Showing posts with label Obrolan Sufi'. Show all posts
Showing posts with label Obrolan Sufi'. Show all posts

Mengenal Sastra Sufi



Pendahuluan

By Nur Izzatunnisa

Sastra adalah segala sesuatu yang oleh masyarakat dinilai, karena memiliki unsur-unsur dan makna yang banyak, berkenaan dengan keindahan. Sehingga makna sastra dapat hadir sebagai intepretasi setiap individu yang ingin memaknainya.
Dewasa ini, sastra sudah sangat berkembang. Kehidupan sastra memiliki maksud yang tersirat dari orang yang mencintai sastra. Adapun bagian-bagian sastra adalah rangkaian seni yaitu kumpulan-kumpulan puisi dan prosa. Prosa terdiri dari hikayat, dongeng, sejarah, dan kisah.
Sastra hampir menempati berbagai ruang bidang kehidupan manusia. Menjelma sebagai bagian-bagian sastra yang memiliki koridor-koridor dengan ragam hias yang berbeda. Antara lain, sastra kebudayaan, sastra Islam, dan sastra sufi. Makalah ini dibuat untuk mengulas satu fragmen yang mungkin penting dalam perkembangan sastra dunia, atau dapat pula disebut sebagai sebuah pembacaan dan penelaahan terhadap sastra Islam karena tulisan ini hendak membahas tentang sastra sufi. Satu pembahasan yang tidak dapat lepas dari Islam tentunya, makanya pembahasan ini lebih tepatnya dapat disebut sebagai pembahasan kesusastraan Islam dari pada kesusastraan dunia. Dengan penulisan dan adanya makalah ini, semoga kita mengenal lebih tentang kehidupan sufi serta sastranya yang berlandaskan cinta Ilahi.

Mengenal Sastra Sufi

1. Tasawwuf

Tasawuf adalah ajaran kerohanian dalam Islam. Yakni bentuk spiritualiatas untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Tasawuf menggunakan metode intuitif disamping metode filosofis. Karena metode intuitif adalah metode dalam upaya pengenalan tentang diri. Sehingga dapat membawa seseorang tentang penglihatan hati untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.metode intuitif ini tidak memiliki perantara, tetapi langsung hati dalam mengenal diri dan Tuhannya.
Tasawuf merupakan jalaan penyucian diri. Yang berawal dari pengendalian diri dari nafsu-nafsu rendah. (nafsu amarah dan nafsu lawammah). Yang bertujuan pada penyucian hati dan pikiran dari segala sesuatu yang mengakibatkan kelupaan terhadap sang pencipta. Dengan zuhud dan tawakkal. Pikiran dan hati sepenuhnya hanya untuk Tuhan. Jika seseorang sudah mampu untuk menjalankannya, maka penglihatan hatinya akan murni dan suci terhadap segala sesuatu. Dan artinya seseorang itu telah mendapatkan pencerahan.
Dalam asal kata tasawuf, memiliki perbedaan. Ada yang mengatakaan bahwa tasawuf atau sufi berasal dari kata safi, tetapi ada juga yang mengatakan, kata tasawuf atau sufi berasaal dari kata suf, keduanya bisa saja dikaitkan. Kata safi diambil dari bahasa Arab yang memiliki arti Suci dan bersih. Sedangkan suf, diambil dari bahasa Arab juga yang memiliki arti kain wol.
Makna pertama yaitu safi, mendiskripsikan bahwa seseorang yang telah sufi itu adalah suci dan bersih hatinya. Dan suf, arti ini diambil dari kebiasaan orang-orang sufi yang menggunakan jubah yang terbuat dari kain wol. Yang mana jubah tersebut sebagai lambang kebersahajaan kehidupn orang-orang sufi. Serta keikhlasan dan pengorbanan kebersahajaan.
Pada awalnya, tasawuf hanya kelompok social atau kelompok orang yang ingin mendekatkan diri kepada Tuhan secara sempurna. Yang meninggalkan kehidupan mewah duniawi yang disebut dengan zuhud, serta meninggalkan segala sesuatu yang dapat melupakan dan melalaikan kita terhadap Tuhan. Akan tetapi dalam perkembangan tasawuf, tidak jarang orang yang ingin memahaminya.
Dalam proses menyucikan diri, sufi harus memperbaiki akidahnya, ketaatannya melaksanakan ibadah wajib dan sunnah. Termasuk zikir, wirid, puasa, memperbanyak muamalah dan amal jariyah untuk menuju kesempurnaan akhlak.
Ajaran fundamental tasawwuf adalah tentang ketauhidan, untuk mendalami tentang ketauhidan tersebut, para sufi harus melewati perjalanan-perjalanan spiritualnya. Adanya beberapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh seorang sufi untuk sampi kepada Tuhan.
Ada beberapa perbedaan tentang jumlah maqamat. Menurut Muhammad al-kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf fi mazhab ahli al-Tasawwuf. Jumlah maqamat itu sebanyak sepuluh maqamat. Yaitu al-Taubah, al-Zuhud, al-Shabr, al-Faqr, al-Tawaddhu’, al-Taqwa, al-Tawakkal, al-Ridha, al-Mahabbah, dan al-Ma’rifat.
Sedangakan menurut al-Ghazali dalam kitabnya ihya ulum al-Din. Mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan. Yaitu al-Taubah, al-Shabr, al-Zuhud, al-Tawakkal, al-Mahabbah, al-Ma’rifah dan al-Ridha.
Dengan demikian, jika seseorang sudah pada level maqat tertinggi. Beliau tidak dapat di ragukan lagi mengenai keilmuan dan moralnya. Dan dia adaalah orang yang sudah mencapai kesempurnaan.
Seseorang yang sempurna, harus menemani orang baru dalam menjalani spiritual sufisme. Menurut para ahli irfan, hal ini disebutkan dalam rangkaian kata yang mereka sebut Tayr al-Quds (Burung Suci)

Temanilah kegiatanku dijalan ini
Wahai Tayr al-Quds
Jalan kearah tujuan itu cukup jauh
Dan baru kali ini perjalananku
Jangan tinggalkan pada tingkatan ini
Tanpa ditemani khidir
Ada kegelapan didepan sana
Aku takut akan tersesat jalan

Ajaran sufi bersumber pada al-Qur’an dan sunnah Rasul, dalam kehidupan tasawwuf berpusat dalam kehidupan bathiniah. Di dalam al-Qur’an dijelaskn bahwa, manusia dan Tuhan bisa saling mencintai. Seperti yang ada disurat al-Maidah 5:54 “perintah agar manusia senantiaasa bertaubah, membersihkan diri dan memohon ampunan kepada Allah.
Disamping ajaran-ajaran tentang kezuhudan dan ketawakkalan terhadap Allah. Tasawwuf juga mengajarkan tentang bahasa cinta. Yakni cinta terhadap Ilahi. Dari sinilah, sejak awal sufi melibatkan diri dalam kegiatan sastra.

2. SASTRA SUFI

Sastra sufi identik dengan perenungan diri terhadap sang Ilahi, yang dibahasakan dengan bahas cinta. Dan serangkaian kata-kata yang memiliki makna intrinsik, bait-bait syair yang memiliki unsur-unsur bathiniyah yang mendalam terhadap kekasihnya. Yaitu sang Ilahi.
Cinta ini memiliki makna yang luas. Yang ditujukan hanya kepada kekasih Ilahi. Yakni cinta untuk Ilahi dengan memeluk dan mematuhi Tuhan. Membenci sikap yang melawan terhadap Tuhan. Berserah diri pada Tuhan dan menjauhi segala sesuatu kecendrungan yang dapat melalaikan kita terhadap kekasih Ilahi.
Sastra sufi kebanyakn berupa puisi. Yang biasanya mengibaratkan Burung sebagai symbol yang suci dan bebas. Para sufi juga mengambil kisah-kisah dalaam al-Qur’an tentang sebuah hikayat-hikayat yang mengambarkan rasa cinta terhadap Tuhan. Menggambarkan kedamaian dan ketentraman jiwa melalui keyakinan yang daalam terhadap Tuhan.
Sastra sufi adalah bagian dari seni murni yang berkenaan dengan trasendental dan masalah-msalah ketuhanan. Sehingga bersumber pada realitas kehidupan yang tidak dapat dijelaskan melalui pemahaman logic rasional. Karena itu adalah pengalaman mistik yang tak dapat diserap oleh panca indra. Dan hanya dapat diserap oleh akal intuitif serta dapat dijelaskan lewat imaginasi kreatif.
Dengan penyampaian yang intuitif dan imajimasi kreatif berarti hanya dapat menggunakan simbol-simbol tertentu dan figurative puisi. Seorang sufi berusaha menjelasakan apa yang terkandung dalam pengalaman-pengalaman mistiknya.
Sastra sufi telah muncul pada abad ke 15 M. perkembangannya sangat tinggi dalam sejarah bangsa Persia. Adapun tokoh-tokoh sastra sufi Persia adalah Umar al-Khayyami, Jalaluddin Rumi, Fariruddin al-‘Attar, Imam Ghazali, Abu Said al-Khayr, khwaja Abdullah Anshari.
Kemudian tokoh sufi perempuan yang mengembangkan bahasa cinta adalah Rabiah al-Adawiyyah. Dia adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari bashrah. Rasa cinta yang dimilikinya sangat besar. Setelah dia dibebaskan dari seorang hamba. Cinta Rabiah al-Adawiyah ini semuanya dicurahkan untuk Tuhan. Sehingga dalam kisahnya yang selalu menolak lamaran seorang lelaki. Ia membuat syair yang penuh dengan cinta terhadap Ilahi. Ia mengatakan:

akad nikah adalah bagi pemilik kemaujudan,
sedangkan pada diriku hal itu tidak ada,
karena aku telah berhenti maujud dan telah lepas dari diri
aku maujud dalam Tuhan
dan aku sepenuhnya mikilik-Nya
aku hidup dalam naungan firmannya
akad nikah mesti diminta dari-Nya
bukan dariku”.
Ketulusan cinta sangat besar, dalam setiap syairnya, Rabiah al-Adawiyah selalu berbicara tentang Tuhan.
Aku mencintaimu dengan dua cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu
Cinta karena diriku adalah keadaanku yang senantiasa mengingat-Mu
Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir hingga Engkau kulihat
Dalam syairnya yang lain ia mengungkapkan
Ku cintai Engkau lantaran ku cinta
Dan lantaran Engkau patut dicintai
Cintakulah yang membuatku rindu kepada-Mu
Demi cinta suci ini
Sibakkanlah tabir penutup tatapan sembahku
Janganlah Kau puji aku lantaran itu
Bagi-Mu lah segala puji dan puji

Sastra sufi hanyalah sastra yang berhubungan dengan mistik, yang berorientasi pada cinta seorang manusia terhadap Tuhan. Begitu banyak tokoh-tokoh sufi yang meluapkan pengalaman-pengalaman mistiknya melalui puisi. Mereka utarakan denagn bahasa yang indah dan memiliki makna yang dalam.
Puisi-puisi sufi berasal dari penghayatan seorang sufi terhadap cintanya terhadap sang Illahi. Lewat perenungan-perenungan yang dalam tentang kehidupannya yang bersahaja. Puisi-puisinya memiliki pesan terhadap semua orang yang membacanya. Baik dari orang Muslim ataupun non Muslim. Seperti seorang sufi terkenal yang ajaran-ajaran diterima oleh semua orang termasuk juga non- Muslim.
Jalaluddin Rumi bukan hanya mengajarkan tentang cintanya kepada sang Illahi, beliau menciptakan tarian sufi yang mendeskripsikan tentang penghayatan cintanya terhadap sang Illahi, yang mengharapkan tentang anugrah cahaya yang Tuhan pancarkan terhadap manusia.
Ia mengajarkan cinta tentang hakikat, kesejatian, keindahan cinta. Dalam syairnya tentang kesejatian cinta, Jalaluddin Rumi menuturkan sebagai berikut

Kau sudah sangat jauh
Berdiri di atas tanah ini
Dan mengelilingi dunia
Maka kini
Lakukanlah perjalanan
Didalam roh dan saksikan
Sejatinya manusia
Yang telah menjelma roh!
Saksikan para pemuja
Perintah Tuhan
Tenggelam dalam perintah-Nya
Dengan segala karunia
Keindahan kesaksiaan mereka

Pandangan sufi terhadap lubuk hati manusia yang terdalam yitu sirr. Semua manusia dapat melakukaan percakapan dengan dirinya dan Tuhan melalui perenungan hati yang tentram. Hati yang selalu teringat tentang Tuhan dan memiliki rasa cinta dan rindu terhadap-Nya. Sajak sufi menggambarkan pertahanan tema cinta kepada Tuhan dan kerinduan terhadap-Nya. Misalnya Ibn ‘Atha menggambarkan kegunaan zikir kepada Tuhan. Ibn Atha’ menulisnya yang bermaksud[1]

Zikir bermacam-macam, diliputi cinta
Dan rindu dendam, ia menerbitkan ingatan kepada-Nya
Karena kekuatan zikir, nafsu menjadi lemah
Dan daapat dikendalikan olehnya
Jiwa mendapat pengaruh mendalam, duka pergi
Sehingga nafsu yang baik dapat disebar
Sadar atau tidak, zikir dapat menggulung
Hawa nafsu dan dapat mencerai berangkainya
Serta menghapusnya, kemudian
Memulihkan kekuatan penglihatan kalbu dan fikiran
Sehingga meninggi menjelma mahkota di atas kepala
Zikir ialah jalan mengenal Dia
Melalui pandangan mata hati
Zikir menanam keyakinan dalam kalbu
Sehingga kita dapat menyaksikan kehadiran-Nya
Dan menyikap hijab yang menyikap hijab yang memisahkan kita dengan-Nya
Sajak percakapan sufi dengan tuhan, misalnya sajak Junaid Al Baghdadi
Kini ku tahu, Tuhan—siapa
Bersemayam dalam hatiku
Dalam rahasia, jauh dari pada dunia
Lidahku bercakap dengan-Nya yang kupuja
Melalui sebuah jalan
Kami mendekat rapat
Terpisah jauh dari pada-Nya
Berat siksa yang mendera jiwa
Walau Kau sembunyikan wajah-Mu
Jauh dari pandangan mataku
Dalam cinta kurasa kehadiran-Mu
Yang mesra dalam hatiku
Dalam bencana mengerikan
Tak ku sesali siksa yang mencabik jiwa
Hanya kau saja Tuhan yang kurindu
Bukan kurnia atau tangan pemurah-Mu
Apabila seluruh dunia Kau berikan padaku
Atau surga sebagai pahala
Aku berdoa supaya seluruh kekayaanku
Tak berharga disbanding melihat wajah-Mu
Kesimpulan
Dengan mengenal sastra sufi, kita dapat belajar tentang perenungan diri terhadap Tuhan yang akan memberi kita bagaimana seorang hamba Allah dalam mengagungkan Tuhannya dengan segenap jiwa dan raganya. Membaca syair-syair sufi juga dapat memberikan suatu motivasi dalam mengenal Tuhan lebih jauh yang mungkin tidak terjangkau oleh pikiran kita yang hanya sebagai hamba Allah yang awam.
Selain ulasan syair-syair sufi di atas masih banyak syair-syair sufi yang lain, yang mungkin jauh lebih menyentuh hati dan membangun iman, yang sekiranya dapat dapat kita ambil makna yang tersirat didalamnya.
Dan dengan mengenal ajaran-ajaran sufi, bahwa kehidupan diliputi oleh cinta. Cinta terhadap sang Pencipta cinta. Semoga kita dapat menghadirkan rasa cinta yang suci dan tulus terhadap Allah SWT. AMIN
Daftar pustaka
Nata, Abuddin, Prof. DR. H. Akhlak tasawwuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada : 1996
Rumi, Jalaluddin, The Book of Love, Yogyakarta: pradipta, Oktober 2003
Hadi, Abdul, WM, makalah kuliah sastra islam “ Puisi-puisi sufi Arab”(5), ICAS Paramadina
Hadi, Abdul, WM. Makalah kuliah sastra islam (6) “Mantiq al-Tayr” Alegori sufi farididdin al-Attar, ICAS Paramadina
WWW. Geogle “sastra sufi”.com.

[1] Makalah kuliah sastra Islam, Abdul Hadi Wm


Secangkir Kopi Sufi

Oleh: Candra Malik
Iman dibangun atas empat pilar keyakinan. Yaitu ilmal yaqin atau percaya berdasarkan pengetahuan, 'ainul yaqin atau percaya berdasarkan pandangan langsung, haqqul yaqin atau percaya berdasarkan pengalaman pribadi, dan ikmal yaqin atau percaya berdasarkan keterlibatan mendalam.
Ilmal yaqin dapat diibaratkan sebagai mula-awal belajar. Seorang Sufi menimba ilmu dari siapa pun, terutama dari gurunya, tentang sesuatu hal. Sebagaimana seorang pehobi masak mencatat resep masakan dari seorang Chef. Jika berhenti hanya pada menimba ilmu, apalagi jika sebanyak-banyaknya, maka semakin banyak ilmu justru semakin berat beban hidupnya.
Para Sufi memiliki analogi yang satir, yaitu betapa pun seekor keledai menarik segerobak ilmu, toh ia tetaplah seekor keledai. Semakin banyak ilmu, jika tak diwujudkan menjadi amal, maka alih-alih membawa manfaat, ia justru menimbulkan madharat bagi penghimpun ilmu itu sendiri. Oleh karenanya, ilmal yaqin harus dilanjutkan dengan 'ainul yaqin.
Kita bisa belajar dari kopi. Setelah mencatat bahwa secangkir kopi dibuat dari setuang air mendidih, setakar bubuk kopi, dan gula sebutuhnya, seorang Sufi harus melihat sendiri apa itu air, kopi, dan gula. Tak cukup baginya hanya mendapati air, kopi, dan gula sebagai susunan aksara. Hanya teks, dan bukan konteks.
Sesuai fitrahnya, kopi diseduh atau disajikan dengan ampasnya, dengan cangkir, bukan gelas. Tapi, mengapa harus demikian? Seorang Guru Tasawuf saya mengatakan," supaya kau seolah memegang kuping sendiri saat memegang kuping cangkir."
"Setelah kuping terpegang dan kopi mendekat, kau aktifkan lidah sebagai indera penyesap dan hidung sebagai indera pencium," lanjutnya. Mata sebagai indera penglihat akan menatap ke arah suwung tertentu, ketika kopi kita sesap dan seketika aromanya kita hirup. Segera panasnya secangkir kopi itu membuka pori-pori kulit, sehingga pendek kata: hiduplah seluruh lima indera dalam diri.
Inilah mengapa tatkala mengaji Tasawuf, seorang murid disuguhi secangkir kopi oleh sang mursyid. Lebih pahit lebih baik bagi indera. Seolah belum Sufi jika belum ngopi. Dan, memang demikianlah tradisi ngopi bermula: dari para Sufi yang melek semalam suntuk.
"Tahu dari mana itu kopi?" tanya Guru Tasawuf saya, suatu malam. Ia berseru,"siapa tahu aspal? Toh sama hitamnya sama pekatnya. Minumlah!"
Segera saya sesap secangkir kopi itu, saya rasakan dengan tamat, lalu saya jawab,"Ini benar kopi, Kiai. Yakin seyakin-yakinnya."
Guru saya itu berwasiat, iman dibangun setidaknya dengan empat keyakinan: 'ilmal yaqin, 'ainul yaqin, haqqul yaqin, ikmal yaqin. "Ilmal yaqin adalah yakin berdasar pengetahuan. Tahu secangkir kopi diracik dari air mendidih, kopi, dan gula dalam takaran tertentu. Namun, cita-rasa tak cukup hanya dari resep di atas kertas. 'Ainul yaqin adalah yakin berdasarkan kesaksian. Melihat kasunyatan," katanya.
Melihat sendiri,"O, ini yang disebut air mendidih. O, ini bubuk kopi. O, ini butiran gula." Nyata. Bukan lagi teori, bukan ilusi. Tapi, melihat saja pun tak cukup. Haqqul yaqin adalah yakin karena mengalami sendiri. Memasak air, meracik kopi. Terlibat prosesnya. Puncaknya keyakinan adalah ikmal yaqin, yaitu yakin karena merasakan sendiri. Menyesap kopi dan merasakan sensasinya.
Ini kopiku, mana kopimu?

Candra Malik, pengasuh Pesantren Asy-Syahadah, di Segoro Gunung, lereng Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah.

Berterimakasihlah

Oleh: Candra Malik

Cara seseorang berterimakasih menunjukkan caranya menerima kasih. Ucapan menunjukkan adab dan perilaku menunjukkan ilmu. Dan siapa yang menjaga dirinya dari tinggi hati, niscaya ia akan selamat dari tiga penyakit hati yang paling mematikan; yaitu takabur, ujub, dan riya'. Takabur adalah sombong, ujub adalah angkuh, riya' adalah pamer. Menurut Rasulullah Muhammad SAW, senoktah sombong saja cukup untuk mengantarkan manusia ke neraka. Na'udzu bi 'l-laahi min dzalik.

Seringkali kita lupa berterimakasih, apalagi jika merasa kitalah yang paling hebat dan berjasa di antara yang lain. Seolah-olah jika tidak ada kita, maka kegagalanlah yang akan terjadi. Allah bahkan tidak masuk dalam daftar faktor keberhasilan jika kita berprestasi. Seakan-akan hal-hal mengenai kesuksesan adalah hasil jerih payah dan daya upaya sendiri. Allah baru diletakkan di urutan kesatu ketika kita sedih, takut, khawatir, panik, sakit, kehilangan harapan, dan gagal. NamaNya disebut-sebut.

Manusia suka lupa dan lalai, lantas berbantah dan berdebat. Terlebih jika didera sesuatu yang dianggapnya musibah, manusia gemar sekali memertanyakan keberadaan Tuhan. Allah dipersalahkan saat mengalami kesusahan, dengan tuduhan tunggal: tidak hadir ketika dibutuhkan. Namun, ketika keadaan baik-baik saja, apalagi sewaktu mencapai puncak gemerlap, kita lalai menyebutNya. Kita bahkan lupa betapa kehadiran Allah penentu segala keberhasilan itu. Betapa sering kita kelewat batas seperti itu.

Padahal, biji kesombongan adalah benih penyakit hati yang menjelma benalu yang sangat cepat menjalar. Jika iman serupa pohon, tawadhu atau kerendahanhati adalah benih terbaik. Ia ditanam dalam-dalam dan tak ditonjol-tonjolkan. Ketika tumbuh, tawadhu membesar sebagai pohon kehambaan dengan akar menghujam ke dasar bumi dan batang menjulang ke atap langit. Dengan tawadhu-lah, kalimatu 't-thayyibah "laa ilaaha illa 'l-lah Muhammad Rasula 'l-lah" menjadi galih atau lingkar terdalam pohon.

Siapa yang pandai berterimakasih, ia pasti pandai meminta maaf dan memberi maaf. Salah satu dari ciri-ciri manusia yang telah diampuni dosa-dosanya oleh Allah adalah ia ringan meminta maaf dan tidak berat memaafkan. Ia sadar bahwa ia tidak bisa hidup sendiri. Oleh karena itulah, ia pandai berterimakasih atas peran orang lain dalam kehidupannya. Pun ia pandai meminta maaf atas segala kekurangan dan kesalahannya dan pandai pula memaafkan kekurangan dan kesalahan orang lain.

Dalam kehidupan berpasangan, jika mengetahui keburukan kekasihnya, orang baik akan menjadikan dirinya sebagai kebaikan bagi kekasihnya itu. Mendapati kekurangan kekasihnya, ia akan memosisikan diri sebagai kelebihan. Saling mengisi dan saling mengerti. Saling memaafkan satu sama lain dan saling berterimakasih. Bukan justru menjelek-jelekkan dan mengungkit kesalahan, merasa diri paling benar, dan tidak menghargai peran sesama. Siapa menebar benci, ia menyesali itu kelak suatu hari.

Berbuat baik adalah satu-satunya perlombaan yang Allah perintahkan, yaitu fastabiqu 'l-khairat. Sebaik-baik manusia adalah ia yang memberi manfaat bagi sesama. Siapa yang menjadi yang terbaik pun masih perlu belajar untuk menjadi lebih baik. Tak ada puncak kebaikan. Dalam hidup, tiap manusia terus-menerus mendaki gunung kebaikan itu dan tak ada yang menyentuh puncaknya. Oleh karena itulah, mawas diri menjadi bekal yang tepat dalam perjalanan tiada akhir ini. Dan, jadilah kawan seperjalanan.

Kelak, ketika hari akhir telah tiba, Allah yang Maha Baik menunjukkan kebaikanNya. Bukan ilmu dan amal ibadah yang memasukkan kita ke surga atau menyelamatkan dari neraka, tapi semata-mata berkat rahmat Allah. Siapa yang menjadikan pahala sebagai tujuan, ia akan tahu betapa sifat tulus dan sikap rela itu lebih baik. Tak berhitung dengan amal ibadah, pun tidak mempertanyakan anugerahNya. Seperti sabda Rasul SAW, doa terbaik itu berterimakasih dan memuji keagunganNya. []

Candra Malik, praktisi Tasawuf

Kosmologi Puitik Fariduddin Attar


“Pembicaraanku tanpa kata, tanpa lidah, tanpa suara. Perdengarkan madah ratapmu yang timbul karena luka dan kepedihan cinta. Hingga kau pun melihat mataair nurani yang tercelup di lautan cahaya, sementara kau tinggal di sumur kegelapan dan penjara ketakpastian. Kau terikat pada tubuh dunia ini, dan dari semesta dunia, kini dan nanti. Bila kau telah mencapai kesempurnaan diri, kau takkan ada lagi.” (Fariduddin Attar, The Conference of the Birds).

Attar, si penebar wangi dari Nisyapur ini, memang lahir dan hidup sebagai sang pengoreksi, seorang penyair dan pencari yang mendapatkan dirinya dalam keterbatasan, sekaligus menemukan kekayaannya dalam kesunyian dan pengembaraan. Bersama Sa’adi, ia dikenal sebagai penggubah lagu-lagu harpa dan rebana yang indah, misalnya:

“Bagaimana mengukur bulan dari ikan? Begitulah ribuan kepala bergerak kesana kemari, namun hanya ratap dan keluh saja yang kudengar. Tak adakah Dawud yang malang tempat aku menyanyikan mazmur cinta penuh kerinduan?”

Wajar, jika kemudian Jalaluddin Rumi, yang dijuluki sebagai mahkota-nya para penyair sufi itu, berkata tentang Attar berikut ini: “Jika aku adalah raga, maka Attar adalah jiwa.” Dalam lagu-lagu rebananya Attar, manusia senantiasa berada dalam kerentanan, bahkan dapat dikatakan iman itu sendiri tak luput dari keraguan, sebagaimana telah dicontohkan lagu-lagunya itu.

Suatu kali, ia pun pernah melontarkan semacan sindiran kepada mereka yang kurang bersimpati dan merenung dengan hikmat demi memahami hidup, sebentuk satir kepada kaum dogmatis, sekaligus bentuk renungan Attar sendiri: “Orang-orang yang beriman dan tidak beriman sama-sama bermandi darah.”

Apa yang dilontarkan Attar tersebut tentulah tidak lahir dari kekosongan atau pun kedangkalan perspektif. Attar bermaksud mengoreksi setiap bentuk dogmatisme yang malah akan membuat hati dan mata kita buta pada manifestasi cinta Tuhan di dalam hidup, rahasia-Nya yang acapkali tak mungkin dipahami: “Apa yang akan kukatakan selanjutnya, karena tak ada lagi yang mesti kukatakan, dan tak ada pula setangkai mawar pun yang tinggal dalam semak.”

Bahkan, dengan kerendahan hati dan gaya meditatifnya yang khas musikal itu, ia pun meneruskan: “Betapa aku si dungu, akankah sampai pada hakikat, dan kalau pun dapat, bagaimana aku akan bisa masuk lewat pintu itu?” Ini hanya contoh kecil yang dapat kita jadikan rujukan bahwa ada kualitas seorang filsuf dalam diri seorang penyair sufi bernama Fariduddin Attar.

Dengan nada lagu rebananya itu, sebenarnya, sesekali ia juga ingin mengkritik kaum normative-dogmatis yang terlampau verbal dalam memahami agama dan wujud kebesaran Tuhan. Ia juga hendak menyindir kaum kalamiyyun, alias para teolog, yang terlampau dogmatis pada logika, lalu terjebak dalam lingkaran bahasa dan tafsir, dan kemudian menjadikan simpulan bahasa dan tafsir itu sebagai hakikat: “Tak seorang pun yang sungguh tahu hakikat, tanyakan pada siapa saja sesukamu,” demikian Attar melempar polemik khasnya.

Attar juga sebenarnya sedang menerangkan di mana posisi seorang penyair, utamanya seorang darwis pencari. Tentang apa yang tak dapat dinarasikan dengan prosa-argumentatif yang deskriptif, memang hanya dapat diutarakan lewat sajak. Hal itu bukan karena sebuah puisi atau sajak kelewat angkuh untuk menggunakan narasi dan tuturan yang lazim dan biasa. Namun karena puisi atau sajak ingin mengatakan sesuatu yang terlampau panjang tapi pada saat yang sama juga teramat singkat.

Dari gaya meditatif Attar, kita dapat belajar bahwa ketika sebuah puisi atau sajak ingin mengatakan sesuatu secara naratif dan sistematik sebagaimana prosa pada umumnya, maka sebuah sajak atau puisi hanya akan kehilangan fungsinya sebagai pembangun dan pembentuk “dunia wawasan”.

Secara kiasi, Attar juga memang hendak menyatakan bahwa puisi memang kontradiksi itu sendiri. Ia mengatakan tentang banyak hal, tapi pada saat yang sama juga ia mendapatkan dirinya pada keharusannya untuk tidak menarasikannya secara prosaik dalam arti yang lazim dan normatif alias biasa saja. Sebuah puisi atau sajak memang hendak mengatakan banyak hal dengan cara singkat dan padat. Yang dengan itu, sebuah puisi atau sajak akan menjelma sebagai dunia dan wawasan yang terus memancarkan air dan cahaya.

Hakikat Manusia Mengemban Makrifat Cinta Bungkusan Candra Malik

Hakikat manusia yang diusung dalam buku “Makrifat Cinta” karya Candra Malik ini menarik makna dari dalil al-Quran yang mulia. Menjelaskan tentang siapa dia manusia, bagaimana awal penciptaan dan akhir dari dirinya, untuk apa diciptakan dan mengapa manusia mengingkari tugas yang diembannya dalam hidupnya sendiri. Manusia membawa berbagai macam kemungkinan kebaikan dan termasuk pula sifat buruk dalam dirinya. Kesemua yang ada pada dirinya adalah murni dan seutuhnya adalah pemberian dari Tuhan. Dari nyawa yang merasup dalam dirinya adalah tiupan dari ruh Allah yang dihembuskan kepadanya untuk mendebarkan jantung simbol dari jasmani. Jiwa yang disuntikkan untuk menghidupkan ruhani. Sukma atau jasad sebagai perekat antara nyawa dan jiwa yang telah berpegangan. Satu tugas hati sebagai perajut hubungan emosional manusia dengan alam, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan penciptanya.
Jauh sebelum manusia itu sendiri diciptakan adalah sudah dipersiapkan dari pada-Nya sebuah kitab khusus perjalanan manusia sebelum ia menjalankan hidupnya dalamLauh al-Mahfudz yang didalamnya sudah dituliskan bagaimana ia, jodohnya, hidupnya dan kesemuanya yang berkaitan dengan hidupnya semasa didunia sampai pada akhir perjalanannya di alam dimana seluruh manusia ditentukan akan bertempat dimana dirinya pada waktu yang ditentukan. Maha Besar Allah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang juga masih menyediakan tempat bagi manusia untuk bisa mengisi sendiri lembar-lembar catatannya sesukanya ketika masih dihembuskannya nafas yang tersimpan dalam bingkisan paru-paru  pemberian dari yang Maha Mengasihi. Sesungguhnya tulisan-tulisan yang ada sebelum tulisan manusia sendiri dapat merubah apa yang sudah ditulis oleh Maha Aku. Tinggal manusia sendiri yang menentukan bakal menggoreskan cerita yang bagaimana pada catatan yang dijaga secara penuh oleh Allah dengan penjagaan para malaikat yang dimilikiNya.
Adanya ruh dan jiwa dalam jasad adalah perhitungan hebat yang dirancang oleh Tuhan untuk mengaktifkan sebuah makhluk mulia diantara makhluk-makhluk lain yang juga Allah ciptakan sebelum diciptakannya Adam. Namun karena kesempurnaan komponen yang dibawanya justru membuat manusia berpeluang mengarah pada jalan yang tak seharusnya. Jalan yang tidak di ridhoi oleh-Nya. Meskipun yang menentukan nilai pada seluruh perbuatan manusia pada akhirnya adalah Allah sendiri tidak dimungkinkan manusia berbuat ingkar dari hakikinya sendiri. Karena adanya badan yang membelenggu jiwanya membuat jiwa terpontang-panting dalam banyak pilihan. Badan yang termaktub didalamnya ruh dan jiwa menjadikan manusia itu masuk dalam belenggu yang dapat terpecahkan dengan cinta yang selain rindu pada Sang Pencipta. Badanlah yang menuntut banyak suplemen untuk keberlangsungan dirinya. Badan yang mendera jiwa dengan segala kebutuhannya yang kompleks yang mampu membawa manusia keluar dari fitrahnya. Meskipun semua manusia pada akhirnya kembali pada fitrahnya, yakni kembali kepada siapa yang menjadikannya manusia kepada siapa yang menghidupkannya dengan cinta yang Maha luas, cinta yang begitu banyak melebihi jumlah yang selain cinta, cinta yang lembut lebih lembut dari bulu-bulu sayap malaikat, cinta yang begitu banyak lebih banyak dari ribuan kubik air di samudra lepas. Cinta yang sejati yang tak pernah tersamarkan. Cinta yang lebih terang dari cahaya matahari yang mampu mengahapus gelapnya kegelapan. Sesungguhnya raga yang menjadikan langkah pertama manusia menuju alam keabadian yang tak abadi melainkan yang menciptakan raga itu sendiri, Yang Maha Abadi kekal seutuhnya tiada lagi selain Dia Sang Maha Aku yang tunggal. Raga yang transit dimuka bumi untuk menanti saat dimana ia harus dijemput oleh ruh abadi meskipun dengan paksaan melalui tangan Izrafil.
Jasad mewujudkan konsep-konsep hasil karyanya karya. Melantunkan begitu banyak materi dari imateri yang ada di dalam jasad yang ghaib sebagaimana manusia menyebut dirinya adalah yang kasat mata meskipun sesungguhnya dirinya adalah bagian dari yang ghaib terwujud dari struktur dan organ-organ yang menempel dalam badan yang tak nampak secara lahiriyah. Keadaan yang tersusun sedemikian cantik yang mampu menuntunnya kedalam jurang kegelapan. Dan hati yang begitu halus sehalus embun pancaran kilauan cahaya Illahi juga mudah terkontaminasi karena penyeimbang hati itu sendiri yaitu akal pikiran.
Akal pikiran  yang mengubahnya dalam perasaan yang beraneka ragam warnanya, perasaan yang tiada hentinya menghiasi isi hati manusia. Perasaan itu berwujud ghaib namun nampak pada perbuatan yang diperbuat manusia itu sendiri. Tapi hati manusia selalu merujuk pada kerinduan yang dahsyat pada Tuhannya. Sebab hati adalah konektor antara manusia dengan Tuhannya dan Tuhan pulalah yang menciptakan hati sebagai penimbang diantara banyak sekali perbedaan dan perselisihan. Hati begitu dekat dengan sumber cinta. Maka dari itu hati selalu dipenuhi oleh cinta karena sebenarnya hati adalah wujud pemberian cinta yang nyata dari Tuhan untuk manusia.
Perselisihan merupakan skenario yang sengaja Tuhan renda khusus diadakan untuk mengasah dan menguji segala pemberian yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Agar ia tahu untuk apa ia diciptakan, agar ia mengetahui hanya kepada Tuhanlah ia meminta, hanya kepada Tuhanlah ia menyanyikan isi hatinya, keinginannya, hanya kepada Tuhanlah ia menyembah, hanya kepada Tuhanlah tempat ia memuji. Walaupun semua itu tidak berdampak pada adanya Tuhan itu sendiri, tidak berpengaruh sama sekali terhadap harta yang Tuhan miliki, tidak menambah Kebesaran Tuhan yang bergemilau melebihi kilau mutiara-mutiara yang dikenakan bidadari surga. Tapi itulah tugas utama manusia selama masa hidupnya. Tugas yang sering teralihkan karena keterbatasan inderawi yang menempel pada raga yang mendoktrinasi pemikiran manusia untuk beranjak dari tugasnya. Manusia berani mengambil tawaran yang gunung-gunung sendiri tak berani mengambilnya, manusia berani menelantarkan tugasnya hanya demi bongkahan emas yang menggunung dalam perut bumi, manusia berani hanya memikirkan mencari ilmu pengetahuan dan mengesampingkan keharusannya untuk tetap selalu menyembah siapa yang seharusnya ia sembah. Manusia lantas memuat didalam dirinya sifat ikan yang merenggutnya dari air kehidupan abadi, sifat naga yang menyentakkan dirinya dari abu, sifat burung yang mencoba mengangkat sangkarnya keluar.
Seluruh alam semesta dan semua isi dunia apabila diubah menjadi pena untuk menulis semua ilmu pengetahuan yang dimiliki Allah tidak akan cukup bagi manusia untuk menulisnya secara menyeluruh. Seluruh nafas manusia dari awal mulainya ia bernafas bila dikumpulkan dan dihitung satu persatu tidak akan cukup untuk menghitung semua nikmat yang telah tercurahkan kepada seluruh alam. Manusia telah terlena akan dunia, meskipun dunia adalah syarat wajib untuk mencapai akhirat dan bila tanpa menginjakkan kaki didunia dunia tidak akan ada tiket yang tersisa untuk ke tujuan hidup yang untuk mati.
Ialah manusia, makhluk  yang ditakdirkan sebagai khalifah dibumi untuk menjaga keharmonisan alam semesta dengan tugas yang diemban sebagai sebuah pertanggung jawaban dihari akhir. Meskipun Tuhan telah mengirimkan utusan yang begitu handal dan manusia itu sendiri yang menjadi saksi saat diturunkannya utusan tersebut. Ialah Muhammad Sang Pencerah yang memuliakan akhlak manusia dari ajaran-ajaran yang sebelumnya. Bukan untuk menyalahkan dan menganggap bahwa ad-Din yang dibawanya adalah yang paling benar melainkan untuk meluruskan ajaran-ajaran yang sebelumnya diajarkan oleh rasul-rasul terdahulu. Karena tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar, kebenaran adalah milik yang memiliki kebenaran yang paling benar. Hak menilai yang seutuhnya adalah bagian dari kebenaran abadi yang sesungguhnya. Tak pantaslah manusia bersitegang dengan sesamanya hanya untuk memperebutkan kebenaran atas nama dirinya, atas nama apa yang dimilikinya yang melekat pada raganya yang semua itu adalah kepemiliikan Allah subhanahu wata’ala. Ibarat jika manusia telah mengetahui mili demi mili setiap lekuk tubuhnya dan mengambil makna yang tersirat dari raganya yang begitu indah dari situlah dia akan mengetaui seberapa Agung Tuhan Yang Maha Kuasa yang berkehendak diatas segala kehendak, pemilik Arsy. Kedekatan Tuhan dengan diri manusia adalah lebih dekat dari urat nadimu. Maka, Yang mengenal dirinya Yang mengenal Tuhannya.

Wajah-Wajah Yang Bercahaya


Bagaimanakah ciri-ciri orang yang bakal masuk Surga atau masuk Neraka? Salah satunya digambarkan Allah lewat idiom cahaya. Orang-orang yang beriman dan banyak amal salehnya, kata Allah, akan memancarkan cahaya di wajahnya. Sebaliknya, orang-orang yang kafir dan banyak dosanya akan 'memancarkan' kegelapan. Hal itu dikemukakan olehNya di ayat-ayat berikut ini 

QS Al Hadiid (57) : 12 "Pada hari dimana kalian melihat orang-orang beriman laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanannya." 

QS. Yunus (10) : 27 “… seakan-akan wajah mereka ditutupi oleh kepingan-kepingan malam yang gelap gulita, mereka itulah penghuni Neraka, mereka kekal di dalamnya.”

Kenapakah orang-orang yang beriman dan banyak pahalanya memancarkan cahaya, sedangkan yang banyak dosa 'memancarkan' kegelapan alias kehilangan cahaya?

Ini memang rahasia yang sangat menarik. Allah sangat sering menggunakan istilah cahaya di dalam Al Qur’an. Dia mengatakan bahwa Allah adalah cahaya langit dan Bumi (QS. 24:35). Firman firmanNya juga berupa cahaya (Qur’an QS. 4:174; Taurat QS. 5:44; Injil QS. 5:46). Malaikat sebagai hamba-hamba utusanNya juga terbuat dari badan cahaya. Dan pahala adalah juga cahaya (QS. 57:19). Karena itu orang-orang yang banyak pahalanya memancarkan cahaya di wajahnya (QS. 57:12).

Kunci pemahamannya adalah di Al Qur’an Surat An Nuur: 35. Di ayat itu Allah membuat perumpamaan bahwa DzaNya bagaikan sebuah pelita besar yang menerangi alam semesta. Pelita itu berada di dalam sebuah lubang yang tidak tembus. Tetap di salah satu bagian yang terbuka, ditutupi oleh tabir kaca

Dari tabir kaca itulah memancar cahaya ke seluruh penjuru dunia, bagaikan sebuah mutiara. Pelita itu dinyalakan dengan menggunakan minyak Zaitun yang banyak berkahnya, yang sinarnya memancar dengan sendirinya tanpa disentuh api. Cahaya yang dipancarkan pelita itu berlapis-lapis, mulai dari yang paling rendah frekuensinya sampai yang tertinggi menuju cahaya Allah. Ayat tersebut memberikan perumpamaan yang sangat misterius tetapi sangat menarik. Dia mengatakan bahwa hubungan antara Allah dengan makhlukNya adalah seperti hubungan antara Pelita (sumber cahaya) dengan cahayanya. Artinya makhluk Allah ini sebenarnya semu saja. Yang sesungguhnya ADA adalah DIA. Kita hanya 'pancaran atau pantulan' saja dari eksistensiNya.

Nah, cahaya yang dipancarkan oleh Allah itu berlapis-lapis mulai dari yang paling jelek (Kegelapan) sampai yang paling baik (Cahaya Putih Terang). Allah telah menetapkan dalam seluruh ciptaanNya itu bahwa Kegelapan mewakili Kejahatan dan Keburukan. Sedangkan Cahaya Terang mewakili Kebaikan. Maka, kalau kita ingin memperoleh kebaikan dan keberuntungan, kita harus memperoleh cahaya terang. Dan sebaliknya kalau kita mempoleh kegelapan berarti kita masuk ke dalam lingkaran kejahatan dan kerugian.

Yang menarik, ternyata 'cahaya' dan 'kegelapan' itu digunakan oleh Allah di dalam firmannya sebagai ungkapan yang sesungguhnya. Misalnya ayat-ayat yang saya kutipkan di atas. Bahwa orang-orang yang beriman, kelak di hari kiamat, benar-benar akan memancarkan cahaya di wajahnya. Sedangkan orang-orang kafir, justru kehilangan cahaya alias wajahnya gelap gulita. Dari manakah cahaya di wajah orang beriman itu muncul? Ternyata berasal dari berbagai ibadah yang dilakukan selama ia hidup di dunia. Setiap ibadah yang diajarkan rasulullah kepada kita selalu mengandung dua unsur, yaitu ingat kepada Allah (dzikrullah) dan membaca firmanNya yang berasal dari KitabNya. Baik ketika kita membaca syahadat, melakukan shalat, mengadakan puasa, berzakat, maupun melaksanakan ibadah haji.

Nah, dari kedua kedua unsur itulah cahaya Allah muncul. Bagaimanakah mekanismenya? Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa Allah adalah sumber cahaya langit dan Bumi. Maka ketika kita berdzikir kepada Allah, kita sama saja dengan memproduksi getaran getaran cahaya. Asalkan berdzikirnya khusyuk dan menggetarkan hati. Kuncinya adalah pada 'hati yang bergetar.’ Hati adalah tempat terjadinya getaran yang bersumber dari kehendak jiwa. Ketika seseorang marah, maka hatinya akan berdegup keras. Semakin marah ia, semakin kencang juga getarannya. Demikian pula ketika seseorang sedang sedih, gembira, berduka, tertawa, dan lain sebagainya.

Getaran yang kasar akan dihasilkan jika kita sedang dalam keadaan emosional. Sebaliknya getaran yang lembut akan muncul ketika kita sedang sabar, tenteram dan damai. Ketika sedang berdzikir, hati kita akan bergetar lembut. Hal ini dikemukan oleh Allah, bahwa orang yang berdzikir hatinya akan tenang dan tenteram.

QS. Ar Ra’d (13) : 28 “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah lah hati menjadi tenteram.”

Ketika seseorang dalam keadaan tenteram, getaran hatinya demikian lembut. Amplitudonya kecil, tetapi frekuensinya sangat tinggi. Semakin tenteram dan damai hati seseorang maka semakin tinggi pula frekuensinya. Dan pada, suatu ketika, pada frekuensi 10 pangkat 13 sampai pangkat 15, akan menghasilkan frekuensi cahaya.

Jadi, ketika kita berdzikir menyebut nama Allah itu, tiba-tiba hati kita bisa bercahaya. Cahaya itu muncul disebabkan terkena resonansi kalimat dzikir yang kita baca. lbaratnya, hati kita adalah sebuah batang besi biasa, ketika kita gesek dengan besi magnet maka ia akan berubah menjadi besi magnetik juga. Semakin sering besi itu kita gesek maka semakin kuat kemagnetan yang muncul daripadanya.

Demikianlah dengan hati kita. Dzikrullah itu menghasilkan getaran-getaran gelombag elektromagnetik dengan frekuensi cahaya yang terus menerus menggesek hati kita. Maka, hati kita pun akan memancarkan cahaya. Kuncinya, sekali lagi, hati harus khusyuk dan tergetar oleh bacaan itu. Bahkan, kalau sampai meneteskan air mata. Unsur yang kedua adalah ayat-ayat Qur’an. Dengan sangat gamblang Allah mengatakan bahwa Al Qur'an ada cahaya. Bahkan, bukan hanya Al Qur’an, melainkan seluruh kitab-kitab yang pernah diturunkan kepada para rasul itu mengandung cahaya.

QS. An Nisaa' (4) : 174 “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Qur’an).”

QS. Al Maa’idah (5 ) : 44 “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat, di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya …”

QS Al Maa’idah (5 ) : 46 "Dan Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil, sedang di dalamnya ada petunjuk dan cahaya . . . "

Artinya, ketika kita membaca kalimat-kalimat Allah itu kita juga sedang mengucapkan getaran-getaran cahaya yang meresonansi hati kita. Asalkan kita membacanya dengan pengertian dan pemahaman. Kuncinya, hati sampai bergetar. Jika tidak mengetarkan hati, maka proses dzikir atau baca Al Qur’an itu tidak memberikan efek apa-apa kepada jiwa kita. Yang demikian itu tidak akan menghasilkan cahaya di hati kita.

Apakah perlunya menghasilkan cahaya di hati kita lewat kegiatan dzikir, shalat dan ibadah-ibadah lainnya itu? Supaya, pancaran cahaya di hati kita mengimbas ke seluruh bio elektron di tubuh kita. Ketika cahaya tersebut mengimbas ke miliaran bio elektron di tubuh kita, maka tiba-tiba badan kita akan memancarkan cahaya tipis yang disebut 'Aura'. Termasuk akan terpancar di wajah kita.

Cahaya itulah yang terlihat di wajah orang-orang beriman pada hari kiamat nanti. Aura yang muncul akibat praktek peribadatan yang panjang selama hidupnya, dalam kekhusyukan yang sangat intens. Maka Allah menyejajarkan atau bahkan menyamakan antara pahala dan cahaya, sebagaimana firman berikut ini.

QS. Al Hadiid (57) : 19 “... bagi mereka pahala dan cahaya mereka…”

Dan ternyata cahaya itu dibutuhkan agar kita tidak tersesat di Akhirat nanti. Orang-orang yang memililki cahaya tersebut dapat berjalan dengan mudah, serta memperoleh petunjuk dan ampunan Allah. Akan tetapi orang-orang yang tidak memiliki cahaya, kebingungan dan berusaha mendapatkan cahaya untuk menerangi jalannya. QS. Al Hadiid (57) : 28 “…dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu.”

QS. Al Hadiid (57) 13 "Pada hati ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman : "Tunggulah kami, supaya kami bisa mengambil cahayamu."

Dikatakan (kepada mereka): "Kembalilah kamu ke belakang, dan carilah sendiri cahaya (untukmu). "Lalu diadakanlah di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya ada siksa."

QS. Ali lmraan (3) : 106 - 107 "Pada hari yang di waktu itu ada muka yang menjadi putih berseri dan ada Pula yang menjadi hitam muram. 'Ada pun orang-orang yang hitam muram mukanya, (dikatakan kepada mereka) : kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.

"Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, maka mereka berada di dalam rahmat Allah, mereka kekal di dalamnya.”

Jadi, selain wajah yang memancarkan cahaya, Allah juga memberikan informasi tentang orang-orang kafir yang berwajah hitam muram. Bahkan di QS. 10 : 27 dikatakan Allah, wajah mereka gelap gulita seperti tertutup oleh potongan¬-potongan malam.

Dalam konteks ini memang bisa dimengerti bahwa orang -orang kafir yang tidak pernah beribadah kepada Allah itu wajahnya tidak memancarkan aura. Sebab hatinya memang tidak pernah bergetar lembut. Yang ada ialah getaran-getaran kasar.

Semakin kasar getaran hati seseorang, maka semakin rendah pula frekuensi yang dihasilkan. Dan semakin rendah frekuensi itu, maka ia tidak bisa menghasilkan cahaya.

Bahkan kata Allah, di dalam berbagai firmanNya, hati yang semakin jelek adalah hati yang semakin keras, tidak bisa bergetar. Seperti yang pernah saya singgung sebelumnya, tingkatan hati yang jelek itu ada 5, yaitu : 1. Hati yang berpenyakit (suka bohong, menipu, marah, dendam, iri, dengki disb), 2. Hati yang mengeras. 3. hati yang membatu. 4. Hati yang tertutup. dan 5. Hati yang dikunci mati oleh Allah. Maka, semakin kafir seseorang, ia akan semakin keras hatinya. Dan akhirnya tidak bisa bergetar lagi, dikunci mati oleh Allah. Naudzu billahi min dzalik. Hati yang:seperti itulah yang tidak bisa memancarkan aura. Wajah mereka gelap dan muram. QS. Az Zumaar (39) : 60 "Dan pada hari kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat dusta kepada Allah, mukanya menjadi hitam."

QS. Al An’aam (6) : 39 “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita…”

Seperti yang telah saya kemukakan di depan, bahwa ternyata kegelapan itu ada kaitannya dengan kemampuan indera seseorang ketika dibangkitkan. Di sini kelihatan bahwa orang-orang kafir itu dibangkitkan dala keaaan tuli, bisu, buta, dan sekaligus berada di dalam kegelapan. Sehingga mereka kebingungan. Dan kalau kita simpulkan semua itu disebabkan oleh hati mereka yang tertutup dari petunjuk-petunjuk Allah swt.

QS. Al Hajj (22) : 8 "Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab yang bercahaya."

QS. Al Maa’idah (5 ) : 16 “…dan (dengan kitab itu) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizinNya.”

QS. Al A’raaf (7) : 157 “…dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

QS. An Nuur (24) : 40 “…dan barangsiapa tidak diberi cahaya oleh Allah, tidaklah ia memiliki cahaya sedikit pun.”

QS. At Tahriim (66) : 8 "Hai orang-orang yang beriman bertaubatlah kepada Allah, dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan para nabi dan orang-orang beriman yang bersama dengan dia, sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan : Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami, dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu."


Mawas Diri adalah Puncak Makrifat


Tasawuf adalah khazanah ilmu Islam yang bagai samudera tanpa tepi. Ia ajaran yang membumi, sekaligus melangit. Membumi karena memberi keleluasaan bagi kearifan lokal. Melangit karena memberi keluasan bagi pejalan untuk mencapai puncak-puncak spiritualitas masing-masing. Dan, sebagaimana jumlah gunungnya yang banyak, puncak makrifat di Jawa pun tidak cuma satu, melainkan jamak dan beragam.


Dalam buku ”Makrifat Cinta” yang saya tulis dan akan diterbitkan Noura Books (Grup Mizan) pada Januari 2013, saya menulis,”Mripat, yang adalah bahasa Jawa dari mata, oleh sebagian kalangan juga dianggap sebagai selip lidah dari Makrifat.” Dalam hubungannya dengan Makrifat, mripat atau mata bukanlah alat penglihatan, melainkan medium bagi peristiwa cahaya. Terang dan gelap memang berbeda, namun keadaan itu akan sama saja jika tidak ada mata yang dicahayai dan sinar yang mencahayai.

Mata adalah yang dicahayai, sinar adalah yang mencahayai. Dalam tatasurya, matahari adalah bintang induk dan komponen utama yang memancarkan cahaya terbesar bagi kehidupan. Matahari dapat dibaca selayaknya zat, sifat, asma, dan af'al dalam kajian tasawuf. Zatnya adalah matahari itu sendiri. Sifatnya adalah cahaya atau benderang matahari. Asmanya adalah sinar atau pancaran cahaya. Af'al-nya panas atau sentuhan sinar. Matahari tetap di tempatnya, namun cahaya, sinar, dan panas matahari sampai ke bumi yang berjarak 150 juta kilometer, bahkan menembus kulit manusia.

Untuk memahami Makrifat, kita tidak boleh kehilangan momen-momen manusiawi. Cahaya, sinar, dan panas matahari memberikan sensasi rasa yang sama bagi setiap manusia. Di bawah satu matahari yang sama, manusia sama saja. Sama-sama mengalami kasyaf sejak menerima cahaya. Sama-sama mengalami tajalli sejak menerima sinar. Sama-sama mengalami makrifat sejak menerima panas. Tanpa panas matahari, sama-sama akan layu dan mati. Tanpa sinar matahari, sama-sama akan hilang pandang, bahkan buta. Tanpa cahaya matahari, sama-sama akan berada dalam gelap.

Jika makrifat dikaitkan dengan mripat atau mata, maka puncak makrifat sesungguhnya adalah peristiwa melihat. Segitiga melihat diri sendiri-melihat liyan-dilihat liyan, mengerucut pada salah satu puncak makrifat Jawa, yaitu sawang-sinawang. Sebagaimana kajian tentang cahaya, yang mencahayai, dan yang dicahayai; maka makrifat adalah penglihatan, yang melihat, dan yang dilihat. Dalam rangka mawas diri, yaitu melihat diri sendiri sebelum melihat liyan dan dilihat liyan, maka mata menjelma penglihatan, penglihatan melihat diri sendiri, dan diri sendiri dilihat oleh penglihatannya sendiri.

Kearifan Makrifat Jawa mengajarkan,” Sawangen githokmu dewe. (Lihatlah tengkukmu sendiri).” Ini ajaran tentang bagaimana hidup dengan melihat perilaku diri sendiri demi mencapai kemuliaan tindakan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Anas ibn Malik, Rasulullah Saw bersabda,” Innama buits-tu li utammima makarimal akhlaq, sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.” Akhlak mulia mewujud tindakan luhur. Rasulullah Saw sendiri adalah sosok pribadi yang luhur.

Rasulullah Saw adalah uswatun hasanah, suri teladan. Dalam Q.S. Al Anbiyaa: 107, Allah berfirman,”Wamaa arsalnaaka illa rahmatan lil-aalamiina. Tiadalah Kami mengutus engkau [Muhammad], melainkan untuk menjadi rahmat bagi alam raya.” Ia melihat kehidupan bukan sekadar hitam putih. Muhammad melihat setiap hal dengan membiarkan apa yang dilihatnya itu sesuai warna aslinya. Dari sanalah, perbedaan dinikmati sebagai keindahan dan kemanusiaan diterima sebagai sesuatu yang semestinya.
==

Candra Malik, pengasuh Kelas Sufi

PETUALANGAN JIWA: Sebuah Langkah Awal Dalam Meniti Jalan Cinta Menurut Perspektif ‘Attar dalam Mantiq at-Tayr



By Nanik Y.
------------
PENDAHULUAN

            Jiwa, sebuah kata yang mengandung banyak misteri di dalamnya. Begitu banyak alegori yang melambangkan tentang jiwa, terlebih jiwa manusia, salah satunya adalah ‘Attar, yang menggambarkan jiwa manusia sebagi burung-burung yang melakukan sebuah pencarian menuju sebuah kebenaran sejati.
            Dalam makalah ini, saya mencoba untuk menghubungkan antara perumpamaan yang disampaikan oleh ‘Attar dengan kaitannya terhadap Cinta Ilahi. Yang pada dasarnya, perumpamaan yang disampaikan oleh ‘Attar tersebut, juga merupakan sebuah proses bagi jiwa manusia dalam mencapai Cinta Ilahi serta kebenaran yang hakiki.
Tulisan ini terbagi dalam beberapa kerangka bagian, yang tersusun berdasarkan sistematika sebagai berikut: Bagian pertama mengetengahkan sekilas tentang ‘Attar, sang perangkai Mantiq at-Tayr. Bagian kedua memberikan sedikit gambaran mengenai Mantiq at-Tayr  karya ‘Attar. Bagian ketiga mencoba mengungkap sedikit makna yang terkandung dalam proses perjalanan burung-burung, yang terkemas dalam Mantiq at-Tayr. Bagian keempat  mencoba menghubungkan antara alegori karya ‘Attar ini, dengan suatu proses meniti jalan cinta menuju Ilahi.


SEKILAS MENGENAI ‘ATTAR

Fariduddin Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim, atau yang lebih sering dikenal dengan al-`Attar (yang artinya adalah pembuat minyak wangi dan obat-obatan), ia lahir pada tahun 1120 di Nisyapur, ia juga adalah seorang sufi dan sastrawan besar persia pada sekitar abad ke-12 dan 13 M.  Karyanya, yaitu Mantiq al-Tayr  (Musyawarah Burung) dianggap sebagai salah satu karya terbesar dalam sejarah sastra Islam, serta diterima secara luas di hampir seluruh  belahan dunia.
Selain sebagai seorang sufi yang juga merangkap sebagai sastrawan, ia juga dikenal sebagai seorang ahli obat-obatan dan saudagar minyak wangi yang cukup berada, itulah sebabnya, ia lebih dikenal dengan nama ‘Attar. Kisah perjalanan hidupnya berubah dan bermula ketika pada suatu hari, datanglah seorang fakir lanjut usia ke toko minyak wanginya. Melihat seorang fakir yang dikiranya akan mengemis itu, `Attar segera bangkit dari tempat duduknya, menghardik dan mengusirnya agar pergi meninggalkan tokonya. Kemudian, fakir itu menjawab, “Jangankan meninggalkan tokomu, meninggalkan dunia dan kemegahannya ini pun,  tidaklah sulit bagiku! Tetapi, bagaimana dengan kau? Dapatkah kau meninggalkan kekayaanmu, tokomu dan dunia ini?” `Attar tersentak, lalu menjawab spontan, “Bagiku juga tidak sukar meninggalkan duniaku yang penuh kemewahan ini!”
Seketika itu pula, fakir lanjut usia tersebut menghembuskan nafas terakhirnya. Setelah menguburkan fakir itu sebagaimana seharusnya, `Attar menyerahkan penjagaan toko-tokonya yang  melimpah di Nisyapur kepada sanak-saudaranya, sedangkan dia sendiri, tanpa membawa sepeser pun uang,  ia mengembara ke seluruh negeri untuk menemui para guru tasawuf. Beberapa tahun kemudian, ketika usianya mencapai 35 tahun, dia kembali ke tanah kelahirannya tersebut, namun, sebagai seorang ‘Attar yang berbeda, yaitu, seorang ‘Attar yang pada awalnya hanyalah seorang pemilik toko minyak wangi dan obat-obatan besar, kini juga telah menjadi seorang guru kerohanian yang cukup bernama besar. Kemudian, selain memberikan pelatihan-pelatihan kerohanian serta mendirikan beberapa sekolah, dia juga tetap melanjutkan profesinya sebagai ahli obat-obatan dan saudagar minyak wangi.
            Salah satu kemahiran `Attar yang telah lama dikenal oleh penduduk Nisyapur, adalah kemahirannya bercerita. Ia sering melayani pasien-pasien dan pelanggannya dengan bercerita, sehingga secara langsung cerita–cerita tersebut pun  memikat  mereka. Ketika  tokonya  sedang sepi  dengan pelanggan, dia pun
menyempatkan dirinya untuk menulis cerita. Di antara karya-karyanya yang terkenal ialah  Thadkira al-`Awlya (Anekdote Para Wali), Ilahi-namah (Kitab Ketuhanan), Musibat-namah (Kitab Kemalangan) dan Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung), yang secara lebih lanjutnya akan saya bahas pada bait demi bait kata berikutnya.


MANTIQ AT TAYR    

Salah satu karya terbesar ‘Attar adalah Mantiq at-Tayr, yaitu musyawarah para burung. Di dalamnya, ‘Attar menggambarkan secara simbolik mengenai penapakan jalan kerohanian atau tasawwuf yang dapat ditempuh melalui tujuh lembah, yaitu: lembah pencarian (talab), lembah cinta (`isyq), lembah kearifan (ma`rifah), lembah  kebebasan atau kepuasan hati (istighna), lembah kesaksian kalbu mengenai ke-Esa-an Allah (tauhid), lembah ketakjuban (hayrat), serta lembah kefakiran (faqr) dan (fana`).
Namun,  `Attar menganggap bahwasanya jalan-jalan tasawuf yang dimaksud  sebenarnya adalah merupakan jalan cinta, sedangkan ke-tujuh lembah yang dimaksud, tidak lain adalah keadaan-keadaan yang berkaitan dengan cinta.  Misalnya, ketika seseorang memasuki lembah pencarian.  Cintalah  yang pada dasarnya mendorong seseorang yang bersangkutan untuk melakukan pencarian. Sedangkan lembah-lembah lainnya adalah merupakan tahapan berikutnya yang sekiranya akan dicapai dalam jalan cinta tersebut.
Mantiq al-Tayr, adalah sebuah alegori sufi yang menceritakan tentang penerbangan para burung dalam proses pencariannya akan sosok seorang raja, yang berada di puncak gunung Qaf, yang mereka sebut sebagai Simurgh.       Dalam pencarian tersebut para burung dipimpin oleh Burung Hud hud. 
            Lembah pertama yang dilalui oleh burung-burung tersebut, adalah lembah pencarian (talab). Di lembah ini, seseorang atau jiwa manusia yang dilambangkan dengan burung-burung, diharuskan untuk memiliki cinta dan harapan, karena dengan kedua hal tersebutlah, seseorang dapat bertindak lebih sabar dalam menghadapi rintangan serta godaan yang dijumpainya. Dalam lembah ini juga, ia harus melepaskan kecintaannya akan dunia dan jasmani. Dengan demikian, ketika ia berhasil melakukannya, ia akan merasakan kerinduan yang amat sangat terhadap-Nya, serta rela mengabdikan diri kepada-Nya. Setelah itu, dengan sendirinya, ia akan berada dalam naungan Cinta,  serta diberikan anugerah dengan menyaksikan cahaya Keagungan Tuhan.
Lembah yang Kedua, yaitu lembah Cinta (isyq). Di sini, `Attar melambangkan cinta sebagai api yang terang, yaitu mata batin yang dapat menembus bentuk-bentuk jasmani dan menyikap rahasia yang terdapat dalam ciptaan. Sedangkan, ‘Attar melambangkan pikiran (akal) sebagai asap yang mengaburkannya. Sehingga, cinta yang sejati dapat menyingkap apa yang ada di balik asap tersebut.
Berkaitan dengan hubungan antara cinta dan pikiran (akal) ini, Syah Nikmatullah Wali memberikan sumbangsihnya dalam mengartikan bahwa cinta dan pikiran (akal), adalah ibarat dua sayap yang berasal dari satu burung yang sama, yaitu yang disebut dengan jiwa. Ia berkata:

            Akal dipakai  untuk memahami
            Keadaan manusia selaku hamba-Nya
            Cinta untuk mencapai kesaksian
            Bahwa  Tuhan itu Satu[1]

Di lembah Cinta ini, ada begitu banyak cobaan serta ujian, yang dapat menyesatkan seseorang. Hanya petunjuk Tuhan lah, yang dapat menyelamatkannya dari bahaya. Namun, petunjuk tersebut hanya akan datang berdasarkan ikhtiyar dan doa yang dipanjatkan, baik oleh dirinya sendiri, maupun oleh orang lain. Seperti halnya yang terdapat dalam kisah Syekh San’an dan gadis yunani yang beragama nasrani.
Lembah Ketiga, yaitu lembah kearifan (ma’rifah). Kearifan adalah sebuah pengetahuan yang berisi tentang Zat Yang Abadi, dengan demikian, ia akan selalu terjaga kesadarannya tentang Tuhan Yang Satu. Dengan adanya kearifan, seseorang akan dapat selalu terjaga dari adanya tipu muslihat, serta waspada terhadap kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya.
Seseorang yang telah berhasil mencapai makrifat, akan menerima cahaya sesuai dengan usaha yang telah dilakukannya, serta akan mengenal kebenaran Ilahi. Orang yang telah mengenal hakekat segala sesuatu, akan memandang dunia  melalui penglihatan hatinya yang telah tercerahkan, serta tidak lagi terpaku pada  sesuatu yang tidak berguna, karena perhatiannya telah tertuju sepenuhnya terhadap yang Hakiki.
Lembah Keempat, yaitu lembah kebebasan atau kepuasan hati (istighna). Di lembah ini, tidak ada lagi nafsu dan keinginan-keinginan pribadi maupun duniawi yang dapat memenuhi jiwa seseorang, karena pandangannya telah tercerahkan oleh kehadiran Ilahi.  Di sini, seseorang telah merasa tercukupi dengan adanya rahmat yang telah dilimpahkan Tuhan kepadanya. Untuk  mencapai tingkat ini, seseorang harus mengganti segala keraguan yang ada dengan keteguhan iman (haqq al-yaqin).
Lembah Kelima, yaitu lembah kesaksian kalbu mengenai ke-Esa-an Allah  (Tauhid). Di lembah ini, seseorang menyadari bahwa sebenarnya hakekat wujud yang beraneka ragam itu sebenarnya satu, yaitu manifestasi Cinta Yang Satu, rahman dan rahim-Nya. Dan, segala sesuatu yang kelihatannya berbeda, terlihat bahwasanya semuanya berasal dari hakekat yang sama. Meskipun, pada awalnya ia melupakan segalanya, namun selanjutnya, ia akan menyadari bahwasanya ia selalu bersama dengan Tuhan Yang Esa.


Ralph Waldo Emerson, dalam The Celestial Love, menyatakan:

Hendaknya engkau meratapi cinta;
Di dalam bayangan, yang darinya semuanya terbentuk
Ke dalam satu bentuk, kemudian semuanya melebur……
Membimbing dunia dengan ikatan dan persyaratan;
Dimana hal-hal yang tidak sama menjadi serupa;
Di mana kebaikan dan keburukan,
Pekik kegembiraan dan rintih kesedihan,
Melebur menjadi satu.[2]

Lembah Keenam, yaitu lembah ketakjuban (Hayrat). Di lembah ini, kita akan tenggelam dalam sebuah ketakjuban yang amat sagat,  yang karenanya, seolah-olah kita berada dalam suatu kebingungan.  Siang seakan menjadi malam, dan  malam seakan menjadi siang. Kesusahan dan kebahagiaan seakan sulit untuk dibedakan. Dan segala sesuatunya menjadi semakin tak jelas batasannya.
Lembah Ketujuh, yaitu lembah kefakiran (Faqir) dan (Fana). Faqir, adalah suatu kesadaran bahwasanya dia tidaklah memiliki sesuatu apapun kecuali cinta kepada-Nya.   Namun demikian, hal ini tidaklah mengindikasikan bahwasanya seorang faqir sama sekali tidak memperdulikan segala seuatu selain-Nya, melainkan, ia menandang segala sesuatunya dengan tetap merujuk kepada-Nya. Dengan adanya kefakiran,  seseorang mampu memaknai setiap kejadian yang terjadi dalam kehudupannya, dengan tidak hanya terpaku pada makna formal semata.
Dalam akhir kisah pencarian ini, ‘Attar menuliskannya sebagai berikut:         “Tahukah kau apa yang kaumiliki? Masuklah ke dalam dirimu sendiri dan renungkan ini. Selama kau tak menyadari kehampaan dirimu, dan selama kau tak meninggalkan kebanggan diri yang palsu, serta kesombongan dan cinta diri yang berlebihan, kau tidak akan mencapai puncak keabadian. Di jalan tasawuf  kau  mula-mula akan dicampakkan  ke dalam lembah kehinaan, kemudian baru kau akan diangkatnya  ke  puncak gunung  kemuliaan”.


MAKNA DI BALIK MANTIQ AT-TAYR

Mantiq at-tayr, merupakan sebuah perumpamaan yang menggambarkan dan menceritakan keadaan rohani dan pengalaman mistik seorang sufi, yang juga adalah sebuah proses pencarian dalam menempuh jalan tasawuf. Burung-burung, yang melakukan perjalanannya dalam mantiq at-tayr tersebut, adalah menggambarkan jiwa manusia yang merindu akan Tuhannya serta akan hakikat dirinya yang hakiki. Yang pada dasarnya, jiwa yang bersangkutan itu mampu untuk terbang mengembara menuju alam lain di luar tubuh dan fikiran manusia itu sendiri, seperti halnya burung yang dapat terbang melalui kedua sayapnya.
Menurut para sufi, jiwa manusia adalah bagaikan seekor burung yang memiliki dua sayap, yaitu akal dan cinta (kalbu). Yang pada dasarnya, jika jiwa-jiwa itu merindukan Tuhan dan hakikat dirinya sendiri, dengan sendirinya, ia akan melakukan sebuah perjalanan penerbangan dengan akal dan cinta (kalbu) yang dimilikinya.
Sedangkan burung-burung lain yang juga melakukan perjalanan tersebut, yang pada dasarnya terdiri dari berbagai jenis burung yang berbeda-beda, juga mencerminkan hakikat-hakikat manusia yang memiliki kecenderungan yang berbeda-beda pula. Yang pada dasarnya, hal-hal tersebut seringkali mempengaruhi manusia itu sendiri dalam melakukan perjalanan menuju kebenaran yang hakiki.
Burung Hud hud, yang memimpin perjalanan kerohanian tersebut, adalah melambangkan atau menggambarkan sebuah jiwa manusia yang uncommon, yaitu seorang guru kerohanian atau sufi, yang pada dasarnya telah mencapai tingkatan makrifat yang tinggi.
Simurgh, yang menjadi obyek pencarian dalam perjalanan tersebut, adalah melambangkan hakikat diri manusia itu sendiri, yang juga melambangkan hakikat kebenaran tertinggi. Sebagaimana diceritakan dalam mantiq at tayr tersebut, Simurgh berada di puncak gunung yang tinggi, seperti halnya  hakikat diri manusia itu sendiri, yang pada dasarnya memiliki posisi yang tertinggi.  Dalam kisah Mantiq al-Tayr tersebut, jumlah burung yang berhasil menjumpai Simurgh berjumlah tiga puluh ekor. Si-murgh, dalam bahasa Persia berarti tiga puluh. Dengan demikian, kisah pencarian para burung ini adalah merupakan kisah penerbangan jiwa-jiwa manusia dalam mencari hakikat dirinya sendiri.
Bukit Qaf, adalah melambangkan suatu pengalaman atau pencapaian tingkat kerohanian yang tertinggi. Dalam sastra sufi, bukit digunakan untuk melambangkan pertemuan antara manusia dengan Tuhan, serta dengan hakikat dirinya sendiri.
Tujuh lembah, adalah melambangkan tahapan-tahapan perjalanan kerohanian jiwa manusia dalam mencapai Cinta Ilahi. Pada tiap lembah atau tahapan perjalanan yang ditempuh, ada banyak tantangan serta pengalaman-pengalaman mistik yang dialami oleh para jiwa yang melakukan perjalanan kerohanian tersebut. Dan, pada setiap lembahnya, jiwa-jiwa manusia itu akan mengalami pengalaman-pengalaman yang berbeda.
Berkaitan dengan lembah terakhir  yang dilalui oleh jiwa manusia tersebut, `Attar menuliskan sebagai berikut.

Melalui kesukaran dan kehinaan jiwa burung-burung itu luluh
Dalam fana, sementara tubuh mereka menjadi debu
Setelah dimurnikan maka mereka menerima hidup baru
Dari Cahaya Hadirat Tuhan yang Baqa
Sekali lagi mereka menjadi hamba-hamba berjiwa segar
Perpuatan dan kebisuan mereka pada masa yang lampau
Telah lenyap dan hapus dari lubuk dada mereka
            Matahari Kehampiran bersinar terang dari dalam diri mereka
            Jiwa mereka diterangi oleh cahaya petunjuk-Nya
            Dalam pantulan wajah tiga puluh burung (si-murgh) dunia
            Mereka lantas menyaksikan wajah Simurgh
            Apabila mereka memandang ke dalam diri mereka
            Ya nampak, itulah Simurgh, bukan lain.
            Tidak diragukan bahwa Simurgh ialah tiga puluh (si-murgh) burung
            Semua bingung penuh ketakjuban, tidak tahu apa mereka ini atau itu
            Mereka memandang diri mereka tiada lain ialah Simurgh[3]

           

MENITI JALAN CINTA MENUJU ILAHI

Dalam sedikit ulasan mengenai Mantiq at-Tayr di atas, ‘Attar menyarankan agar, dalam kehidupan, manusia hendaknya menempuh jalan cinta. Karena cinta, adalah penawar bagi segala kesedihan, dan merupakan obat dalam dua dunia. Selain itu, cinta juga adalah merupakan penghubung antara kita dan Tuhan kita. Dan ternyata, pengalaman cinta juga dapat membantu kita agar dapat mengenal obyek yang kita cintai dengan lebih mendalam.
Sebelum memulai proses penitian jalan cinta ini, ada baiknya jika terlebih dahulu kita mengetahui tentang konsep dari cinta, serta pembagian-pembagian cinta itu sendiri, yaitu sebagai berikut:
Ø      Cinta Ilahi.
Rahmat atau cinta Tuhan terdiri dari dua macam, yaitu:
1.      Rahmat atau cinta esensial (rahman), yaitu rahmat atau cinta Tuhan yang dilimpahkan kepada semua makhluq-Nya, tanpa mengenal ras, bangsa, maupun agama.
2.      Rahmat atau cinta wajib (rahim), yaitu rahmat atau cinta Tuhan yang hanya dilimpahkan-Nya kepada orang-orang tertentu saja, yaitu mereka yang beriman kepada-Nya.
Ø      Cinta Mistikal atau Kesufian atau (cinta pada manusia), terdiri dari dua macam, yaitu:
1.      Cinta mistikal atau rohani, yaitu, cinta yang ditujukan kepada Tuhan. Cinta ini,  mampu membawa seorang pencinta kepada penglihatan batin yang peka, sehingga mampu menembus bentuk forma kehidupan, untuk menuju kepada yang hakiki, termasuk hakikat ke-Tuhan-an. Cinta semacam inilah, yang mampu mengepakkan sayap jiwa untuk terbang menuju Hakikat Yang Tertinggi.
2.      Cinta alami atau kodrati, yaitu, cinta yang ditujukan kepada sesama manusia dan lingkungan sekitarnya. Cinta ini, dapat dijadikan sebagai jalan dalam mendaki cinta mistikal atau rohani. Dalam al-Qur’an, cinta alami atau kodrati ini adalah merupakan konsep amar ma’ruf nahi munkar, atau disebut juga dengan solidaritas sosial yang bertujuan untuk membentuk lingkungan masyarakat yang diridhoi oleh Tuhan[4].
Salah satu tujuan manusia dalam melakukan perjalanan rohani dalam cinta, adalah untuk meningkatkan martabatnya, yang selain sebagai hamba Tuhan, juga merupakan utusan Tuhan di bumi.
Pada dasarnya, pengetahuan tentang jiwa manusia sangatlah penting, karena pengetahuan tersebut dapat menyampaikan kita terhadap pengetahuan akan Tuhan. Namun demikian, pengetahuan serta perenungan terhadap diri juga tak dapat dikesampingkan, karena dengannya, juga akan mendatangkan secercah pengetahuan lebih mendalam akan Tuhan.
Salah satu ciri dari cinta sejati  dalam makna penglihatan batin, adalah bahwasanya cinta itu mampu menembus bentuk zahir segala sesuatu hingga mencapai hakekatnya yang terdalam. Karena dengan melihat hakekat segala sesuatu, maka seorang pencinta dapat memiliki gambaran yang berbeda dari orang lain tentang dunia dan kehidupan. Seorang pencinta tidaklah memandang sesuatu hanya dengan menggunakan mata biasa, melainkan dengan menggunakan mata batinnya. Berkaitan dengan ini, `Attar  menyatakan demikian:

            Ketahuilah wahai yang tak pernah diberi tahu!
            Di antara pencinta, burung-burung itu telah bebas
            Dari kungkungan sangkarnya  sebelum ajal mereka tiba
            Mereka memiliki perkiraan dan gambaran lain tentang dunia
            Mereka memiliki lidah dan tutur yang berbeda pula
            Di hadapan Simurgh mereka luluh dan bersimpuh
            Mereka mendapat obat demi kesembuhan mereka dari penyakit
            Sebab Simurgh mengetahui bahasa sekalian burung[5]

Rumi mengatakan bahwa untuk memahami kehidupan, manusia dapat melakukannya melalui Jalan Cinta, dan tidak hanya terpaku pada Jalan Pengetahuan. Cinta adalah asas penciptaan kehidupan dan alam semesta. Cinta  memberikan dorongan yang kuat untuk mencapai sesuatu. Cinta adalah penggerak kehidupan dan perputaran alam semesta. Menurut Rumi, cinta yang sejati dan mendalam, dapat menghantarkan seseorang terhadap pengenalan hakikat sesuatu secara mendalam, yaitu hakikat kehidupan yang tersembunyi di balik bentuk-bentuk fisiknya. Karena cinta dapat membawa kepada kebenaran tertinggi, Rumi  berpendapat bahwa cinta merupakan sarana terpenting manusia dalam menerbangkan dirinya menuju Yang Esa,  Rumi menulis sebagai berikut:

            Inilah Cinta: Terbang tinggi melesat  ke langit
            Setiap saaat ratusan hijab tercabik
            Langkah pertama menyangkal dunia (zuhd)
            Kemudian jiwa pun berjalan tanpa kaki

            Dalam cinta, dunia dan benda telah raib
            Segala yang muncul di benak dipandangnya sepi

            Kataku, ”Moga bahagia kau, o Jiwa!
            Bertandang riang ke negeri para pencinta

            Menyaksikan kerajaan tak terpandang mata
            Merasakan  alangkah lezatnya gairah dalam dada!
            Katakan, o Jiwa, dari mana nafas ini datang
            Katakan pula o Hati, bagaimana jantung ini bisa berdenyut![6]

Menurut Musliuddin Sa’di Shirazi (571 H), dalam mencintai Tuhan, kualitas cinta manusia diukur berdasarkan tingkat kedekatannya terhadap hal-hal yang bersifat mistis. Cinta adalah sebuah kesetiaan yang luar biasa. Lebih lanjutnya, Sa’di menyatakan:

Orang yang menginginkan keselamatan hidupnya hendaknya tidak memasuki jalan cinta, karena berpikir tentang keselamatan seringkali membelokkan hati dari ketaatan terhadap yang dicintainya. Menjadi budak bagi diri sendiri dapat mengalihkan cinta kepada cara berpikir  yang menyesatkan. Seorang pecinta sejati, sekalipun tidak pernah memperoleh kasih sayang yang sesungguhnya, tanpa disadari ia akan mati ketika sedang berusaha meraihnya. Apabila engkau seorang pecinta, kejarlah Kekasihmu, perolehlah apa yang dapat diperoleh, yakni kebahagiaan, atau engkau akan menjumpai kematian di pintu gerbang kerinduan.[7]

Menurut para sufi, dalam tasawuf, cintalah yang mampu membawa seseorang mendekati Tuhannya, karena sifat utama Tuhan adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang.  Atas dasar itu, menurut para sufi, salah satu jalan terbaik untuk mendekatkan diri terhadap Ilahi, ialah dengan cinta.
Sedangkan, menurut `Attar sendiri, seseorang yang berkehendak untuk menempuh jalan tasawuf, hendaknya mempunyai seribu hati, sehingga, ketika ia mampu mengorbankan salah satu hatinya, ia tetap merasa tak kehilangan yang lainnya.  Di sini, Cinta dihubungkan dengan adanya suatu pengorbanan. Dengan demikian, pengorbanan dalam cinta berarti suatu usaha untuk melangkah menuju apa yang dituju, yaitu Cinta Ilahi.
            Berkaitan dengan ini, Rumi menuliskan, dalam syairnya yang berjudul Cinta dan Tindakan Batin, sebagi berikut:

Seperti halnya kekuasaan memberi keterangan tentang cinta
Yang membuat kau menyimpulkan adanuya cinta begitulah, jika cahaya Tuhan mencapai indera
Kau tak akan menjadi hamba dari sebab ataupun akibat

Cinta akan memancarkan kilatan cahaya dalam hati
Dan membuat orang yang tercerahkan bebas dari akibat
Dia tak memerlukan lagi alamat atau isyarat cinta
Karena cinta telah mwemancarkan kilauan sinarnya kelangit kalbu[8]



KESIMPULAN

          Dari sedikit pemaparan yang telah tercakup dalam rangkaian-rangkaian kalimat di atas, dapat sedikit ditarik kesimpulan bahwasanya untuk mencapai suatu kebenaran yang hakiki serta untuk mencapai Cinta Ilahi, dibutuhkan begitu banyak hal yang harus dilakukan, dalam proses penitian jalannya.
Selain itu, dalam proses penitian jalan dan pencarian yang dilakukan oleh jiwa-jiwa tersebut, ada begitu banyak pengalaman mistis yang dialami oleh jiwa-jiwa tersebut, yang pada dasarnya pengelaman-pengalaman yang dialami itu berbeda-beda, sesuai dengan tingkatan jiwa-jiwa tersebut.
          Dengan demikian, begitu banyak hal yang dapat diperoleh dan diketahui melalui pencarian tersebut, salah satunya adalah untuk mengetahui hakikat kehidupan serta hakikat kebenaran yang sejati, yaitu Tuhan.



DAFTAR PUSTAKA

Hadi W.M, Abdul. “Mantiq at-Tayr”  Alegori Sufi Fariduddin al-‘Attar. Mata Kuliah
Seni dan Sastra Islam (6).  

Hadi W.M, Abdul. Cinta  Ilahi  dalam  Tasawwuf   Menurut  Fariduddin ‘Attar  dalam
‘Mantiq at-Tayr”. Mata Kuliah Seni dan Sastra Islam.

Hadi W.M, Abdul. Puisi-puisi Sufi Arab. Mata Kuliah Seni dan Sastra Islam (5).

Hadi W.M, Abdul. Rumi  dan Relevansi  Sastra Sufi. Mata  Kuliah  Seni  dan  Sastra
Islam. Jakarta: 2005

Nakosteen, Mehdi. Kontribusi  Islam atas Dunia  Intelektual  Barat (Deskripsi Analisis
Abad Keemasan Islam). Risalah Gusti. Surabaya: 2003.

Hadi W.M, Abdul. Lagu seruling rumi. Matahari. Yogyakarta: 2004.

Dari internet




[1] Abdul Hadi W.M. Cinta Ilahi dalam Tasawwuf Menurut Fariduddin ‘Attar dalam ‘Mantiq at-Tayr”.  Mata  Kuliah Seni dan Sastra Islam. Hal, 2.
[2] Mehdi Nakosteen. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat (Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam). Surabaya: 2003. Hal, 135.
[3] Abdul Hadi W.M. “Mantiq at-Tayr”  Alegori Sufi Fariduddin al-‘Attar. Mata Kuliah Seni dan Sastra Islam (6).  Hal 19
[4] Op. Cit.
[5] Op. Cit.
[6] Abdul Hadi W.M. Rumi dan Relevansi Sastra Sufi. Mata Kuliah Seni dan Sastra Islam. Jakarta: 2005.
[7] Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat (Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam). Surabaya. 2003.  Hal. 119.
[8] Abdul Hadi. Lagu Seruling Rumi. Yogyakarta: 2004. Hal, 37.