan tiba, Mawlana Syaikh Nazim didakwa atas 114 kasus mngumandangkan azan diseluruh Cyprus. Jika tuntutan 114 kasus itu terbukti, maka beliau bisa dihukum 100 tahun penjara. Tetapi pada hari yang sama hasil pemilu diumumkan di Turki. Seorang laki-laki bernama Adnan Menderes dicalonkan untuk berkuasa. Langkah pertamanya ketika terpilih menjadi Presiden adalah membuka seluruh masjid-masjid
dan mengizinkan azan dikumandangkan dalam bahasa Arab. Inilah keajaiban yang diberikan Allah swt kepada Mawlana Syaikh Nazim. Hingga saat ini makam Rumi di Konya tetap terpelihara dan dikelola oleh pemerintah Turki sebagai tempat wisata. Meskipun demikian pengunjung yang datang kesana yang terbanyak adalah para peziarah dan bukan wisatawan. Melalui sebuah kesepakatan pemerintah Turki, pada tahun 1953 akhirnya menyetujui tarian “Sama” Tariqah Mawlawi dipeertontonkan lagi di Konya dengan syarat pertunjukan tersebut bersifat cultural untuk para wisatawan. Rombongan Darwis juga diijinkan untuk berkelana secara Internasional. Meskipun demikian secara keseluruhan berbagai aspek sufisme tetap menjadi praktek yang illegal di Turki dan para sufi banyak diburu sejak Ataturk melarang agama mereka.
Wa min Allah at Tawfiq 
————————————
Maulana Jalaluddin Rumi, Menari di Depan Tuhan “AKAN tiba saatnya, ketika Konya menjadi semarak, dan makam kita tegak di jantung kota. Gelombang demi gelombang khalayak menjenguk mousoleum kita, menggemakan ucapan-ucapan kita.” Itulah ucapan Jalaluddin Rumi pada putranya, Sultan
Walad, di suatu pagi. Dan waktu kemudian berlayar, melintasi tahun dan abad. Konya seakan terlelap dalam
debu sejarah. “Tetapi, kota Anatolia Tengah ini tetap berdiri sebagai saksi kebenaran ucapan Rumi,” tulis Talat Said Halman, peneliti karya-karya mistik Rumi. Kenyataannya memang demikian. Lebih dari 7 abad, Rumi bak bayangan yang abadi mengawal Konya, terutama untuk pada pengikutnya, the whirling dervishes, para darwis yang menari. Setiap tahun, dari tanggal 2-17 Desember, jutaan peziarah menyemut menuju Konya. Dari delapan penjuru angin mereka berarak untuk memperingati kematian Rumi, 727 tahun silam.
Siapakah sesungguhnya makhluk ini, yang telah menegakkan sebuah pilar di tengah khazanah keagamaan
Islam dan silang sengketa paham? “Dialah penyair mistik terbesar sepanjang zaman,” kata orientalis
Inggris Reynold A Nicholson. “Ia bukan nabi, tetapi ia mampu menulis kitab suci,” seru Jami, penyair Persia
Klasik, tentang karya Rumi,Matsnawi. Gandhi pernah mengutip kata-katanya. Rembrandt mengabadikannya dikanvas, Muhammad Iqbal, filsuf dan penyair Pakistan, sekali waktu pernah berdendang, “Maulana mengubah tanah menjadi madu…. Aku mabuk oleh anggurnya; aku hidup dari napasnya.” Bahkan, Paus
Yohanes XXIII, pada 1958 menuliskan pesan khusus: “Atas nama dunia Katolik, saya menundukkan kepala
penuh hormat mengenang Rumi.” Besar dalam kembara Jalaluddin dilahirkan 30 September 1207 di Balkh, kini wilayah Afganistan. Ia Putra Bahauddin Walad, ulama dan mistikus termasyhur, yang diusir dari kota Balkh tatkala ia berumur 12 tahun. Pengusiran itu buntut perbedaan pendapat antara Sultan dan Walad.
Keluarga ini kemudian tinggal di Aleppo (Damaskus), dan di situ kebeliaan Jalaluddin diisi oleh guru-guru
bahasa Arab yang tersohor. Tak lama di Damakus, keluarga ini pindah ke Laranda, kota di Anatolia
Tengah, atas permintaan Sultan Seljuk Alauddin Kaykobad. Konon, Kaykobad membujuk dalam sebuah surat kepada Walad, “Kendati saya tak pernah menundukkan kepala kepada seorang pun, saya siap menjadi pelayan dan pengikut setia Anda.” Di kota ini ibu Jalaluddin, Mu’min Khatum, meninggal dunia. Tak lama kemudian, dalam usia 18 tahun, Jalaluddin menikah. 1226, putra pertama Jalaluddin, Sultan Walad, lahir. Setahun kemudian, keluarga ini pindah ke Konya, 100 Km dari Laranda. Di sini, Bahauddin Walad mengajar di madrasah. 1229, anak kedua Jalaluddin, Alauddin, lahir. Dua tahun kemudian, dalam usia 82 tahun, Bahaudin Walad meninggal dunia. Era baru pun dialami Jalaluddin. Dia menggantikan Walad, dan mengajarkan ilmu-ilmu ketuhanan tradisional, tanpa menyentuh mistik. Setahun setelah kematian ayahnya, suatu pagi, madrasahnya kedatangan tamu, Burhannuddin Muhaqiq, yang ternyata murid terkasih Walad. Dan ketika menyadari sang guru telah tiada, Muhaqiq mewariskan ilmunya pada Jalaluddin. Burhanuddin pun menggembleng muridnya dengan latihan tasawuf yang telah dimatangkan selama 4 abad terakhir oleh para sufi, dan beberapa kali meminta dia ke Damakus untuk menambah lmu. 8 tahun menggembleng, 1240, Burhanuddin kembali ke Kayseri. Jalaluddin Rumi pun menggembleng diri sendiri. Cinta adalah menari Tahun 1244, saat berusia 37 tahun, Jalaluddin sudah berada di atas semua ulama di Konya. Ilmu yang dia timba dari kitab-kitab Persia, Arab, Turki, Yunani dan Ibrani, membuat dia nyaris ensiklopedis. Gelar Maulana Rumi (Guru bangsa Rum) pun dia raih. Tapi, di sebuah senja Oktober, sehabis pulang dari madrasah, seseorang yang tak dia kenal, menjegat langkahnya, dan menanyakan satu hal. Mendengar pertanyaan itu, Rumi langsung pingsan! Sebuah riwayat mengatakan, orang tak dikenal itu bertanya, “Siapa yang lebih agung, Muhammad Rasulullah yang berdoa, ‘Kami tak mengenal-Mu seperti seharusnya’ atau seorang sufi Persia, Bayazid Bisthami yang berkata, ‘Subhani, mahasuci diriku, betapa agungnya kekuasaanku’. Pertanyaan mistikus Syamsuddin Tabriz itu mengubah hidup Rumi. Dia kemudian tak lagi terpisahkan dari Syams. Dan di bawah pengaruh Syams, ia menjalani periode mistik yang nyala, penuh gairah, tanpa batas, dan kini, mulai menyukai musik. Mereka menghabiskan hari bersama-sama, dan menurut riwayat, selama berbulan-bulan mereka dapat bertahan hidup tanpa kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, khusuk menuju Cinta Ilahiah. Tapi hal ini tak lama. Kecemburuan warga Konya, membuat Syams pergi. Dan saat Syams kembali, warga membunuhnya. Rumi kehilangan, kehilangan terbesar yang dia gambarkan seperti kehidupan kehilangan mentari. Tapi, suatu pagi, seorang pandai besi membuat Jalaluddin menari. Pukulan penempa besi itu, Shalahuddin, membuat dia ekstase, dan tanpa sadar mengucapkan puisi-puisi mistis, yang berisi ketakjuban pada pengalaman syatahat. Rumi pun kemudian bersabahat dengan Shalahuddin, yang kemudian menggantikan posisi Syams. Dan era menari pun dimulai Rumi, menari sambil memadahkan syair-syair cinta Ilahi. “Tarian para darwis itulah yang kemudian menjadi semacam bentuk ratapan Rumi atas kehilangan Syams,” jelas Talat. Sampai meninggalnya, 17 Desember 1273, Rumi tak pernah berhenti menari, kerana dia tak pernah berhenti mencintai Allah. Tarian itu juga yang membuat peringkatnya dalam inisiasi sufi berubah dari yang mencintai jadi yang dicintai. (Aulia A Muhammad)

~  SUARA MERDEKA
Untuk biografi yang lebih lanjut, sila klik http://ms.wikipedia.org/wiki/Jalal_al-Din_Muhammad_Rumi



Maulana Syekh Nazim membaca surah Yasin (In Loving Memory Syekh Muhammad Nazim Adil Al-Haqqani)


in Loving Memory 
Syekh Muhammad Nazim Adil Al-Haqqani 
26 Sha'ban 1340 H - 8 Rajab 1425 H 
23 April 1922 - 7 Mei 2014 

Beliau dilahirkan di Larnaka, Siprus, pada hari Ahad, tanggal 23 April 1922 – atau 26 Sya'ban 1340 H. Dari sisi ayah, beliau adalah keturunan Syekh Abdul Qadir Jailani QS, pendiri Tarekat Qadiriah. Dari sisi ibunya, beliau adalah keturunan Jalaluddin Rumi QS, pendiri Tarekat Mawlawiyyah, yang juga merupakan keturunan Hassan AS—Hussein AS, cucu Nabi Muhammad SAW. Selama masa kanak-kanak di Siprus, beliau selalu duduk bersama kakeknya, salah seorang Syekh Tarekat Qadiriah untuk belajar spiritualitas dan disiplin. Tanda-tanda luar biasa telah tampak pada Syekh Nazim QS kecil, tingkah lakunya sempurna. Tidak pernah berselisih dengan siapa pun, beliau selalu tersenyum dan sabar. Kedua kakek dari pihak ayah dan ibunya melatih beliau pada jalan spiritual. 

Semoga Bermanfaat



Hamzah Fansuri dan Syair-syair Tasawufnya


OLEH
 ABDUL HADI W.M.

Karya sastrawan sufi Nusantara belum banyak diteliti dan dikaji. Padahal peranan dan pengaruh mereka sangat besar bagi perkembangan bahasa, kebudayaan dan sastra Melayu. Lesunya kajian filologi di Indonesia dewasa ini mungkin merupakan salah satu penyebabnya. Tak mengherankan sebagian besar karya penulis lama Nusantara, khususnya penulis sufi, masih berupa naskah dan belum cukup banyak yang dialihaksarakan serta diterbitkan. Lagi pula selama beberapa puluh tahun belakangan ini, kebijakan pendidikan kita tidak memberi perhatian serius terhadap pelajaran sejarah kebudayaan dan tradisi intelektual bangsanya sendiri.
Karya-karya Hamzah Fansuri lebih beruntung. Hampir semuanya telah dijumpai dalam bentuk transliterasinya. Bahkan sudah muncul pula beberapa kajian yang cukup luas dan mendalam.[1] Namun masalahnya bukan hanya apakah ada kajian atau tidak. Selagi ajaran tasawuf sang sufi masih diperdebatkan dengan sengitnya, selama itu pula peranan dan kedudukannya sebagai tokoh spiritual dan keagamaan akan tetap diperdebatkan. Begitu pula sumbangannya terhadap bahasa, kebudayaan dan sastra Melayu.
Tujuan tulisan ini bukanlah untuk menyulut kembali perdebatan sengit yang telah lama muncul di sekitar pemikiran tasawufnya.[2] Dengan kesadaran bahwa kepenyairan dan kesufian Hamzah Fansuri tidak dapat diabaikan, begitu pula
peranannya dalam sejarah intelektual dan kerohanian, kami akan coba membahas segi-segi khusus dari kepenyairannya.
Sebagai Penyair
Hamzah Fansuri adalah seorang tokoh intelektual dan kerohanian terkemuka pada zamannya. Dia dilahirkan di tanah Fansuri atau Barus dan diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 dan 17 M.[3] Sejak akhir abad ke-16 M tanah kelahirannya masuk ke dalam wilayah ke Kerajaan Aceh Darussalam. Menurut Ali Hasymi (1984), bersama saudaranya, Ali Fansuri, dia mendirikan sebuah dayah (pesantren) besar di daerah Singkil, tidak jauh dari tempat kelahirannya.
Mula-mula Hamzah Fansuri mempelajari tasawuf setelah menjadi anggota tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani dan dalam tarekat ini pula dia dibai’at.[4] Setelah mengembara ke berbagai pusat Islam seperti Baghdad, Mekkah, Medinah dan Yerusalem, dia kembali ke tanah airnya serta mengembangkan ajaran tasawuf sendiri. Ajaran tasawuf yang dikembangkannya banyak dipengaruhi pemikiran wujudiyah Ibn `Arabi, Sadrudin al-Qunawi dan Fakhrudin `Iraqi. Sedangkan karangan-karangan sastranya banyak dipengaruhi Fariduddin al-Aththar, Jalaluddin al-Rumi dan Abdur Rahman al-Jami.
Jika benar Syekh al-Fansuri wafat pada 1630 atau 1636 M, sebagaimana diduga beberapa sarjana, berarti dia menyaksikan mekarnya Aceh Darussalam sebagai kerajaan Islam besar di Asia Tenggara di bawah pemerintahan dua rajanya yang masyhur, Sultan Sayyid al-Mukammil (1590—1603 M) dan Iskandar  Muda (1607—1636 M). Ketika itu Aceh Darussalam menjadi pusat penulisan  kitab keagamaan, ilmu pengetahuan dan sastra. Bahasa Melayu memainkan peranan  penting sebagai bahasa komunikasi intelektual mendampingi peranan  bahasa Arab.
Risalah tasawuf Syekh al-Fansuri yang dijumpai ada tiga, yaitu Syarab al-`Asyiqin(Minuman Orang Berahi), Asrar al-`Arifi(Rahasia Ahli Makrifat) dan al-Muntahi[5]Kitabnya Syarab al-`Asyiqioleh al- Attas (1970) dianggap sebagai karyanya yang pertama. Di samping  itu ia dianggap  pula sebagai risalah  keilmuan pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu baru. Versinya yang lain diberi judul Zinat al-Muwahhidin(Perhiasan Ahli Tauhid)[6]. Sedangkan  syair-syair  tasawufnya yang dijumpai tidak kurang dari 32 ikat-ikatan atau untaian[7].  Syair-syairnya dianggap  sebagai “syair Melayu” pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu, yaitu sajak empat baris dengan pola bunyi akhir a-a-a-a pada setiap barisnya  (al-Attas 1968; Braginsky 1991 dan 1992). Syamsudin al-Sumatrani (w. 1630 M) menyebut sajak-sajak tersebut sebagai ruba`i, yaitu sajak empat baris dengan dua misra’ (Ali Hasymi 1975) Pada pembacaan pertama terhadap sajak-sajaknya,  akan segera terlihat beberapa ciri yang menonjol, yang di antaranya kemudian menjadi semacam konvensi sastra atau puisi Melayu klasik.Pertama, pemakaian penanda kepengarangan seperti faqir, anak dagang, anak jamu, ‘asyiq dan lain-lain, yang kesemuanya ditransformasikan dari gagasan sufi tentang peringkat rohani (maqam) tertinggi di jalan kerohanian atau ilmu suluk.
Kedua, banyak petikan ayat al-Qur’an, Hadis, pepatah dan kata-kata Arab, yang beberapa di antaranya telah lama dijadikan metafor, istilah dan citraan konseptual penulis-penulis sufi Arab Persia seperti Bayazid al-Bisthami, Mansur al-Hallaj, Junaid al-Baghdadi, Imam al-Ghazali, Ibn `Arabi, Fariduddin al-`Aththar,  Jalaluddin al-Rumi, Fakhrudin `Iraqi dan lain-lain. Tidak kurang 1200 kata-kata Arab dijumpai dalam 32 ikat-ikatan syair Hamzah Fansuri  (Abdul Hadi W.M. 2001: 219—27). Ini menunjukkan  derasnya proses  Islamisasi yang untuk pertama kalinya melanda bahasa, kebudayaan dan sastra Melayu pada abad ke-16 M. Maka pantaslah negeri Aceh menyandang sebutan Serambi  Mekah.
Di antara istilah dan ungkapan  dari al-Qur’an dan Hadis yang dijadikan metafor pinjaman, citraan konseptual dan pusat renungan sufi ialah al-bayt al-ma`mur (Q 52:4) untuk menyebut Ka’bah dan kalbu; qaba qawsayn awadna (53:9) = jarak lingkaran dua busur, menggambarkan dekatnya Tuhan dengan manusia;  ayna-ma tuwallu fa-tsamma  wajh Allah (Q 2:115) = kemana  pun kau memandang akan tampak wajah Allah; kuntu kanzan, dari Hadis Qudsi “Kuntu kanzan makhfiyyan…” = Aku perbendaharan tersembunyi, merujuk pada alam ketuhanan (`alam al-lahut) ketika Tuhan hendak melahirkan  ciptaan-Nya.[8]
Ketiga, dalam setiap bait terakhir  ikat-ikatan syairnya sang sufi selalu mencantumkan nama diri dan takhallus-nya, yaitu nama julukannya yang biasanya  didasarkan pada nama tempat  kelahiran  penyair atau kota di mana dia dibesarkan.[9] Di situ penyair juga mengungkapkan tingkat dan bentuk pengalaman kerohanian yang diperolehnya di jalan tasawuf. Pada saat yang sama semua  yang diungkapkan  penyair dalam sajaknya  merupakan pengalaman pribadinya. Di sini penyair benar-benar menekankan pentingnya  individualitas  dalam penciptaan puisi (Teeuw 1994; Abdul Hadi W.M. 2001:136—146).
Keempat, sudah tentu kita jumpai pula tamsil dan citraan-citraan simbolik atau konseptual yang biasa digunakan penyair-penyair sufi Arab dan Persia dalam melukiskan  pengalaman dan gagasan kesufian mereka  berkenaan dengan cinta, kemabukan mistikal,fana’, makrifat, tatanan wujud dan lain-lain. Misalnya tamsil seperti anggur atau arak kemabukan mistik dan gelas anggur; burung (roh), ikan yang menyatu dengan lautan, yang merujuk pada persatuan mistik; kekasih, yang lebih sering  disebut Mahbub; lautan dan ombak, kapal atau markab, yang berlayar ke Bandar Tauhid;  bukit rantang atau puncak gunung tempat  seorang`asyibertemu dengan Kekasihnya; perjalanan malam menggunakan obor dan suluh (Muhammad), Kaabah, dan lain sebagainya. Tamsil-tamsil bercorak Arab-Persia  ini ditransformasikan ke dalam lingkungan  budaya dan alam kehidupan  Melayu. Anggur diubah menjadi arak dan serbat, gelas anggur diubah menjadi takir (tempat makan dari daun pisang).
Selain itu terdapat cukup banyak tamsil yang diambil dari alam kehidupan dan budaya Melayu, seperti kayu, kapur barus, perahu  dengan perlengkapannya. Tamsil atau citraan-citraan simbolik ini dijadikan sarana untuk menggambarkan pengalaman kesufian penyair di sekitar  maqam (peringkat rohani) dan ahwal (keadaan  rohani) yang dicapai seorang  penempuh jalan kerohanian (suluk). Semua itu menunjukkan  luasnya pengetahuan penyair atas sastra Arab dan Persia, serta  keakraban penyair dengan budaya masyarakatnya.
Kelima, karena paduan yang seimbang antara diksi (pilihan kata), rima dan unsur-unsur puitik lainnya, syair-syair  Hamzah Fansuri menciptakan suasana ekstase (wajd) dalam pembacaannya, tidak kurang seperti suasana yang tercipta pada saat para sufi melakukan wirid, zikir dan sama’, yaitu konser  musik kerohanian yang disertai dengan zikir, nyanyian dan pembacaan sajak.
Ciri lain dapat ditambahkan.  Sebagaimana puisi penyair sufi pada umumnya, syair-syair  Hamzah Fansuri  memadukan metafisika, logika dan estetika secara  seimbang (Nasr 1987:129—30). Ini menunjukkan bahwa pengetahuan intuitif, rasional dan empiris sama-sama penting perannya dalam penciptaan puisi. Peringkat makna, yang merupakan dimensi batin sajak, berkaitan dengan metafisika dan etika sufi.
Dalam peringkat makna inilah pesan moral dan kerohanian syair diletakkan. Peringkatsurah (bentuk luar), yang merupakan dimensi  lahirnya, mengacu pada estetika sufi. Dalam estetikanya penyair sufi memandang bahwa citraan yang diambil dari alam indrawi dapat  dijadikan sebagai sarana transendensi, yaitu tangga naik menuju alam kerohanian (pengalaman religius sufistik). Selanjutnya ungkapan  puitik dan citraan-citraan simbolik itu diuntai dalam urutan yang logis.
Agar gambaran dari ciri-ciri tersebut jelas di sini akan dikemukakan contoh beberapa bait dari ikat-ikatan syair yang dimulai dengan baris “Thayr al-`uryan unggas sulthani”. Ikat-ikatan  ini menggambarkan jiwa seseorang yang telah faqir, tak memiliki apa-apa selain kedekatan  dengan dan cinta yang mendalam pada Tuhan. Kata al-thayr artinya burung (kadang-kadang Hamzah Fansuri menggunakan kata unggas, nuri  atau burung pingai). Kata al-`uryan, arti harafiahnya ialah telanjang,  maksudnya jiwa manusia yang tak merasa memiliki apa pun selain keterpautan pada Tuhannya.
Pemakaian tamsil burung bagi  jiwa yang telah mengalami penyucian diri (thadkiya’ al-nafs), pertama-tama seperti dikatakan Braginsky (1993), diilhami oleh alegori Fariduddin al-`Aththar yang terkenal  Mantiq al- Thayr (Musyawarah Burung)[10]; yang kedua ialah Hikayat Nur Muhammad. Nur Muhammad adalah konsep sufi tentang  hakikat kejadian yang sering ditransformasikan secara  simbolik dari cahaya berkilauan dan mutiara menjadi burung pingai, untuk memberi kesan keindahan dan kepermaiannya yang luar biasa. Gambaran  tersebut dijumpai versi Melayu Hikayat Kejadian Nur Muhammad (Edwar Djamaris 1990:112—117).
Pencapaian burung dalam sajak tersebut dapat disetarakan dengan pencapaian tiga puluh ekor burung dalam Manthiq al-Thayr (Musyawarah Burung) karya Fariduddin al-Aththar,  yang—setelah melakukan  penerbangan jauh dan sukar melalui tujuh wadi atau lembah (kerohanian)—pada  akhirnya berjumpa  dengan Simurgh—raja  diraja burung—di puncak bukit Qaf. Simurgh adalah lambang  hakikat ketuhanan dan juga lambang   diri rohani manusia. Sedangkan  puncak bukit adalah lambang pencapaian tertinggi di jalan kerohanian, yaitu qurb, kekariban  dan kedekatan dengan Tuhan  (Schimmel 198:421).
Berikut adalah ikat-ikatan XIV (MS Jak. Mal. 83) sebagaimana yang dimaksud:
Thayr al-`uryan unggas  sulthani
Bangsanya nur al-rahmani
Tasbihnya Allah `Subhani’
Gila dan mabuk akan rabbani
Unggas  itu terlalu  pingai
Warnanya sempurna  bisai
Rumahnya tiada berbidai
Duduknya da’im di balik tirai
Awwalnya bernama ruhi
Millatnya terlalu  sufi
Tubuhnya terlalu  suci
Mushafnya besar suratnya  kufi
Arasy Allah akan pangkalannya
Habib Allah akan taulannya
Bayt Allah akan sangkarannya
Menghadap  Tuhan dengan  sopannya
Sufinya bukannya  kain
Fi al-Makkah da’im bermain
`Ilmunya  zahir dan batin
Menyembah Allah terlalu  rajin
Kitab Allah dipersandangnya
Ghayb Allah akan tandangnya
`Alam Lahut akan kandangnya
Pada da’irah Hu tempat  pandangnya
Dzikr Allah kiri-kanannya
Fikr Allah rupa badannya
Syurbat tawhid akan minumannya
Da’im bertemu dengan  Tuhannya
Suluhnya  terlalu  terang
Harinya tiada berpetang
Jalannya terlalu  henang
Barang  mendapat dia terlalu  menang
`Ilmunya  `ilmu yang pertama
Madzhabnya madzhab ternama
Cahayanya cahaya  yang lama
Ke dalam surga  bersama-sama
Ingat-ingat  hai anak dagang
Nafsumu  itu lawan berperang
Anggamu  jadikan sarang
Citamu satu jangan  bercawang
Siang hari hendaknya kau sha’im
Malam hari yogya kau qa’im
Kurangkan makan lagi dan na’im
Nafdan itsbat jangan  kau padam
Tuhan kita yang (em)punya `alam
Menimbul(kan) Hamzah yang sudah  karam
`Isyqi-nya jangan  kau padam
Supaya  washil dengan  laut dalam
(Catatan kata-kata Arab dan Melayu Lama: Nur al-rahmani = Cahaya Yang Rahman;Subhani = Maha Terpuji Aku (Bayazid al-Bisthami); pingai = cemerlang keemasan; bisai = elok, anggun; bidai = tirai penutup pintu dari rotan; da’im = selalu;  ruhi = roh; millat = aliran agama;  mushhaf =  musyaf al-Qur’an;  habib Allah = kekasih Tuhan; bayt Allah = rumah Tuhan; Fi al- Makkah = di negeri Mekkah;  `Alam lahut = alam ketuhanan;da`irah Hu =lingkaran Dia; syurbat tawhid = minuman  tauhid;  sha’im = berpuasa;qa’im = salat, maksudnya salat tahajjud;  nafi itsbat = meniadakan dan mengiyakan,  merujuk pada kalimat La ilaha illa Allah`isyqi = cinta ilahi; washil =hampir, menyatu, maksudnya menyatu dengan lautan hakikat wujud).
Perkataan “Cahayanya cahaya yang lama” dapat dirujuk pada konsep  Nur Muhammad atau haqiqat al-Muhammadiyah, yaitu lambang  hakikat sejati diri manusia,  pertama-tama sebagai makhluk kerohanian dan kedua sebagai khalifah Tuhan di atas bumi dan sekaligus  hamba-Nya. Adapun perkataan “ilmunya `ilmu yang pertama“ dapat dirujuk pada konsep sufi tentang  pengetahuan primordial yang diperoleh manusia ketika masih berupa  roh dan belum diturunkan  sebagai makhluk jasmani  (Hari Alastu), sebagaimana dinyatakan al-Qur’an 7: 172: “A-lastu bi rabbikum? Qalu bala syahidna”, artinya “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, aku bersaksi.” Ini merupakan pengakuan tauhid yang pertama. Dalam sajaknya  penyair menyebut  Tauhid sebagai “suluh yang terang” dan “jalan yang henang”.
Halangan  terbesar dalam mencapai makna terdalam  tauhid ialah hawa nafsu. Oleh sebab itu penyair menyatakan agar hawa nafsu dijadikan sebagai lawan berperang. Memerangi hawa nafsu disebut  mujahadah atau jihad besar. Cara memeranginya ialah dengan  memperbanyak ibadah dan melakukan penyucian diri di jalan agama.
Tema pencarian diri dalam  syair ini dapat dihubungkan tema yang sama dalam sajaknya  yang lain:
Ketahui hai anak Adam
Engkaulah  haqiqat `alam
Isyqi-mu jangan  kau padam
Supaya  dapat  berpayung  iram
Campurkan  yang empat  alam
Hancurkan  di laut dalam
Syari’at Nabi yang khatam
Kerjakan da’im siang dan malam
“Payung iram” ialah payung kehormatan raja-raja. Sang Sufi hendak menyatakan bahwa jalan cinta (`isyq) akan membawa seorang  ahli suluk mencapai hakikat dirinya dan dengan demikian mengenal kemuliaan dirinya sebagai hakikat ciptaan. Ini bisa dirujuk pada pendapat Rumi yang menyatakan bahwa “Cinta merupakan cara paling tinggi dalam mencapai pengetahuan hakikat, sebab cintalah yang membawa pencinta menyeberangi keraguan  menuju kepastian (haqq al-yaqin) dan menembus rupa lahir menuju hakikat yang batin” (Reza Arasteh 1984:80).
Empat alam adalah empat anasir  jasmani  manusia,  yaitu tanah, air, api dan udara. Di jalan cinta empat unsur jasmani  ini dilebur dalam lautan wujud kerohanian. Dengan demikian ia menjadi bagian utuh dari kepribadian kita. Menurut para sufi semakin  seseorang itu  mencintai  Tuhan, maka semakin  taat pula dia menjalankan perintah-Nya.  Misalnya sebagaimana dinyatakan sufi abad ke-8 M, Rabi’ah al-Adawiyah, “Cinta adalah landasan ketaatan kepada Tuhan” ( S. H. Nadeem 1979:18—9).
Memang, cinta dan pencarian diri—dua gagasan yang saling berkaitan—merupakan tema penting dalam syair-syair  Hamzah Fansuri. Luluhnya diri jasmani (nafsu lahir) ke dalamdiri rohani, merupakan tanda bahwa seorang  ahli suluk telah mengenal hakikat dirinya. Pencapaian semacam itu disebut  juga fana’ (hapus), dan sering disamakan dengan persatuan mistik (unio-mystika), yaitu menetapnya perasaan bersatu  seorang  `asyiqterhadap sang Mahbub di dalam batinnya. Hamzah Fansuri  menyatakan dengan ungkapan  lain dalam Ikat-ikatan XXVI  MS Jak. Mal. 83:
Hamzah Syahr Nawi terlalu  hapus
Seperti  kayu sekalian  hangus
Asalnya laut tiada berarus
Menjadi kapur di dalam  barus
Diri jasmani ditamsilkan  sebagai batang kayu, kehangusannya melambangkan kefanaannya, sedangkan kapur (kamfer) yang merupakan substansi kayu barus  melambangkan diri rohani, hakikat yang tersembunyi di dalam diri jasmani.
Anak Dagang, Perahu dan Laut
Tamsil anak dagang sangat banyak dijumpai dalam sajak-sajak Hamzah Fansuri. Ia terutama berfungsi sebagai penanda kepengarangan atau kesufian. Sebagai penanda ia sering dipertukarkan dengan penanda lain seperti faqir dan anak jamu (orang yang bertamu).  Alangkah serasinya apabila penanda ini dihubungkan dengan citraan simbolik perahu dan kapal serta  laut. Pemakaian tamsil anak dagang dan faqir, diambil  dari al-Qur’an dan Hadis. Di samping  itu ia memiliki konteks sejarah, khususnya dengan  penyebaran agama  Islam dan pembentukan kebudayaannya di Nusantara.
Sebagaimana telah diketahui, agama  Islam tersebar dan berkembang pesat  di Asia Tenggara  bersamaan dengan pesatnya kegiatan  perdagangan antar- pulau dan benua, terutama sejak abad ke-13M setelah berdirinya  kerajaan   Samudra Pasai  pada 1272 M. Pada mulanya kegiatan tersebut hanya melibatkan  pedagang-pedagang Muslim Arab dan Persia, tetapi kemudian melibatkan  pula banyak pedagang Nusantara yang telah memeluk  agama  Islam. Sejak itu berdagang atau merantau jauh dari kampung halaman untuk melakukan urusan dunia, menjadi “budaya” orang Islam Nusantara dari Aceh sampai Makassar,  dari Banten sampai  Ternate, dari Malaka sampai Madura dan dari Padang dan Kalimantan sampai  pesisir  Jawa.
Kata dagang memang  berarti  merantau dan menjadi orang asing di sebuah negeri. Ia diterjemahkan dari kata Arab gharib (asing) dan selalu  dirujuk pada Hadis, yang bunyinya, “Kun fi al-dunya ka’annaka gharibun aw ‘abiru sabilin wa `udhdhnafsahu min ashabi al-qubur” (“Jadilah orang asing atau dagang di dunia ini, singgahlah sementara dalam perjalananmu, dan ingatlah akan azhab kubur.”) Dalam syairnya Hamzah Fansuri  menulis:
Hadis ini daripada Nabi al-Habib
Qala kun fi al-dunya ka’annaka gharib
Barang  siapa  da’im kepada  dunia qarib
Manakan dapat  menjadi  habib
(Ik. VIII, MS Jak. Mal. 83)
Kekasih Tuhan dipertentangkan dengan orang yang mencintai  dunia secara berlebihan. Dagang atau faqir sejati menurut penyair ialah dia yang karib dengan Tuhannya dan asing serta  tak merasa terpaut pada dunia. Kata gharib, yang oleh penulis Melayu diterjemahkan menjadi dagang, berarti  “Orang atau diri yang asing terhadap dunia” (al-Attas 1971:8), yaitu seorang  ahli suluk yang menyadari  bahwa di dunia ini ia adalah orang asing yang pergi merantau dan singgah sementara untuk mengumpulkan bekal. Kampung halamannya yang sejati bukan di dunia ini. Imam al-Ghazali dalam Kimiya-i Sa`adah mengatakan: “Dunia ini adalah sebuah pentas atau pasar yang disinggahi oleh para musafir  dalam perjalanannya menuju ke negeri lain. Di sini mereka  membekali  diri dengan berbagai bekal agar supaya tujuan perjalanan tercapai” (Mohammad Bagir 1984:39).
Dalam kaitan ini Hamzah Fansuri  menulis:
Pada dunia nin jangan  kau amin
Lenyap pergi seperti angin
Kuntu kanzan tempat  yang batin
Di sana  da’im yogya kau sakin
Lemak manis  terlalu  nyaman
Oleh nafsumu  engkau tertawan
Sakarat al-mawt sukarnya  jalan
Lenyap di sana  berkawan-kawan
Hidup dalam dunia upama  dagang
Datang musim kita ’kan pulang
La tasta’khiruna sa’atan lagi kan datang
Mencari ma`rifat Allah jangan  alang-alang
(Ik. XX , MS. Jak. Mal. 83)
Catatan: La tasta’khiruna sa`atan (Q 34:30) = tak dapat ditunda waktunya. Di lihat dari sudut agama  anak dagang diberi arti positif oleh penyair. Ia adalah orang yang menyadari  secara  mendalam bahwa realitas sebenarnya kehidupan  tidak berada  di alam fenomena  yang senantiasa berubah, melainkan di dalam Tuhan yang kekal. Tanda anak dagang sejati ialah cinta dan penyerahannya yang penuh kepada Tuhan, dan keyakinannya yang teguh terhadap ikhtiar dirinya dalam mengatasi segala kesukaran hidup.
Sama dengan gagasan dagang adalah gagasan faqir. Dalam tasawuf ia diartikan sebagai pribadi yang tidak lagi terpaut pada dunia. Keterpautannya semata-mata pada Tuhan. Ada dua ayat al-Qur’an yang dijadikan rujukan, yaitu Q 2:268 dan Q 35—15. Dalam Q 2:268, dinyatakan lebih kurang, “Setan mengancammu dengan ketiadaan milik (al-faqr) dan menyuruhmu melakukan  perbuatan keji. Tetapi Allah menjanjikan ampunan dan karunia kepadamu dari-Nya sendiri dan Allah mahaluas pengetahuan-Nya.” Adapun dalam Q 35:15  dinyatakan, “Hai manusia! Kamulah yang memerlukan (fuqara’) Allah. Sedangkan  Allah, Dialah yang maha kaya lagi maha terpuji.” (Yusuf Ali 1983: 109 dan 1157—8).
Ibn `Arabi, sufi abad ke-12 dari Andalusia, mengatakan bahwa karena Tuhan mahakaya dan maha-mencukupi (al-ghani), Dia tidak tergantung pada siapa pun. Sebaliknya manusia yang pada hakikatnya tidak memiliki apa-apa (al-faqr), maka dia memerlukan(fuqara’) Tuhan. Keberadaan manusia,  menurut tafsir ayat ini, tidak pernah  bebas  dari kewujudan Tuhan. Maka perkataan faqir kemudian  diartikan kepada seseorang yang benar-benar terpaut kepada Tuhan, sebagai ganti dari ketidakterpautannya pada dunia ( Dar 1977:61).
Mengikuti pengertian ini Hamzah Fansuri  menyatakan bahwa faqir yang sejati ialah Nabi Muhammad s.a.w.  Dalam seluruh  aspek  kehidupannya beliau benar-benar hanya tergantung kepada Tuhan. Ini ditunjukkan pada keteguhan imannya. Kata sang penyair:
Rasul  Allah itulah yang tiada berlawan
Meninggalkan tha’am (tamak) sungguh  pun makan
‘Uzlat dan tunggal  di dalam kawan
Olehnya duduk waktu berjalan
(Ik. V, MS Jak. Mal. 83)
Perkataan ”`Uzlat dan tunggal di dalam kawan” dapat ditafsirkan bahwa, walaupun  Nabi Muhammad s.a.w. seorang  yang gemar  berzuhud, tetapi beliau tidak meninggalkan kewajibannya dalam kegiatan sosial. Sedangkan  perkataan “Olehnya duduk waktu berjalan”  dapat ditafsirkan  bahwa walaupun  hatinya hanya terpaut pada Tuhan, beliau tetap aktif mengerjakan urusan dunia dengan penuh kesungguhan dan pengabdian. Kata “duduk”, yaitu tidak bergerak atau berjalan,  dapat ditafsirkan  bahwa keyakinannya kepada Allah s.w.t sangat teguh. Jika ditafsirkan  demikian maka gagasan faqir tidak dapat disamakan dengan asketisme pasif dan eskapisme.
Dalam kaitan ini penyair menyatakan dalam syairnya:
Dunia nin jangan  kau taruh-taruh
Supaya  dekat mahbub  yang jauh
Indah sekali akan galuh-galuh
Ke dalam api pergi berlabuh
Hamzah  miskin hina dan karam
Bermain  mata  dengan  Rabb al-‘Alam
Selamnya sangat terlalu  dalam
Seperti mayat sudah  tertanam
(Ik. II MS Jak. Mal. 83)
Seorang faqir diumpamakan sebagai galuh-galuh, serangga seperti laron, yang selalu terpikat pada cahaya dan berani mengorbankan dirinya dalam api karena keinginannya bersatu  atau mendekatkan (qurb) diri dengan cahaya. Para penyair sufi tidak henti-hentinya menggunakan citraan simbolik ini, karena seorang  faqir adalah seorang  yang berani mengurbankan diri untuk bersatu  dengan Cahaya Yang Satu.
Anak dagang juga digambarkan sebagai anak mu’alim yang tahu jalan. Cintanya yang mendalam dan imannya yang teguh, memberinya pula pengetahuan diri yang mendalam. Hamzah Fansuri  menulis:
Kenali dirimu hai anak dagang
Jadikan  markab (kapal) tempat  berpulang
Kemudi tinggal jangan  kau goyang
Supaya  dapat  dekat kau pulang
Fawq al-markab (di geladak  kapal) yogya kau jalis(duduk)
Sauhmu da’im baikkan habis
Rubing syari`at yogya kau labis
Supaya  jangan  markabmu palis
Jika hendak  engkau menjeling  sawang
Ingat-ingat  akan ujung karang
Jabat kemudi jangan  kau mamang
Supaya  betul ke bandar  kau datang
Anak mu`allim  tahu akan jalan
Da’im berjalan  di laut nyaman
Markabmu tiada berpapan
Olehnya itu tiada berlawan
(Ik.  XVIII, MS Jak. Mal. 83)
Dalam syairnya yang lain (ikat-ikatan XVII) tamsil anak dagang diganti anak jamu:
Dengarkan  hai anak jamu
Unggas  itu sekalian  kamu
`Ilmunya  yogya kau ramu
Supaya  jadi mulia adamu
Selanjutnya dalam ikat-ikatan tersebut anak jamu diumpamakan sebagai unggas yang tinggal dalam kandang  syariat dan memiliki berbagai kelengkapan rohani:
`Ilm al-yaqin nama  `ilmunya
`Ayn al-yaqin hasil tahunya
Haqq al-yaqin akan lakunya
Muhammad nabi asal  gurunya
Syari`at  akan tirainya
Tariqat akan bidainya
Haqiqat  akan ripainya (ripinya)
Ma`rifat akan isainya (isinya)
Jelaslah bahwa yang dimaksud faqir oleh penyair bukanlah  orang miskin biasa dalam artian papa dan menderita, serta  tak berpengetahuan. Ibn Abu `Ishaq al-Kalabadhi, sufi abad ke-11 M, dalam bukunya al-Ta`arruf li Madzzhabi ahl al-Tashawwuf mengatakan, “Ibn al-Jalla mengatakan, ‘Kefaqiran ialah bahwa tiada sesuatu pun yang menjadi milikmu, atau jika memang ada sesuatu, itu tidak boleh menjadi milikmu.’ Perkataan ini mengandung arti yang sama dengan firman Tuhan, ‘Sedangkan mereka lebih mengutamakan kepentingan orang banyak, dibanding semata-mata kepentingan mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesukaran’” (Arberry 1976:118).
Sedangkan Ali Utsman al-Hujwiri dalam Kasyf al-Mahjub, mengatakan dengan mengutip seorang sufi, “Laysa al-faqr man khala min al-zad, inna-ma alfaqr man khala min al-murad, yakni “Faqir bukan orang yang tak punya rezeki/penghasilan, melainkan yang pembawaan dirinya hampa dari nafsu rendah.” Dia juga mengutip Syekh Ruwaym, “Min na`t al-faqr hifzzhu sirrihi wa syanatu nafsihi wa ada’u fazi dhatihi’,yakni “Ciri faqir ialah hatinya terlindung dari kepentingan diri, dan jiwanya terjaga  dari kecemaran serta tetap melaksanakan kewajiban agama.” (Nicholson 1982:35).
Dalam ikat-ikatan XIX Hamzah Fansuri menggambarkan bahwa seorangfaqir merupakan pribadi yang elok sebab telah memfanakan seluruh  potensi dirinya (akal, rasa, diri jasmani, nyawa) ke dalam tujuan spiritual  kehidupan.
Sidang  faqir empunya  kata
Tuhanmu zahir terlalu  nyata
Jika sungguh  engkau bermata
Lihatlah  dirimu rata-rata
Kekasihmu zahir terlalu  terang
Pada kedua `alam  nyata terbentang
Ahl al-Ma`rifa  terlalu  menang
Washilnya da’im tiada berselang
Hapuskan  `aqal  dan rasamu
Lenyapkan badan  dan nyawamu
Pejamkan hendak kedua matamu
Sana kau lihat permai rupamu
Adamu itu yogya kau serang
Supaya  dapat  negeri  yang henang
Seperti `Ali tatkala  perang
Melepas  Duldul tiada berkekang
Hamzah  miskin orang`uryani
Seperti Isma`il  jadi qurbani
Bukannya `Ajami lagi `Arabi
Nentiasa washil  dengan  Yang Baqi
`Uryan arti harfiahnya ialah telanjang,  maksudnya orang yang hatinya tulus. Dalam bait tersebut Hamzah Fansuri  menyamakan faqir dengan pribadi Nabi Ismail a.s. yang sedia mengurbankan nyawa dan dirinya dalam memenuhi perintah  Tuhan. Seorang faqir adalah pribadi universal yang tidak terikat lagi oleh warna kulit, ras dan kebangsaan.
Sejak lama telah muncul anggapan luas bahwa tasawuf atau tarekat yang diajarkan Hamzah Fansuri  mengabaikan syariat. Namun dalam beberapa bait syairnya Hamzah Fansuri  justru menekankan betapa pentingnya  syariat. Sebagai  contoh dalam bait berikut:
Syari`at  Muhammad  terlalu  `amiq (dalam)
Cahayanya terang  di negeri  Bayt al-`athiq 
Tandanya  ghalib sempurna thariq (jalan)
Banyaklah kafir menjadi  rafiq (kawan)
Bayt al-`athiq itulah bernama Ka`bah
`Ibadadi dalamnya  tiada berhelah
Tempatnya ma`lum  di tanah  Mekkah
Akan qiblat Islam menyembah Allah
(Ik. IV MS Jak. Mal 83)
Dikatakan bahwa syari`at mengandung makna yang dalam dan di dalamnya  membentang jalan yang sempurna menuju Tuhan. Bahkan menurut para sufi syari`atitu merupakan jalan besar, sedang tariqat merupakan lorong kecil (Tirmingham 1973, 5).
Pengaruh Puisi Sufi
Sebagai  penyair besar dan pencetus syair, Hamzah Fansuri tidak hanya mempengaruhi perkembangan sastra Melayu abad ke-17 dan 18 M, tetapi juga sesudahnya. Syair, sebagai bentuk puisi empat baris berpola  bunyi akhir a-a-a-a, sangat digemari  oleh penulis Nusantara sampai abad ke-20. Penanda kepenyairan faqir, dagang dan sejenis juga berkembang menjadi konvensi sastra Melayu. Bahkan penanda ini tidak hanya dipakai dalam penulisan syair tasawuf dan keagamaan, tetapi juga dalam syair hikayat, kisah pelipur lara dan penulisan  karya bercorak  sejarah. Sebagai contoh ialah bagian permulaan Syair Perang Makassar, yang ditulis oleh Encik Amin pada akhir abad ke-17 seusai perang tersebut:
Mohonkan ampun  gharib yang faqir
Menyatakan asma di dalam syair
Maka patik pun berbuat sindir
Kepada negeri asing supaya lahir
(Skinner  1963:26—7)
Tetapi berbeda dengan penggunaannya dalam syair-syair Hamzah Fansuri yang memperlihatkan kepercayaan diri yang kuat dan penuh percaya diri, dalam syair-syair sesudahnya penggunaan tersebut cenderung disertai nada iba dan getir, serta rasa kurang percaya diri (Koster 1993:93). Misalnya dalam Syair Negeri Mekah dan Medina (anonim):
Amma ba`du inilah nazam
Tiadalah  faqir berpanjang kalam
Hati yang safi menjadi  kelam
Sebab  bercinta  siang dan malam
Inilah nazam  faqir yang gharib
Dalam percintaan dibawa  nasib
(Ibi95).
Nada mengiba juga terlihat  dalam bait-bait permulaan Syair Dagang, karangan seorang  penulis abad ke-17 yang berasal dari Minangkabau:
Kita di dunia hendaklah jaga
Inilah negeri  tempat  berniaga
Carilah dagangan yang banyak harga
Barang  yang laku di negeri  surga
Seperti dagang  kita di dunya
Utang piutang miskin dan kaya
Tatkala di akhirat  negeri  yang kaya
Di sinilah tempat  menerima dia
Sementara nyawa  belumlah  hilang
Carilah dagangan jangan  kepalang
Itulah mudik dibawa pulang
Ke dalam akhirat  negeri  yang tenang
(Abdul Hadi W.M. 2001:182)
Bandingkan bait-bait dalam syair Hamzah Fansuri  yang menunjukkan  kepercayaan diri yang besar dari penulisnya:
Hamzah  Fansuri  anak dagang
Da’im bersuhbat dengan  hulubalang
Penuh  dan pepak tahu berperang
Barang  kerjanya  jangan  kau larang
(Ik.  XXIX, MS Jak. Mal. 83)
Perubahan nada pada pengucapan penanda anak dagangmemperlihatkan adanya pergeseran peranan pengarang atau penyair pada akhir abad ke-17 M, khususnya sejak para sufi mengalami tekanan karena ajaran mereka dianggap berseberangan dengan faham para fuqaha’ (ahli fiqih). Pada masa Hamzah Fansuri seorang penulis dan ahli tasawuf memiliki kebebasan cukup besar, sebab bisa menjadi pemimpin yang mandiri dalam lingkungan masyarakat luas. Tetapi sesudah itu para penulis Melayu tergantung kepada para pelindungnya, raja atau bangsawan. Dengan adanya perubahan itu pula maka penekanan terhadap individualitas dalam penulisan karya sastra, sebagaimana telah dirintis Hamzah Fansuri  pada abad ke-16 dan murid-muridnya pada abad ke-17 M, menjadi berkurang. Hal ini kentara dengan jarangnya  penyair Melayu pada abad ke-18 mencantumkan nama diri dan takhallus-nya dalam syair-syair yang mereka karang.
Namun pengaruh jejak kepenyairan Hamzah Fansuri berlanjut hingga abad ke-20, khususnya pada beberapa karya penyair Pujangga Baru seperti Sanusi Pane dan Amir Hamzah. Dengan munculnya kedua penyair ini individualitas kembali ditekankan, sebab bagi Pujangga Baru “Mengarang adalah mengungkapkan gerakan sukma” (Teeuw 1994). Meskipun tidak semua  sajak Sanusi Pane memiliki afinitas dengan karya penyair Melayu klasik, namun sajaknya  ”Dibawa Gelombang”  (Madah Kelana, hlm. 16) akan mengingatkan pembaca pada syair Hamzah Fansuri yang juga menggunakan tamsil perahu:
Alun membawa bidukku pelahan
Dalam kesunyian malam waktu
Tidak berpawang tidak berkawan
Entah kemana aku tak tahu
Jauh di atas bintang kemilau
Seperti sudah berabad-abad
Dengan damai mereka meninjau
Kehidupan bumi yang kecil amat
Aku bernyanyi dengan suara
Seperti bisikan angin di daun
Suaraku hilang dalam udara
Dalam laut yang beralun-alun
Memang pola bunyi akhir sajak tersebut a-b-a-b  seperti pantun, namun puitikanya adalah puitika syair. Bandingkan dengan bait-bait syair Hamzah Fansuri yang menggunakan tamsil perahu:
Jika hendak engkau menjeling sawang
Ingat-ingat akan ujung karang
Jabat kemudi jangan kau mamang
Supaya betul ke bandar datang
Anak mu`allim tahu akan jalan
Da’im berlayar di laut nyaman
Markabmu tiada berpapan
Olehnya itu tiada berlawan
(Ik. XVIII MS, Jak. Mal. 83)
Lebih menonjol lagi, tentu saja pengaruh puisi sufi Melayu terhadap  Amir Hamzah, terutama tamsil-tamsil dan estetika sufistiknya. Di sini akan ditunjukkan salah satu contoh syair Melayu yang menggunakan citraan simbolik wayang karangan penyair abad ke-17 Abdul Jamal dan membandingkannya dengan sajak “Sebab Dikau” karangan penyair abad ke-20 Amir Hamzah. Abdul Jamal, murid Hamzah Fansuri yang tarkemuka, menulis:
Wahdatitulah bernama bayang-bayang
Di sana nyata wayang dan dalang
Mahbub-nya lingkup pada sekalian padang
Musyahadahdi sana jangan kepalang
(Doorenbos 1933:71)
Dalam ”Sebab Dikau” Amir Hamzah juga menulis dengan tamsil yang mirip:
Maka merupa di datar layar
Wayang warna menayang rasa
Kalbu rindu turut menurut
Dua suka esa–mesra–
Aku boneka  engkau boneka
Penghibur dalang  mengatur tembang
Di layar kembang  bertukar  pandang
Hanya selagu, sepanjang dendang
(Teeuw 1979:99)
Dari uraian yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa Hamzah Fansuri adalah penyair Melayu klasik yang sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan puisi Melayu dan besar pula jasanya bagi pertumbuhan bahasa serta kebudayaan Melayu.

Abdul Hadi W.M. adalah penyair dan pengajar di Program Studi Falsafah  dan Agama Universitas Paramadina, Jakarta. Buku puisinya antara lain Tergantung  pada Angin (1982) dan Madura, Luang Prabhang (2006), sementara buku esainya, antara lain,Tasawuf yang Tertindas  (2001) dan Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik(1999).
*Makalah ini dibentangkan dalam Siri Kuliah Umum “Islam dan Mistisisme Nusantara” di Komunitas Salihara, 21 Julai 2012. Diterbitkan dengan izin daripada Komunitas Salihara

Nota Hujung:
[1]^ (ke atas) Di antara kajian yang penting tentu  saja ialah disertasi J. Doorenbos De Geschriften van Hamzah Pantsoeri (1933); thesis  Seyyed  M. Naguib al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri (1970); penelitian bersama G. W. J. Drewes & L. Brakel.Poems of Hamzah Fansuri (1986)Juga karangan L. Brakel seperti “Hamza Fansuri: Notes on Yoga Practice, Lahir dan Zahir, the Taxallos, a difficult passage in the Kitab al-Muntahi, Hamza’s likely place of birth and Hamza’s imagery” (JMBRAS vol. 52/1-1963:73—98). Karangan-karangan V.I. Braginsky seperti ”Once More on the Origin of Syair”  (Majalah Ilmu-ilmu Humaniora. UGM Yogya, Maret 1991); ”Puisi Sufi: Perintis Jalan: Analisis Syair-syair Hamzah Fansuri  tentang  Kekasih, Anggur dan Laut” (Ceramah Sudut Penulis di Dewan Bahasa dan Pustaka,  Kuala Lumpur 27—8 Oktober 1992.
[2]^ (ke atas) Nuruddin al-Raniry, ulama dan penulis abad ke-17 M, mengemukakan bahwa Hamzah Fansuri adalah  tokoh pembawa ajaran tasawuf dalalah (sesat),  zindiqdan mulhid (kafir)Sejak itu ajaran Hamzah Fansuri  menjadi sumber perdebatan sengit. Beberapa  sarjana modern  ikut mengkafirkan Hamzah Fansuri, misalnya Windsted (1923), Nieuwenhuijze (1955), Harun Hadiwijono 1975); sedangkan A.H. Johns (1967) menyebut  Hamzah Fansuri  sebagai penganut pantheisme. Yang membela kesufian Hamzah Fansuri  antara lain ialah Seyyed M. Naquib al-Attas (1970), V. I. Braginsky (1992). Lihat Abdul Hadi W.M. Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri (2001:159—60).
[3]^ (ke atas) Di antara peneliti yang menganggap Hamzah Fansuri hidup sampai sekitar 1630—1636 ialah Kraemer 1921), Doorenbos (1933), Winsdtedt (1969), Ali Hasymi (1984, 1986). Lihat Abdul Hadi W. M. Tasawuf Yang Tertindas (2001:118).
[4]^ (ke atas) Dinyatakan dalam bait penutup Ikat-ikatan Syair I (MS Jak.Mal.83):
Hamzah nin `ilmunya zhahir
Ustadhnya Sayyid `Abd al-Qadir
Mahbubnya terlalu hadir
Dengan dirinya ‘nantiasa satir
[5]^ (ke atas) Telah ditransliterasi oleh J. Doorenbos (1933), Seyyed M. Naquib al-Attas (1971). Lihat catatan no. 1.
[6]^ (ke atas) Ditransliterasi oleh Edwar Djamaris. Lihat Abdul Hadi W. M. Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi- puisinya. Jakarta: Mizan, 1995.
[7]^ (ke atas) Empat manuskrip itu ialah Cod. Or. Leiden 2016 (31 ikat-ikatan); Cod. Or. Leiden 3372 (15 ikat-ikatan); Cod. Or. Leiden 3374 (8 ikat-ikatan); dan Naskah Jakarta  atau Jak. Mal. 83 (30 ikat-ikatan). Lihat Abdul Hadi W. M. Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri (Jakarta:  Paramadina, 2001:198).
[8]^ (ke atas) Petikan ayat suci itu bukan sekadar tempelan. Ia sering berfungsi sebagai metafora pinjaman untuk memperkuat pernyataan penyair. Kadang-kadang dijadikan landasan utama penciptaan puisi. Tetapi peran terpenting ialah sebagai cahaya atau petunjuk bagi penyair dalam mengungkapkan pengalaman sufistiknya. Kata sang sufi: “Qur’an itu ambilkan dalil/Pada mizan Allah supaya tsaqil/Jikaa kau ambil syari`at akan wakil/ Pada kedua `alam engkaulah jamil” (Ik. IV, MS Jak. Mal. 83) Ikat-ikatan XX terbanyak  memuat potongan  ayat al-Qur’an, diambil dari 12 surat. Lihat Abdul Hadi W. M., “Al-Qur’an  sebagai Cahaya” dalam Tasawuf Yang Tertindas, hlm.  219—227.
[9]^ (ke atas) Takhallunama julukan yang lazim digunakan para penulis Arab dan Persia, khususnya penulis sufi dan khususnya pula sejak abad ke-13 M. Penyair Persia biasa mencantumkan nama diri dan takhallus-nya apabila menulis ghazal, yaitu pada bait terakhir  setiap untaian ghazal-nya. Kata takahllus berasal dari bahasa Arab, dari akar kata kh l, yang artinya ’menjadi bebas’. Berdasarkan hal ini takhalluas digunakan sebagai pembebasan diri. Lihat Henry Blochman, The Prosody of the Persian According to Saifi, Jami and Other Writers. (St. Leonard-Amsterdam: Ad Orienttem Ltd and Philo Press,  1970:91).
[10]^ (ke atas) Mantiq al-Thayr merupakan alegori sufi yang besar pengaruhnya terhadap sastra Islam Persia, Urdu dan Melayu. Burung-burung yang gelisah, lambang  roh manusia yang rindu pada asal usul kerohaniannya, bersidang untuk mencari jalan keluar dari keadaan kacau yang dialami masyarakat burung karena tidak mempunyai  pemimpin. Berdasarkan petunjuk burung Hudhud, akhirnya mereka sepakat  melakukan penerbangan ke puncak gunung Qaf, tempat  Simurgh, raja diraja burung bersemayam. Perjalanan yang sangat sukar itu harus  ditempuh  melalui tujuh wadi atau lembah kerohanian, yaitu lembah talab (pencarian), lembah `isyq (cinta berahi), lembah  ma`rifa, lembah istighna (kepuasan), lembah tawhid, lembah hayrat (ketakjuban), lembah fana, faqir dan baqa’. Dalam penerbangan itu hanya tiga puluh ekor yang sampai  ke tujuan. Mereka heran, bingung dan akhirnya sadar bahwa Simurgh (artinya tiga puluh) tidak lain adalah diri mereka  sendiri. Lihat M. Jawad Shakur (ed.), Manthiq al-Thayr (Tehran:  Kitabfurush-I Tehran, 1962). Juga edisi C. Nott dalam bahasa Indonesia terjemahan Hartoyo Andangjaya, Musyawarah Burung (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983). Pada bagian awal versinya yang asli  terdapat uraian ringkas tentang  Nur Muhammad. Kaitan syair Hamzah Fansuri  dengan karya Fariduddin al-`Aththar dapat dilihat dalam Ikat-ikatan J XXXI, “Astananya di puncak gunung / Jalannya banyak berlurung-lurung / Pada rahmatnya kau minta tulung / Supaya dapat ke dalam tudung.”