Showing posts with label Tokoh islam terkenal. Show all posts
Showing posts with label Tokoh islam terkenal. Show all posts

Abu Yazid al-Bustami


Dalam Konsep FanaBaqa’ dan Ittihad-nya
Pendahuluan
Tasawuf adalah salah satu terma penting dan menarik dalam Islam. Istilah “tasawuf” (sufism), yang telah sangat populer digunakan selama berabad-abad, sarat dengan beraneka ragam arti. Banyak pendapat tentang arti dan maknanya. Ada yang berpendapat, kata Tasawuf berasal dari shafa yang berarti kesucian. Ada yang pendapat lain yang mengatakan, kata itu berasal dari kata kerja bahasa Arab safwe yang berarti orang-orang yang terpilih. Makna ini sering dikutip dalam literatur sufi. Sebagiannya lagi berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shafwe yang berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim awal yang berdiri di baris pertama dalam salat atau dalam perang suci.[1]
Berbicara tentang tasawuf tentunya tidak akan terlepas dari tokoh-tokoh tasawuf itu sendiri yang biasanya dipanggil dengan sufi. Tokoh-tokoh tasawuf masing-masing memiliki gagasan dan ide-ide yang bermacam-macam. Ada yang ajarannya tentang mahabbah (Rabiatul Adawiyah), Ma’rifah (Ghazali), ada pula yang mengajarkan wihdah al-Wujud (Ibnu ‘Arabi) dan lain-lain.
Dalam makalah ini, penulis mencoba mengangkat seorang tokoh sufi, Abu Yazid Al-Bustami dengan ajarannyafana dan baqa’ serta ittihad. Sebagai penyebar dan pembawa ajaran ittihad, fana dan baqa’ dalam tasawuf, Abu Yazid al-Bustami adalah salah satu tokoh yang memberikan warna baru tasawuf dengan statemen-statemenya yang berani tapi menuai kontaversi dari berbagai pihak.[2]
Ittihad sebagai ajaran tasawuf beliau mempunyai arti bahwa tingkatan tasawuf seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Ittihad merupakan suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu.
Fana artinya hilang, hancur, sehingga dapat dipahami bahwa fana merupakan proses menghancurkan diri sebagai seorang sufi agar dapat bersatu dengan Tuhan. Baqa’ artinya tetap, terus hidup. Jadi baqa adalah sifat pengiring proses fana dalam proses untuk mencapai ma’rifah.
Riwayat Hidup Abu Yazid Al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 – 947 M. Nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan memeluk agama Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk berada di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana.[3]  Sejak dalam kandungan ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan.[4] Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kehalalannya. [5]
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari surat Luqman yang berbunyi : “Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemui ibunya. Sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhis setiap panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu menjadi seorang fakih dari Mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam buku. Dalam menjalani kehidupanzuhud selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara digurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yang sedikit sekali. [6]
Abu Yazid Meninggal di Bustham pada tahun 261 H/874 M. Beliau adalah salah seorang Sultan Aulia, yang merupakan salah satu Syech yang ada di silsilah dalam thariqah Sadziliyah, Thariqah Suhrawardiyah dan beberapa thariqah lain.
Syatahat Abu Yazid Al-Bustami
Pengertian Syatahat
Secara kebahasan perkatan syathahat[7] berasal dari kata kerja syathaha yang berarti taharraka, yakni gerak atau tergerak.
Syathahat dalam bahasa Arab berarti gerak, yakni gerak yang  bersumber dari perasaan, ketika menjadi kuat dan meluap, lalu melahirkan ungkapan yang terasa asing kedengarannya.
Syathahat menurut kaum Sufi adalah ungkapan perasaan para sufi yang bergelora, ketika pertama kali memasuki gerbang ilahi.
Menurut Prof DR Abdurrahman Badawi, ada beberapa kondisi emosi dan spiritual para sufi yang mendorongsyathahat:
1. emosi dan spiritual yang sangat begejolak.
2. pengalaman puncak spiritual yang dorong ittihad.
3. Sufi yang mengalami syathahat dalam keadaan sakr (mabuk).
4. di dalam lubuk jiwanya mendengar pesan ilahi untuk ittihad.
5. Semuanya berjalan dalam keadaan Sufi tidak menyadari perasaannya[8]
Adapun pengalaman syathahat seperti yang dialami oleh Abu Yazid al-Busthami yang terkenal dengan ucapan-ucapannya yang nyeleneh (syathhiyyat atau syathahat) yaitu subhani (tak berarti lain kecualisubhanallah) karena ia telah mengalami keluruhan diri kemanusiaannya (fana) dan baqa. Dan contoh darisyathahat adalah seperti yang dialami olehnya.
Beberapa pemikir Islam kontemporer telah berhasil mengumpulkan celotehan mistis (syathahat al-shafiyyah) versi Abu Yazid al-Basthami, di antaranya ‘Abd al-Rahman al-Badawi dan Qasim Muhammad Abbas.Celotehan mistisnya hampir senada dengan al-Hallaj. Karena itu, keduanya dikelompokkan pada golongan sufi yang mengusung ide pantheistik dan menyorong ide peniadaan diri manusia hingga keluar dari batas-batas logisnya. Pada suatu kesempatan al-Basthami berceloteh, Mahasuci diriku, maha agung diriku! Qasim Muhammad Abbas dalam buku, Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah, mengatakan bahwa, Semua ucapan yang dinisbatkan kepadanya mengungkapkan dengan tegas konsep tentang peleburan total dengan sifat ketuhanan.[9] Ia mengatakan bahwa, Apa pun pendapat Abu Yazid semuanya dapat dijelaskan dengan penuh keberanian. Seeprti ia mengatakan ”maha suci diriku, Yang Maha Agung jadilah diriku, betapa besar keagunganku” .  Dan paling menonjol lagi ”aku adalah Tuhan yang paling tinggi”. Sekarangsubhani, Yang Agung jadilah aku, terkesan menghina Tuhan bagi pendengaran orang-orang Muslim.[10]
Abdul al-Wahab al-Sya’rani, seorang sufi kenamaan Mesir, menyadari betul bahwa ujaran aforisma sufistik (syath) tidak bisa didekati secara gegabah dan literalis. Bahasa aforisma tidak muncul dari bahasa yang terkonsepsikan dan tersekematisasikan. Ia adalah anti-tesa dari berpikir identitas. Namun ia adalah bahasa yang hadir meski sejenak untuk mewakili bahasa pengalaman spiritual, yang pada tataran yang lebih dalam, tidak bisa diwakili sepenuhnya. Menjangkau fenomena atau cakrawala yang selalu menjauh, tapi ia hadir di dalam dan bersama diri kita. Karena itu, Abdul al-Wahab al-Syarani menyikapi bahasa aforisma al-Bastami dan para sufi yang lain dengan sebuah takwil. Al-Syarani relatif berhasil dengan takwilnya membuktikan bahwa ujaran-ujaran para sufi, sejenis al-Bustami, tidak keluar dari koredor dan nilai-nilai Syariah Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Salah satu takwilnya adalah ketika ia mentakwil ucapan subhany ”maha suci diriku”[11]
Dan sungguh Abu Yazid Ra., pada satu kesempatan, telah berkata: subhanallah  (maha suci Allah). Tiba-tiba, suara tanpa rupa dari lidah al-Haq berkata: apakah diriku ada aib (cacat) dan kekurangan, sehingga kamu mensucikan diriku darinya? Abu Yazid berkata: tidak, wahai Tuhan. Al-Haq berkata: maka sucikanlah dirimu sendiri. Abu Yazid berkata: diriku telah menerima latihan spiritual (riadlah) sampai bersih dari kekurangan, kemudian kala itu aku berkata: (maha suci diriku).
Abu Yazid al-Bastami mengucapkan  (maha suci diriku) dalam konteks pembersihan dan penyucian diri dari kekurangan dan caat sebagaimana lumrahnya manusia sebagai tempatnya kesalahan dan kelalaian, bukan dalam konteks dimana ia mensakralkan dirinya sejajar dengan Tuhan.
Berikut penulis kutipkan sebagian pendapat al-Basthami, yang telah dikutip Reynold A. Nicholson dari buku klasik Hilyat al-Auliya’; Makhluk adalah subyek dari perubahan keadaan. Tetapi kaum Gnostik tidak memiliki keadaan, karena sisa-sisa tanda kehadirannya ikut musnah, dan esensi dirinya pun lenyap oleh esensi orang lain, bekas-bekas dirinya pun musnah dalam jejak orang lain.
Sudah tiga puluh tahun al-haq (Tuhan) kujadikan cerminku. Dan kini aku menjadi cermin bagi diriku sendiri. Aku adalah aku, dan tidak lebih, sehingga kehadiran ‘Aku dan Tuhan’ hanya akan merusakkan kesatuan (keesaan) Tuhan. Karena itu cukup dengan aku saja, maka al-Haq yang tinggi adalah cermin-Nya. Bahkan lihatlah! al-Haq menjadi cerminku, karena dia berbicara dengan lidahku, sementara aku telah fana.[12]
Pokok-Pokok Ajaran Tasawuf al-Bustami
1. Fana dan Baqa’
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana’ dan baqa’. Dari segi bahasa, fana’ berasal dari kata faniyayang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Dalam hal ini abu bakar Al-Kalabadzi (w. 378 H/988 M) mendefinisikannya : “hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala kegiatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.[13] Pencapaian Abu Yazid ketahap fana’ dicapai setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah.
Perjalanan Abu Yazid dalam menempuh fana itu sebagaimana dijelaskan : “Permulan adanya aku di dalam Wahdaniyat-Nya, aku menjadi burung yang tubuhnya dari Ahdiyat, dan kedua sayapnya daripada daimunah.(Tetap dan kekal). Maka senantiasalah aku terbang di dalam udara kaifiat sepuluh tahun lamanya, sehingga aku dalam udara demikian rupa 100 juga kali. Maka senantiasalah aku terbang dan terbang lagi di dalam medan azal. Maka kelihatanlah ! olehku pohon ahdiyat” (lalu beliau terangkan apa yang dilihatnya pada pohon itu, buminya, dahannya, buahnya dan lain-lainnya.Akhirnya beliau berkata : “Demi sadarlah aku dan tahulah aku bahwasanya : sama sekali itu hanyalah tipuan khayalan belaka”.
Kata-kata yang demikian dinamai oleh syatahat, artinya kata-kata yang penuh khayal, yang tidak dapat dipegangi dan dikenakan hukum.[14] Pada suatu malam ia bermimpi bertemu dengan Tuhan dan bertanya kepada-Nya; Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada-Mu ? Tuhan menjawab: “Tinggalkanlah dirimu dan datanglah”. Peninggalan Abu Yazid adalah menghilangkan kesadaran akan dirinya dan alam sekitarnya untuk dikonsentrasikan kepada Tuhan. Proses ini disebut juga dengan at-Tajrid atau al-fana’ bittauhid.
Ucapan-ucapan Abu Yazid yang menggambarkan bahwa ia telah mencapai al-fana’ antara lain : “Aku kenal pada Tuhan melalui diriku sehingga aku hancur (fanait(u), kemudian aku kienal pada-Nya melalui diri-Nya maka aku hidup (hayait(u).
Kehancuran (fana’) dalam ucapan ini memberikan 2 bentuk pengenalan (Al-Ma’rifat) terhadap Tuhan, yaitu :
a. Pengenalan terhadap Tuhan melalui diri Abu Yazid
b. Pengenalan terhadap Tuhan melalui diri Tuhan.[15]
Di samping itu, Abu Yazid pernah berkata “Pada  suatu  ketika  aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan Ia berkata, Abu Yazid,  makhluk-Ku  ingin  melihat engkau.  Aku  menjawab,  kekasih-Ku,  aku  tak ingin melihat mereka.  Tetapi  jika  itu  kehendak-Mu,  aku  tak   berdaya menentang-Mu.  Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku,  mereka  akan  berkata,  telah  kami lihat  Engkau.  Tetapi  yang  mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena ketika itu aku tak ada di sana.”
Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya  ditolak  Abu  Yazid.  Ia tetap  meminta  bersatu  dengan  Tuhan.  Ini  kelihatan dari kata-katanya, “Hiasilah aku dengan  keesaan-Mu.”  Permintaan Abu   Yazid   dikabulkan  Tuhan  dan  terjadilah  persatuan, sebagaimana  terungkap  dari  kata-kata  berikut  ini,  “Abu Yazid,  semuanya  kecuali  engkau adalah makhluk-Ku.” Akupun berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.”[16]
Dalam  literatur  tasawuf  disebut bahwa dalam ittihad, yang satu memanggil yang lain dengan kata-kata: Ya ana (Hai aku). Hal  ini  juga  dialami  Abu  Yazid, seperti kelihatan dalam ungkapan selanjutnya, “Dialog  pun  terputus,  kata  menjadi satu,  bahkan  seluruhnya  menjadi satu. Maka Ia pun berkata kepadaku, “Hai Engkau, aku menjawab  melalui  diri-Nya  “Hai Aku.”  Ia berkata  kepadaku,  “Engkaulah  Yang  Satu.”  Aku menjawab, “Akulah  Yang  Satu.”  Ia  berkata  lagi,  “Engkau adalah Engkau.” Aku menjawab: “Aku adalah Aku.”
Yang  penting  diperhatikan  dalam  ungkapan  diatas  adalah kata-kata Abu Yazid “Aku menjawab melalui diriNya” (Fa qultu bihi).   Kata-kata  bihi  -melalui  diri-Nya-  menggambarkan bersatunya Abu Yazid  dengan  Tuhan,  rohnya  telah  melebur dalam  diri  Tuhan.  Ia  tidak  ada  lagi, yang ada hanyalah Tuhan. Maka yang mengatakan “Hai Aku Yang  Satu”  bukan  Abu Yazid, tetapi Tuhan melalui Abu Yazid.
Dalam  arti  serupa  inilah  harus  diartikan kata-kata yang diucapkan lidah  sufi  ketika  berada  dalam  ittihad  yaitu kata-kata  yang  pada  lahirnya  mengandung  pengakuan  sufi seolah-olah ia adalah Tuhan. Abu  Yazid,  seusai  sembahyang subuh,  mengeluarkan  kata-kata,  “Maha  Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku, Aku adalah Allah.  Tiada  Allah  selainAku, maka sembahlah Aku.”[17]
Dalam  istilah  sufi,  kata-kata  tersebut  memang diucapkan lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak berarti bahwa ia  mengakui dirinya  Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar, dan sebagaimana dilihat pada  permulaan  makalah  ini,  agar dapat  dekat  kepada  Tuhan, sufi haruslah bersih bukan dari dosa saja, tetapi juga  dari  syubhat.  Maka  dosa  terbesar tersebut  diatas  akan membuat Abu Yazid jauh dari Tuhan dan tak dapat bersatu dengan Dia. Maka  dalam  pengertian  sufi, kata-kata  diatas  betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengan kata lain, Tuhanlah  yang  mengaku  diri-Nya  Allah  melalui lidah  Abu  Yazid. Karena itu dia pun mengatakan, “Pergilah, tidak ada di rumah ini selain  Allah  Yang  Maha  Kuasa.  Di dalam jubah ini tidak ada selain Allah.” Yang  mengucapkan  kata-kata  itu  memang  lidah  Abu Yazid, tetapi itu tidak mengandung pengakuan  Abu  Yazid  bahwa  ia adalah  Tuhan.  Itu  adalah  kata-kata  Tuhan yang diucapkan melalui lidah Abu Yazid.
Adapun baqa’ berasal dari kata baqiya. Arti dari segi bahasa adalah tetap. Sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Paham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan pahamfana’ karena keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa’.[18]
 2.  Ittihad
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi tahapan fana dan baqa’.Hanya saja dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan.apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa ataukah ajaran ini sangat sulit dipraktekkan merupakan pertanyaan yang sangat baik untuk dianalisis lebih lanjut. Namun, menurut Harun Nasution uraian tentang ittihad banyak terdapat di dalam buku karangan orientalis.[19]
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya.[20]   Dalam ittihad identitas telah hilang dan identitas menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena fana nyatak mempunyai kesadaran lagidan berbicara dengan nama Tuhan.[21]
Al-Bustami dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan ajaran fana dan baqa’ untuk mencapai ittihaddengan Tuhan.[22] Pengalaman kedekatan Abu Yazid dengan Tuhan hingga mencapai ittihad disampaikannya dalam ungkapan “pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan, lalu Ia berkata: “Abu Yazid, makhluk-makhluk-Ku sangat ingin memandangmu. Aku menjawab: “Kekasihku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, maka aku tak berdaya untuk menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-makhluk-Mu memandangku, mereka akan berkata: Kami telah melihat-Mu. Engkaulah itu yang mereka lihat, dan aku tidak berada di hadapan mereka itu.[23]
Pengalaman ittihad ini ditonjolkan oleh Abu Yazid antara lain Bustami. Ucapan-ucapan yang ditinggalkannya menunjukkan bahwa untuk mencapai ittihad diperlukan usaha yang keras dan waktu yang lama. Seseorang pernah bertanya kepada Abu Yazid tentang perjuangannya untuk mencapai ittihad. Ia menjawab, “Tiga tahun,” sedang umurnya waktu itu telah lebih dari tujuh puluh tahun. Ia ingin mengatakan bahwa dalam usia tujuh puluh tahunlah ia baru sampai ke stasiun ittihad.[24]
Sebelum sampai ke ittihad, seorang sufi harus terlebih dahulu mengalami fana’ dan baqa’. Yang dimaksud dengan fana’ adalah hancur sedangkan baqa’ berarti tinggal. Sesuatu didalam diri sufi akan fana atau hancur dan sesuatu yang lain akan baqa atau tinggal. Dalam literatur tasawuf disebutkan, orang yang fana dari kejahatan akan baqa (tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang fana dari maksiat akan baqa (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian, yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbul sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan timbul takwa.[25]
Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih dahulu mengalami al-fana’ ‘an al-nafs, dalam arti lafdzi kehancuran jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada, tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana’ ‘an al-nafs wa al-baqa, bi ‘l-Lah, dengan arti kesadaran tentang diri sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan.[26]
Jadi fana` mengacu kepada pengalaman spiritual seorang sufi,ketika ia tentang diri dan lingkunganya lenyap. Sedangkan baqo`adalah keadaan spiritual seorang sufi ketika hijab antara diriny dengan Allah tersingkap.dandisini terjadi apa yang di namakan dengan mukasyafah (menyaksikan keagungan Allah), musyahadah (mengenalnya secara langsung), ma`rifah (terpesona oleh keindahan wajah Allah hingga merasa kekal bersamanya). Fana` dan baqa` merupakan ahwal bukan maqam jadi datang dan pergi semata karena pemberian Allah.
Puncak pengalaman kesufian al-Bustami dalam ittihad juga tergambar dalam ungkapan berikut :
“Tuhan berkata, Abu Yazid, mereka semua kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Aku pun berkata, aku adalah Engkau. Engkau adalah aku, dan aku adalah Engkau. Terputus munajat. Kata menjadi satu, bahkan semuanya menjadi satu. Tuhan berkata kepadaku, Hai engkau. Aku dengan perantaraan-Nya menjawab, Hai aku. Ia berkata, “Engkaulah yang satu. Aku menjawab, akulah yang satu. Ia berkata, Engkau adalah engkau. Aku menjawab, aku adalah aku.” Dalam ittihad kelihatannya lidah berbicara melalui lisan Al Bustami. Ia tidaklah mengaku dirinya Tuhan, meskipun pada lahirnya ia berkata demikian.”[27]
Suatu ketika seorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari ?” Orang itu menjawab. “Abu Yazid”. Abu Yazid berkata, “Pergilah, di rumahmu ini tidak ada, kecuali Allah Yang Mahakuasa dan Mahatinggi.[28]
Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas kalau diperhatikan secara sepintas memberikan kesan bahwa ia syirik kepada Allah. Karena itu, dalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan dipenjarakan karena ucapannya membingungkan golongan awam.[29] Padahal Abu Yazid tidaklah seorang musrik atau kafir, akan tetapi ia adalah seorang wali Allah.
Penutup
Dari pembahasan di atas, ada beberapa poin yang bisa dijadikan sebagai kesimpulan, yaitu, Abu Yazid Al Bustami seorang tokoh sufi yang sangat zuhud dan dekat kepada Allah, yang mampu mengklai kedekatannya dengan Allah dengan statemen yang menyetarakan dirinya dengan Allah. Pokok-pokok ajaran tasawufnya adalah fana dan baqa’. Fana’ berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf,fana ada kalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Baqa’ berasal dari kata baqiya. Arti dari segi bahasa adalah tetap. Sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Selai itu adalah Ittihad. Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi tahapan fana dan baqa’.
Dalam memahami konsep tasawuf Abu Yazid al-Bustami, apalagi ungkapan-ungkapannya yang menyebabkan banyak orang yang mengklaimnya sebagai kafir, sekiranya perlu dipahami dengan tepat. Artinya, seorang Abu Yazid ketika misalnya mengatakan سبحاني (maha suci aku) tidak bisa dipahami serta-merta bahwa ia adalah tandingan Tuhan, atau mempersekutukan Tuhan. Memahaminya perlu dilakukan dengan pendekatan sufistik, bahwa karena kedekatannya dengan Tuhan seakan-akan tidak ada lagi yang membedakanya dengan Tuhan, akan tetapi ia tetap sebagai hamba.
Demikianlah seorang Abu Yazid al-Bustami menggagas konsep tasawufnya. Walaupun bagi sebagian kalangan dikatakan berlebihan, namun apa yang telah ia capai seperti kesucian dan pengabdian yang tinggi kepada Allah, hendaknya dijadikan cerminan bagi umat Islam untuk tetap menjaga kesucian, dan memperjuangkan kedekatan kepada Allah.

[1]Tentang makna dan arti kata tasawuf, bisa kita dapatkan dalam literature tasawuf Mu’tabar diantaranya adalah Karangan Syekh Abdurrahman As-Sulami yang berjudul al-Muqaddimah fi at-Tawawwuf. Lihat Syekh Abdurrahman As-Sulami, al-Muqaddimah fi at-Tawawwuf, (Beirut: Dar al-Jail) 1999.
[2]Qasim Muhammad Abbas, Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah, (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 hal. 4
[3] Fariduddin Al-’Aththar, Warisan Para Auliya’, Pustaka, Bandung, 1983, hlm. 128.
[4] Kehidupan Abu Yazid yang luar biasa bermula sejak ia masih berada dalam kandungan. “Setiap kali aku menyuap makanan yang kuragukan kehalalannya” , ibunya sering berkata pada Abu Yazid, “engkau yang masih berada didalam rahimku memberontak dan tidak mau berhenti sebelum makanan itu kumuntahkan kembali”. Pernyataan itu dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri. Lihat, Fariduddin Al-’Aththar, Warisan Para Auliya’, Pustaka, Bandung, 1983, hlm. 128
[5] Fariduddin Al-’Aththar, Warisan Para Auliya’, Pustaka, Bandung, 1983, hlm. 129
[6] M.M. syarif, A History of Muslim Philosophy, Otto Harrassowitz, Wiesbaden, 1966, vol.1, hlm. 342.
[7] Syathahat dalam bahasa Arab berarti gerak, yakni gerak yang  bersumber dari perasaan, ketika menjadi kuat dan meluap, lalu melahirkan ungkapan yang terasa asing kedengarannya. Lihat Badawi, Abdurrahman,Syatahat Ash-Shufiyyah, Dar Al Qalam, Beirut. Hal. 24
[8] Badawi, Abdurrahman, Syatahat Ash-Shufiyyah, Dar Al Qalam, Beirut. Hal. 25
[9] Qasim Muhammad Abbas , Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah, (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 hal. 43
[10] Qasim Muhammad Abbas , Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 hal. 41
[11] Qasim Muhammad Abbas , Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 hal. 44
[12] Qasim Muhammad Abbas , Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 hal. 45
[13] Abu Bakar Muhammad Al-Kalabadzi, At-Ta’arruf li Madzhab Ahl at-Tashawwuf, Isa Al-Babi Al-Halabi, 1960, hlm. 147
[14] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993, hlm. 94 – 95.
[15] Van Hoeve, Ensiklopedi Islam, jakarta: PT. Ichtiar Baru, 2001, hlm. 58
[16] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm. 83
[17] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm. 59
[18] Drs. Rosihan Anwar, M.Ag dan Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000, hlm. 132.
[19] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm. 79.
[20] Abdurrahman Badawi, Syatahat Ash-Shufiyyah, Dar Al Qalam, Beirut, hlm. 82
[21] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm. 83
[22] van Hoeve, Enseklopedi Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru, 2001, hlm. 263
[23] Abdurrahman Badawi, Syatahat Ash-Shufiyyah, Dar Al Qalam, Beirut, hlm. 87
[24] Qasim Muhammad Abbas , Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 hal. 51
[25] Qasim Muhammad Abbas , Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 hal. 50
[26] Qasim Muhammad Abbas , Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 hal.52
[27] Enseklopedi Islam, Jakarta: CV. Ahda Utama, 1993, hlm. 263.
[28] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm. 57
[29] Drs. Rosihan Anwar, M.Ag dan Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag, Op. Cit, hlm. 135.


sumber : http://mhannase.wordpress.com/2013/08/23/ajaran-tasawwuf-abu-yazid-al-bustami/

Maulana Syekh Nazim membaca surah Yasin (In Loving Memory Syekh Muhammad Nazim Adil Al-Haqqani)


in Loving Memory 
Syekh Muhammad Nazim Adil Al-Haqqani 
26 Sha'ban 1340 H - 8 Rajab 1425 H 
23 April 1922 - 7 Mei 2014 

Beliau dilahirkan di Larnaka, Siprus, pada hari Ahad, tanggal 23 April 1922 – atau 26 Sya'ban 1340 H. Dari sisi ayah, beliau adalah keturunan Syekh Abdul Qadir Jailani QS, pendiri Tarekat Qadiriah. Dari sisi ibunya, beliau adalah keturunan Jalaluddin Rumi QS, pendiri Tarekat Mawlawiyyah, yang juga merupakan keturunan Hassan AS—Hussein AS, cucu Nabi Muhammad SAW. Selama masa kanak-kanak di Siprus, beliau selalu duduk bersama kakeknya, salah seorang Syekh Tarekat Qadiriah untuk belajar spiritualitas dan disiplin. Tanda-tanda luar biasa telah tampak pada Syekh Nazim QS kecil, tingkah lakunya sempurna. Tidak pernah berselisih dengan siapa pun, beliau selalu tersenyum dan sabar. Kedua kakek dari pihak ayah dan ibunya melatih beliau pada jalan spiritual. 

Semoga Bermanfaat



Legenda Kiyai Alhamdulillah: Mengenang Mbah Kiyai Ahmad Syahid Kemadu

Kyai Ahmad Syahid Sholihun, Kemadu
Kyai Ahmad Syahid Sholihun, Kemadu
Demak tergolong daerah kering. Bahkan air untuk kebutuhan sehari-hari pun bukan perkara mudah. Tidak heran, warga kemudian memanfaatkan kanal irigasi sepanjang tepian jalan raya untuk memenuhi segala kebutuhan mereka akan air. Kalau kau bepergian melewati kawasan itu, akan kau lihat di tepi sebelah Utara jalan orang-orang sibuk dengan bermacam kegiatan di kanal, mulai dari buang hajat sampai dengan mencuci beras sebelum ditanak.
Seusai mengikuti suatu kegiatan Nahdlatul Ulama di Semarang, rombongan kyai Rembang dalam satu mobil dalam perjalanan pulang. Diantara mereka adalah Mbah Kyai Ahmad Syahid bin Sholihun rahimahullah dari Desa Kemadu, Kecamatan Sulang, Kabupaten Rembang.
Melewati wilayah Demak yang jalanannya senantiasa dalam kondisi buruk, mobil itu tak dapat melaju kencang. Tiba-tiba dari dalam air kanal di pinggir jalan itu menyembul sesosok (untungnya!) laki-laki tanpa sehelai benang menempel di tubuhnya. Dengan penuh percaya diri, laki-laki itu mendaki keatas tebing sembari menggenggam erat pusat rasa malunya —seolah-olah jika yang itu tertutup berarti seluruh bagian tubuh sisanya pun tak kelihatan.
Terang saja pemandangan tak senonoh itu menghujam penglihatan para kyai. Lumrah bila beliau-beliau terperanjat bukan kepalang.
“Astaghfirullah!” Kyai Mabrur berseru.
“Maa syaa-allaah!” Kyai Wahab.
“Laa ilaaha illallaah!” Kyai Tamam.
“Subhaanallaah!” Kyai Sahlan.
Dan Mbah Syahid?
“Al… ham… dulillaaaah…”
* * * * *
Selain merupakan dzikir yang dibiasakan, “alhamdulillah” bagi Mbah Syahid adalahkredo. Segala yang terjadi adalah kehendak dan karya Allah: “maa syaa-allaahu kaana wa maa lam yasya lam yakun”. Dan dalam setiap kehendak dan karya-Nya, hanya pujianlah yang patut bagi Allah. Selama saya mengenal Mbah Syahid —ingatan terjauh saya adalah ketika masih kanak-kanak antara 5-6 tahun diajak kakek saya berkunjung ke kediaman beliau dan saya mengejar-ngejar seekor menthog yang oleh Mbah Syahid kemudian dihadiahkan kepada saya— belum pernah saya mendengar beliau nyebutselain “alhamdulillah”.
Ada orang mengabarkan lahir anaknya,
“Alhamdulillah”.
Orang menceritakan laku sapinya,
“Alhamdulillah”.
Orang wadul sakit isterinya,
“Alhamdulillah”.
Orang meninggal bapaknya,
“Alhamdulillah”.
Seolah tak ada dzikir yang patut selain “alhamdulillah”.
Sejauh bentang ingatan saya, entah sejak kapan, Mbah Syahid dijuluki orang “Kyai Alhamdulillah”. Pesantrennya yang tanpa papan nama —dan memang tak pernah diberi nama— disebut-sebut orang “Pesantren Alhamdulillah”.
Hari ini, lima tahun yang lalu, tepat sebelas hari setelah meninggalnya Kyai Kholil Bisri, Mbah Syahid kembali kepada Kekasihnya. Lahumal faatihah….

sumber : http://teronggosong.com/

Imam Muslim (wafat 271 H)

Nama Lengkapnya adalah Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi (Bani Qusyair adalah sebuah kabilah Arab yang cukup dikenal) an-Naisaburi. Seorang imam besar dan penghapal hadits yang ternama. Ia lahir di Naisabur pada tahun 204 H. Para ulama sepakat atas keimamannya dalam hadits dan kedalaman pengetahuan nya tentang periwayatan hadits
Ia mempelajari hadits sejak kecil dan bepergian untuk mencarinya keberbagai kota besar. Di Khurasan ia mendenganr hadits dari Yahya bin Yahya, Ishaq bin Rahawaih dan lain lain. Di Ray ia mendengar dari Muhammad bin Mahran, Abu Ghassan dan lainnya, Di Hijaz ia mendengar hadits dari Sa’id bin Manshur, Abu Mash’ab dan lainnya, Di Iraq ia mendengar dari Ahmad bin Hanbal, Abdullah bin Muslimah dan lainnya, Di Mesir ia mendengar hadits dari Amr bin Sawad, Harmalah bin Yahyah dan beberapa lainnya.
Lantaran hubungan mempelajari hadits al-Bukhary, ia meninggalkan guru gurunya seperti: Muhammad ibn Yahya adz Dzuhaly.
Adapun yang meriwayatkan darinya diantaranya: At Tirmidzi, Abu Hatim, ar Razi, Ahmad bin Salamah, Musa bin Harun, Yahya bin Sha’id, Muhammad bin Mukhallad, Abu Awanah Ya’kub bin Ishaq al Isfira’ini, Muhammad bin Abdul Wahab al-Farra’, Ali bin Husain bin Muhammad bin Sufyan, yang terakhir ini adalah perawi Shahih Muslim.
Banyak sekali ulama hadits memujinya, Ahmad bin Salama berkata:” Abu Zur’ah dan Abu Hatim mendahulukan Muslim atas orang lain dalam bidang mengetahui hadits shahih.”.
Imam Muslim banyak menulis kitab diantaranya:kitab Shahihnya, kitab Al-Ilal, kitab Auham al-Muhadditsin, kitab Man Laisa lahu illa Rawin Wahid, kitab Thabaqat at-Tabi’in, kitab Al Mukhadlramin, kitab Al-Musnad al-Kabir ‘ala Asma’ ar-Rijal dan kitab Al-Jami’ al-Kabir ‘alal abwab.
Bersama Shahih Bukhari, Shahih Muslim merupakan kitab paling shahih sesudah Al-Quran. Umat menyebut kedua kitab shahih tersebut dengan baik. Namun kebanyakan berpendapat bahwa diantara kedua kitabnya, kitab Al-Bukhari lebih Shahih.
Imam Muslim sangat bangga dengan kitab shahihnya, mengingat jerih payah yang ia curahkan ketika mengumpulkannya. Ia meyusunnya dari 300.000 hadits yang ia dengar, oleh karena itu ia berkata:” Andaikata para ahli hadits selama 200 tahun menulis hadits, maka porosnya adalah al-Musnad ini (yakni kitab shahihnya)”.
Ia wafat di Naisabur pada tahun 271 H dalam usia 55 tahun.

Disalin dari Biografi Imam Muslim dalam Tadzkirat al-Huffadh 2/150, Tahdzib al-Asma’ An-Nawawi 10/126

Imam Al-Bukhari (wafat 256)

Nama sebenarnya adalah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim dijuluki dengan Abu Abdillah. Ia lahir di Bukhara pada tahun 194 H. Semua Ulama, baik dari gurunya maupun dari sahabatnya memuji dan mengakui ketinggian ilmunya, Ia seorang Imam yang tidak tercela hapalan haditsnya dan kecermatannya. Ia mulai menghapal hadits ketika umurnya belum mencapai 10 tahun, ia mencatat dari seribu guru lebih, ia hapal 100.000 hadits shahih dan 200.000 hadits tidak shahih.
Dia mengarang kitab besar Al-Jami’ ash Shahih yang merupakan kitab paling shahih sesudah Al-Quran, hadits yang ia dengar sendiri dari gurunya lebih dari 70.000 buah, ia dengan tekun mengumpulkannya selama 16 tahun.a hafiz mempunyai beberapa komentar terhadap sebagian haditsnya, mereka telah melontarkan kritik atas 110 buah diantaranya. Dari 110 hadits itu ditakhtijkan oleh Imam Muslim sebanyak 32 hadits dan oleh dia sendiri sebanyak 78 hadits. Ibnu Hajar al-Asqalani berpendapat bahwa hadits hadits yang dipersoalkan ini “ tidak seluruhnya ber’illat tercela, melainkan kebanyakan jawabannya mengandung kemungkinan dan sedikit dari jawabannya menyimpang”.
Kitab Shahih Bukhari mempunyai banyak syarah yang oleh pengarang kitab Kasyf adh-Dhunun disebutkan 82 syarah diantaranya. Tetapi yang paling utama adalah syarah Ibnu Hajar al-Asqalani yang bernama Fat al-Bari, dan berikutnya syarah Al-Asthalani, kemudian syarah al-Aini Umdat al Qari.
Al Bukhari mempunyai banyak kitab, antara lain At-Tawarikh ats Tsalatsah al-Kabir wal Ausath wash Shaghir (Tiga Tarikh: Besar, sedang, dan Kecil), kitab al-Kuna, Kitab Al-Wuhdan, kitab al-Adab al-Mufrad dan kitab Adl-Dlu’afa dan lain lainnya.
At-Tirmidzi berkata tentangnya:”Saya tidak pernah melihat orang yang dalam hal illat dan rijal, lebih mengerti daripada Al-Bukhari”.
Ibnu Khuzaimah berkata:” Aku tidak melihat dibawah permukaan langit seseorang yang lebih tahu tentang hadits Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wassalam daripada Muhammad bin Ismail Al-Bukhari”.
Muslim bin al Hajjaj pernah datang kepadanya lalu mencium antara kedua matanya, seraya berkata:” Biarkan saya mencium kedua kakimu, wahai guru para guru, pemimpin para ahli hadits dan dokter penyakit hadits.”
Abu Nu’im dan Ahmad ibn Ahmad berkata:” Al-Bukhari adalah faqih (ahli hukum) dari ummat ini.”
Abu Muhammad Abdullah bin Abdurahman Ad-Darimy berkata:”Muhammad ibn Ismail (Bukhari) orang yang tercakap dalam bidang hukum dari antara kami dan lebih banyak mencari hadits.”
Telah dipaparkan dalam pembahasan hadits Maqlub, ketika para ulama baghdad sengaja memutar balikan seratus hadits, lalu Al-Bukhari mengembalikan setiap matan kepada sanad yang sebenarnya dan setiap sanad kepada matannya, sehingga membuat para ulama kagum akan hapalan dan kecermatannya. Dalam rangka meneliti dan menghapal hadits, Al Bukhari tidak segan segan melakukan perjalanan ke Syam, Mesir, Baghdad, Kufah, Jazirah, Hijaz dan Basrah
Al-Bukhari adalah salah seorang dari imam Mujtahid dalam bidang fiqh dan dalam bidang mengistibathkan hukum dari hadits.
Al-Bukhari meriwayatkan hadits bersumber dari Adl-Dlahhak bin Mukhallad Abu Ashim an-Nabil, Makki bin Ibrahim al-Handlali, Ubaidullah bin Musa al-Abbasi, Abdullah Quddus bin al-Hajjaj, Muhammad bin Abdullah al-Anshari dan lain lain.
Sedangkan yang meriwayatkan darinya banyak sekali diantaranya: At-Tirmidzi, Muslim, An-Nasa’I, Ibrahim bin Ishak al-Hurri, Muhammad bin Ahmad ad-Daulabi, dan orang terakhir yang meriwayatkan darinya adalah Manshur bin Muhammad al Bazwadi.
Ia wafat pada tahun 256 H di Samarkand yang bernama Khartank

Disalin dari Biografi Al-Bukhari dalam Tarikh al-Baghdad, al-Khatib 2/4-36, Tadzkirat al-Huffadh 2/122, Tahzib at Tahdzib Ibn Hajar Asqalani 9/47

Imam Ahmad Bin Hambal

Nama dan Nasab:
Kunyah beliau Abu Abdillah, namanya Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi. Ayah beliau seorang komandan pasukan di Khurasan di bawah kendali Dinasti Abbasiyah. Kakeknya mantan Gubernur Sarkhas di masa Dinasti Bani Umayyah, dan di masa Dinasti Abbasiyah menjadi da’i yang kritis.

Kelahiran Beliau:
Beliau dilahirkan di kota Baghdad pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 Hijriyah. Beliau tumbuh besar di bawah asuhan kasih sayang ibunya, karena bapaknya meninggal dunia saat beliau masih berumur belia, tiga tahun. Meski beliau anak yatim, namun ibunya dengan sabar dan ulet memperhatian pendidikannya hingga beliau menjadi anak yang sangat cinta kepada ilmu dan ulama karena itulah beliau kerap menghadiri majlis ilmu di kota kelahirannya.

Awal mula Menuntut Ilmu
Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Qur’an hingga beliau hafal pada usia 15 tahun, beliau juga mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya. Lalu beliau mulai konsentrasi belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun itu pula.

Keadaan fisik beliau:
Muhammad bin ‘Abbas An-Nahwi bercerita, Saya pernah melihat Imam Ahmad bin Hambal, ternyata Badan beliau tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu pendek, wajahnya tampan, di jenggotnya masih ada yang hitam. Beliau senang berpakaian tebal, berwarna putih dan bersorban serta memakai kain.
Yang lain mengatakan, “Kulitnya berwarna coklat (sawo matang)”

Keluarga beliau:
Beliau menikah pada umur 40 tahun dan mendapatkan keberkahan yang melimpah. Beliau melahirkan dari istri-istrinya anak-anak yang shalih, yang mewarisi ilmunya, seperti Abdullah dan Shalih. Bahkan keduanya sangat banyak meriwayatkan ilmu dari bapaknya.

Kecerdasan beliau:
Putranya yang bernama Shalih mengatakan, Ayahku pernah bercerita, “Husyaim meninggal dunia saat saya berusia dua puluh tahun, kala itu saya telah hafal apa yang kudengar darinya”.
Abdullah, putranya yang lain mengatakan, Ayahku pernah menyuruhku, “Ambillah kitab mushannaf Waki’ mana saja yang kamu kehendaki, lalu tanyakanlah yang kamu mau tentang matan nanti kuberitahu sanadnya, atau sebaliknya, kamu tanya tentang sanadnya nanti kuberitahu matannya”.
Abu Zur’ah pernah ditanya, “Wahai Abu Zur’ah, siapakah yang lebih kuat hafalannya? Anda atau Imam Ahmad bin Hambal?” Beliau menjawab, “Ahmad”. Beliau masih ditanya, “Bagaimana Anda tahu?” beliau menjawab, “Saya mendapati di bagian depan kitabnya tidak tercantum nama-nama perawi, karena beliau hafal nama-nama perawi tersebut, sedangkan saya tidak mampu melakukannya”. Abu Zur’ah mengatakan, “Imam Ahmad bin Hambal hafal satu juta hadits”.

Pujian Ulama terhadap beliau:
Abu Ja’far mengatakan, “Ahmad bin Hambal manusia yang sangat pemalu, sangat mulia dan sangat baik pergaulannya serta adabnya, banyak berfikir, tidak terdengar darinya kecuali mudzakarah hadits dan menyebut orang-orang shalih dengan penuh hormat dan tenang serta dengan ungkapan yang indah. Bila berjumpa dengan manusia, maka ia sangat ceria dan menghadapkan wajahnya kepadanya. Beliau sangat rendah hati terhadap guru-gurunya serta menghormatinya”.
Imam Asy-Syafi’i berkata, “Ahmad bin Hambal imam dalam delapan hal, Imam dalam hadits, Imam dalam Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Al Qur’an, Imam dalam kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara’ dan Imam dalam Sunnah”.
Ibrahim Al Harbi memujinya, “Saya melihat Abu Abdillah Ahmad bin Hambal seolah Allah gabungkan padanya ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan dari berbagai disiplin ilmu”.

Kezuhudannya:
Beliau memakai peci yang dijahit sendiri. Dan kadang beliau keluar ke tempat kerja membawa kampak untuk bekerja dengan tangannya. Kadang juga beliau pergi ke warung membeli seikat kayu bakar dan barang lainnya lalu membawa dengan tangannya sendiri. Al Maimuni pernah berujar, “Rumah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal sempit dan kecil”.

Tekunnya dalam ibadah
Abdullah bin Ahmad berkata, “Bapakku mengerjakan shalat dalam sehari-semalam tiga ratus raka’at, setelah beliau sakit dan tidak mampu mengerjakan shalat seperti itu, beliau mengerjakan shalat seratus lima puluh raka’at.

Wara’ dan menjaga harga diri
Abu Isma’il At-Tirmidzi mengatakan, “Datang seorang lelaki membawa uang sebanyak sepuluh ribu (dirham) untuk beliau, namun beliau menolaknya”. Ada juga yang mengatakan, “Ada seseorang memberikan lima ratus dinar kepada Imam Ahmad namun beliau tidak mau menerimanya”. Juga pernah ada yang memberi tiga ribu dinar, namun beliau juga tidak mau menerimanya.

Tawadhu’ dengan kebaikannya:
Yahya bin Ma’in berkata, “Saya tidak pernah melihat orang yang seperti Imam Ahmad bin Hambal, saya berteman dengannya selama lima puluh tahun dan tidak pernah menjumpai dia membanggakan sedikitpun kebaikan yang ada padanya kepada kami”.
Beliau (Imam Ahmad) mengatakan, “Saya ingin bersembunyi di lembah Makkah hingga saya tidak dikenal, saya diuji dengan popularitas”.
Al Marrudzi berkata, “Saya belum pernah melihat orang fakir di suatu majlis yang lebih mulia kecuali di majlis Imam Ahmad, beliau perhatian terhadap orang fakir dan agak kurang perhatiannya terhadap ahli dunia (orang kaya), beliau bijak dan tidak tergesa-gesa terhadap orang fakir. Beliau sangat rendah hati, begitu tinggi ketenangannya dan sangat memuka kharismanya”.
Beliau pernah bermuka masam karena ada seseorang yang memujinya dengan mengatakan, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas jasamu kepada Islam?” beliau mengatakan, “Jangan begitu tetapi katakanlah, semoga Allah membalas kebaikan terhadap Islam atas jasanya kepadaku, siapa saya dan apa (jasa) saya?!”

Sabar dalam menuntut ilmu
Tatkala beliau pulang dari tempat Abdurrazzaq yang berada di Yaman, ada seseorang yang melihatnya di Makkah dalam keadaan sangat letih dan capai. Lalu ia mengajak bicara, maka Imam Ahmad mengatakan, “Ini lebih ringan dibandingkan faidah yang saya dapatkan dari Abdirrazzak”.

Hati-hati dalam berfatwa:
Zakariya bin Yahya pernah bertanya kepada beliau, “Berapa hadits yang harus dikuasai oleh seseorang hingga bisa menjadi mufti? Apakah cukup seratus ribu hadits? Beliau menjawab, “Tidak cukup”. Hingga akhirnya ia berkata, “Apakah cukup lima ratus ribu hadits?” beliau menjawab. “Saya harap demikian”.

Kelurusan aqidahnya sebagai standar kebenaran
Ahmad bin Ibrahim Ad-Dauruqi mengatakan, “Siapa saja yang kamu ketahui mencela Imam Ahmad maka ragukanlah agamanya”. Sufyan bin Waki’ juga berkata, “Ahmad di sisi kami adalah cobaan, barangsiapa mencela beliau maka dia adalah orang fasik”.

Masa Fitnah:
Pemahaman Jahmiyyah belum berani terang-terangan pada masa khilafah Al Mahdi, Ar-Rasyid dan Al Amin, bahkan Ar-Rasyid pernah mengancam akan membunuh Bisyr bin Ghiyats Al Marisi yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluq. Namun dia terus bersembunyi di masa khilafah Ar-Rasyid, baru setelah beliau wafat, dia menampakkan kebid’ahannya dan menyeru manusia kepada kesesatan ini.
Di masa khilafah Al Ma’mun, orang-orang jahmiyyah berhasil menjadikan paham jahmiyyah sebagai ajaran resmi negara, di antara ajarannya adalah menyatakan bahwa Al Qur’an makhluk. Lalu penguasa pun memaksa seluruh rakyatnya untuk mengatakan bahwa Al Qur’an makhluk, terutama para ulamanya.
Barangsiapa mau menuruti dan tunduk kepada ajaran ini, maka dia selamat dari siksaan dan penderitaan. Bagi yang menolak dan bersikukuh dengan mengatakan bahwa Al Qur’an Kalamullah bukan makhluk maka dia akan mencicipi cambukan dan pukulan serta kurungan penjara.
Karena beratnya siksaan dan parahnya penderitaan banyak ulama yang tidak kuat menahannya yang akhirnya mengucapkan apa yang dituntut oleh penguasa zhalim meski cuma dalam lisan saja. Banyak yang membisiki Imam Ahmad bin Hambal untuk menyembunyikan keyakinannya agar selamat dari segala siksaan dan penderitaan, namun beliau menjawab, “Bagaimana kalian menyikapi hadits “Sesungguhnya orang-orang sebelum Khabbab, yaitu sabda Nabi Muhammad ada yang digergaji kepalanyarkalian namun tidak membuatnya berpaling dari agamanya”. HR. Bukhari 12/281. lalu beliau menegaskan, “Saya tidak peduli dengan kurungan penjara, penjara dan rumahku sama saja”.
Ketegaran dan ketabahan beliau dalam menghadapi cobaan yang menderanya digambarkan oleh Ishaq bin Ibrahim, “Saya belum pernah melihat seorang yang masuk ke penguasa lebih tegar dari Imam Ahmad bin Hambal, kami saat itu di mata penguasa hanya seperti lalat”.
Di saat menghadapi terpaan fitnah yang sangat dahsyat dan deraan siksaan yang luar biasa, beliau masih berpikir jernih dan tidak emosi, tetap mengambil pelajaran meski datang dari orang yang lebih rendah ilmunya. Beliau mengatakan, “Semenjak terjadinya fitnah saya belum pernah mendengar suatu kalimat yang lebih mengesankan dari kalimat yang diucapkan oleh seorang Arab Badui kepadaku, “Wahai Ahmad, jika anda terbunuh karena kebenaran maka anda mati syahid, dan jika anda selamat maka anda hidup mulia”. Maka hatiku bertambah kuat”.

Ahli hadits sekaligus juga Ahli Fiqih
Ibnu ‘Aqil berkata, “Saya pernah mendengar hal yang sangat aneh dari orang-orang bodoh yang mengatakan, “Ahmad bukan ahli fiqih, tetapi hanya ahli hadits saja. Ini adalah puncaknya kebodohan, karena Imam Ahmad memiliki pendapat-pendapat yang didasarkan pada hadits yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, bahkan beliau lebih unggul dari seniornya”.
Bahkan Imam Adz-Dzahabi berkata, “Demi Allah, beliau dalam fiqih sampai derajat Laits, Malik dan Asy-Syafi’i serta Abu Yusuf. Dalam zuhud dan wara’ beliau menyamai Fudhail dan Ibrahim bin Adham, dalam hafalan beliau setara dengan Syu’bah, Yahya Al Qaththan dan Ibnul Madini. Tetapi orang bodoh tidak mengetahui kadar dirinya, bagaimana mungkin dia mengetahui kadar orang lain!!

Guru-guru Beliau
Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya. Di antara mereka adalah:
1. Ismail bin Ja’far
2. Abbad bin Abbad Al-Ataky
3. Umari bin Abdillah bin Khalid
4. Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami
5. Imam Asy-Syafi’i.
6. Waki’ bin Jarrah.
7. Ismail bin Ulayyah.
8. Sufyan bin ‘Uyainah
9. Abdurrazaq
10. Ibrahim bin Ma’qil.

Murid-murid Beliau:
Umumnya ahli hadits pernah belajar kepada imam Ahmad bin Hambal, dan belajar kepadanya juga ulama yang pernah menjadi gurunya, yang paling menonjol adalah:
1. Imam Bukhari.
2. Muslim
3. Abu Daud
4. Nasai
5. Tirmidzi
6. Ibnu Majah
7. Imam Asy-Syafi’i. Imam Ahmad juga pernah berguru kepadanya.
8. Putranya, Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal
9. Putranya, Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal
10. Keponakannya, Hambal bin Ishaq
11. dan lain-lainnya.

Wafat beliau:
Setelah sakit sembilan hari, beliau Rahimahullah menghembuskan nafas terakhirnya di pagi hari Jum’at bertepatan dengan tanggal dua belas Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77 tahun. Jenazah beliau dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh ribu pelayat perempuan.

Karya beliau sangat banyak, di antaranya:
1. Kitab Al Musnad, karya yang paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits.
2. Kitab At-Tafsir, namun Adz-Dzahabi mengatakan, “Kitab ini hilang”.
3. Kitab Az-Zuhud
4. Kitab Fadhail Ahlil Bait
5. Kitab Jawabatul Qur’an
6. Kitab Al Imaan
7. Kitab Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah
8. Kitab Al Asyribah
9. Kitab Al Faraidh
Terlalu sempit lembaran kertas untuk menampung indahnya kehidupan sang Imam. Sungguh sangat terbatas ungkapan dan uraian untuk bisa memaparkan kilauan cahaya yang memancar dari kemulian jiwanya. Perjalanan hidup orang yang meneladai panutan manusia dengan sempurna, cukuplah itu sebagai cermin bagi kita, yang sering membanggakannya namun jauh darinya.

Dikumpulkan dan diterjemahkan dari kitab Siyar A’lamun Nubala
Karya Al Imam Adz-Dzahabi Rahimahullah
Sumber: Majalah As Salam