Showing posts with label Sufi'. Show all posts
Showing posts with label Sufi'. Show all posts

Mengenal Sastra Sufi



Pendahuluan

By Nur Izzatunnisa

Sastra adalah segala sesuatu yang oleh masyarakat dinilai, karena memiliki unsur-unsur dan makna yang banyak, berkenaan dengan keindahan. Sehingga makna sastra dapat hadir sebagai intepretasi setiap individu yang ingin memaknainya.
Dewasa ini, sastra sudah sangat berkembang. Kehidupan sastra memiliki maksud yang tersirat dari orang yang mencintai sastra. Adapun bagian-bagian sastra adalah rangkaian seni yaitu kumpulan-kumpulan puisi dan prosa. Prosa terdiri dari hikayat, dongeng, sejarah, dan kisah.
Sastra hampir menempati berbagai ruang bidang kehidupan manusia. Menjelma sebagai bagian-bagian sastra yang memiliki koridor-koridor dengan ragam hias yang berbeda. Antara lain, sastra kebudayaan, sastra Islam, dan sastra sufi. Makalah ini dibuat untuk mengulas satu fragmen yang mungkin penting dalam perkembangan sastra dunia, atau dapat pula disebut sebagai sebuah pembacaan dan penelaahan terhadap sastra Islam karena tulisan ini hendak membahas tentang sastra sufi. Satu pembahasan yang tidak dapat lepas dari Islam tentunya, makanya pembahasan ini lebih tepatnya dapat disebut sebagai pembahasan kesusastraan Islam dari pada kesusastraan dunia. Dengan penulisan dan adanya makalah ini, semoga kita mengenal lebih tentang kehidupan sufi serta sastranya yang berlandaskan cinta Ilahi.

Mengenal Sastra Sufi

1. Tasawwuf

Tasawuf adalah ajaran kerohanian dalam Islam. Yakni bentuk spiritualiatas untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Tasawuf menggunakan metode intuitif disamping metode filosofis. Karena metode intuitif adalah metode dalam upaya pengenalan tentang diri. Sehingga dapat membawa seseorang tentang penglihatan hati untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.metode intuitif ini tidak memiliki perantara, tetapi langsung hati dalam mengenal diri dan Tuhannya.
Tasawuf merupakan jalaan penyucian diri. Yang berawal dari pengendalian diri dari nafsu-nafsu rendah. (nafsu amarah dan nafsu lawammah). Yang bertujuan pada penyucian hati dan pikiran dari segala sesuatu yang mengakibatkan kelupaan terhadap sang pencipta. Dengan zuhud dan tawakkal. Pikiran dan hati sepenuhnya hanya untuk Tuhan. Jika seseorang sudah mampu untuk menjalankannya, maka penglihatan hatinya akan murni dan suci terhadap segala sesuatu. Dan artinya seseorang itu telah mendapatkan pencerahan.
Dalam asal kata tasawuf, memiliki perbedaan. Ada yang mengatakaan bahwa tasawuf atau sufi berasal dari kata safi, tetapi ada juga yang mengatakan, kata tasawuf atau sufi berasaal dari kata suf, keduanya bisa saja dikaitkan. Kata safi diambil dari bahasa Arab yang memiliki arti Suci dan bersih. Sedangkan suf, diambil dari bahasa Arab juga yang memiliki arti kain wol.
Makna pertama yaitu safi, mendiskripsikan bahwa seseorang yang telah sufi itu adalah suci dan bersih hatinya. Dan suf, arti ini diambil dari kebiasaan orang-orang sufi yang menggunakan jubah yang terbuat dari kain wol. Yang mana jubah tersebut sebagai lambang kebersahajaan kehidupn orang-orang sufi. Serta keikhlasan dan pengorbanan kebersahajaan.
Pada awalnya, tasawuf hanya kelompok social atau kelompok orang yang ingin mendekatkan diri kepada Tuhan secara sempurna. Yang meninggalkan kehidupan mewah duniawi yang disebut dengan zuhud, serta meninggalkan segala sesuatu yang dapat melupakan dan melalaikan kita terhadap Tuhan. Akan tetapi dalam perkembangan tasawuf, tidak jarang orang yang ingin memahaminya.
Dalam proses menyucikan diri, sufi harus memperbaiki akidahnya, ketaatannya melaksanakan ibadah wajib dan sunnah. Termasuk zikir, wirid, puasa, memperbanyak muamalah dan amal jariyah untuk menuju kesempurnaan akhlak.
Ajaran fundamental tasawwuf adalah tentang ketauhidan, untuk mendalami tentang ketauhidan tersebut, para sufi harus melewati perjalanan-perjalanan spiritualnya. Adanya beberapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh seorang sufi untuk sampi kepada Tuhan.
Ada beberapa perbedaan tentang jumlah maqamat. Menurut Muhammad al-kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf fi mazhab ahli al-Tasawwuf. Jumlah maqamat itu sebanyak sepuluh maqamat. Yaitu al-Taubah, al-Zuhud, al-Shabr, al-Faqr, al-Tawaddhu’, al-Taqwa, al-Tawakkal, al-Ridha, al-Mahabbah, dan al-Ma’rifat.
Sedangakan menurut al-Ghazali dalam kitabnya ihya ulum al-Din. Mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan. Yaitu al-Taubah, al-Shabr, al-Zuhud, al-Tawakkal, al-Mahabbah, al-Ma’rifah dan al-Ridha.
Dengan demikian, jika seseorang sudah pada level maqat tertinggi. Beliau tidak dapat di ragukan lagi mengenai keilmuan dan moralnya. Dan dia adaalah orang yang sudah mencapai kesempurnaan.
Seseorang yang sempurna, harus menemani orang baru dalam menjalani spiritual sufisme. Menurut para ahli irfan, hal ini disebutkan dalam rangkaian kata yang mereka sebut Tayr al-Quds (Burung Suci)

Temanilah kegiatanku dijalan ini
Wahai Tayr al-Quds
Jalan kearah tujuan itu cukup jauh
Dan baru kali ini perjalananku
Jangan tinggalkan pada tingkatan ini
Tanpa ditemani khidir
Ada kegelapan didepan sana
Aku takut akan tersesat jalan

Ajaran sufi bersumber pada al-Qur’an dan sunnah Rasul, dalam kehidupan tasawwuf berpusat dalam kehidupan bathiniah. Di dalam al-Qur’an dijelaskn bahwa, manusia dan Tuhan bisa saling mencintai. Seperti yang ada disurat al-Maidah 5:54 “perintah agar manusia senantiaasa bertaubah, membersihkan diri dan memohon ampunan kepada Allah.
Disamping ajaran-ajaran tentang kezuhudan dan ketawakkalan terhadap Allah. Tasawwuf juga mengajarkan tentang bahasa cinta. Yakni cinta terhadap Ilahi. Dari sinilah, sejak awal sufi melibatkan diri dalam kegiatan sastra.

2. SASTRA SUFI

Sastra sufi identik dengan perenungan diri terhadap sang Ilahi, yang dibahasakan dengan bahas cinta. Dan serangkaian kata-kata yang memiliki makna intrinsik, bait-bait syair yang memiliki unsur-unsur bathiniyah yang mendalam terhadap kekasihnya. Yaitu sang Ilahi.
Cinta ini memiliki makna yang luas. Yang ditujukan hanya kepada kekasih Ilahi. Yakni cinta untuk Ilahi dengan memeluk dan mematuhi Tuhan. Membenci sikap yang melawan terhadap Tuhan. Berserah diri pada Tuhan dan menjauhi segala sesuatu kecendrungan yang dapat melalaikan kita terhadap kekasih Ilahi.
Sastra sufi kebanyakn berupa puisi. Yang biasanya mengibaratkan Burung sebagai symbol yang suci dan bebas. Para sufi juga mengambil kisah-kisah dalaam al-Qur’an tentang sebuah hikayat-hikayat yang mengambarkan rasa cinta terhadap Tuhan. Menggambarkan kedamaian dan ketentraman jiwa melalui keyakinan yang daalam terhadap Tuhan.
Sastra sufi adalah bagian dari seni murni yang berkenaan dengan trasendental dan masalah-msalah ketuhanan. Sehingga bersumber pada realitas kehidupan yang tidak dapat dijelaskan melalui pemahaman logic rasional. Karena itu adalah pengalaman mistik yang tak dapat diserap oleh panca indra. Dan hanya dapat diserap oleh akal intuitif serta dapat dijelaskan lewat imaginasi kreatif.
Dengan penyampaian yang intuitif dan imajimasi kreatif berarti hanya dapat menggunakan simbol-simbol tertentu dan figurative puisi. Seorang sufi berusaha menjelasakan apa yang terkandung dalam pengalaman-pengalaman mistiknya.
Sastra sufi telah muncul pada abad ke 15 M. perkembangannya sangat tinggi dalam sejarah bangsa Persia. Adapun tokoh-tokoh sastra sufi Persia adalah Umar al-Khayyami, Jalaluddin Rumi, Fariruddin al-‘Attar, Imam Ghazali, Abu Said al-Khayr, khwaja Abdullah Anshari.
Kemudian tokoh sufi perempuan yang mengembangkan bahasa cinta adalah Rabiah al-Adawiyyah. Dia adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari bashrah. Rasa cinta yang dimilikinya sangat besar. Setelah dia dibebaskan dari seorang hamba. Cinta Rabiah al-Adawiyah ini semuanya dicurahkan untuk Tuhan. Sehingga dalam kisahnya yang selalu menolak lamaran seorang lelaki. Ia membuat syair yang penuh dengan cinta terhadap Ilahi. Ia mengatakan:

akad nikah adalah bagi pemilik kemaujudan,
sedangkan pada diriku hal itu tidak ada,
karena aku telah berhenti maujud dan telah lepas dari diri
aku maujud dalam Tuhan
dan aku sepenuhnya mikilik-Nya
aku hidup dalam naungan firmannya
akad nikah mesti diminta dari-Nya
bukan dariku”.
Ketulusan cinta sangat besar, dalam setiap syairnya, Rabiah al-Adawiyah selalu berbicara tentang Tuhan.
Aku mencintaimu dengan dua cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu
Cinta karena diriku adalah keadaanku yang senantiasa mengingat-Mu
Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir hingga Engkau kulihat
Dalam syairnya yang lain ia mengungkapkan
Ku cintai Engkau lantaran ku cinta
Dan lantaran Engkau patut dicintai
Cintakulah yang membuatku rindu kepada-Mu
Demi cinta suci ini
Sibakkanlah tabir penutup tatapan sembahku
Janganlah Kau puji aku lantaran itu
Bagi-Mu lah segala puji dan puji

Sastra sufi hanyalah sastra yang berhubungan dengan mistik, yang berorientasi pada cinta seorang manusia terhadap Tuhan. Begitu banyak tokoh-tokoh sufi yang meluapkan pengalaman-pengalaman mistiknya melalui puisi. Mereka utarakan denagn bahasa yang indah dan memiliki makna yang dalam.
Puisi-puisi sufi berasal dari penghayatan seorang sufi terhadap cintanya terhadap sang Illahi. Lewat perenungan-perenungan yang dalam tentang kehidupannya yang bersahaja. Puisi-puisinya memiliki pesan terhadap semua orang yang membacanya. Baik dari orang Muslim ataupun non Muslim. Seperti seorang sufi terkenal yang ajaran-ajaran diterima oleh semua orang termasuk juga non- Muslim.
Jalaluddin Rumi bukan hanya mengajarkan tentang cintanya kepada sang Illahi, beliau menciptakan tarian sufi yang mendeskripsikan tentang penghayatan cintanya terhadap sang Illahi, yang mengharapkan tentang anugrah cahaya yang Tuhan pancarkan terhadap manusia.
Ia mengajarkan cinta tentang hakikat, kesejatian, keindahan cinta. Dalam syairnya tentang kesejatian cinta, Jalaluddin Rumi menuturkan sebagai berikut

Kau sudah sangat jauh
Berdiri di atas tanah ini
Dan mengelilingi dunia
Maka kini
Lakukanlah perjalanan
Didalam roh dan saksikan
Sejatinya manusia
Yang telah menjelma roh!
Saksikan para pemuja
Perintah Tuhan
Tenggelam dalam perintah-Nya
Dengan segala karunia
Keindahan kesaksiaan mereka

Pandangan sufi terhadap lubuk hati manusia yang terdalam yitu sirr. Semua manusia dapat melakukaan percakapan dengan dirinya dan Tuhan melalui perenungan hati yang tentram. Hati yang selalu teringat tentang Tuhan dan memiliki rasa cinta dan rindu terhadap-Nya. Sajak sufi menggambarkan pertahanan tema cinta kepada Tuhan dan kerinduan terhadap-Nya. Misalnya Ibn ‘Atha menggambarkan kegunaan zikir kepada Tuhan. Ibn Atha’ menulisnya yang bermaksud[1]

Zikir bermacam-macam, diliputi cinta
Dan rindu dendam, ia menerbitkan ingatan kepada-Nya
Karena kekuatan zikir, nafsu menjadi lemah
Dan daapat dikendalikan olehnya
Jiwa mendapat pengaruh mendalam, duka pergi
Sehingga nafsu yang baik dapat disebar
Sadar atau tidak, zikir dapat menggulung
Hawa nafsu dan dapat mencerai berangkainya
Serta menghapusnya, kemudian
Memulihkan kekuatan penglihatan kalbu dan fikiran
Sehingga meninggi menjelma mahkota di atas kepala
Zikir ialah jalan mengenal Dia
Melalui pandangan mata hati
Zikir menanam keyakinan dalam kalbu
Sehingga kita dapat menyaksikan kehadiran-Nya
Dan menyikap hijab yang menyikap hijab yang memisahkan kita dengan-Nya
Sajak percakapan sufi dengan tuhan, misalnya sajak Junaid Al Baghdadi
Kini ku tahu, Tuhan—siapa
Bersemayam dalam hatiku
Dalam rahasia, jauh dari pada dunia
Lidahku bercakap dengan-Nya yang kupuja
Melalui sebuah jalan
Kami mendekat rapat
Terpisah jauh dari pada-Nya
Berat siksa yang mendera jiwa
Walau Kau sembunyikan wajah-Mu
Jauh dari pandangan mataku
Dalam cinta kurasa kehadiran-Mu
Yang mesra dalam hatiku
Dalam bencana mengerikan
Tak ku sesali siksa yang mencabik jiwa
Hanya kau saja Tuhan yang kurindu
Bukan kurnia atau tangan pemurah-Mu
Apabila seluruh dunia Kau berikan padaku
Atau surga sebagai pahala
Aku berdoa supaya seluruh kekayaanku
Tak berharga disbanding melihat wajah-Mu
Kesimpulan
Dengan mengenal sastra sufi, kita dapat belajar tentang perenungan diri terhadap Tuhan yang akan memberi kita bagaimana seorang hamba Allah dalam mengagungkan Tuhannya dengan segenap jiwa dan raganya. Membaca syair-syair sufi juga dapat memberikan suatu motivasi dalam mengenal Tuhan lebih jauh yang mungkin tidak terjangkau oleh pikiran kita yang hanya sebagai hamba Allah yang awam.
Selain ulasan syair-syair sufi di atas masih banyak syair-syair sufi yang lain, yang mungkin jauh lebih menyentuh hati dan membangun iman, yang sekiranya dapat dapat kita ambil makna yang tersirat didalamnya.
Dan dengan mengenal ajaran-ajaran sufi, bahwa kehidupan diliputi oleh cinta. Cinta terhadap sang Pencipta cinta. Semoga kita dapat menghadirkan rasa cinta yang suci dan tulus terhadap Allah SWT. AMIN
Daftar pustaka
Nata, Abuddin, Prof. DR. H. Akhlak tasawwuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada : 1996
Rumi, Jalaluddin, The Book of Love, Yogyakarta: pradipta, Oktober 2003
Hadi, Abdul, WM, makalah kuliah sastra islam “ Puisi-puisi sufi Arab”(5), ICAS Paramadina
Hadi, Abdul, WM. Makalah kuliah sastra islam (6) “Mantiq al-Tayr” Alegori sufi farididdin al-Attar, ICAS Paramadina
WWW. Geogle “sastra sufi”.com.

[1] Makalah kuliah sastra Islam, Abdul Hadi Wm


PETUALANGAN JIWA: Sebuah Langkah Awal Dalam Meniti Jalan Cinta Menurut Perspektif ‘Attar dalam Mantiq at-Tayr



By Nanik Y.
------------
PENDAHULUAN

            Jiwa, sebuah kata yang mengandung banyak misteri di dalamnya. Begitu banyak alegori yang melambangkan tentang jiwa, terlebih jiwa manusia, salah satunya adalah ‘Attar, yang menggambarkan jiwa manusia sebagi burung-burung yang melakukan sebuah pencarian menuju sebuah kebenaran sejati.
            Dalam makalah ini, saya mencoba untuk menghubungkan antara perumpamaan yang disampaikan oleh ‘Attar dengan kaitannya terhadap Cinta Ilahi. Yang pada dasarnya, perumpamaan yang disampaikan oleh ‘Attar tersebut, juga merupakan sebuah proses bagi jiwa manusia dalam mencapai Cinta Ilahi serta kebenaran yang hakiki.
Tulisan ini terbagi dalam beberapa kerangka bagian, yang tersusun berdasarkan sistematika sebagai berikut: Bagian pertama mengetengahkan sekilas tentang ‘Attar, sang perangkai Mantiq at-Tayr. Bagian kedua memberikan sedikit gambaran mengenai Mantiq at-Tayr  karya ‘Attar. Bagian ketiga mencoba mengungkap sedikit makna yang terkandung dalam proses perjalanan burung-burung, yang terkemas dalam Mantiq at-Tayr. Bagian keempat  mencoba menghubungkan antara alegori karya ‘Attar ini, dengan suatu proses meniti jalan cinta menuju Ilahi.


SEKILAS MENGENAI ‘ATTAR

Fariduddin Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim, atau yang lebih sering dikenal dengan al-`Attar (yang artinya adalah pembuat minyak wangi dan obat-obatan), ia lahir pada tahun 1120 di Nisyapur, ia juga adalah seorang sufi dan sastrawan besar persia pada sekitar abad ke-12 dan 13 M.  Karyanya, yaitu Mantiq al-Tayr  (Musyawarah Burung) dianggap sebagai salah satu karya terbesar dalam sejarah sastra Islam, serta diterima secara luas di hampir seluruh  belahan dunia.
Selain sebagai seorang sufi yang juga merangkap sebagai sastrawan, ia juga dikenal sebagai seorang ahli obat-obatan dan saudagar minyak wangi yang cukup berada, itulah sebabnya, ia lebih dikenal dengan nama ‘Attar. Kisah perjalanan hidupnya berubah dan bermula ketika pada suatu hari, datanglah seorang fakir lanjut usia ke toko minyak wanginya. Melihat seorang fakir yang dikiranya akan mengemis itu, `Attar segera bangkit dari tempat duduknya, menghardik dan mengusirnya agar pergi meninggalkan tokonya. Kemudian, fakir itu menjawab, “Jangankan meninggalkan tokomu, meninggalkan dunia dan kemegahannya ini pun,  tidaklah sulit bagiku! Tetapi, bagaimana dengan kau? Dapatkah kau meninggalkan kekayaanmu, tokomu dan dunia ini?” `Attar tersentak, lalu menjawab spontan, “Bagiku juga tidak sukar meninggalkan duniaku yang penuh kemewahan ini!”
Seketika itu pula, fakir lanjut usia tersebut menghembuskan nafas terakhirnya. Setelah menguburkan fakir itu sebagaimana seharusnya, `Attar menyerahkan penjagaan toko-tokonya yang  melimpah di Nisyapur kepada sanak-saudaranya, sedangkan dia sendiri, tanpa membawa sepeser pun uang,  ia mengembara ke seluruh negeri untuk menemui para guru tasawuf. Beberapa tahun kemudian, ketika usianya mencapai 35 tahun, dia kembali ke tanah kelahirannya tersebut, namun, sebagai seorang ‘Attar yang berbeda, yaitu, seorang ‘Attar yang pada awalnya hanyalah seorang pemilik toko minyak wangi dan obat-obatan besar, kini juga telah menjadi seorang guru kerohanian yang cukup bernama besar. Kemudian, selain memberikan pelatihan-pelatihan kerohanian serta mendirikan beberapa sekolah, dia juga tetap melanjutkan profesinya sebagai ahli obat-obatan dan saudagar minyak wangi.
            Salah satu kemahiran `Attar yang telah lama dikenal oleh penduduk Nisyapur, adalah kemahirannya bercerita. Ia sering melayani pasien-pasien dan pelanggannya dengan bercerita, sehingga secara langsung cerita–cerita tersebut pun  memikat  mereka. Ketika  tokonya  sedang sepi  dengan pelanggan, dia pun
menyempatkan dirinya untuk menulis cerita. Di antara karya-karyanya yang terkenal ialah  Thadkira al-`Awlya (Anekdote Para Wali), Ilahi-namah (Kitab Ketuhanan), Musibat-namah (Kitab Kemalangan) dan Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung), yang secara lebih lanjutnya akan saya bahas pada bait demi bait kata berikutnya.


MANTIQ AT TAYR    

Salah satu karya terbesar ‘Attar adalah Mantiq at-Tayr, yaitu musyawarah para burung. Di dalamnya, ‘Attar menggambarkan secara simbolik mengenai penapakan jalan kerohanian atau tasawwuf yang dapat ditempuh melalui tujuh lembah, yaitu: lembah pencarian (talab), lembah cinta (`isyq), lembah kearifan (ma`rifah), lembah  kebebasan atau kepuasan hati (istighna), lembah kesaksian kalbu mengenai ke-Esa-an Allah (tauhid), lembah ketakjuban (hayrat), serta lembah kefakiran (faqr) dan (fana`).
Namun,  `Attar menganggap bahwasanya jalan-jalan tasawuf yang dimaksud  sebenarnya adalah merupakan jalan cinta, sedangkan ke-tujuh lembah yang dimaksud, tidak lain adalah keadaan-keadaan yang berkaitan dengan cinta.  Misalnya, ketika seseorang memasuki lembah pencarian.  Cintalah  yang pada dasarnya mendorong seseorang yang bersangkutan untuk melakukan pencarian. Sedangkan lembah-lembah lainnya adalah merupakan tahapan berikutnya yang sekiranya akan dicapai dalam jalan cinta tersebut.
Mantiq al-Tayr, adalah sebuah alegori sufi yang menceritakan tentang penerbangan para burung dalam proses pencariannya akan sosok seorang raja, yang berada di puncak gunung Qaf, yang mereka sebut sebagai Simurgh.       Dalam pencarian tersebut para burung dipimpin oleh Burung Hud hud. 
            Lembah pertama yang dilalui oleh burung-burung tersebut, adalah lembah pencarian (talab). Di lembah ini, seseorang atau jiwa manusia yang dilambangkan dengan burung-burung, diharuskan untuk memiliki cinta dan harapan, karena dengan kedua hal tersebutlah, seseorang dapat bertindak lebih sabar dalam menghadapi rintangan serta godaan yang dijumpainya. Dalam lembah ini juga, ia harus melepaskan kecintaannya akan dunia dan jasmani. Dengan demikian, ketika ia berhasil melakukannya, ia akan merasakan kerinduan yang amat sangat terhadap-Nya, serta rela mengabdikan diri kepada-Nya. Setelah itu, dengan sendirinya, ia akan berada dalam naungan Cinta,  serta diberikan anugerah dengan menyaksikan cahaya Keagungan Tuhan.
Lembah yang Kedua, yaitu lembah Cinta (isyq). Di sini, `Attar melambangkan cinta sebagai api yang terang, yaitu mata batin yang dapat menembus bentuk-bentuk jasmani dan menyikap rahasia yang terdapat dalam ciptaan. Sedangkan, ‘Attar melambangkan pikiran (akal) sebagai asap yang mengaburkannya. Sehingga, cinta yang sejati dapat menyingkap apa yang ada di balik asap tersebut.
Berkaitan dengan hubungan antara cinta dan pikiran (akal) ini, Syah Nikmatullah Wali memberikan sumbangsihnya dalam mengartikan bahwa cinta dan pikiran (akal), adalah ibarat dua sayap yang berasal dari satu burung yang sama, yaitu yang disebut dengan jiwa. Ia berkata:

            Akal dipakai  untuk memahami
            Keadaan manusia selaku hamba-Nya
            Cinta untuk mencapai kesaksian
            Bahwa  Tuhan itu Satu[1]

Di lembah Cinta ini, ada begitu banyak cobaan serta ujian, yang dapat menyesatkan seseorang. Hanya petunjuk Tuhan lah, yang dapat menyelamatkannya dari bahaya. Namun, petunjuk tersebut hanya akan datang berdasarkan ikhtiyar dan doa yang dipanjatkan, baik oleh dirinya sendiri, maupun oleh orang lain. Seperti halnya yang terdapat dalam kisah Syekh San’an dan gadis yunani yang beragama nasrani.
Lembah Ketiga, yaitu lembah kearifan (ma’rifah). Kearifan adalah sebuah pengetahuan yang berisi tentang Zat Yang Abadi, dengan demikian, ia akan selalu terjaga kesadarannya tentang Tuhan Yang Satu. Dengan adanya kearifan, seseorang akan dapat selalu terjaga dari adanya tipu muslihat, serta waspada terhadap kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya.
Seseorang yang telah berhasil mencapai makrifat, akan menerima cahaya sesuai dengan usaha yang telah dilakukannya, serta akan mengenal kebenaran Ilahi. Orang yang telah mengenal hakekat segala sesuatu, akan memandang dunia  melalui penglihatan hatinya yang telah tercerahkan, serta tidak lagi terpaku pada  sesuatu yang tidak berguna, karena perhatiannya telah tertuju sepenuhnya terhadap yang Hakiki.
Lembah Keempat, yaitu lembah kebebasan atau kepuasan hati (istighna). Di lembah ini, tidak ada lagi nafsu dan keinginan-keinginan pribadi maupun duniawi yang dapat memenuhi jiwa seseorang, karena pandangannya telah tercerahkan oleh kehadiran Ilahi.  Di sini, seseorang telah merasa tercukupi dengan adanya rahmat yang telah dilimpahkan Tuhan kepadanya. Untuk  mencapai tingkat ini, seseorang harus mengganti segala keraguan yang ada dengan keteguhan iman (haqq al-yaqin).
Lembah Kelima, yaitu lembah kesaksian kalbu mengenai ke-Esa-an Allah  (Tauhid). Di lembah ini, seseorang menyadari bahwa sebenarnya hakekat wujud yang beraneka ragam itu sebenarnya satu, yaitu manifestasi Cinta Yang Satu, rahman dan rahim-Nya. Dan, segala sesuatu yang kelihatannya berbeda, terlihat bahwasanya semuanya berasal dari hakekat yang sama. Meskipun, pada awalnya ia melupakan segalanya, namun selanjutnya, ia akan menyadari bahwasanya ia selalu bersama dengan Tuhan Yang Esa.


Ralph Waldo Emerson, dalam The Celestial Love, menyatakan:

Hendaknya engkau meratapi cinta;
Di dalam bayangan, yang darinya semuanya terbentuk
Ke dalam satu bentuk, kemudian semuanya melebur……
Membimbing dunia dengan ikatan dan persyaratan;
Dimana hal-hal yang tidak sama menjadi serupa;
Di mana kebaikan dan keburukan,
Pekik kegembiraan dan rintih kesedihan,
Melebur menjadi satu.[2]

Lembah Keenam, yaitu lembah ketakjuban (Hayrat). Di lembah ini, kita akan tenggelam dalam sebuah ketakjuban yang amat sagat,  yang karenanya, seolah-olah kita berada dalam suatu kebingungan.  Siang seakan menjadi malam, dan  malam seakan menjadi siang. Kesusahan dan kebahagiaan seakan sulit untuk dibedakan. Dan segala sesuatunya menjadi semakin tak jelas batasannya.
Lembah Ketujuh, yaitu lembah kefakiran (Faqir) dan (Fana). Faqir, adalah suatu kesadaran bahwasanya dia tidaklah memiliki sesuatu apapun kecuali cinta kepada-Nya.   Namun demikian, hal ini tidaklah mengindikasikan bahwasanya seorang faqir sama sekali tidak memperdulikan segala seuatu selain-Nya, melainkan, ia menandang segala sesuatunya dengan tetap merujuk kepada-Nya. Dengan adanya kefakiran,  seseorang mampu memaknai setiap kejadian yang terjadi dalam kehudupannya, dengan tidak hanya terpaku pada makna formal semata.
Dalam akhir kisah pencarian ini, ‘Attar menuliskannya sebagai berikut:         “Tahukah kau apa yang kaumiliki? Masuklah ke dalam dirimu sendiri dan renungkan ini. Selama kau tak menyadari kehampaan dirimu, dan selama kau tak meninggalkan kebanggan diri yang palsu, serta kesombongan dan cinta diri yang berlebihan, kau tidak akan mencapai puncak keabadian. Di jalan tasawuf  kau  mula-mula akan dicampakkan  ke dalam lembah kehinaan, kemudian baru kau akan diangkatnya  ke  puncak gunung  kemuliaan”.


MAKNA DI BALIK MANTIQ AT-TAYR

Mantiq at-tayr, merupakan sebuah perumpamaan yang menggambarkan dan menceritakan keadaan rohani dan pengalaman mistik seorang sufi, yang juga adalah sebuah proses pencarian dalam menempuh jalan tasawuf. Burung-burung, yang melakukan perjalanannya dalam mantiq at-tayr tersebut, adalah menggambarkan jiwa manusia yang merindu akan Tuhannya serta akan hakikat dirinya yang hakiki. Yang pada dasarnya, jiwa yang bersangkutan itu mampu untuk terbang mengembara menuju alam lain di luar tubuh dan fikiran manusia itu sendiri, seperti halnya burung yang dapat terbang melalui kedua sayapnya.
Menurut para sufi, jiwa manusia adalah bagaikan seekor burung yang memiliki dua sayap, yaitu akal dan cinta (kalbu). Yang pada dasarnya, jika jiwa-jiwa itu merindukan Tuhan dan hakikat dirinya sendiri, dengan sendirinya, ia akan melakukan sebuah perjalanan penerbangan dengan akal dan cinta (kalbu) yang dimilikinya.
Sedangkan burung-burung lain yang juga melakukan perjalanan tersebut, yang pada dasarnya terdiri dari berbagai jenis burung yang berbeda-beda, juga mencerminkan hakikat-hakikat manusia yang memiliki kecenderungan yang berbeda-beda pula. Yang pada dasarnya, hal-hal tersebut seringkali mempengaruhi manusia itu sendiri dalam melakukan perjalanan menuju kebenaran yang hakiki.
Burung Hud hud, yang memimpin perjalanan kerohanian tersebut, adalah melambangkan atau menggambarkan sebuah jiwa manusia yang uncommon, yaitu seorang guru kerohanian atau sufi, yang pada dasarnya telah mencapai tingkatan makrifat yang tinggi.
Simurgh, yang menjadi obyek pencarian dalam perjalanan tersebut, adalah melambangkan hakikat diri manusia itu sendiri, yang juga melambangkan hakikat kebenaran tertinggi. Sebagaimana diceritakan dalam mantiq at tayr tersebut, Simurgh berada di puncak gunung yang tinggi, seperti halnya  hakikat diri manusia itu sendiri, yang pada dasarnya memiliki posisi yang tertinggi.  Dalam kisah Mantiq al-Tayr tersebut, jumlah burung yang berhasil menjumpai Simurgh berjumlah tiga puluh ekor. Si-murgh, dalam bahasa Persia berarti tiga puluh. Dengan demikian, kisah pencarian para burung ini adalah merupakan kisah penerbangan jiwa-jiwa manusia dalam mencari hakikat dirinya sendiri.
Bukit Qaf, adalah melambangkan suatu pengalaman atau pencapaian tingkat kerohanian yang tertinggi. Dalam sastra sufi, bukit digunakan untuk melambangkan pertemuan antara manusia dengan Tuhan, serta dengan hakikat dirinya sendiri.
Tujuh lembah, adalah melambangkan tahapan-tahapan perjalanan kerohanian jiwa manusia dalam mencapai Cinta Ilahi. Pada tiap lembah atau tahapan perjalanan yang ditempuh, ada banyak tantangan serta pengalaman-pengalaman mistik yang dialami oleh para jiwa yang melakukan perjalanan kerohanian tersebut. Dan, pada setiap lembahnya, jiwa-jiwa manusia itu akan mengalami pengalaman-pengalaman yang berbeda.
Berkaitan dengan lembah terakhir  yang dilalui oleh jiwa manusia tersebut, `Attar menuliskan sebagai berikut.

Melalui kesukaran dan kehinaan jiwa burung-burung itu luluh
Dalam fana, sementara tubuh mereka menjadi debu
Setelah dimurnikan maka mereka menerima hidup baru
Dari Cahaya Hadirat Tuhan yang Baqa
Sekali lagi mereka menjadi hamba-hamba berjiwa segar
Perpuatan dan kebisuan mereka pada masa yang lampau
Telah lenyap dan hapus dari lubuk dada mereka
            Matahari Kehampiran bersinar terang dari dalam diri mereka
            Jiwa mereka diterangi oleh cahaya petunjuk-Nya
            Dalam pantulan wajah tiga puluh burung (si-murgh) dunia
            Mereka lantas menyaksikan wajah Simurgh
            Apabila mereka memandang ke dalam diri mereka
            Ya nampak, itulah Simurgh, bukan lain.
            Tidak diragukan bahwa Simurgh ialah tiga puluh (si-murgh) burung
            Semua bingung penuh ketakjuban, tidak tahu apa mereka ini atau itu
            Mereka memandang diri mereka tiada lain ialah Simurgh[3]

           

MENITI JALAN CINTA MENUJU ILAHI

Dalam sedikit ulasan mengenai Mantiq at-Tayr di atas, ‘Attar menyarankan agar, dalam kehidupan, manusia hendaknya menempuh jalan cinta. Karena cinta, adalah penawar bagi segala kesedihan, dan merupakan obat dalam dua dunia. Selain itu, cinta juga adalah merupakan penghubung antara kita dan Tuhan kita. Dan ternyata, pengalaman cinta juga dapat membantu kita agar dapat mengenal obyek yang kita cintai dengan lebih mendalam.
Sebelum memulai proses penitian jalan cinta ini, ada baiknya jika terlebih dahulu kita mengetahui tentang konsep dari cinta, serta pembagian-pembagian cinta itu sendiri, yaitu sebagai berikut:
Ø      Cinta Ilahi.
Rahmat atau cinta Tuhan terdiri dari dua macam, yaitu:
1.      Rahmat atau cinta esensial (rahman), yaitu rahmat atau cinta Tuhan yang dilimpahkan kepada semua makhluq-Nya, tanpa mengenal ras, bangsa, maupun agama.
2.      Rahmat atau cinta wajib (rahim), yaitu rahmat atau cinta Tuhan yang hanya dilimpahkan-Nya kepada orang-orang tertentu saja, yaitu mereka yang beriman kepada-Nya.
Ø      Cinta Mistikal atau Kesufian atau (cinta pada manusia), terdiri dari dua macam, yaitu:
1.      Cinta mistikal atau rohani, yaitu, cinta yang ditujukan kepada Tuhan. Cinta ini,  mampu membawa seorang pencinta kepada penglihatan batin yang peka, sehingga mampu menembus bentuk forma kehidupan, untuk menuju kepada yang hakiki, termasuk hakikat ke-Tuhan-an. Cinta semacam inilah, yang mampu mengepakkan sayap jiwa untuk terbang menuju Hakikat Yang Tertinggi.
2.      Cinta alami atau kodrati, yaitu, cinta yang ditujukan kepada sesama manusia dan lingkungan sekitarnya. Cinta ini, dapat dijadikan sebagai jalan dalam mendaki cinta mistikal atau rohani. Dalam al-Qur’an, cinta alami atau kodrati ini adalah merupakan konsep amar ma’ruf nahi munkar, atau disebut juga dengan solidaritas sosial yang bertujuan untuk membentuk lingkungan masyarakat yang diridhoi oleh Tuhan[4].
Salah satu tujuan manusia dalam melakukan perjalanan rohani dalam cinta, adalah untuk meningkatkan martabatnya, yang selain sebagai hamba Tuhan, juga merupakan utusan Tuhan di bumi.
Pada dasarnya, pengetahuan tentang jiwa manusia sangatlah penting, karena pengetahuan tersebut dapat menyampaikan kita terhadap pengetahuan akan Tuhan. Namun demikian, pengetahuan serta perenungan terhadap diri juga tak dapat dikesampingkan, karena dengannya, juga akan mendatangkan secercah pengetahuan lebih mendalam akan Tuhan.
Salah satu ciri dari cinta sejati  dalam makna penglihatan batin, adalah bahwasanya cinta itu mampu menembus bentuk zahir segala sesuatu hingga mencapai hakekatnya yang terdalam. Karena dengan melihat hakekat segala sesuatu, maka seorang pencinta dapat memiliki gambaran yang berbeda dari orang lain tentang dunia dan kehidupan. Seorang pencinta tidaklah memandang sesuatu hanya dengan menggunakan mata biasa, melainkan dengan menggunakan mata batinnya. Berkaitan dengan ini, `Attar  menyatakan demikian:

            Ketahuilah wahai yang tak pernah diberi tahu!
            Di antara pencinta, burung-burung itu telah bebas
            Dari kungkungan sangkarnya  sebelum ajal mereka tiba
            Mereka memiliki perkiraan dan gambaran lain tentang dunia
            Mereka memiliki lidah dan tutur yang berbeda pula
            Di hadapan Simurgh mereka luluh dan bersimpuh
            Mereka mendapat obat demi kesembuhan mereka dari penyakit
            Sebab Simurgh mengetahui bahasa sekalian burung[5]

Rumi mengatakan bahwa untuk memahami kehidupan, manusia dapat melakukannya melalui Jalan Cinta, dan tidak hanya terpaku pada Jalan Pengetahuan. Cinta adalah asas penciptaan kehidupan dan alam semesta. Cinta  memberikan dorongan yang kuat untuk mencapai sesuatu. Cinta adalah penggerak kehidupan dan perputaran alam semesta. Menurut Rumi, cinta yang sejati dan mendalam, dapat menghantarkan seseorang terhadap pengenalan hakikat sesuatu secara mendalam, yaitu hakikat kehidupan yang tersembunyi di balik bentuk-bentuk fisiknya. Karena cinta dapat membawa kepada kebenaran tertinggi, Rumi  berpendapat bahwa cinta merupakan sarana terpenting manusia dalam menerbangkan dirinya menuju Yang Esa,  Rumi menulis sebagai berikut:

            Inilah Cinta: Terbang tinggi melesat  ke langit
            Setiap saaat ratusan hijab tercabik
            Langkah pertama menyangkal dunia (zuhd)
            Kemudian jiwa pun berjalan tanpa kaki

            Dalam cinta, dunia dan benda telah raib
            Segala yang muncul di benak dipandangnya sepi

            Kataku, ”Moga bahagia kau, o Jiwa!
            Bertandang riang ke negeri para pencinta

            Menyaksikan kerajaan tak terpandang mata
            Merasakan  alangkah lezatnya gairah dalam dada!
            Katakan, o Jiwa, dari mana nafas ini datang
            Katakan pula o Hati, bagaimana jantung ini bisa berdenyut![6]

Menurut Musliuddin Sa’di Shirazi (571 H), dalam mencintai Tuhan, kualitas cinta manusia diukur berdasarkan tingkat kedekatannya terhadap hal-hal yang bersifat mistis. Cinta adalah sebuah kesetiaan yang luar biasa. Lebih lanjutnya, Sa’di menyatakan:

Orang yang menginginkan keselamatan hidupnya hendaknya tidak memasuki jalan cinta, karena berpikir tentang keselamatan seringkali membelokkan hati dari ketaatan terhadap yang dicintainya. Menjadi budak bagi diri sendiri dapat mengalihkan cinta kepada cara berpikir  yang menyesatkan. Seorang pecinta sejati, sekalipun tidak pernah memperoleh kasih sayang yang sesungguhnya, tanpa disadari ia akan mati ketika sedang berusaha meraihnya. Apabila engkau seorang pecinta, kejarlah Kekasihmu, perolehlah apa yang dapat diperoleh, yakni kebahagiaan, atau engkau akan menjumpai kematian di pintu gerbang kerinduan.[7]

Menurut para sufi, dalam tasawuf, cintalah yang mampu membawa seseorang mendekati Tuhannya, karena sifat utama Tuhan adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang.  Atas dasar itu, menurut para sufi, salah satu jalan terbaik untuk mendekatkan diri terhadap Ilahi, ialah dengan cinta.
Sedangkan, menurut `Attar sendiri, seseorang yang berkehendak untuk menempuh jalan tasawuf, hendaknya mempunyai seribu hati, sehingga, ketika ia mampu mengorbankan salah satu hatinya, ia tetap merasa tak kehilangan yang lainnya.  Di sini, Cinta dihubungkan dengan adanya suatu pengorbanan. Dengan demikian, pengorbanan dalam cinta berarti suatu usaha untuk melangkah menuju apa yang dituju, yaitu Cinta Ilahi.
            Berkaitan dengan ini, Rumi menuliskan, dalam syairnya yang berjudul Cinta dan Tindakan Batin, sebagi berikut:

Seperti halnya kekuasaan memberi keterangan tentang cinta
Yang membuat kau menyimpulkan adanuya cinta begitulah, jika cahaya Tuhan mencapai indera
Kau tak akan menjadi hamba dari sebab ataupun akibat

Cinta akan memancarkan kilatan cahaya dalam hati
Dan membuat orang yang tercerahkan bebas dari akibat
Dia tak memerlukan lagi alamat atau isyarat cinta
Karena cinta telah mwemancarkan kilauan sinarnya kelangit kalbu[8]



KESIMPULAN

          Dari sedikit pemaparan yang telah tercakup dalam rangkaian-rangkaian kalimat di atas, dapat sedikit ditarik kesimpulan bahwasanya untuk mencapai suatu kebenaran yang hakiki serta untuk mencapai Cinta Ilahi, dibutuhkan begitu banyak hal yang harus dilakukan, dalam proses penitian jalannya.
Selain itu, dalam proses penitian jalan dan pencarian yang dilakukan oleh jiwa-jiwa tersebut, ada begitu banyak pengalaman mistis yang dialami oleh jiwa-jiwa tersebut, yang pada dasarnya pengelaman-pengalaman yang dialami itu berbeda-beda, sesuai dengan tingkatan jiwa-jiwa tersebut.
          Dengan demikian, begitu banyak hal yang dapat diperoleh dan diketahui melalui pencarian tersebut, salah satunya adalah untuk mengetahui hakikat kehidupan serta hakikat kebenaran yang sejati, yaitu Tuhan.



DAFTAR PUSTAKA

Hadi W.M, Abdul. “Mantiq at-Tayr”  Alegori Sufi Fariduddin al-‘Attar. Mata Kuliah
Seni dan Sastra Islam (6).  

Hadi W.M, Abdul. Cinta  Ilahi  dalam  Tasawwuf   Menurut  Fariduddin ‘Attar  dalam
‘Mantiq at-Tayr”. Mata Kuliah Seni dan Sastra Islam.

Hadi W.M, Abdul. Puisi-puisi Sufi Arab. Mata Kuliah Seni dan Sastra Islam (5).

Hadi W.M, Abdul. Rumi  dan Relevansi  Sastra Sufi. Mata  Kuliah  Seni  dan  Sastra
Islam. Jakarta: 2005

Nakosteen, Mehdi. Kontribusi  Islam atas Dunia  Intelektual  Barat (Deskripsi Analisis
Abad Keemasan Islam). Risalah Gusti. Surabaya: 2003.

Hadi W.M, Abdul. Lagu seruling rumi. Matahari. Yogyakarta: 2004.

Dari internet




[1] Abdul Hadi W.M. Cinta Ilahi dalam Tasawwuf Menurut Fariduddin ‘Attar dalam ‘Mantiq at-Tayr”.  Mata  Kuliah Seni dan Sastra Islam. Hal, 2.
[2] Mehdi Nakosteen. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat (Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam). Surabaya: 2003. Hal, 135.
[3] Abdul Hadi W.M. “Mantiq at-Tayr”  Alegori Sufi Fariduddin al-‘Attar. Mata Kuliah Seni dan Sastra Islam (6).  Hal 19
[4] Op. Cit.
[5] Op. Cit.
[6] Abdul Hadi W.M. Rumi dan Relevansi Sastra Sufi. Mata Kuliah Seni dan Sastra Islam. Jakarta: 2005.
[7] Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat (Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam). Surabaya. 2003.  Hal. 119.
[8] Abdul Hadi. Lagu Seruling Rumi. Yogyakarta: 2004. Hal, 37.