Secangkir Kopi Sufi

Oleh: Candra Malik
Iman dibangun atas empat pilar keyakinan. Yaitu ilmal yaqin atau percaya berdasarkan pengetahuan, 'ainul yaqin atau percaya berdasarkan pandangan langsung, haqqul yaqin atau percaya berdasarkan pengalaman pribadi, dan ikmal yaqin atau percaya berdasarkan keterlibatan mendalam.
Ilmal yaqin dapat diibaratkan sebagai mula-awal belajar. Seorang Sufi menimba ilmu dari siapa pun, terutama dari gurunya, tentang sesuatu hal. Sebagaimana seorang pehobi masak mencatat resep masakan dari seorang Chef. Jika berhenti hanya pada menimba ilmu, apalagi jika sebanyak-banyaknya, maka semakin banyak ilmu justru semakin berat beban hidupnya.
Para Sufi memiliki analogi yang satir, yaitu betapa pun seekor keledai menarik segerobak ilmu, toh ia tetaplah seekor keledai. Semakin banyak ilmu, jika tak diwujudkan menjadi amal, maka alih-alih membawa manfaat, ia justru menimbulkan madharat bagi penghimpun ilmu itu sendiri. Oleh karenanya, ilmal yaqin harus dilanjutkan dengan 'ainul yaqin.
Kita bisa belajar dari kopi. Setelah mencatat bahwa secangkir kopi dibuat dari setuang air mendidih, setakar bubuk kopi, dan gula sebutuhnya, seorang Sufi harus melihat sendiri apa itu air, kopi, dan gula. Tak cukup baginya hanya mendapati air, kopi, dan gula sebagai susunan aksara. Hanya teks, dan bukan konteks.
Sesuai fitrahnya, kopi diseduh atau disajikan dengan ampasnya, dengan cangkir, bukan gelas. Tapi, mengapa harus demikian? Seorang Guru Tasawuf saya mengatakan," supaya kau seolah memegang kuping sendiri saat memegang kuping cangkir."
"Setelah kuping terpegang dan kopi mendekat, kau aktifkan lidah sebagai indera penyesap dan hidung sebagai indera pencium," lanjutnya. Mata sebagai indera penglihat akan menatap ke arah suwung tertentu, ketika kopi kita sesap dan seketika aromanya kita hirup. Segera panasnya secangkir kopi itu membuka pori-pori kulit, sehingga pendek kata: hiduplah seluruh lima indera dalam diri.
Inilah mengapa tatkala mengaji Tasawuf, seorang murid disuguhi secangkir kopi oleh sang mursyid. Lebih pahit lebih baik bagi indera. Seolah belum Sufi jika belum ngopi. Dan, memang demikianlah tradisi ngopi bermula: dari para Sufi yang melek semalam suntuk.
"Tahu dari mana itu kopi?" tanya Guru Tasawuf saya, suatu malam. Ia berseru,"siapa tahu aspal? Toh sama hitamnya sama pekatnya. Minumlah!"
Segera saya sesap secangkir kopi itu, saya rasakan dengan tamat, lalu saya jawab,"Ini benar kopi, Kiai. Yakin seyakin-yakinnya."
Guru saya itu berwasiat, iman dibangun setidaknya dengan empat keyakinan: 'ilmal yaqin, 'ainul yaqin, haqqul yaqin, ikmal yaqin. "Ilmal yaqin adalah yakin berdasar pengetahuan. Tahu secangkir kopi diracik dari air mendidih, kopi, dan gula dalam takaran tertentu. Namun, cita-rasa tak cukup hanya dari resep di atas kertas. 'Ainul yaqin adalah yakin berdasarkan kesaksian. Melihat kasunyatan," katanya.
Melihat sendiri,"O, ini yang disebut air mendidih. O, ini bubuk kopi. O, ini butiran gula." Nyata. Bukan lagi teori, bukan ilusi. Tapi, melihat saja pun tak cukup. Haqqul yaqin adalah yakin karena mengalami sendiri. Memasak air, meracik kopi. Terlibat prosesnya. Puncaknya keyakinan adalah ikmal yaqin, yaitu yakin karena merasakan sendiri. Menyesap kopi dan merasakan sensasinya.
Ini kopiku, mana kopimu?

Candra Malik, pengasuh Pesantren Asy-Syahadah, di Segoro Gunung, lereng Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah.

No comments:

Post a Comment