Nabi Musa dan Gembala



Alkisah, hiduplah seorang gembala berjiwa bebas yang tidak punya uang dan tidak pula menginginkannya. Seluruh miliknya hanyalah hati yang bersih dan tulus, hati yang bergetar karena mencintai Tuhannya. Bersama gembalaannya, sepanjang hari ia menjelajahi padang rumput, dataran, dan tanah lapang, sambil bernyanyi dan berbincang-bincang kepada Tuhan, Kekasihnya:

“Wahai Tuhan, dimanakah Engkau yang kepada-Mu aku abdikan hidupku? Dimanakah Engkau, yang aku hanyalah hamba-Mu? Wahai Tuhan, yang demi diri-Mu aku hidup dan bernafas, yang dengan rahmat-Nya  aku ada, aku akan mengorbankan dombaku untuk memandang dan menatap-Mu...”

Suatu hari, Nabi Musa melewati sebuah padang rumput dalam perjalanannya menuju kota. Ia melihat seorang gembala yang duduk disamping gembalaannya dan menengadahkan wajahnya keatas, sambil menyeru Tuhan,

“Dimanakah Engkau, agar bisa kujahitkan pakaian-Mu, kutambal kaus Kaki-Mu, dan kusiapkan tempat tidur-Mu? Dimanakah Engkau, agar bisa kusemir sepatu-Mu dan kubawakan susu untuk minuman-Mu?”

Nabi Musa menghampiri gembala itu dan bertanya, “Siapa yang engkau ajak berbincang-bincang?”

“Tuhan yang menciptakan kita. Tuhan yang menguasai siang dan malam, langit dan bumi.”

Nabi Musa berang dan marah mendengar jawaban sang gembala itu.

“Berani-beraninya engkau berbicara kepada Tuhan seperti itu! Engkau sudah menghujat-Nya. Sumpal mulutmu jika engkau tidak bisa mengendalikan lidahmu agar agar tak ada seorangpun yang mendengar ucapanmu yang menghina dan meracuni udara ini. Jangan berbicara seperti itu lagi, nanti Tuhan akan mengutuk seluruh manusia karena dosamu!”

Sang gembala, yang bangkit begitu mengetahui kehadiran sang Nabi, berdiri gemetar. Dengan berurai air mata, ia mendengarkan ucapan nabi Musa,

“Apakah Tuhan iitu manusia sehingga Dia memakai sepatu dan kaus kaki? Apakah Ia seorang bocah yang memerlukan susu untuk menbuat-Nya tumbuh besar? Tentu saja tidak! Tuhan amat sempurna dalam diri-Nya sendiri, sama sekali tidak membutuhkan apa pun. Dengan berbicara seperti itu kepada Tuhan, engkau bukan saja merendahkan dirimu sendiri tetapi juga seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Engkau tak lain adalah penentang agama dan musuh Tuhan! Pergi dan mohonlah ampun kepada-Nya, jika engkau masih sadar dan waras!”

Sang gembala yang yang sederhana dan lugu sama sekali tidak mengerti bahwa ucapannya kepada Tuhan sungguh kasar dan kurang ajar. Ia juga tidak paham mengapa san Nabi menyebutnya sebagai musuh. Namun, ia tahu bahwa seorang Nabi utusan Tuhan pastilah lebih tahu ketimbang orang lain. Hampir tak sanggup menahan tangisnya, ia berkata kepada nabi Musa, “Engkau telah membakar jiwaku. Mulai sekarang, aku diam dan tutup mulut!” dengan menarik nafas dalam-dalam, ia pergi meninggalkan  hewan-hewan gembalaannya dan berjalan menuju padang pasir.

Merasa bangga karena telah meluruskan jiwa yang sesat, nabi Musa melanjutkan perjalanannya ke kota. Disaat inilah Tuhan menyapa dan berkata padanya,

“Mengapa engkau mengusik-Ku dan hamba setia-Ku? Mengapa engkau memisahkan pecinta dari sang Kekasih? Aku mengutusmu untuk mempersatukan manusia, dan bukan mencerai-beraikannya.”

Nabi Musa mendengarkan kata-kata Tuhan dengan penuh takzim.

“ Aku tidak menciptakan dunia ini untuk mengambil manfaat darinya. Seluruh ciptaan ini hanyalah untuk kepentingan makhluk. Manusialah yang beroleh manfaat darinya. Ingatlah bahwa, dalam cinta, kata-kata hanya kulit luar dan tidak berarti sama sekali. Aku tidak memperhatikan keindahan kata-kata atau susunan kalimat. Aku hanya memperhatikan keadaan hati. Dengan begitu, Aku mengetahu ketulusan makhluk-makhluk-Ku, sekalipun kata-katanya mungkin tidak bagus. Sebab, mereka yang terbakar oleh Cinta sesungguhnya telah membakar kata-katanya sendiri.”

Tuhan melanjutkan firman-Nya,

“Mereka yang terikat oleh kesopan-santunan sama sekali tidak sama dengan mereka yang terikat oleh Cinta, dan bangsa agama bukanlah bangsa Cinta, sebab sang pencinta tidak mengetahu agama lain kecuali sang Kekasih itu sendiri.”

Begitulah, Tuhan mengajarkan segenap rahasia Cinta kepada nabi Musa. Kini, beliau sadar akan kesalahannya dan menyesali kemarahannya. Beliau bergegas mencari sang gembala itu dan minta maaf kepadanya.

Selama berhari-hari nabi Musa mengarungi padang rumput dan gurun sahara. Beliau bertanya kepada orang-orang apakah mereka pernah melihat sang gembala. Setiap orang yang ditanya menunjukkan arah yang berbeda. Hampir putus asa mencari, akhirnya nabi Musa menemukan sang gembala duduk didekat mata air dengan pakaian compang-camping dan usang. Ia sedang duduk merenung dalam-dalam dan tidak melihat kedatangan nabi Musa yanh sudah lama menunggunya. Akhirnya sang gembala mengangkat kepalanya dan melihat nabi Musa.

“Aku punya pesan penting untukmu,” Kata nabi Musa. Tuhan telah berfirman kepadaku bahwa tidak perlu ada sopan-santun atau tatakrama bagimu untuk berbincang-bincang dengan Tuhan. Engkau bebas berbicara pada-Nya dengan cara yang engkau sukai, dengan kata-kata pilihanmu sendiri. Sebab, apa yang kukira sebagai penghujatan sesungguhnya akidah dan cinta yang menyelamatkan dunia.”

Sang gembala itu menjawab dengan enteng, “Aku telah melewati tahap kata-kata dan kalimat. Hatiku ini dicerlangi oleh kehadiran-Nya. Aku tak bisa menjelaskan keadaanku yang aku alami kepadamu. Aku juga tak bisa menggambarkannya kepada orang lain.” Ia kemudian bangkit dan melanjutkan perjalanannya.

Nabi Musa melihat sosok gembala yang pergi meninggalkannya hingga beliau tidak lagi melihatnya. Kemudian beliau menempuh jalan menuju kota terdekat sambil merasa terkagum-kagum oleh pelajaran yang diterima dari seorang hamba yang sederhana, lugu dan tak berpendidikan.


_Jalaluddin Rumi_
Sumber: Negri sufi/ Mojdeh Bayat dan Muhammad Ali Jamnia : Penerjemah, MS. Nasrullah; Lentera 2003

No comments:

Post a Comment