Showing posts with label Agama. Show all posts
Showing posts with label Agama. Show all posts

Maulana Syekh Nazim membaca surah Yasin (In Loving Memory Syekh Muhammad Nazim Adil Al-Haqqani)


in Loving Memory 
Syekh Muhammad Nazim Adil Al-Haqqani 
26 Sha'ban 1340 H - 8 Rajab 1425 H 
23 April 1922 - 7 Mei 2014 

Beliau dilahirkan di Larnaka, Siprus, pada hari Ahad, tanggal 23 April 1922 – atau 26 Sya'ban 1340 H. Dari sisi ayah, beliau adalah keturunan Syekh Abdul Qadir Jailani QS, pendiri Tarekat Qadiriah. Dari sisi ibunya, beliau adalah keturunan Jalaluddin Rumi QS, pendiri Tarekat Mawlawiyyah, yang juga merupakan keturunan Hassan AS—Hussein AS, cucu Nabi Muhammad SAW. Selama masa kanak-kanak di Siprus, beliau selalu duduk bersama kakeknya, salah seorang Syekh Tarekat Qadiriah untuk belajar spiritualitas dan disiplin. Tanda-tanda luar biasa telah tampak pada Syekh Nazim QS kecil, tingkah lakunya sempurna. Tidak pernah berselisih dengan siapa pun, beliau selalu tersenyum dan sabar. Kedua kakek dari pihak ayah dan ibunya melatih beliau pada jalan spiritual. 

Semoga Bermanfaat



MALAM JUM'AT MEMBACA YASIN FADILAH

Membaca Yasin Fadhilah pernah menjadi tema pembahasan dalam forum Bahtsul Masail yang diadakan Majelis Musyawarah Pondok Pesantren se-Karesidenan Kediri pada bulan Oktober tahun 1991 dan Bahtsul Masail Pesantren Mambaul Hikam Blitar Jawa Timur. Kedua forum tersebut memutuskan hukum SUNNAH membaca Yasin Fadhilah karena tujuannya adalah berdzikir. Ini didasarkan pada beberapa referensi di antaranya sebagai berikut :

 

1.      Al Adzkar Lin-Nawawi hal. 12

اعْلَمْ أَنَّ الذِّكْرَ مَحْبُوْبٌ فِيْ جَمِيْعِ الأَحْوَالِ إِلَّا فِيْ أَحْوَالٍ وَرَدَ الشَّرْعُ بِاسْتِثْنَائِهَا

Artinya : Ketahuilah, Dzikir itu hukumnya sunnah dalam setiap keadaan kecuali keadaan-keadaan yang dilarang oleh syara’.

 

2.      At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Quran hal. 91 sebagai berikut

وَيُسْتَحَبُّ إِذَا مَرَّ بِآيَةِ رَحْمَةٍ أَنْ يَسْأَلَ اللهَ تعالَى مِنْ فَضْلِهِ وَإِذَا مَرَّ بِآية عَذَابٍ أَنْ يَسْتَعِيْذَ بِالله مِنَ الشَّرِّ أَوْ مِنَ الْعَذَابِ

Artinya : Apabila membaca ayat rahmat disunnahkan berdoa kepada Allah SWT, memohon kebaikan/nikmat dari-Nya, dan apabila membaca ayat tentang siksa maka disunnahkan memohon perlindungan kepada Allah SWT dari segala keburukan dan siksa. Terkait dengan faidah dari dzikir Yasin Fadlilah dalam kitab Al-Fawaid yang ditulis oleh Syekh Abul Abbas Al-Buni disebutkan bahwa manfaat membaca Yasin Fadhilah selain mendapat pahala adalah tercapainya hajat dan cita-cita. Insya Allah ada beberapa manfaat lain yang akan didapat oleh pengamalnya sesuai pengalaman pemberi ijazah Yasin Fadhilah dan orang-orang sebelumnya yang masuk dalam silsilah amalan dzikir tersebut.

 

Semoga kita diberi Taufiq dan Hidayah  oleh Allah SWT untuk membaca dan mengamalkan isi kandungan Al-Qur’an dan untuk selalu berdzikir mendekatkan diri kepada-Nya.Aamiin… والله أعلم بالصواب والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/5145...

 

Semoga Bermanfaat Terimakasih sudah menonton, dukungan teman2 dengan Like, Subscribe dan share adalah penyemangat bagi saya untuk membuat video video yg lebih bagus dan bermanfaat lagi kedepannya.



ZIARAH KE MAKAM SUNAN GUNUNG JATI CIREBON


Hari selasa pagi sudah sampai kota CIREBON, dalam konten ini memberikan informasi tentang makna silaturahmi, Perjalanan Religi dan Survey lokasi di kota Cirebon dan semua itu saya rangkum menjadi SOWAN KE MAKAM SUNAN GUNUNG JATI CIREBON.

Dalam kerjaan di cirebon ditemani pak Djojo dan Kami muter survey di beberapa obyek seperti PONDOK RAYHAN, RUKO BOULEVARD CARAKA CIREBON DAN TERAHIR RUMAH SILIWANGI. Sebelum melakukan kerjaan ini kami ZIARAH di Sunan Gunung Jati dengan ditemani Bapak Gofar ( Owner Specialis Properti Ready Stock ) di kota cirebon.
Monggo silahkan simak video nya sampai akhir...



MENGENAL DAN MENIMBANG TAFSĪR ISYĀRĪ


Tafsir Sufi lebih identik dengan tafsir Isyari, yaitu takwil al-Qur’an yang berbeda dengan lahirnya lafaz atau ayat, karena untuk isyarah-isyarah yang sangat rahasia, yang hanya diketahui oleh sebagian ulūl ‘ilm atau ‘Ārifīn (orang yang makrifat kepada Allah) dari orang yang telah diterangi mata hatinya oleh Allah, sehingga mereka mampu menemukan rahasia yang tersembunyi di balik ayat-ayat al-Qur’an.
Sebagian ulama ada yang menolak penerapan tafsīr Isyārī dan sebagian yang lain menerimanya dengan syarat-syarat, antara lain tidak mengabaikan syari’at, tidak bertolak belakang dengan makna lahir, dan makna yang dipahami harus diperkuat dengan dalil berupa nash atau ditopang oleh makna lahir yang ada pada ayat lain yang menunjukkan kebenarannya, dan bukan makna yang berlawanan.

Abstrak; Salah satu aspek yang sering terlupakan dan terabaikan dalam metode dan teknik penafsiran al-Qur’an adalah aspek batin yang terkandung dalam setiap firman Allah dalam al-Qur’an. Bahkan kehadiran aspek ini ke dalam ranah penafsirkan mengundang segudang kontrofersi. Polemik pun dihembuskan oleh pihak-pihak yang saling berhadapan, yakni kalangan pembela dan pengingkarnya. Dengan demikian, eksistensi dari tafsīr isyārī masih berada dalam timbangan dan patut untuk diperbincangkan. Justru karena itulah, tulisan ini akan menimbang kembali keberadaan tafsir ini dengan mengemukakan pendapat-pendapat para ulama yang kompeten di bidangnya, dengan harapan semoga setelah melalui pertimbangan ulang, kehadiran tafsir ini akan lebih bisa di terima di kalangan mufassirīn kontemporer.
Kata Kunci ; Metodologi, tafsir, isyārī, dan lahir-batin.

Dalam pembahasan ilmu tafsir dikenal metode penafsiran al-Qur’an. Yang dimaksud metode penafsiran al-Qur’an adalah seperangkat kaidah atau aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Pembahasan secara ilmiah mengenai metode-metode penefsiran al-Qur’an ini dibahas dalam metodologi tafsir.1

Secara garis besar, terdapat empat macam metodologi tafsir yang disepakati:
(konvensional),yaituijmālī(global),2 tahlīlī (analitis)3 muqāran (perbandingan)4 dan maudhū’ī (tematik).5
Dalam dunia tafsir, setidaknya dikenal tiga mazhab tafsir (yang populer dan disepakati) – walaupun masih ada beberapa mazhab lagi yang tidak disepakati -- , yaitu Sunni, Mu’tazili dan Syi’i.6
Agak sulit bagi kita untuk menentukan apakah sebuah karya tafsir itu tergolong ke dalam jenis tafsīr bi al-ma’tsūr ataukah tafsīr bi al-ra’y,7 disebabkan belum adanya standar yang paten mengenai hal tersebut. Demikian pula hal-hal yang terkait dengan pendekatan yang digunakan dalam sebuah penafsiran. Pada dasarnya, pendekatan yang digunakan dalam sebuah karya tafsir dapat diketahui dari disiplin ilmu yang dipakai sebagai pisau analisis untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Maka sebagian ulama ada yang menggolongkannya ke dalam tafsir Kalāmī, karena terdapat nuansa kalam di dalamnya, atau boleh jadi digolongkan tafsir Adabī Ijtimā’ī, kalau mau mempertahankan term konvensional, karena tafsir ini merespon kehidupan bermasyarakat. Bahkan juga, sebuah karya tafsir bisa digolongkan pada tafsir Sufi, atau sering diidentikkan oleh sebagian ulama dengan tafsir Isyārī, walaupun masih ada juga jenisnya yang lain, yaitu Nażarī. Oleh karena keberadaan tafsir Isyārī yang masih dirasa asing di kalangan kita, maka dalam makalah ini penulis akan berupaya memaparkan aspek-aspek penafsiran dari tafsir Isyari berikut karakteristik dari tafsir tersebut.

Pengertian Tafsir Isyārī

Secara leksikal, kata tafsīr (Bahasa Arab) merupakan bentuk masdar dari fassara (fi’il mādhī), yang akar katanya terdiri dari fa’, sin, dan ra’. Pada dasarnya, kata yang tersusun dari akar kata semacam itu memiliki makna menerangkan sesuatu atau menjelaskannya.8 Sedangkan bentuk masdar-nya berarti keterangan atau penjelasan.9
Adapun kata isyārī (B. Arab), jika ditinjau dari bentuknya merupakan verbal noun (masdar) yang kemudian mendapat tambahan ya’ al-nisbah di akhir kata. Secara leksikal kata tersebut berasal dari asyarayasyiru – isyāratan, yang bermakna al-dalīl (tanda, indikasi, dan petunjuk), juga bisa bermakna menunjukkan dengan tangan atau dengan akal, mengeluarkan sesuatu dari lubang, mengambil sesuatu, dan menampakkan sesuatu.10
Berdasarkan telaah makna-makna lafaz di atas, maka sederetan makna tersebut berimplikasi pada pengertian lafaz isyārī yang memiliki kecenderungan upaya untuk untuk menunjukkan sesuatu yang tersembunyi agar bisa diketahui secara jelas, atau lebih menonjolkan makna yang tersirat daripada makna tersurat. Kata tersebut bisa dijumpai dalam al-Qur’an hanya sekali,11 yaitu dalam Surah Maryam ayat 29.

فَأَشَارَتْ إِلَيْهِ قَالُوا آَيْفَ نُكَلِّمُ مَنْ آَانَ فِي الْمَهْدِ صَبِيا()

Artinya:maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: "Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?"

Telaah kebahasaan sebagaimana di atas juga mengindikasikan adanya pemahaman tentang sesuatu yang menunjukkan untuk memperoleh kejelasan, yakni dari asalnya tidak tahu bisa menjadi tahu, dari yang tidak tampak menjadi tampak, dari yang tersembunyi atau samar bisa menjadi terlihat, dari yang abstrak menjadi konkret, dan dari yang terpendam menjadi di luar (berada pada permukaan). Dengan demikian,
Secara etimologi, tafsir Isyāri memiliki makna tafsir yang mengungkapkan makna atau maksud yang terpendam atau tersembunyi dalam lafaz atau ayat al-Qur’an dengan kedalaman berpikir bahkan dengan zauq (perasaan hati) yang extravagansa.
Secara terminologi, tafsir Isyāri, menurut al-Shābūnī, adalah takwil al-Qur’an yang berbeda dengan lahirnya lafaz atau ayat, karena untuk isyarah-isyarah yang sangat rahasia, yang hanya diketahui oleh sebagian ulū al-‘ilm atau ‘ārifīn (orang yang makrifat kepada Allah) dari orang yang telah diterangi mata hatinya oleh Allah, sehingga mereka mampu menemukan rahasia-rahasia yang tersembunyi dibalik ayat-ayat al-Qur’an. Atau bahkan bagian makna-makna yang detail itu tertuang dalam hati mereka lantaran ilham ilahi, yang mana hal itu memungkinkan mereka untuk mempertemukan makna tersebut dengan makna lahirnya. 12
Menurut sebagian ulama, ilmu sebagaimana dimaksudkan di atas bukanlah seperti “ ‘ilm al-kasbī” yang bisa didapat dengan cara membaca, mengingat dan menghafal, akan tetapi hal itu lebih merupakan “ilmu laduni”, yakni ilmu pemberian yang boleh dikata sebagai pancaran dari ketajaman takwa, istiqomah dan kebajikan.13 Menurut al-Zahabī, tafsir isyārī adalah hasil riyādhah rūhiyah seorang sufi sehingga bisa menyingkap rahasia-rahasia dan i’tibar dalam wujud isyarat yang suci yang muncul dengan sendirinya di dalam hatinya sebagai ungkapan dari terkuaknya rahasia ayat-ayat karena makrifat kepada Allah.14

Latar Belakang Lahirnya Tafsir Isyari

Telah diketahui bahwa Nabi Muhammad saw. dapat memahami al-Qur’an itu secara global (ijmālī) maupun secara terperinci (tafshīlī) karena terdapat jaminan dari Allah sendiri. Para ulama berbeda pendapat tentang kuantitas tafsir dari Nabi. Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa seluruh al-Qur’an termasuk semua kata-kata oleh Nabi telah dijelaskan kepada para sahabat,15 sedang yang lainnya berpendapat bahwa Nabi hanya menjelaskan sedikit saja dari makna al-Qur’an itu kepada para sahabat. Pendukung pendapat kedua ini adalah Khuwaibī dan al-Suyūthī.16
Selanjutnya berkembang periode tafsīr bi al-ma’tsūr atau tafsīr bi al-riwāyah yang berakhir dengan dihapuskannya isnad-isnad dan orang yang mengutip tanpa
menyebutkan urutan sanad-sanad tersebut. Di samping itu juga berakhirnya tafsir rasional (bi al-aqlī / bi al-ra’y) yang karena dominasi kecenderungan perorangan dan mazhab-mazhab teologi atau lainnya.17 Di antaranya termasuk pula tafsir golongan “mutashawwifah” yang dipengaruhi oleh “syathahat-syathahat sufiyah”. Tafsir yang paling terkenal dalam hal ini ialah yang disandarkan kepada Ibnu ‘Arabī (w. 638 H).
Dengan membaca tafsir mutashawwifah dekat kiranya tafsir yang dinamakan “tafsīr Isyārī” yaitu tafsir yang mentakwilkan ayat-ayat al-Qur’an dengan jalan berusaha mengumpulkan antara yang “żahir” dengan “khafi”. Di antara tafsir yang demikian itu ialah Tafsīr al-Alūsī (w. 1270 H) yang dinamakan dengan Ruh al-Ma’ānī. Pengarangnya mengemukakan tafsir yang żahir bagi suatu ayat, kemudian yang diistimbathkan dengan jalan isyarat, tetapi ada yang menyebutkan semata-mata tafsir bi al-ra’y.18
Para sufi dalam mengamalkan ajaran-ajarannya itu mengikuti dua macam orientasi :

(1) Orientasi teoritis (ittijah al-Nażarī) yang didasarkan atas hasil pembahasan dan studi, dan

(2) Orientasi praktis (ittijah al-‘Amalī) yang didasarkan atas kegiatan zuhud (asketisime), takāsyuf (mengungkap isi hati) dan hanyut dalam kegiatan ibadat kepada Allah.
19
Dalam hal ini tampak jelas pengaruh-pengaruh tasawuf teoritis yang didasarkan atas pemikiran-pemikiran ilmiah para tokoh sufi dan kemudian dicarikan justifikasinya dari dalam al-Qur’an. Selain itu juga tampak pengaruh-pengaruh tasawuf praktis yang dipusatkan pada latihan ruhani oleh para pengikutnya sampai mencapai suatu tingkat yang dikenal sebagai “kasyaf”, di mana isyarat-isyarat suci dari alam gaib konon tampak dan memberikan pengetahuan-pengetahuan “Rabbanī”
ke dalam hati mereka, dan pengetahuan itulah yang mereka gunakan untuk mengungkapkan makna al-Qur’an.20
Kalau kita kembali kepada sejarah tasawuf yang mula-mula timbul memanglah zahid-zahid. Di zaman Nabi telah ada juga sahabat-sahabat yang menjauhkan diri dari hidup duniawi, banyak berpuasa di siang hari dan bershalat serta membaca al-Qur’an di malam hari, seperti ‘Abdullah bin ‘Umar. Selain dia, disebut pula nama-nama Abū al-Darda’, Abū Zār al-Ghifārī, Bahlul Ibnu Zu’aib dan Kahmas al-Hilālī. Zahid pertama dan termasyhur dalam sejarah tasawuf adalah al-Hasan al-Bashrī. Ia lahir di Madinah pada tahun 642 M, dan meninggal di Basrah pada tahun 728 M.21

Karakteristik Tafsīr Isyārī dan Pandangan Ulama terhadapnya.


Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dimaksudkan untuk memberikan pemahaman terhadap kandungan ayat tersebut untuk selanjutnya bisa dihayati dan diamalkan serta berujung pada kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya. Langkah-langkah tersebut mengisyaratkan betapa luas dan dalamnya ilmu-ilmu Allah, sehingga sebagian kecil saja yang bisa disingkap dan dikuasai oleh hamba-hamba-Nya. Dengan menguasai ilmu-ilmu Allah, maka seseorang akan sampai pada kesempurnaan iman dan makrifat kepada-Nya.
Kalangan ulama berbeda pendapat mengenai tafsīr Isyārī. Sebagian mereka ada yang mengakuinya dan sebagian yang lain menolaknya. Pada satu sisi, mereka memandang bahwa menguasai tafsīr Isyārī merupakan bagian dari irfan, dan pada sisi yang lain mereka memandangnya sebagai kesesatan dan penyimpangan dari syari’at.22

Kebanyakan ayat-ayat al-Qur’an bersifat interpretable. Berangkat dari tesis tersebut, bermunculanlah ragam penafsiran dan takwil terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Sebagian mereka meninjaunya dari aspek żahir, sedangkan sebagian yang lain meninjaunya dari aspek batin dengan ketajaman mata hatinya setelah terlebih dahulu melalui pemaknaan pada tataran żahirnya.23
Berkenaan dengan makna lahir dan batin, al-Suyūthī memberikan beberapa hal yang seharusnya diperpegangi; pertama, bahwa yang dimaksud żahir adalah lafaznya dan yang batin adalah takwilnya. Kedua, żahir ayat adalah makna-makna ayat yang tampak bagi mufassir, sedangkan batinnya adalah rahasia-rahasia yang terkandung serta berhasil disingkap oleh mereka dengan ketajaman sinar keimanan meraka. Ketiga, di antara yang termasuk żahirnya adalah kisah-kisah dalam al-Qur’an, sedangkan batinnya adalah nasehat-masehat, hikmah, dan mau’iżah yang dapat dipetik dari hal tersebut.24
Dengan demikian, makna żahir bukanlah satu-satunya makna yang dikehendaki, demikian pula sebaliknya. Antara makna lahir dan batin seharusnya saling melengkapi, tidak ada yang diunggulkan dan apalagi direndahkan antara satu dengan lainnya. Menurut al-Qusyairī, kata hati merupakan penentu, sedangkan proses penalaran akal merupakan kinerjanya. Hati seorang mukmin ibarat medan magnit yang dipenuhi dengan berbagai rahasia. Pikiran kita memproses aspek lafaz dan hati kita yang bisa merasakannya. Bahasa hati dan akal , menurutnya, ibarat buah apel. Manisnya buah apel cuma akan bisa dirasakan oleh mereka yang pernah memakannya. Memakannya itu kinerja akal dan merasakannya adalah hasil
Kebanyakan ayat-ayat al-Qur’an bersifat interpretable. Berangkat dari tesis tersebut, bermunculanlah ragam penafsiran dan takwil terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Sebagian mereka meninjaunya dari aspek żahir, sedangkan sebagian yang lain meninjaunya dari aspek batin dengan ketajaman mata hatinya setelah terlebih dahulu melalui pemaknaan pada tataran żahirnya.23
Berkenaan dengan makna lahir dan batin, al-Suyūthī memberikan beberapa hal yang seharusnya diperpegangi; pertama, bahwa yang dimaksud żahir adalah lafaznya dan yang batin adalah takwilnya. Kedua, żahir ayat adalah makna-makna ayat yang tampak bagi mufassir, sedangkan batinnya adalah rahasia-rahasia yang terkandung serta berhasil disingkap oleh mereka dengan ketajaman sinar keimanan meraka. Ketiga, di antara yang termasuk żahirnya adalah kisah-kisah dalam al-Qur’an, sedangkan batinnya adalah nasehat-masehat, hikmah, dan mau’iżah yang dapat dipetik dari hal tersebut.24
Dengan demikian, makna żahir bukanlah satu-satunya makna yang dikehendaki, demikian pula sebaliknya. Antara makna lahir dan batin seharusnya saling melengkapi, tidak ada yang diunggulkan dan apalagi direndahkan antara satu dengan lainnya. Menurut al-Qusyairī, kata hati merupakan penentu, sedangkan proses penalaran akal merupakan kinerjanya. Hati seorang mukmin ibarat medan magnit yang dipenuhi dengan berbagai rahasia. Pikiran kita memproses aspek lafaz dan hati kita yang bisa merasakannya. Bahasa hati dan akal , menurutnya, ibarat buah apel. Manisnya buah apel cuma akan bisa dirasakan oleh mereka yang pernah memakannya. Memakannya itu kinerja akal dan merasakannya adalah hasil
penangkapan hati. Oleh karena itu, kedalaman makna ayat-ayat al-Qur’an hanya bisa dijangkau dengan kebersihan dan kesucian hati.25
Ibn al-Shalah, sebagaimana dikutip oleh al-Suyūthī, memberikan komentar bahwa dia pernah mendengar dari Abū al-Hasan al-Wahidī yang mengatakan bahwa Abū ‘Abd al-Rahman al-Silmī telah menyusun beberapa hakekat tentang tafsir. Menurut Ibn al-Salah, beriktikad bahwa apa yang telah disusunnya itu adalah tafsir merupakan sebuah kesalahan, apalagi jika hal itu dikatakan sebagai syarah dari kalimat al-Qur’an. Tindakan semacam itu sudah mengarah pada jalan yang ditempuh kalangan Bathiniyah yang sesat. Sedangkan menurut al-Nasafī, memalingkan al-Qur’an dari yang żahir kepada makna-makna batin merupakan tindakan batil, dan bisa jadi mulhid (orang yang lahirnya tampak Islam tapi batinnya kufur). Penilaian semacam itu juga dilontarkan oleh al-Taftazanī, bahwa kalangan Bathiniyah sudah menjelma menjadi golongan Mulahidah.26
Menurut al-Suyūthī sendiri bahwa sesungguhnya penerapan tafsīr Isyārī bukanlah merupakan penghindaran dari atau lari dari makna lahir. Justru mereka menetapkan makna lahir sesuai dengan yang dikehendaki lahirnya, kemudian bersamaan dengan itu mereka juga memahaminya dengan ketajaman mata hatinya, setelah memperoleh limpahan sinar makrifat dari Allah.27
Allah, dengan iradah-Nya, bisa saja memberikan setumpuk hikmah dan pemahaman kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Hal tersebut sebagaimana telah terbukti diberikan kepada para nabi, seperti nabi Daud dan Sulaiman a.s., sebagaimana telah disebutkan dalam al-Qur’an, surah al-Anbiya’: 79 :

فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَآُلا ءَاتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُدَ الْجِبَالَ یُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ وَآُنَّا
( فَاعِلِينَ( 79

Artinya: maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan Kamilah yang melakukannya”.

Demikian juga, penerapan tafsīr Isyārī diperagakan sejak zaman Rasulullah dan para sahabatnya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhārī dikisahkan, bahwa pada waktu setelah beberapa saat turun surat al-Nashr, ‘Umar bin Khaththab berkumpul dengan para sahabat, yang di dalamnya juga terdapat Ibn ‘Abbas yang ketika itu masih bocah (belia). Di antara yang kumpul tadi tidak ada yang menaruh hormat kepadanya, karena dia masih bocah, kecuali ‘Umar. Kemudian ‘Umar minta pendapat kepada seluruh yang hadir perihal firman Allah dalam surah al-Nashr :

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ( 1)وَرَأَیْتَ النَّاسَ یَدْخُلُونَ فِي دِینِ اللَّهِ أَفْوَاجًا( 2)فَسَبِّحْ بِحَمْدِ
( رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ آَانَ تَوَّابًا( 3

Artinya:” Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat”.

Sebagian dari mereka ada yang memberikan komentar bahwa dengan turunnya surah tadi kita diperintahkan untuk selalu memuji (tasbih) dan mohon ampun (istighfar) kepada-Nya. Sedang sebagian lainnya cuma diam pertanda setuju. Setelah itu mereka disentakkan oleh sikap ‘Umar yang dengan penuh hormat juga meminta pendapat pada Ibn ‘Abbas. Ketika dia ditanya apakah sependapat dengan mereka, spontanitas dia menjawab, “tidak”. Kemudian dia mengemukakan pandangannya bahwa turunnya surah itu pertanda ajal Rasulullah telah dekat. Lantas ‘Umar memberikan tanggapan bahwa dia sebenarnya menangkap isyarah seperti itu. Tidak lama berselang dari turunnya surah al-Nashr, Rasulullah dipanggil ke hadirat Ilahi.28
Menurut Syaikh ‘Abd al-‘Ażīm al-Zarqanī, dalam menerapkan tafsīr Isyārī tidak dibenarkan mengabaikan keterikatan kita dengan syari’at, demikian juga dengan kaidah-kaidah kebahasaan dalam memahami nash-nash.29
Sebagian ulama mengemukakan syarat-syarat tertentu bagi diterimanya penafsiran tafsīr Isyārī. Di antaranya adalah; pertama, makna yang dikemukakan benar menurut pengertian lahir yang diakui secara kebahasaan. Kedua, makna yang dipahami harus diperkuat dengan dalil berupa nash atau ditopang oleh makna lahir yang ada pada ayat lain yang menunjukkan kebenarannya, dan bukan makna yang berlawanan.30
Penerapan tafsīr Isyārī juga bisa dicontohkan dengan penafsiran al-Tastarī dalam menafsirkan firman Allah dalam surah al-Baqarah : 22;

( فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ( 22

Artinya:” …karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui”.

Menurutnya, lafaz “andādan” bermakna “adhdadan” (lawan-lawan), sedang lawan yang paling besar adalah nafsu ammarah yang sering menjerumuskan manusia, karena hanya memandang keinginan-keinginan nafsu tanpa mengindahkan petunjuk dari Allah. Jadi, jika segala keinginan nafsu diperturutkan, maka kapasitasnya menyamai sesembahan, walaupun tidak secara konkret menganggapnya demikian.31

Dalam hal ini, al-Tastarī setidaknya mendasarkan tafsirannya terhadap dua alasan. Pertama, pada satu segi, lafaz andādan bisa dimaknakan secara i’tibārī dengan nafsu ammarah, sedangkan kedua, pada segi yang lainnya, meskipun ayat tersebut ditujukan kepada kaum musyrikin, namun di dalamnya terdapat pelajaran dan i’tibar (hikmah) bagi kita. Alasan pertama diperkuat oleh firman Allah, surah al-Taubah: 31;

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْیَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا
( إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا یُشْرِآُونَ( 31

Artinya: Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”.

Menurut sebagian mufassir, ayat tersebut secara tersirat maupun tersurat menunjukkan keadaan orang yang memperturutkan hawa nafsunya.32
Alasan kedua diperkuat dengan komentar ‘Umar sewaktu menegur orang-orang yang bermewah-mewahan seraya mengemukakan firman Allah, surah al-Ahqaf: 20;

وَیَوْمَ یُعْرَضُ الَّذِینَ آَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا
فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا آُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا آُنْتُ مْ
( تَفْسُقُونَ( 20

Artinya: Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): "Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik".

Ternyata, ‘Umar mampu mengambil hikmah dan pelajaran dari ayat itu, walaupun sebenarnya dia mengerti bahwa ayat itu diturunkan berkenaan dengan perilaku orang-orang kafir. Menurutnya, segala kemewahan dan bersenang-senang di dunia akan menghilangkan kenikmatan yang ada di akhirat.33
Mengenai tafsīr Isyārī yang fasid (rusak) dapat dicontohkan dengan penafsiran lafaz Fir’aun dalam surah Thāhā: 24;

( اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى( 24

Artinya:” Pergilah kepada Fir`aun; sesungguhnya ia telah melampaui batas".

Menurut mereka, kata “Fir’aun” itu mengisyaratkan kata hatinya, maksudnya yang durhaka itu kata hati, bukan Fir’aun (orang).34

________________________________________

1Penjelasan selengkapnya mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 1-3.
2Yang dimaksud dengan metode ijmālī (global) adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup, menggunakan bahasa populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika pembahasannya menurut susunan ayat-ayat dalam mush-haf. Lihat penjelasan selanjutnya dalam ‘Abd al-Hayy al-Farmawī, al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawdhū’ī, (Cet. II; Mesir: Mathba’ah al-Hadharah al-‘Arabiyyah, 1977), h. 43-44; dan Zahīr bin ‘Awwadh al-‘Almā’ī, Dirāsāt fī al-Tafsīr al-Mawdhū’ī, (t.t: t.p., 1405 H.), h. 17-18.
3 Metode penafsiran tahlīlī adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan penafsir. M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Qur’an dengan Metode Maudhu’i”, dalam Bustami A. Gani (ed.), Beberapa Aspek Ilmiah tentang Al-Qur’an, (Cet. I; Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an, 1986), h. 37.
4 Metode penafsiran muqaran adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara membandingkan teks ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki kesamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau memiliki redaksi berbeda dalam satu kasus yang sama; atau membandingkan ayat dengan hadis atau pula membandingkan berbagai pendapat ulama dalam menafsirkan Al-Qur’an. Al-Farmawī, al-Bidāyah , h. 45.
5 Metode tafsir tematik adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tema yang sudah ditetapkan. Penjelasan secara rinci mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam ‘Ali Hasan Al-‘Aridh, Tarīkh ‘Ilm al-Tafsīr wa Manāhij al-Mufassirīn, diindoneesiakan oleh Ahmad Akrom dengan judul Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 1992), h. 78-95; dan M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Cet. II; Bandung: Mizan, 1992), h. 111-116.
6 Corak penafsiran dari sebuah kitab tafsir yang berafiliasi ke mazhab sunni biasanya menitikberatkan kepada penggunaan nash , baik berupa ayat Al-Qur’an maupun hadis nabi, sebagai sumber utama dari penafsirannya, atau masih berada dalam konteks nash, walaupun di dalamnya peran akal masih bisa dijumpai, dengan kata lain tidak sampai menafikan akal. Jika ditemukan suatu pertentangan atau kontradiksi antara nash dengan akal dalam suatu kasus tertentu, maka dalam hal ini dimenangkan nash.
Corak penafsiran suatu kitab tafsir yang berafiliasi ke aliran Mu’tazilah pada dasarnya tafsiran-tafsirannya lebih menitikberatkan kepada pemakaian akal dalam menafsirkan suatu ayat Al-Qur’an, dan hanya sedikit memasukkan peran wahyu di dalamnya. Ketergantungan mereka kepada akal cukup tinggi. Jika mereka menemukan pertentangan antara pemahaman wahyu dan akal dalam satu kasus tertentu, maka dalam hal ini mereka memilih memenangkan akal. Inilah perbedaan penafsiran yang paling kentara -- walaupun masih terdapat juga perbedaan-perbedaan lainnya, seperti dalam penafsiran ayat-ayat tentang nama-nama dan sifat-sifat Tuhan -- antara kaum Sunni dan Mu’tazilah.
Sebuah kitab tafsir yang memiliki kecondongan ke aliran Syi’ah, pada umumnya mempunyai corak penafsiran ke arah eksoterik (inner meaning) atau makna batin dari sebuah ayat atau ayat-ayat Al-Qur’an. Oleh karena itu, mereka juga disebut kaum batini. Dalam penafsirannya, mereka selalu mencari makna-makna batin dari suatu ayat dan sering mengabaikan makna lahir, dengan harapan mendapatkan isyarah-isyarah yang terkandung di dalamnya. Ciri lainnya dari corak penafsiran ini adalah pemilihan riwayat yang mereka terima. Mereka hanya memilih riwayat dari jalur Ahl al-Bait , atau yang dianggap tsiqah oleh mereka dan tidak bertentangan dengan Ahl al-Bait. Husain Al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid I, (Kairo: Dār al-Kutub al-Hadīts, 1976), h. 36.
7 Penjelasan secara konprehensif mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam Husain Al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, h. 16-50.
8 Lihat penjelasan selengkapnya dalam Ibn Fāris Abī al-Husain Ahmad bin Zakariyyā,Mu’jām Maqāyis al-Lugah, juz IV, (Cet. I; Bairut: Dār al-Jail, 1991), h. 504.
9 Ahmad al-Syirbasyī, Qish-sh at al-Tafsīr, (Kairo: Dār al-Qalam, 1962
10 Penjelasan lebih lanjut tentang hal itu dapat dilihat dalam Ibn Manzūr Jamāl ad-Dīn Muhammad bin Mukarram al-Anshārī, Lisān al-Arab, juz VI, (Mesir: Dār al-Misriyyah, t.th.), h. 106.
11 Muhammad Fuad ‘Abd al-Bāqi, Mu’jam al-Mufahras li Alfāz al-Qur’an al-Karīm, (Bairut: Dār al-Fikr, 1987), h. 496.
12 Penjelasan selanjutnya mengenai hal itu dapat dilihat dalam Syekh Muhammad ‘Alī al-Sābūnī, al-Tibyān fi Ulūm al al-Qur’an, diterjemahkan oleh Muhammad Qadirun Nur, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis (Jakarta : Pustaka Amani, 1988), hal. 237.
13 Hal tersebut sebagai tafsiran dari Q.S. al-Baqarah: 282 dan al-Kahfi: 65.
14 Lihat Al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, juz III, h. 18.
15 Lihat Muhammad Husein al-Zhahabi, Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran Al-Qur’an, terjemahan Hamim Ilyas dan Mahnun Husein, (Cet. I; Jakarta: CV. Rajawali, 1986), h.3.
16 Jalāl al-Dīn al-Suyūthī, al-Itqan fi ‘Ulūm al-Qur’an, juz II, (Bairut: Dār al-Fikr, t.t), h. 179.
17 Lihat penafsiran Ibn ‘Arabī dalam menafsirkan ayat 55, surat al-Nisa’, dalam Tafsīr al-Syaikh al-akbar, juz I, (t.d.), h. 152. Lihat puLa M. Hasbi ash-shidieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h.200 dan 225.
18 Abī al-Fadhl Syihāb al-Dīn al-Sayyid Mahmūd al-Baghdādī, Rūh al-Ma’ānī fī al-Tafsīr al-Qur’an al-‘Ażīm wa al-Sab’u al-Matsānī, juz I, (Bairut: Dār al-Fikr li al-􀂅aba’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzī’, 1994 M/1414 H.), h. 8.
19 Lihat Al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, h. 5.

20 Ibid., h. 18.
21 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II, (Cet. IV; Jakarta: UI-Press, 1986), h. 74.
22 Lihat al-Sābūnī, al-Tibyān, h. 18.23 Penjelasan selengkapnya mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam al-Imām al-Qusyairī, Lathāif al-Isyārāt Tafsīr Sūfī Kāmil li al-Qur’an al-Karīm, juz I, (Kairo: Mushthafā al-Babī al-Halabī, 1951), h. 4.
24 Lihat al-Suyūthī, al-Itqān, juz II, h. 184.
25 Al-Qusyairī, Lathāif, h. 4-5.
26 Al-Suyūthī, al-Itqan, h. 184.
27 Ibid., h. 185.
28 Lihat Abī ‘Abdillah Muhammad bin Ismā’il al-Bukhārī, Matn al-Bukhāri Masykūl bi Hasyiyah al-Sindī, juz I (Indonesia: Syirkah Nur Asia, t.th.), h. 222.
29 Muhammad ‘Abd al-‘Ażīm al-Zarqanī, Manāhil al-‘Irfan fī ‘Ulūm al-Qur’an, juz II, (Bairut: Dār al-Fikr, t.th.), h. 81
30 Abū Ishāq asy-Syāthibī Ibrāhim bin Mūsā al-Khasmī al-Gharnati al-Māliki, Al-Muwāfaqāt fi Ushūl asy-Syarī’ah, jilid II, juz III, diedit oleh Abdullah Darraz (Bairut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.), h. 295.
31 Lihat tafsiran selengkapnya dalam al-Tastarī, Tafsīr al-Qur’an al-‘Ażīm, juz I, (t.dt.), h. 14.. Lihat pula ‘Abd ar-Rahman bin al-Kamāl Jalāl ad-Dīn as-Suyūti, Tafsīr Durr al-Manshūr fi Tafsīr al-Ma’tsūr, juz I (Cet. I; Bairut: Dār al-Fikr, 1983), h. 87-88, juga ‘Alā’ ad-Dīn ‘Alī bin
Muhammad bin ibrāhim al-Bagdādī, Tafsīr al-Khāzin: Lubāb al-Ta’wīll fī Ma’ānī al-Tanzīl, jilid I, (Cet. I; Bairut: Dār al-kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), h. 32.
32 Lihat misalnya Wahbah al-Zuhailī, al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-Manhāj, jilid XXVI, (Cet. I; Bairut: Dār al-Fikr al-Mu’āshir, 1991), h. 48. Juga Hamdan Ghassan, tahqīq: Jamīl Ghazī, ‘Abdullah ‘Ulwan, dan Wahbi Sulaiman al-Ghawan, Tafsīr min Nasmat al-Qur’an Kalimatan wa Bayān, (Damsyik: Dār al-Salām li al-Thaba’ah wa al-Tauzī’ wa al-Tarjamah, t.th.), h. 536.

Karya tafsir yang bernuansa Isyārī cukup banyak, antara lain 1) Karya Abī al-Fadhl Syihāb al-Dīn al-Sayyid Mahmūd al-Baghdādī, Rūh al-Ma’ānī fī al-Tafsīr al-Qur’an al-‘Ażīm wa al-Sab’u al-Matsānī, 2) ‘Abdullah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdillah Muhyi al-Dīn Ibn ‘Arabī, Tafsīr al-Syaikh al-akbar, 3) Abū Muhammad Sahl ibn ‘Abdillah al-Tastarī, Tafsīr al-Qur’an al-‘Ażīm, 4) al-Imam al-Qusyairī, Lathāif al-Isyārat Tafsīr Sūfī Kāmil li al-Qur’an al-Karīm, 5) Abū ‘Abd al-Rahman Muhammad bin al-Husain bin Mūsā al-Azdī al-Silmī, Haqāiq al-Tafsīr, dan 6) Abū Muhammad Ruzihan bin Abī al-Nashr al-Baqilī al-Syirazī, ‘Arāis al-Bayān fi Haqāiq al-Tafsīr.
33 Simak komentar mengenai tafsiran ayat tersebut dalam as-Sayyid Muhammad bin Husain at-Tabātabā’i, al-Mizān fī Tafsīr al-Qur’an, jilid IX, (Cet. I; Bairut: Muassasah al-‘Ilm li al-Matbū’ah, 1991), h. 245.
34 Lihat tafsiran selengkapnya dalam al-Shabuni, al-Tibyan, h. 249.
14


____________________________________

Sumber:


"MENIMBANG TAFSĪR ISYĀRĪ "
M. Zayin Chudlori (Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya)









Konsep Manusia dalam al-Qur’an



Muqaddimah

Wacana tentang asal-usul manusia, menjadi satu hal yang menarik untuk dikaji dan dikaji lagi lebih dalam. Dua konsep (konsep evolusi dan konsep Adam sang manusia pertama) menimbulkan perdebatan yang tak habis-habis untuk dibahas.
Di satu sisi konsep evolusi menawarkan satu gagasan bahwa manusia adalah wujud sempurna dari evolusi makhluk di bumi ini. Sedangkan konsep yang kedua mengatakan bahwa manusia adalah keturunan Adam dan Hawa.
Dalam tulisan ini benar-salah kedua konsep itu tidak dibahas secara intens. Tulisan ini akan lebih menakankan konsep manusia dalam al-Qur’an (konsep kedua), dan sedikit memberi ruang penjelasan untuk konsep manusia melalui teori evolusi, sekedar analisa perbandingan saja. Dari sini korelasi kedua konsep ini akan sedikit sekali diperlihatkan.

Konsep manusia dalam al-Qur’an

Sedikit disinggung di atas, bahwa adanya manusia menurut al-Qur’an adalah karena sepasang manusia pertama yaitu Adam dan Hawa. Disebutkan bahwa, dua insan ini pada awalnya hidup di Surga. Namun, karena melanggar perintah Allah maka mereka diturunkan ke bumi. Setelah diturunkan ke bumi, sepasang manusia ini kemudian beranak-pinak,[1]menjaga dan menjadi wakil-Nya di dunia baru itu.[2]
Tugas yang amat berat untuk menjadi penjaga bumi. Karena beratnya tugas yang akan diemban manusia, maka Allah memberikan pengetahuan tentang segala sesuatu pada manusia. Satu nilai lebih pada diri manusia, yaitu dianugerahi pengetahuan. Manusia dengan segala kelebihannya kemudian ditetapkan menjadi khalifah di bumi ini. Satu kebijakan Allah yang sempat ditentang oleh Iblis dan dipertanyakan oleh para malaikat. Dan Allah berfirman: “….Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama mereka…” (al-Baqarah ayat 33). Setelah Adam menyebutkan nama-nama itu pada malaikat, akhirya Malaikatpun tahu bahwa manusia pada hakikatnya mampu menjaga dunia.
Dari uraian ini dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan Allah SWT. Dengan segala pengetahuan yang diberikan Allah manusia memperoleh kedudukannya yang paling tinggi dibandingkan dengan makhluk lainnya. Inipun dijelaskan dalam firman Allah SWT: “…..kemudian kami katakan kepada para Malaikat: Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka merekapun bersujud kecuali Iblis, dia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir” (al-Baqarah ayat 34). Ini menunjukkan bahwa manusia memiliki keistimewaan dibanding makhluk Allah yang lainnya, bahkan Malaikat sekalipun.[3]
Menjadi menarik dari sini jika legitimasi kesempurnaan ini diterapkan pada model manusia saat ini, atau manusia-manusia pada umumnya selain mereka para Nabi dan orang-orang maksum. Para nabi dan orang-orang maksum menjadi pengecualian karena sudah jelas dalam diri mereka terdapat kesempurnaan diri, dan kebaikan diri selalu menyertai mereka. Lalu, kenapa pembahasan ini menjadi menarik ketika ditarik dalam bahasan manusia pada umumnya. Pertama, manusia umumnya nampak lebih sering melanggar perintah Allah dan senang sekali melakukan dosa. Kedua, jika demikian maka manusia semacam ini jauh di bawah standar Malaikat yang selalu beribadah dan menjalankan perintah Allah SWT, padahal dijelaskan dalam al-Qur’an Malaikatpun sujud pada manusia. Kemudian, ketiga, bagaimanakah mempertanggungjawabkan firman Allah di atas, yang menyebutkan bahwa manusia adalah sebaik-baiknya makhluk Allah.
Tiga hal inilah yang menjadi inti pembahasan ini.
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia memang memiliki kecenderungan untuk melanggar perintah Allah, padahal Allah telah menjanjikannya kedudukan yang tinggi. Allah berfirman: “Dan kalau Kami menghendaki sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah………….” (al-A’raaf, ayat 176). Dari ayat ini dapat dilihat bahwa sejak awal Allah menghendaki manusia untuk menjadi hamba-Nya yang paling baik, tetapi karena sifat dasar alamiahnya, manusia mengabaikan itu. Ini memperlihatkan bahwa pada diri manusia itu terdapat potensi-potensi baik, namun karena potensi itu tidak didayagunakan maka manusia terjerebab dalam lembah kenistaan, bahkan terkadang jatuh pada tingkatan di bawah hewan. [4]
Satu hal yang tergambar dari uraian di atas adalah untuk mewujudkan potensi-potensi itu, manusia harus benar-benar menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dan tentu manusia mampu untuk menjalani ini. Sesuai dengan firman-Nya: “Allah tidak akan membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikannya) dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya…….” (al-Baqarah ayat 286). Jelas sekali bahwa Allah tidak akan membebani hamba-Nya dengan kadar yang tak dapat dilaksanakan oleh mereka. Kemudian, bila perintah-perintah Allah itu tak dapat dikerjakan, hal itu karena kelalaian manusia sendiri. “ Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” Mengenai kelalaian manusia, melalui surat al-Ashr ini Allah selalu memperingatkan manusia untuk tidak menyia-nyiakan waktunya hanya untuk kehidupan dunia mereka saja. Bahkan Allah sampai bersumpah pada masa, untuk menekankan peringatan-Nya pada manusia. Namun, lagi-lagi manusi cenderung lalai dan mengumbar hawa nafsunya.

Unsur-unsur dalam diri manusia

Membahas sifat-sifat manusia tidaklah lengkap jika hanya menjelaskan bagaimana sifat manusia itu, tanpa melihat gerangan apa di balik sifat-sifat itu. Murtadha Muthahari di dalam bukunya Manusia dan Alam Semesta sedikit menyinggung hal ini. Menurutnya fisik manusia terdiri dari unsur mineral, tumbuhan, dan hewan. Dan hal ini juga dijelaskan di dalam firman Allah : Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan memulai penciptaan manusia dai tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (as-Sajdah ayat 7-9). Sejalan dengan Muthahari dan ayat-ayat ini, maka manusia memiliki unsur paling lengkap dibanding dengan makhluk Allah yang lain. Selain unsur mineral, tumbuhan, dan hewan (fisis), ternyata manusia memiliki jiwa atau ruh.[5] Kombinasi inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk penuh potensial.
Jika unsur-unsur ditarik garis lurus maka, ketika manusia didominasi oleh unsur fisisnya maka dapat dikatakan bahwa ia semakin menjauhi kehakikiannya. Dan implikasinya, manusia semakin menjauhi Allah SWT. Tipe manusia inilah yang dalam al-Qur’an di sebut sebagai al-Basyar, manusia jasadiyyah. Dan demikianpun sebaliknya, semakin manusia mengarahkan keinginannya agar sejalan dengan jiwanya, maka ia akan memperoleh tingkatan semakin tinggi. Bahkan dikatakan oleh para sufi-sufi besar, manusia sebenarnya mampu melampaui malaikat, bahkan mampu menyatu kembali dengan sang Khalik. Manusia seperti inilah yang disebut sebagai al-insaniyyah.
Luar biasanya manusia jika ia mampu mengelola potensinya dengan baik. Di dalam dirinya ada bagian-bagian yang tak dimiliki malaikat, hewan, tumbuhan, dan mineral—satu persatu. Itu karena di dalam diri manusia unsur-unsur makhluk Allah yang lain ada. Tidak salah bila dikatakan bahwa alam semesta ini makrokosmos dan manusia adalah mikrokosmosnya.

Teori evolusi Darwin dan konsep manusia dalam al-Qur’an

Bila dilihat secara kasar, maka jelas dua konsep ini akan saling bertolak belakang bahkan cenderung saling mempersoalkan. Jika Darwin mengatakan bahwa manusia itu ada karena evolusi makhluk hidup lainnya yang lebih rendah. Maka al-Qur’an dengan jelas menyatakan bahwa manusia adalah keturunan Adam dan Hawa yang diusir dari surga.[6]
Tentu ini menjadi perdebatan menarik hingga saat ini. Sebagian mengatakan bahwa Darwin yang benar, teori Darwinlah yang masuk akal. Dan sebagian yang lain[7] menjawabnya dengan mengatakan bahwa “al-Qur’an-lah yang benar, karena ini titah Tuhan, Tuhan Maha Besar dan Maha Kuasa, sehingga apa saja bisa dilakukan-Nya, tak terkecuali menciptakan Adam dari tanah liat dan Siti Hawa dari tulang rusuk kiri Adam. Sedangkan, teori evolusi gagal total ketika dibenturkan dengan kenyataan bahwa saat inipun makhluk-makhluk purba (semisal komodo, buaya, kura-kura) masih berkeliaran di muka bumi, bukankah jika merunut pada teori evolusi makhluk-makhluk ini harusnya sudah punah?”
Yang mempertahankan teori evolusi pun balik menyerang, “ jika Adam manusia pertama, kenapa kami menemukan makhluk yang mirip manusia hidup kira-kira jauh sebelum adanya Adam. Bagaimana ini dijelaskan?”
Demikianlah seterusnya. Debat semacam ini tak henti-henti dilakukan. Padahal keduanya sama-sama tak dapat menyimpulkan secara pasti kapan manusia pertama itu ada, tetapi klaim kebenaran sudah menyebar ke mana-mana.[8]

Penutup

Manusia adalah manusia dengan segala potensialitasnya. Ia dapat memilih hendak mendayagunakan potensialitas itu dan kemudian menyempurnakan diri menjadi hamba Tuhan yang sebenarnya. Atau mengabaikan potensialitas itu dengan menuruti hawa nafsu dalam dirinya.
Allah selalu mengingatkan hamba-Nya untuk selalu berbakti kepada-Nya. Dan sangatlah merugi jika manusia mensia-siakan waktunya untuk tidak berbakti kepada Allah SWT. Karena bagaimanapun fitrah manusia terletak di situ. “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukakankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi’. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Seungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhaadap ini (keesaan Tuhan).’” (al-A’raf ayat 172. Manusia hidup dan mati pada akhirnyapun akan menuju Allah SWT. Semua yang ada pada manusia tetap menjadi milik Allah SWT, dan jika manusia melupakan ini maka, merugilah ia.

Daftar Pustaka

Hafidhuddin, Didin K.H., Tafsir al-Hijri: Kajian Tafsir al-Qur’an Surat an-Nisa, Jakarta: Yayasan Kalimah Thayyibah, 2000
Imani, Allamah. Kamal. Faqih, Tafsir nurur Qur’an: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya Tuhan, terj, R Hikmat Danaatmaja, Jakarta: al-Huda, 2003
Muthahari, Murthada, Manusia dan Alam Semesta, terj, Ilyas Hasan, Jakarta: Lentera, 2002
Soenarjo, R.H.A, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 1989
——————, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 2000
[1] Penciptaan/keberadaan manusia menurut al-Qu’an ini dapat dkategorikan menjadi tiga fase. Pertama,kemunculan Adam manusia pertama. Penciptaan Adam sebagai manusia, dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa ia diciptakan dari semacam tanah liat. Dan atas kehendak Allah maka jadilah Adam dalam rupa manusia. Manusia pertama ini, hadir tanpa ibu dan bapak. Kemudian, kedua, diciptakannya manusia kedua yaitu Hawa, yang disebutkan bahwa ia berasal dari tulang rusuk kiri Adam. Manusia kedua ini hadir tanpa ibu. Ketiga, fase inilah yang menjadi gambaran umum manusia. Yaitu hadir dengan adanya bapak dan ibunya.
[2] Turunnya Adam menurut Alamah Kamal Faqih Imami sedikit banyak diilustrasikan Allah dalam al-Qur’an surat al-A’raaf ayat 11-25. Alamah Kamal Faqih Imami, Tafsir Nurul Qur’an, terj. R Hikmat Danaatmaja, Jakarta: al-Huda, jilid I, 2003, hal 156-171. Di dalam kitab tafsirnya ini, beliau juga menafsirkan turunnya Adam dan Hawa adalah sekenario Allah semata. Hal ini karena pada dasarnya Bapak Adam dan Ibu Hawa (manusia) memang diciptakan untuk menghuni bumi—menjadi khalifah di bumi. Dalam surat al-Baqarah ayat 30 disebutkan: “Ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…….” Ini menjelaskan bahwa Allah sejak awal telah menetapkan bahwa manusialah yang akan menghuni bumi.
[3] Mengenai sujudnya Malaikat pada Adam ini, Alamah kamal Faqih Imani menafsirkan sebagai sebuah sujud yang tidak dimaksudkan untuk beribadah layaknya sujudnya para Malaikat pada Allah. Tetapi sujud ini adalah sujud sebagai sebuah representasi penghormatan para Malaikat pada Adam. Ibid. Hal. 166.
[4] Berhubungan dengan hal ini, K.H Didin Hafidhuddin mengacu pada surat al-Fatihah ayat 7 mengklasifikasikan manusia menjadi tiga, “ pertama;mereka golongan yang memperoleh nikmat. Kedua; golongan orang-orang yang dimurkai Allah. Ketiga: golongan orang-orang sesat”. Golongan yang pertama memperlihatkan bahwa pada dasarnya manusia mampu untuk mencapai derajat yang lebih baik, dan bisa saja melampau derajat para malaikat. Sedangkan dua kelompok berikutnya adalah golongan yang melupakan kebermanusiaan dalam manusia.” K.H. Didin Hafidhuddin, Tafsir al-Hijri, Jakarta: Yayasan Kalimah Thayyibah, 2000. hal.204.
[5] Ruh atau jiwa di sini jangan diartikan sekedar nyawa, seperti yang dimiliki hewan ataupun tumbuhan. Ruh atau jiwa ini dapat dikatakan sebagai entitas yang memunculkan keberadaan “aku” dalam tubuh manusia. Karena ruh atau jiwa inilah manusia dapat mengenali dirinya sendiri dan membedakan dirinya dengan lainnya
[6] Banyak kalangan dari umat Islampun masih berbeda pendapat mengenai hal ini. Apakah Adam yang dimaksud di sini adalah benar-benar manusia pertama, ataukah ada Adam-Adam lain sebelumnya? Ini disandarkan pada alasan bahwa jika Adam ini adalah manusia pertama, rentang waktu kehidupan manusia pertama ini dengan manusia masa kini masihlah terlalu singkat yaitu sekitar lima belas ribu tahun. Satu masa yang dapat dikatakan sedikit dibandingkan umur bumi sendiri yang dikatakan sampai milyaran tahun. Dengan argumen inilah beberapa kalangan muslimin menyatakan bahwa ada Adam-Adam lain selain yang disebutan al-Qur’an. Dan mengenai keberadaan Adam di surga, itu juga tidak surga dalam artian sebenarnya menurut kalangan ini. Surga di sini menurut mereka adalah satu tempat di bumi ini yang karena keindahannya dan kemudahannya dalam meraih sesuatu digambarkan seperti surga. Tentu pendapat inipun mendapat sanggahan, dengan argumen bahwa Adam yang disebutkan al-Qur’an ini memang benar-benar manusia pertama yang menghuni bumi, dan ia benar-benar diturunkan Allah dari surga, lagi-lagi itu karena kemaha Kuasaan Allah SWT, dan apa yang tidak mungkin bagi Allah. Kalau menciptakan alam saja mampu, kenapa harus diragukan ketika Allah menurunkan Adam ke bumi, tentu bagi Allah itu bukan hal yang sulit. Perdebatan yang menarik, dan memang sepertinya tak akan pernah selesai. Begitu menariknya makhluk yang bernama manusia ini! (Penjelasan matakuliah ulumul Qur’an, Pak Subandi)
[7] Harun Yahya misalnya yang berjuang mati-matian untuk mengcover teori evolusi Darwin.
[8] Ada satu hal lagi berkaitan dengan dua pendapat di atas, yang mencoba menjembatani perdebatan sengit itu. Meskipun tidak nampak begitu berhasil, dan malah menjadi satu golongan tersendiri yang nampak mendukung teori evolusi Darwin dengan menyatakan bahwa dari beberapa aspek apa yang dikatakan oleh Darwin memang benar adanya. Bahwa manusia memang berevolusi. Namun, sayangnya Darwin terlalu materialis dalam melihat evolusi manusia, sehingga permata dalam diri manusia, jiwa, terabaikan dinegasikan Darwin begitu saja. Dan pedapat para tokoh sufi seperti Mulla Shadra, yang sering kali ditekankan Dr. Haidar Bagir dalam tiap kali perbicangannya menyatakan bahwa manusia memang berevolusi, bukan sekedar fisik saja, jiwanyapun berevolusi mencari kesejatian diri, menuju Tuhan. Dan dalil al-Qur’an tentang Adam dan Hawa yang sering ditafsirkan manusia pertama yang diturunkan dari Surga hanyalah simbolitas saja.




Sebuah Karya Monumental Ibn Thufail: Hayy ibn Yaqdzan



Muqaddimah

Antara akal dan wahyu tidaklah memiliki kontradiksi yang begitu besar. Bahkan keduanya dapat memiliki satu visi dan tujuan yang sama tentang kebenaran. Dan juga akan memiliki titik keindahan bila keduanya dapat digabungkan. Bahwa jalan yang ditunjukkan oleh agama dapat diperoleh dengan intelektualitas manusia, yang cenderung berhasrat untuk terus bertanya dan mencoba menjawab apa yang ada, dan juga oleh wahyu yang dapat dijadikan petunjuk tetap menuju satu kebenaran. Keduanya sama-sama dapat menuju kebenaran, demikian pesan yang ingin disampaikan Ibn Thufail pada kita dalam karya monumentalnya, Hayy Ibn Yaqdzan.
Dalam karyanya ini, Ibn Thufail seperti merasa jengah dengan pertikaian dua proyektor besar dalam proses pencarian kebenaran, filsafat dan wahyu. Pertikaian yang diledakkan oleh al-Ghazali dengan Tahafut al-Falasifah-nya, menentang Ibn Sina dan al-Farabi dengan ajaran Aristotelian mereka. Pertikaian yang pada dasarnya ada pada ketidaksetujuan al-Ghazali yang fokus pada tiga ajaran para filososf, terutama Ibn Sina dan al-Farabi, tentang keabadian alam, penolakan bangkitnya jasmani setelah mati, dan pengetahuan Tuhan yang universal. Ketiga hal yang benar-benar dianggap oleh al-Ghazali sebagai penyalahgunaan rasio untuk menyelewengkan agama.
Pertikaian ini coba didamaikan Ibn Thufail dengan mengatakan bahwa antara keduanya tidaklah jauh berbeda dalam memandang kebenaran yang sama, eksternal dan internal. Pemahaman agama melalui wahyu dan pemahaman agama melalui penalaran, melihat kebenaran dari sisi yang berbeda dengan hakikat yang sama.

Tentang Ibnu Thufail

Di Guadix atau di Wadi Asy, juga disebut Cadiz, sebuah distrik yang terletak cukup jauh di Timur Laut Granada, Ibnu Thufail atau Abu Bakar Muhammad ibn Abd al-Malik Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Thufail al-Qaisyi dilahirkan pada tahun 1110 M. Masa kecil Ibn Thufail di Andalusia adalah masa-masa di mana terjadi pergolakan politik yang luar biasa. Sebelas tahun setelah kelahirannya, dinasti Murabitihun yang didirikan oleh Yusuf ibn Tasyfin yang sebelumnya menggulingkan Muluk ath-Thawa’if  pengambil alih kekuasaan Daulah Umayyah, ditundukkan oleh Ibnu Tumart pada tahun 1121 yang kemudian mendirikan Dinasti Muwahhidun. Setelah Dinasti Muwahhidun berdiri, gejolak politik itu berangsur-angsur mereda. Kondisi kembali seperti masa-masa Dinasti Umayyah sebelumnya. Sevilla, Cordova, atau Andalusia secara umum kemudian kembali menjadi pusat peradaban Islam, yang menjadi salah satu paru yang berperan memajukan pendidikan Islam. Ilmu-ilmu warisan orang-orang seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibn Bajjah, bahkan al-Razi juga al-Ghazali, kembali mengalir deras di wilayah-wilayah ini. Dan Ibn Thufail muda dalam situasi pendidikan yang dinamis[1] seperti itu dididik dan diajarkan bernagai ilmu oleh orang tuanya, belajar filsafat, ilmu kedokteran, dan beragam ilmu yang lainnya. Hingga kemudian dia dikenal sebagai seorang dokter yang disegani di Andalusia.
Peran pentingnya dalam tubuh pemerintahan Dinasti Muwahhidun pada masa itu dimulai ketika ia diangkat menjadi Sekretaris Gubernur Granada, diteruskan menjadi Sekretaris Gubernur Ceuta dan Tangier. Mengabdi pada putra Muhammad ibn Tumart (1080-1130 M), Abd al-Mu’min ibn ‘Ali (w.1163). Setelah  al-Mu’min wafat, Ibnu Thufail menjadi dokter istana dan wazir Abu Ya’qub Yusuf (memerintah 1163-1183). Sebagai ahli falsafah, Ibnu Thufail adalah guru dari Ibnu Rusyd (Averroes), ia mengusai ilmu lainnya seperti ilmu hukum, pendidikan, dan kedokteran, sehingga Thufail pernah menjadi sebagai dokter pribadi. Ia menjadi salah seorang terpenting di negerinya berada, serta memiliki pengaruh penting terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di Andalusia, karena melalui dialah Abu Ya’qub Yusuf yang cinta ilmu pengetahuan itu memberikan wewenang untuk mengundang orang berilmu dan terpelajar ke istana, salah satunya Ibnu Rusyd yang terkenal membela mati-matian filsafat dalam Islam. Ibnu Thufail seperti yang dikatakan oleh Leen E. Goodman[2] menjadi menteri kebudayaan Abu Ya’qub Yusuf, selain juga sebagai dokter pribadinya. Satu jabatan yang lebih tepat disebut sebagai wazir jika melihat kedekatan antara Abu Ya’qub dan Ibn Thufail seperti yang dikatakan Goodman. Sedikit orang yang dapat memiliki hubungan khusus dengan sultan, meskipun dengan jabatan sebagai menteri yang notabene di bawah wazir tetap dimungkinkan adanya hubungan dekat itu. Namun sekali lagi, hubungan itu akan nampak relevan jika Ibn Thufail adalah wazir dari khalifah.
Kehidupan Ibn Thufail dapat dilihat sebagai sebuah kesuksesan yang dapat dijadikan aspirasi. Kehidupan seorang intelektual yang malang-melintang di sebuah istana, yang memberikan segala tentang dunia. Akhirnya setelah melampui masa-masa indah sebagai manusia, menjalani tawa dan canda bersama orang-orang istana, ia wafat di usianya yang telah senja pada tahun 1185 M, di Maroko, ibu kota kerajaan dinasti Muwahiddun. Meninggalkan beberapa karya yang beberapa di antaranya dapat kita baca sampai hari ini. Dan kebanyakan tidak terekam atau hilang ditelan zaman.
Hanya sedikit karya tulis yang dapat dikenal sebagai buah pikir Ibn Thufail, di antaranya Rasa’il fi an-Nafs, Fi Biqa’ al-Maskunah wa al-Ghair al-Maskunah, dan Hayy ibn Yaqdzan. Namun dari sekian karyanya itu, hanya Hayy ibn Yaqdzan yang lengkap sampai pada kita. Karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa latin oleh Giovanni vico dolla Mirandolla (Abad 15) sebagai karya besar ilmiyah (magnum opus) yang menjadi referensi utama pada masa itu. Hayy ibn Yaqdzan juga diterjemahkan oleh Edward Pockoke juga dalam bahasa Latin. Edward Packoke memberikan catatan khusus pada terjemahannya tersebut dengan Philosophus Autodidaktus (al filosuf al mu’allim nafsaha/Sang filosuf Autodidak), satu bentuk apresiasi yang diberikan pada Ibn Thufail. Setelah adanya penterjemahan dalam bahasa latin ini, Hayy ibn Yaqdzan kemudian juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Simon Ockley, dengan judul “The Improvement of Human Reason”, pada tahun 1708. Kemudian di susul oleh edisi barunya dengan judul “The History of Hayy ibn Yaqzhan” pada tahun 1926. Terjemahan bahasa Perancis muncul setelah Leon Gauthier mengalihbahasakan Hayy ibn Yaqdzan dalam bahasa tersebut, karya dalam edisi bahasa Perancis ini bahkan di sertai dengan teks arabnya “Hayy Ben Yaqdhan Roman Philosophique d’ibn Thofail”. Hayy Ibn Yaqdzan juga diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol, Jerman, Rusia, Belanda dan Indonesia

Tentang Hayy ibn Yaqdzan

Perjalanan manusia menapaki jalan spritualnya, demikianlah Hayy ibn Yaqdzan dikisahkan oleh Ibn Thufail. Pencarian jalan yang benar dengan berbagai tahapan pengamatan dan tindakan. Hayy Ibn Yaqdzan mulai melakukan pencarian dengan memulai pengamatan-pengamatan inderawainya, kemudian rasio, dan ketiga batinnya. Sedikit demi sedikit Hayy mulai melakukan itu, mengamati fenomena yang ada di sekitar, binatang, bintang, gejala alam, yang kemudian jalan pada Sang Kebenaran ia temukan setelah melalui tahapan demi tahapan itu. Hayy berhasil menemukan esensi dari segala esensi yang ada.
Kisah ini dimulai dengan penuturan Ibn Thufail yang mengatakan bahwa ada dua versi tentang keberadaan Hayy ibn Yaqdzan. Pertama, Hayy Ibn Yaqdzan dilahirkan oleh seorang Puteri yang memiliki saudara seorang raja yang tiran. Sang raja yang mengutamakan kemegahan, melarang sang Puteri menikah sebelum ada jodoh yang sederajat dengan mereka. Namun, secara diam-diam salah seorang kawan raja, bernama Yaqdzan, mengawini sang Puteri. Dan sang Puteripun akhirnya hamil, dan kemudian melahirkan seorang anak laki-laki. Karena takut ketahuan sang Raja, maka sang Puteri menghayutkan anaknya ke laut pada sebuah peti. Peti itupun sampai pada pulau Waqwaq, sebuah pulau tak berpenghuni manusia. Peti yang berisi Hayy ibn Yaqdzan ini kemudian dihempaskan oleh air laut ke daerah dalam pulau, dan di situlah Hayy ditemukan oleh seekor rusa, yang kemudian mengasuhnya.
Kedua, dikatakan bahwa Hayy ibn Yaqdzan lahir karena proses alam. Perpaduan antara unsur-unsur alam yang menyatu dalam tanah dengan tekstur dan kondisi dalam rahim. Sedemikian rupa karena terolah dengan baik dalam waktu yang cukup lama oleh alam akirnya tanah tersebut melahirkan Hayy ibn Yaqdzan yang kemudian ditemukan dan dirawat sang Rusa.[3]
Selama tujuh tahun Hayy ibn Yaqdzan dirawat sang Rusa, dan belajar bagiamna cara berkomunikasi, meminta tolong, dan berbagai isyarat komunikasi baik dengan hewan lain maupun rusa yang mengasuhnya. Dari sini ia mulai belajar dengan pengamatan inderanya, melihat binatang lain seusianya yang nampak memiliki kelebihan muncul pada tubuh mereka. Hewan-hewan yang ada di sekitarnya dengan sendirinya memiliki alat-alat pertahanan ada pada tubuh mereka, rusa jantan dengan tanduk mereka, banteng juga dengan tanduk mereka, macan dengan taring dan kukunya, Elang dengan paruhnya, dan itu semua membuat Hayy ibn Yaqdzan kecil bertanya-tanya, kenapa dia tidak memiliki itu semua. Diapun belajar dengan melihat hal-hal itu, kemudian dibuatlah baju untuk menutupi tubuhnya dari sengat matahari yang awalnya berasal dari dedaunan, namun karena tidak dapat bertahan lama akhirnya dia dapatkan kulit hewan yang ternyata selain mampu melindunginya dari sengatan matahari juga mampu menahan dingin angin. Untuk pertahanan diri digunakannya tongkat untuk menghalau binatang buas yang hendak mengganggunya.
Pengetahuan Hayy bertambah lagi setelah secara tidak sengaja di dalam sebuah perjalanannya mengelilingi pulau ia menemukan api. Dari api itu ia dapat menghangatkan diri dan memperoleh penerangan di kala gelap melanda. Selain itu ia juga tahu bahwa api mampu menjadikan daging dan ikan menjadi lebih lezat setelah dibakar, mulailah ia selalu menggunakannya untuk memasak makanannya.
Ketika mengamati bahwa silih berganti apa yang ada di dalam ini kemudian musnah dengan sendirinya, disusul kematian rusa yang merawatnya, Hayy ibn Yaqdzan mulai menyadari bahwa alam ini tidak abadi, satu persatu semua akan berakhir pada ketiadaan. Ia menyaksikan bahwa segala eksistensi di alam ini bagaimanapun berbedanya ternyata mempunyai titik-titik kesamaan baik dari segi asal maupun pembentukan, maka ini mengarahkannya pada pemikiran bahwa segala yang ada ini bersumber dari subyek yang satu, dan kini dalam pikirannya telah terpatri satu zat tunggal yang diimani sebagai sang pencipta segalanya. Hayy menemukan Tuhan melalui jejak-jejak suci yang ditinggalkan-Nya.
Pengamatannya berlanjut pada benda-benda langit, bahwa matahari terbit dan tenggelam, demikian juga dengan bulan dan bintang, yang kemudian memunculkan satu tesis bahwa alam ini begitu teratur. Dan tentu ada dzat maha sempurna yang mengaturnya yang tentunya maha kekal dan tidak sama dengan alam semesta ini yang tiada abadi, hilang dan silih berganti mengisi waktu.
Kematangan mulai nampak pada diri Hayy ibn Yaqdzan saat ia berusia 35 tahun,[4]ia mulai mencari kebenaran melalui pencarian melalu penelusuran ulang tentang cipta rasanya yang sudah-sudah. Ia mulai meraba-raba episteme mana yang membawanya pada kebenaran. Dan ia kemudia berkesimpulan bahwa, ia dapat mengetahui melalui tiga hal, akal dengan bantuan pencerapan indra, ruh, dan jiwa. Menuntunya pada tingkatan-tingkatan yang pernah dilalui sampai yang kini dijalani, maqam keindahan spiritual melalui pancaran cahaya ilahi.
Kisah inipun semakin menarik ketika datang Asal atau Absal dari pulau seberang ke pulau Waqwaq. Ia juga seorang salik layaknya Hayy ibn Yaqdzan yang tengah sibuk dengan meditasi dan menikmati ekstasi spiritualitas yang dijalaninya, mencari ketenangan dan memilih jalan hidup kesendirian. Asal atau Absal ini berasal dari sebuah pulau yang dipimpin oleh Salaman, sahabat Asal yang memilih hidup zuhud di tengah masyarakat dengan melakukan ritual keagamaan secara biasa, karena hal inilah Asal dan Salaman kemudian berpisah.[5]Di pulau yang dikira Asal tidak berpenghuni ini, Hayy ibn Yaqdzan dan Asal bertemu pandang. Karena tidak mau terganggu Asal pun berlari dan bersembunyi. Hayy yang baru sekali seumur hidup melihat manusia lain dengan pakaian aneh yang dipakainnya, mengejar dan mencari Asal yang bersembunyi. Asal akhirnya tertangkap, melihat ada orang aneh dengan kekuatan yang luar biasa ia nampak ketakutan. Namun, Asal tetap mencoba berkomunikasi dengan Hayy yang dikiranya ingin berbuat jahat padanya. Dengan segala bahasa yang dimilikinya ia berkata pada Hayy ibn Yaqdzan, namun Hayy tidak memahami apa yang dikatakannya. Setelah tahu bahwa Hayy ibn Yaqdzan tidak bermaksud jahat dan tahu bahwa orang yang ada dihadapnnya tidak dapat berbahasa manusia, Asal sedikit demi sedikit memberi petunjuk menandai sesuatu dengan bahasa. Dari sinilah Hayy mulai belajar berkomunikasi, dan kemudian mereka saling bertukar pikiran tentang pengalaman mereka. Asal bercerita tentang kaummnya yang ada di pulau seberang yang hidup dengan cara hidup agama wahyu yang nampak adikodrati. Sedang Hayy menceritakan pengalaman hidupnya setelah lama hidup di pulau Waq-waq sendiri, dan ia bercerita pula tentang pencapaiannya pada cahaya cinta sang Illahi. Bahwa dengan pengamatan dan penalaran yang dilaluinya ia telah sampai pada maqam pencari kesejatian, menemukan apa yang dicarinya.
Merasa satu jalan dengan Hayy ibn Yaqdzan, Asal yang merasa bahwa apa yang dijalani oleh masyarakat di tempatnya haruslah dirubah, yaitu dengan jalan yang telah ditemukan Hayy ibn Yaqdzan. Ia ingin agar penduduk di kotanya memperoleh pencerahan seperti halnya Hayy ibn Yaqdzan memperoleh hal itu. Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk berangkat ke kampung halaman Asal, menyebarkan ajaran agama yang ditemukan Hayy Ibn Yaqdzan, ajaran agama melalui penalaran dan penyelaman jiwa pada cinta Ilahi. Sesampainya di tempat Asal, mereka berdua mulai berdakwah menyebarkan ajaran yang mereka bawa. Namun segala upaya yang mereka tempuh tidak menghasilkan apa-apa, dan penolakan terhadap ajaran yang mereka berikan yang kemudian muncul. Akhirnya Hayy Ibn Yaqdzan dan Asal memilih kembali ke pulau Waqwaq, dan tetap meyakini bahwa ajaran yang mereka bawa memiliki nilai lebih dibandingkan sekedar ajaran agama wahyu yang ada di tempat Asal berasal. Kembali menjalani hidup suci di padang pengasingan kehidupan.

Epistemologi Hayy Ibn Yaqdzan

Pencapaian pencarian seperti yang dialami Hayy ibn Yaqdzan dalam kisah yang diceritakan Ibn Thufail memiliki tiga jalan yang harus dilalui. Tiga jalan yang pada dasarnya bisa dilalui oleh setiap manusia yang telah dibekali Tuhan dengan akal dan jiwa dalam tubuh yang sama. Tiga jalan pencarian itu adalah;

  1. Indera (empiris)
Meliputi panca indra yaitu penglihatan, pendengaran, perasam pencium dan peraba yang merupakan alat untuk mengenali lima dimensi obyek yaitu obyek-obyek fisik yang terlihat, suara, rasa, bau-bauan, dan obyek yang tersentuh sekalipun begitu indrawi masih mempunyai kelemahan karena ia terkadang tidak bekerja secara sempurna, bahwa indera dapat dengan mudah tertipu dengan karena tiap indera memiliki kemampuan terbatas dalam mengidentifikasi objek, maka di sinilah dibutuhkan sumber pengetahuan lain.

  1. Akal (rasio)
Akal yang dengan daya penalarannya mampu mengabstraksikan suatu obyek yang karena itu ia mampu mengetahui seluruh profil dari suatu obyek. Selain ia juga mampu menangkap esensi dari obyek yang di pahaminya dan di amati oleh indrawi dengan demikian akal atau rasio bersifat melengkapi indrawi. Pengetahuan yang dicapai oleh akal memiliki validitas yang lebih dibanding dengan indera, bahwa rasio mampu melampau objek, ruang, dan waktu. Dalam tahapan ini Ibn Thufail menggambarkan bahwa Hayy Ibn Yaqdzan mencoba melakukan apa yang ada dalam pengamatannya terhadap benda-benda langit. Ia mulai berputar-putar, mengelilingi pulau, tempatnya tinggal, dan juga berputar pada dirinya sendiri. Ia mulai memikirkan bahwa ada satu subjek yang dapat memberinya pencerahan, dan ia dapat melihat itu pada jejak-jejak-Nya di alam ini. Hayy mulai merasionalkan segala keteraturan dan ketiadaabadian alam ini. Ia melihat rusa yang mengasuhnya nampak semakin tua dan kemudian mati, hewan yang lain juga sama, ia juga memikirkan peredaran matahari yang selalu muncul dari Timur ke Barat setiap hari. Dari sinilah ia menemukan satu entitas pencipta dan pengatur segalanya, sang Causa Prima. 
Namun sayangnya, kemampuan akalpun terbatas, akal tidak mampu misalnya menjelaskan dirinya sendiri secara jelas, akal juga misalnya tidak dapat menjelaskan mengapa manusia dapat menangis sejadi-jadinya ketika melihat kekasihnya mati. Atau akal tidak dapat mengenali sang Causa Prima itu, akal hanya mampu mengetahui-Nya melalui jejak-jejak yang ada, akal belum mampu membawa manusia pada pertemuan manusia pada sang Penciptanya. Maka dari itu, manusia pada dasarnya dibekali Tuhan dengan intuisi.

  1. Intuisi
intuisi menurut Ibn Thufail mampu menangkap esensi dari pengetahuan sejati yang merupakan wilayah metafisika dengan cara penyucian jiwa, seperti halnya Hayy Ibn Yaqdzan yang dalam tahap akhir pencarianya menemukan esensi dari segala esensi yang ada. Hayy melalui riyadah perjalanan spiritula menemukan identitas kesejatian yang menyelimuti alam semesta. Dia tenggelam dalam identitas kesejatian itu, menikmati pancaran cinta yang ada menyertainya.

Penutup

Meskipun tidak secara jelas Ibn Thufail melakukan mediasi antara wahyu dan akal, namun secara implisit ia ingin menyatakan bahwa keduanya sama-sama jalan menuju kebenaran. Hayy Ibn Yaqdzan mampu menemukan kebenaran sejati melalui jalan penalaran yang dijalaninya. Begitu juga dengan Salaman, ia menemukan Tuhan melalui pemahaman keberagamaannya yang berasal dari kabar-kabar Tuhan yang disampaikan Muhammad SAW. Keduanya mencapai hal yang sama. Sedangkan Asal adalah tokoh yang dihadirkan Ibn Thufail, sebagai anatomi elaborasi keduanya, Asal yang sebelumnya tinggal satu kota dengan Salaman, memperoleh pengetahuan awalnya dari wahyu dan kemudian setelah pertemuannya dengan Hayy Ibn Yaqdzan, ia memadukan pemahaman pengetahuan awalnya itu dengan ajaran yang diterimanya dari Hayy.
Berkaitan dengan, Ibn Thufail mengajarkan pada kita bahwa, semangat keagamaan, baik yang penerimaannya melalui wahyu atau penalaran, tidaklah elok bila saling menjatuhkan. Keduanya melihat kebenaran dari sisi yang dilihat masing-masing. Keduanya melihat kebenaran yang tunggal, kebenaran yang tidak sepatutnya diklaim dan dijadikan justifikasi untuk menegasikan atau bahkan mengkafirkan yang lain. Kebenaran tetaplah tunggal, cara melihatnya yang beragam.

Bahan Bacaan

Seyyed Hossein Nasr, Oliver Leamen, editor, Ensiklopedi Tematis, Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2003, jilid I
Masruri, Hadi, Ibnu Thufail, Jalan Pencerahan Mencari Tuhan, Yogyakarta: LKIS, 2005
Ibn Thufail, Hayy bin Yqdzan, Anak Alam Mencari Tuhan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999

[1] Dalam Ibnu Thufail, Jalan Pencerahan Mencari Tuhan, M. Hadi Masruri mengatakan bahwa masa-masa Ibnu Thufail bukanlah masa-masa yang kondusif untuk beerkembangnya intelektualitas orang-orang di sana, dan saya agak tidak setuju dengan hal ini, meskipun dalam beberapa bidang keilmuan saya setuju dengan dia, bahwa misalnya filsafat mengalami sedikit kurang berkembang pada masa-masa awal kehidupan Ibnu Thufail, tetapi bagaimanapun bidang keilmuan seperti kedokteran, astronomi, bahasa, dan beberapa bidang keilmuan lainnya selain filsafat terus berkembang dengan baik.
[2] Seyyed Hossein Nasr, Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2003
[3] Ibn Thufail, Hayy ibn Yaqdzan, terj. Ahmadie Thaha, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, hal 19-20
[4] Saya tidak tahu kenapa Ibn Thufail memilih usia ini. Mungkin saja karena memang pada usia inilah manusia biasanya memperoleh kematangan diri, atau juga ini didasarkan pada pengalaman pribadi Ibn Thufail sendiri yang mencapai kematangannya pada usia ini.
[5] satu metafor untuk menggambarkan antara Filsafat yang diwakili Asal dan menganut ajaran agama secara fatalistik ala para fuqaha, yang diwakili Salaman. Dan juga menggambarkan ketidakharmonisan hubungan intelektual Ibn Sina dan al-Ghazali.